Pilih Bangun Partai Rakyat |
Sebagian rakyat Indonesia hari ini sedang bingung memilih antara Jokowi atau Prabowo sebagai Presiden yang akan menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Apa yang membuat mereka bingung? Jawabannya, dalam lacakanku, karena kedua calon presiden itu mengusung kosep ekonomi kerakyatan untuk merumuskan janji-janjinya dalam berkampanye.
Titik tekan yang diberikan oleh konsep ekonomi kerakyatan adalah “mengulurkan tangan” kepada kapitalis-kapitalis bermodal sangat kecil (sebagai ganti istilah UKM, Koperasi dan pedagang-pedagang di pasar-pasar tradisional). Berangkat dari titik tekan inilah kemudian kedua calon Presiden ini menggembar-gemborkan keberpihakannya para rakyat. Nah, keberpihakan kepada rakyat dalam kerangka ekonomi kerakyatan inilah yang saat ini sedang menjadi “rebutan” antara Jokowi dan Prabowo.
Rebutan yang membuat “orang kiri” yang mendukung Jokowi dan Prabowo bingung luar biasa!
Orang kiri yang ada digaris militan tentu tidak perlu bingung terhadap fenomena seperti ini. Ketika orang kiri militan menggunakan analisis kelas dan metode dialektika untuk memahami kondisi seperti ini, maka selesailah urusan. Dan, kemudian berkomitmen apa yang harus dilakukan?
Bangun partai buruh-marxis independen anti-kolaborasi dengan unsur-unsur kelas borjuis, itulah jawabannya.
Dengan orang kiri mendukung salah satu calon presiden tersebut itu artinya orang kiri telah melakukan pengikisan ideologi perjuangan kelas untuk menumbangkan kelas kapitalis. Jelas konsep ekonomi kerakyatan adalah konsep yang bertumpu pada tetap dipertahankannya alat produksi dikuasai/dimiliki secara individu, sedangkan kepemilikan alat produksi secara individu inilah yang menjadi biang kerok dari penindasan dari kelas yang satu terhadap kelas yang lain (exploitation l’homme par l’homme).
Penciptaan kesejahteraan rakyat melalui jalur konsep ekonomi kerakyatan hanyalah kamuflase saja dari watak eksploitasi yang bercokol di dalam konsep itu sendiri. Konsep ini sama sekali tidak menyentuh program-program perjuangan kelas dan kepemilikan alat produksi secara kolektif. Jika pun melalui konsep ekonomi kerakyatan ini diselipkan agenda penghapusan kerja alih daya (outsourcing) dan menaikan upah buruh, penyelipan ini digunakan hanya untuk “membekuk” kesadaran kritis kelas pekerja (untuk tidak mengatakan penjinakan) untuk memperjuangkan hak-haknya yang lebih esensial: kepemilikan alat produksi secara kolektif.
GOLPUT DAN BANGUN KEMANDIRIAN PARTAI BURUH ADALAH SOLUSINYA..!!
Yang semakin melegitimasi orang-orang kiri mendukung Prabowo dan Jokowi tidak hanya konsep dari ekonomi kerakyatan dari mereka berdua. Tetapi janji mereka untuk merumuskan program-program berlandaskan pelayanan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Penting untuk diberikan catatan: program-program pelayanan masyarakat miskin ini diderivasikan (diturunkan) dari konsep ekonomi kerakyatan. Nah, karena program ini merupakan derivasi dari konsep ekonomi kerakyatan, maka konsekuensinya adalah secara esensial program tersebut tentu saja ujung-ujungnya akan memproyeksikan rakyat miskin sebagai "komoditi." Dalam hal ini program untuk rakyat miskin itu hanya akan memposisikan rakyat miskin sebagai alas kaki para penguasa untuk mengamankan kepentingan kapitalisme bermodal besar. Alas kaki [sebagai metafor] digunakan untuk melindungi kaki agar tidak terkena "kotoran" dan "duri" (baca: menghindari tudingan tidak berpihak kepada rakyat), demikian pula yang dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo.
Konsep ekonomi kerakyatan sesungguhnya berorientasi pada mengintegrasikan kaum miskin ke dalam pasar dunia. Yang mengejutkan adalah “kaum miskin” dalam konsep ekonomi kerakyatan diibaratkan orang sakit yang harus diobati, diobati dengan cara berpartisipasi dalam “perekonomian pertumbuhan yang sehat.”
Digariskan dalam konsep ekonomi kerakyatan bahwa yang menjadi persoalan orang miskin ialah ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan uang (baca: akumulasi kapital) karena kepemilikan modalnya yang cekak/minim. Dengan kata lain, orang miskin itu tidak mengikuti model para kapitalis yang sudah bermodal besar dan kuat (masyarakat yang sehat tidak berpenyakit korengan dan borokan).
Sementara itu, semkian banyak saja orang yang terancam oleh sifat kapitalisme yang anarkis: korban-korban eksploitasi surplus value, perusakan lingkungan, marjinalisasi kaum perempuan dan eksploitasi massa melalui budaya pop, dll., dsb.
Perhatikan saja, betapa politik tidak jauh bedanya dengan komoditi, diperjual belikan sedemikian rupa. Misalnya, Megawati pernah melakukan transaksi politik dengan Prabowo melalui kontrak politik. Dan, berdasarkan kontrak politik inilah kemudian Prabowo memberikan sejumlah "pembayaran" kepada Megawati (ingat: Mega-Pro pada pemilu presiden 5 tahun yang lalu). Seperti halnya orang mengkontrak rumah pada juragan kontrakan, Prabowo bisa bernaung di bawah dukungan Megawati asalkan Prabowo memberikan keuntungan. Namun, ketika Prabowo tidak memberikan keuntungan maka kontrak itu dialihkan kepada pihak lain. Prabowo ogah meninggalkan rumah itu karena dia merasa belum habis masa kontraknya. Sementara itu Megawati memberikan kontrak rumah itu kepada Jokowi yang masih di huni oleh Prabowo, pada saat inilah terjadi percekcokan segitiga Jokowi-Megawati-Prabowo.
Rebutan dan percekcokan tersebut sebenarnya merupakan terjemahan dari persaingan antara kapitalis di ranah pasar bebas, dimana pihak yang satu menghantam pihak lainnya dengan tujuan agar pihak lain bangkrut dan tersingkir, dan kemudian si pemenang bisa melakukan monopoli. Secara ringkas dapatlah dikatakan, tradisi politik yang dibangun diantara mereka adalah tradisi politik dalam kerangka borjuistik.
Artinya pula, orang-orang kiri yang mendukung Jokowi dan Prabowo adalah orang-orang yang telah terjebak dalam permainan ala borjuistik ini..!!
Ditulis Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono
sumber:
https://www.facebook.com/notes/ismantoro-dwi-yuwono/pilih-jokowi-atau-prabowo-pilih-bangun-partai-buruh-independen/10154209250045503
Blogger Comment
Facebook Comment