"MUD MAX: Investigative Documentary - Sidoarjo Mud Volcano Disaster?. Bisa jadi ada yang menduga film tersebut adalah pelesetan film Mad Max, yang dibintangi aktor Hollywood Mel Gibson, yang dibuat beberapa seri.
Gambaran itu langsung mengingatkan pada film dokumenter lain yang sukses yaitu Ring of Fire. Kebetulan, dalam pembuatan MUD MAX, ASU bekerja sama dengan produser film Immodicus, yang juga memproduseri film Ring of Fire.Selanjutnya, di menit-menit awal film tersebut menampilkan rentetan bencana yang terjadi di Indonesia yang disebut-sebut berkaitan dengan posisi geologis Indonesia yang berada pada jalur Ring of Fire. Mulai meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1880-an, sampai gempa di Jogja 2006, yang hanya selisih beberapa jam sebelum terjadi semburan liar di dekat lokasi pengeboran Lapindo di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Mei 2006.
Sederet ahli pun ditampilkan dalam bentuk wawancara untuk menjelaskan keterkaitan potensi bencana di Indonesia dengan Ring of Fire tadi. Yang paling menonjol dan sering dimunculkan adalah Adriano Mazzini, peneliti proses geologis dan fisika Universitas Oslo, Norwegia. Lelaki berdarah Italia tersebut bahkan beberapa kali ditampilkan sedang mengambil sampel atau mengadakan pengamatan pada fenomena semburan lumpur.
Tidak saja yang terjadi di Sidoarjo, namun juga di tempat lain di Indonesia. Di antaranya Bleduk Kuwu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah; Gunung Anyar, Surabaya; dan Kalanganyar, Sidoarjo. Sepertinya, Mazzini mencoba menarik benang merah antara fenomena semburan lumpur tersebut dengan yang terjadi di Porong.
Secara keseluruhan, memang banyak pengulangan yang ditampilkan dalam film itu. Termasuk penjelasan para ahli yang mengarah pada kesimpulan bahwa semburan lumpur panas di Porong itu adalah natural disaster (bencana alam).Sementara dalam konferensi para ahli geologi internasional di Capetown, Afrika Selatan, 2008 lalu, para ahli berbeda pendapat. Satu sisi menyebut sebagai natural disaster, sementara sisi lain menyebutnya dengan istilah man made.
Karena ada perbedaan pendapat itulah akhirnya diadakan voting. Hasilnya, sekitar 70 persen ahli geologi dunia menyatakan Lusi adalah man made. Yang setuju dengan natural disater hanya sekitar 20 persen. Sisanya menyebutkan gabungan kedua penyebab tersebut.
Meski begitu, film tersebut mencoba netral dengan tidak banyak membahas kontroversinya. Akibatnya, pemberian subjudul investigative documentary, jadi kurang tampak pada keseluruhan film. Sebagian besar film tersebut lebih banyak mengulas teknis geologis, terutama yang menyangkut posisi Indonesia pada jalur Ring of Fire.
Film tersebut lantas mencoba untuk netral dengan menampilkan ahli-ahli lain yang menyatakan bahwa semburan liar itu berkaitan dengan pengeboran di Jatirejo. Meski porsinya tidak sebanyak mereka yang mendukung teori korelasi dengan gempa Jogja, bagi penonton kritis kemunculan pendapat itu cukup untuk memicu pemikiran terhadap kemungkinan teori man made disaster.Secara keseluruhan film tersebut sepertinya tidak ingin mengembangkan kontroversi terkait penyebab munculnya semburan liar di sumur Lapindo, yang sampai sekarang masih terus berlangsung. Film itu lebih memunculkan pada teori-teori geologis terjadinya mud volcano. Bahkan, di bagian akhir film, diungkapkan bahwa para ahli yang berbeda pendapat sepakat menjadikan Lusi sebagai natural laboratory (laboratorium alam) guna pengembangan ilmu geologi.
Itu juga terjadi pada sesi diskusi panel seusai pemutaran film. Hampir seluruh pertanyaan yang disampaikan berkaitan dengan teori-teori geologis. Yang patut disayangkan, panelis yang hadir dalam diskusi tersebut sebagian besar adalah ahli yang mendukung teori bahwa Lusi adalah natural disaster. "Kami sudah mengundang ahli yang berbeda pendapat, namun mereka tidak bisa hadir," dalih Avian Tumengkol, juru bicara Immodicus.
Di bagian akhir ditampilkan upaya-upaya yang telah dilakukan Lapindo terkait dampak sosial yang disebabkan semburan lumpur. Munculnya Andi Darussalam Tabusala, yang disebut sebagai wakil keluarga Bakrie, terkesan sebagai justifikasi bahwa Lapindo tidak terkait dengan semburan lumpur panas tersebut.Andi memang menyatakan bahwa Lapindo telah mengeluarkan banyak uang untuk membantu menyelesaikan masalah yang terkait Lapindo. Tapi, dia menegaskan bahwa bantuan tersebut tidak bisa diartikan bahwa Lapindo mengaku bersalah. "Sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Seperti tetangga yang membantu tetangganya yang sedang dirundung masalah," katanya.
Kesan tersebut semakin kuat dengan ditampilkannya korban Lusi yang sudah direlokasi dan mendapatkan rumah di kompleks perumahan di Sidoarjo, yang dibangun Lapindo. Korban, yang tampaknya pasangan muda, mengaku sangat beruntung. "Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kami akan mendapatkan rumah yang sebagus ini," kata sang suami yang berjenggot tersebut.
Namun, upaya menjaga netralitas film di tengah kontroversi yang masih terus berlangsung, luntur karena tidak ditampilkan korban yang belum terselesaikan masalahnya, sebagai penyeimbang pernyataan korban yang merasa diuntungkan tadi.Ending film tersebut makin mengesankan sulitnya menjaga netralitas dengan ditampilkannya perkembangan terakhir kasus Lusi yang menyebutkan bahwa polisi sudah menghentikan pemeriksaan dengan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Hal itu diperkuat dengan penjelasan adanya desakan DPR agar pemerintah mengambil alih penanganan dampak Lusi.
Di sisi lain, tidak ditampilkan hasil voting para ahli geologis internasional dalam konferensi di Capetown, yang menunjukkan bahwa sebagian besar mereka (sekitar 70 persen) menyatakan Lusi bukan sebagai natural disaster, melainkan disebabkan faktor manusia (man made). Seharusnya, kalau memang berniat netral, fakta itu juga ditampilkan sebagai penyeimbang.
Blogger Comment
Facebook Comment