Sebelum menyaksikan pemutaran film di Panggung Philosophia Seminari Abdiel, film yang menyajikan kisah heroik dari seorang pastor Elsavador, Uskup Agung Oscar Romero, saya berdiskusi dengan beberapa pendeta berhaluan Marxis mengenai negara liberal – yakni konsep negara dalam pemikiran liberalisme – dan pemilu 2014.
Poin penting yang tertangkap dari diskusi tersebut adalah bahwa pemilu yang akan digelar dalam beberapa waktu ke depan merupakan “pesta” demokrasinya kelas borjuis dalam batasan negara liberal; sebuah “pesta” mahal untuk mengukuhkan kembali kekuatan dan kekuasaan borjuasi di atas kelas proletar.
Diskusi di atas, tentu, bukan sekedar diskusi yang mengurai bacaan-bacaan Marxis klasik sebagai alat analisa untuk memahami realitas kekinian. Lebih dari itu. Ini sebuah usaha Marxis untuk menemukan penjelasan teoritik apakah kaum Marxis akan terlibat di dalam “pesta” mewah tersebut atau tidak.
Untuk memahami watak dari pemilu borjuasi dalam batasan negara liberal perlu sekali menelusuri asal-usul lahirnya negara liberal. Konsepsi negara liberal, secara historis, berakar dari perenungan beberapa pemikir besar yang eksis di tahun 1700-an; setidaknya dari tiga pemikir besar, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Tiga pemikir tersebut memberikan penegasan teoritik mengenai negara, bahwa negara merupakan representasi dari kolektivitas sosial yang berdiri di atas kepentingan kelas-kelas.
Hobbes, sebagai pendahulu Locke dan Rousseau, menolak kekuasaan teokratik. Bagi Hobbes, kekuasaan tidak bersumber dari Tuhan, tetapi dari masyarakat. Dan masyarakat, yang terdiri dari individu-individu, berhak untuk memperoleh ruang privat; memiliki hak untuk mempertahankan diri [termasuk dalam hal kepemilikan]. Namun Hobbes tidak mengizinkan manusia hidup secara bebas di dalam ruang-ruang privat. Karena pada hakikatnya sifat manusia adalah pemburu kekuasaan, dan yang akan menyebabkan terjadinya konflik-konflik dan kekacauan. Maka, bagi Hobbes, terbentuknya negara merupakan keniscayaan; negara yang memiliki kedaulatan penuh dalam semangat perjanjian bersama; sebuah institusi sosial yang berperan mendamaikan konflik-konflik dan kepentingan-kepentingan—sebagai tempat perlindungan.[1]
Pandangan Hobbes tentang negara diteruskan oleh Locke dalam perspektum yang lebih maju. Locke berpendapat bahwa, secara alamiah, manusia bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan hak miliknya dengan tanpa tergantung dari kehendak orang lain. Akan tetapi, untuk keselarasan pendayagunaan kekuatan-kekuatan, masyarakat perlu menyerahkan kekuasaannya pada negara. Negara menurut Locke, bukanlah negara absolut—sebagaimana menurut Hobbes. Namun negara tetap memiliki otoritas yang sangat besar.[2] Dan otoritas negara yang sangat besar tersebut, dalam konsepsi Locke, dengan corak kapitalistiknya, bertujuan untuk mengatur dan menjaga properti.[3]
Konsepsi paling progresif mengenai negara liberal berakhir di pemikiran Rousseau—filsuf yang mengilhami Revolusi Prancis. Namun, meskipun paling progresif, pemikiran Rousseau tetap memiliki substansi yang sama dengan para pendahulunya, yakni mendasarkan konsepsinya pada persoalan kepemilikan pribadi.
Di dalam The Social Contract Rousseau memang bersikap anti dominasi—dominasi kepemilikan oleh kaum kaya. Tetapi pada akhirnya, konsepsinya tentang peran negara, memberikan legitimasi pada negara: negara adalah penjamin kebebasan dan keadilan—[dalam hal kepemilikan pribadi].
Each member of the community gives himself to it, at the moment of its foundation, just as he is, with all the resources at his command, including the goods he possesses … For the State, in relation to its members, is master of all their goods by the social contract, which, within the State, is the basis of all rights; but, in relation to other powers, it is so only by the right of the first occupier, which it holds from its members.[4]
Konsepsi ideal dari beberapa pemikir di atas mengenai negara liberal jelas sekali mencerminkan kepentingan kelas borjuis agar praktek akumulasi modalnya terlindungi. Dengan demikian, eksistensi “ideal” dari negara liberal ini mendapatkan kritik tajam dari Marxisme; negara liberal tidak benar-benar menciptakan keadilan di dalam kehidupan masyarakat; negara liberal adalah “Penjaga Malam” yang menjaga hak milik borjuasi. Dan konstruksi negara seperti ini, selanjutnya, merupakan lahan subur bagi perkembangan kapitalisme dengan karakternya yang eksploitatif. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa keberadaan negara hari ini, sebagai tempat pijak bagi kapitalisme, adalah negara yang melindungi dan menjaga hak milik borjuasi; negara yang mendukung praktek eksploitasi dari kapitalisme.
Dari sini kaum Marxis memposisikan diri sebagai kritikus yang imanen di dalam struktur negara liberal dan kapitalisme. Kritik Marxis terhadap eksistensi negara liberal bisa kita lihat pada tulisan-tulisan Marx di dalam Manuskrip 1844 dan Manuskrip 1845-1847 (dalam Ideologi Jerman);pada tulisan Engels di dalam The Origin of the Family, Private Property and the State; dan pada tulisan Lenin di dalam Negara dan Revolusi—yang semuanya menegaskan bahwa negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain.
Di dalam Ideologi Jerman, secara eksplisit Marx mengatakan bahwa ide-ide kelas penguasa dari setiap jaman adalah ide-ide yang berkuasa [dan menegaskan bahwa posisi negara liberal adalah sebagai alat bagi kelas borjuis].[5] Selanjutnya Engels memberi penegasan yang lebih definitif, di dalam The Origin of the Family, Private Property and the State. Engels mengatakan bahwa negara muncul sebagai kebutuhan untuk menjaga antagonisme kelas-kelas, di dalam pertarungan kelas-kelas, yang pada akhirnya menjaga kekuatan kelas yang kuat secara ekonomi sebagai alat untuk mengeksploitasi kelas tertindas.[6] Dan Lenin, di dalam Negara dan Revolusi, dengan mengutip dari Marx dan Engels, menegaskan sekali lagi, bahwa negara adalah ciptaan "tata tertib" yang melegalkan dan mengekalkan penindasan dengan memoderasikan bentrokan antar kelas.
Penjelasan di atas, yang merupakan kritik Marxis terhadap realitas negara liberal borjuis, sudah cukup untuk mengambil kesimpulan politik mengenai watak pemilu di dalam batasan negara liberal borjuis yang akan digelar dalam beberapa hari mendatang, bahwa pemilu tersebut adalah permainannya kaum borjuis yang melibatkan seluruh rakyat tanpa hak apapun: rakyat tidak memiliki hak recall, tidak memiliki hak untuk mengiliminasi, dan tidak ada referendum untuk tetap mendudukkan atau menurunkan posisi para penguasa.
Kemungkinan teoritik yang lain juga tidak menegaskan potensi dari kerja politik penguasa menuju ke arah yang pro terhadap rakyat tertindas—bahkan terhadap rakyat secara keseluruhan. Penguasa baru akan tetap menjadi “Penjaga Malam” bagi pemilik kapital. Ruang-ruang ekonomik rakyat kecil tetap akan digusur dengan alasan untuk pembangunan infrastruktur demi membangun iklim investasi untuk kemakmuran bersama. Tugiman tetap akan menjadi Si Tugiman; Paimo akan tetap menjadi buruh pabrik dengan gaji kecil; dan Kang Kawuk masih tetap meratapi nasib buruknya di samping truk sampah.
Lalu apa sikap kaum Marxis terhadap pemilu mendatang? Sikap politik kaum Marxis dimulai dari karakter negara borjuis yang sudah secara singkat dikupas di atas dan tugas kita untuk mengeksposnya di mata rakyat pekerja lewat propaganda, menghancurkan segala ilusi yang ada pada negara dan parlemen liberal. Tujuannya akhirnya adalah menghapusnya secara revolusioner dan membangun negara baru di tempatnya, negara buruh. Bahkan ketika kita menggunakan parlemen borjuasi lewat partai buruh – seperti partai-partai buruh massa yang ada di Inggris, Brazil, Prancis, Belgia, Afrika Selatan, dll. – tujuan kita tetaplah untuk mengekspos karakter kelas dari negara liberal tersebut dan membongkar setiap prasangka borjuis-demokratik yang ada di dalam pikiran setiap buruh. Inilah yang seharusnya menjadi esensi dari “melawan pemilu”, yang bukan hanya penolakan ultra-kiri dan anarkistis terhadap pemilu borjuasi.
Melawan pemilu bukan berarti “golput” pasif, dan “golput” harus dipahami dengan tidak sederhana, namun harus dipahami dalam perspektif yang progresif. “Golput” dalam arti “melawan pemilu” merupakan sikap antitesa terhadap rejim borjuis: melawan kelas borjuis sebagai kelas penghisap, melawan negara liberal borjuis sebagai negara penindas, dan melawan ilusi-ilusi borjuasi; melawan “The Powers”. Golput dalam situasi hari ini di Indonesia mengekspresikan kebutuhan untuk membangun organisasi politik massa buruh.
Diskursus “melawan pemilu” harus terus dipropagandakan, agar menjadi diskursus publik; menjadi sikap politik publik luas untuk tidak memilih; menjadi medium dan momentum untuk mengkonsolidasi seluruh elemen tertindas secara masif.
Kamerad Pandu, salah seorang pengajar Seminari, memberikan ilustrasi yang menarik tentang pemilu borjuis. Menurutnya pemilu borjuis tak ubahnya seperti sebuah permainan absurd; permainan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat sebagai penonton untuk bertepuk-tangan. Namun usai permainan digelar, masyarakat penonton pulang dengan membawa lelah dan penyesalan, karena tidak mendapatkan apa-apa dari acara tersebut. Mereka hanya mendapatkan kegembiraan sesaat—kegembiraan artifisial. Selanjutnya mereka akan tetap menjalani hidup seperti semula: menjadi buruh, pemulung, tukang parkir, tukang angkut, tukang pijet, sopir, budak si tuan, dan sebagainya.
Ya, pemilu borjuis sebagai bagian dari negara borjuis, pada analisis terakhir, hanyalah satu dari berbagai aparatus penindasan terhadap kaum buruh dan rakyat tertindas. Sebaik dan sepopuler apapun orang-orang yang sedang maju ke tampuk kekuasaan, di dalam batasan negara liberal borjuis, tetap saja akan menjadi “serigala” bagi yang lain. Tak ada kata yang tepat dalam menyambut “pesta demokrasi” ini kecuali dengan kalimat “Lawan Pemilu Borjuis dan Bangun Partai Kelas Buruh!”
------------------------------------------------------------
[1] Hobbes, Leviathan: “Reputation of power, is Power; because it draweth with it the adhaerance of those that need protection.”
[2] Locke, The Second Treatise of Civil Government: “A state also of equality, wherein all the power and jurisdiction is reciprocal, no one having more than another; there being nothing more evident, than that creatures of the same species and rank, promiscuously born to all the same advantages of nature, and the use of the same faculties, should also be equal one amongst another without subordination or subjection, unless the lord and master of them all should, by any manifest declaration of his will, set one above another, and confer on him, by an evident and clear appointment, an undoubted right to dominion and sovereignty.”
[3]Ibid: “Political power, then … for the regulating and preserving of property….”
[4] Rousseau, The Social Contract, dalam bab “Real Property”.
[5]The German Ideology: “The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force.”
[6] Engels, Origins of the Family, Private Property, and the State (dalam bab “IX. Barbarism and Civilization): “As the state arose from the need to keep class antagonisms in check, but also arose in the thick of the fight between the classes, it is normally the state of the most powerful, economically ruling class, which by its means becomes also the politically ruling class, and so acquires new means of holding down and exploiting the oppressed class.”
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.