PEMILU legislatif dan presidensial mendatang telah menjadi lebih menarik dengan resminya keikutsertaan Jokowi sebagai salah satu kandidat presiden. Selama berbulan-bulan rumor dan gosip telah simpang siur mengenai apakah Jokowi akan ikut pemilu atau tidak. Sekarang setelah semuanya menjadi jelas bahwa Jokowi akan ikut pemilu di bawah patronase Megawati dan partainya PDI-P, sejumput harapan pun muncul di antara rakyat pekerja yang mendambakan jalan keluar dari kemiskinan tanpa-akhir mereka, di antara kaum demokrat liberal yang muak dengan politik lama yang korup tetapi mereka sendiri impoten dan tidak mampu melakukan apapun, dan selapisan Kiri Indonesia yang telah lama frustrasi karena kekecilan dan keterisolasian mereka.
Selama setahun terakhir, survei demi survei telah menempatkan Jokowi sebagai calon presiden paling populer, jauh melebihi kandidat-kandidat lain. Di satu survei, dia mendapatkan 35% dukungan sementara rival terdekatnya, Prabowo, hanya mampu meraih 10% dukungan. Tokoh-tokoh lainnya yang lebih dikenal, seperti Bakrie, Wiranto, Jusuf Kalla dan Megawati, harus puas dengan dukungan yang kecil. Megawati sendiri harus menerima fakta memalukan bahwa dia tidak lagi dilihat sebagai ratu adilnya wong cilik. Semua kapital politik yang dia dan partainya dapati dari periode Reformasi 1998 telah digadaikan untuk membayar setiap kebijakan pro-kapital yang mereka telurkan dan bela, setiap rupiah dan posisi haram yang didapati oleh para elit PDI-P dan setiap skandal politik yang melibatkan mereka. Hari ini PDI-P menemui diri mereka harus meminjam kapital politik dari Jokowi, dan mereka akan terkejut ketika kapital politik pinjaman ini ternyata tidak sebesar yang mereka kira.
Jokowi telah menjadi sebuah fenomena politik selama 2 tahun terakhir di Indonesia. Dia menangkap imajinasi publik luas pada 2012 ketika dia dan pasangannya Ahok ikut pilgub Jakarta dan menang. Gayanya yang sederhana dan blak-blakan, dibandingkan dengan para elit politik hari ini yang suka berkelit-kelit, tak acuh, dan tidak jujur, mendapatkan tempat di hati massa rakyat. Pada kenyataannya, rakyat melihat di dalam Jokowi semua kualitas yang mereka ingin lihat dari seorang pemimpin, terlepas dia sungguh-sungguh memilikinya atau tidak. Sebagai figur politik yang relatif baru, dia dilihat sebagai seorang yang datang bukan dari koridor kekuasaan dan bersih dari politik kotor yang memenuhi setiap sudut pemerintahan ini.
Batalion aktif utama Jokowi dan Ahok selama kampanye mereka datang terutama dari lapisan kelas menengah Jakarta – yakni 1) lapisan kelas pekerja yang lebih mampu, yang meliputi para profesional kerah putih; 2) para pedagang kecil – serta sebagian dari kelas kapitalis menengah dan besar. Lapisan-lapisan yang lebih mampu ini sudah muak dan letih dengan ketidakkompetenan dari para pejabat yang ada untuk menyelesaikan masalah-masalah yang merudung Jakarta. Mereka menginginkan Jakarta dengan standar internasional, Jakarta Baru, yang bebas dari macet supaya mobil mereka bisa meluncur mulus, bebas dari orang miskin, pedagang kaki lima dan pengemis yang mengganggu pemandangan dan kenyamanan mereka, dan bebas dari sampah yang mengotori sepatu mereka. Mereka menginginkan Jakarta yang metropolitan yang sesuai dengan tingkat kehidupan mereka yang tinggi. Survei demografi pemilih yang dilakukan oleh LSI dan Tempa menunjukkan bahwa mereka yang punya ijazah universitas, pendapatan lebih tinggi, rumah lebih besar, dan punya kendaraan mobil cenderung memilih Jokowi-Ahok. Sementara rakyat yang lebih miskin kurang lebih terbagi dua dalam dukungannya terhadap Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, dan di sejumlah kasus bahkan lebih cenderung mendukung Foke-Nara (Pilkada DKI Jakarta, Protes Kelas Menengah; Temuan Survei 2-7 September 2012).
Walaupun ada euforia di sekitar kampanye Jokowi-Ahok, tidak ada perubahan yang signifikan dalam tingkat golput dibandingkan dengan pilgub sebelumnya. Angkanya masih sekitar 35%, yang menunjukkan bahwa bahkan karisma Jokowi dan fokus media padanya masih belum bisa menghancurkan sinisme politik rakyat pekerja.
Di belakang Jokowi juga ada dukungan rakyat miskin, bukan hanya yang di Jakarta tetapi juga di luar Jakarta, yang melihatnya sebagai seorang yang dapat menyembuhkan bangsa yang sakit ini. Mereka berbagi harapan dengan lapisan kelas menengah yang disebut di atas, walaupun untuk alasan yang berbeda. Cukup penting untuk dicatat bahwa program-programnya bersifat reformis dan administratif, dan tidak berbeda secara fundamental dengan kandidat-kandidat gubernur Jakarta lainnya: membersihkan pemerintahan Jakarta dari korupsi dan birokrasi, menyelesaikan masalah kemacetan dan banjir, membangun lebih banyak perumahan dan transportasi publik, dan merapikan Jakarta dari kesemrawutan PKL. Program-programnya bahkan tidak mengandung tuntutan-tuntutan reformis yang dapat mengancam kepentingan kapitalis secara umum, seperti peningkatan pajak terhadap orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar. Inilah mengapa masih kita temui respon positif secara umum dari kelas penguasa – kecenderungan lapisan-lapisan masyarakat yang lebih kaya untuk mendukungnya dan melejitnya bursa saham Jakarta ketika diumumkan dia akan ikut dalam pilpres mendatang. Kebencian dari cukup banyak politisi dan pejabat Indonesia terhadap Jokowi tidak boleh diartikan bahwa Jokowi adalah figur yang ditentang oleh kelas penguasa. Dia memprovokasi kebencian dari banyak politisi dan pejabat karena dia mengkonsentrasikan -- dan menjadi simbol dari -- kegeraman rakyat luas yang sudah tak terbendung lagi terhadap ketidakkompetenan, kekerdilan, dan kesombongan mereka yang tidak ada duanya itu.
Sekolah Jokowi
Pada pilkada Jakarta yang lalu, Militan menulis ini mengenai Jokowi:
“Di pihak lain, terjadi euforia di kalangan pendukung Jokowi-Ahok. Kaum kelas menengah yang sudah lelah dengan korupnya partai penguasa dan politisi-politisinya kini menaruh harapan yang begitu besar kepada Jokowi-Ahok. Dengan sukarela mereka menjadi penyebar “Injil” atau kabar baik tentang kedatangan Juruselamat Jokowi-Ahok ... Tidak berlebihan kiranya bila kita jadi teringat pada harapan rakyat Amerika – dan bahkan dunia – terhadap Obama dalam pemilu presidensial AS. Dengan ingatan ini kita pun segera menyadari bahwa kemudian rakyat Amerika toh kecewa ketika menyadari harapan mereka layu. Retorika perubahan Obama menemui kontradiksinya, karena ia menjanjikan perubahan untuk rakyat pekerja sembari menghamba kepada kepentingan modal dan kapitalisme. Segera setelah memangku jabatan, ia mengucurkan triliunan dolar untuk menyelamatkan kaum kapitalis dari krisis finansial dan membuat rakyat pekerja membayar untuk krisis kapitalisme ini. Hancurnya harapan dan ilusi terhadap Obama dan kaum Demokrat ini segera termanifestasikan di dalam pemilu legislatif mid-term 2010 di mana kaum Republikan meraih kemenangan cukup besar.” (Pandu Jakasurya dan Ted Sprague. Pilkada DKI Jakarta: Sikap Apa yang Seharusnya Diambil Kaum Sosialis?)
Enam tahun setelah Obama-mania tidak ada lagi yang berbicara mengenai “Harapan” di AS. Obama dan pesan “Hope” dan “Change”nya telah terdiskreditkan, dan begitu juga kaum Kiri yang berkampanye mendukung Obama. Antara pemilihan presiden 2008 dan 2012 Obama kehilangan 5 juta suara, dan pupus sudah antusiasme akar-rumput di antara pemilihnya. Rakyat pekerja AS terpaksa memilih Obama lagi pada 2012 karena tidak ada pilihan yang lebih baik lagi, dan bukan karena pengharapan akan masa depan yang lebih cerah di bawah Obama. Kaum muda dan buruh AS harus melalui sekolah Obama yang menyakitkan itu. Dengan cara yang sama, rakyat Indonesia juga harus melalui sekolah Jokowi. Dalam kurang dari 2 tahun saja mereka sudah mulai bisa melihat sejumlah keterbatasan dari program-program Jokowi.
Dalam kampanyenya, Jokowi dan Ahok menjanjikan pelayanan kesehatan gratis untuk 4,7 juta rakyat di Jakarta. Akan tetapi pertanyaan mengenai bagaimana program ini akan dibiayai tidak pernah disinggung secara serius. Pada akhirnya masalah penyediaan pelayanan kesehatan untuk rakyat – dan terutama rakyat miskin yang tidak dapat membayarnya – bukanlah masalah administrasi atau manajemen pemerintahan yang lebih baik, atau masalah ada tidaknya “political will” atau kemauan politik seperti yang sering diperbincangkan oleh para pakar politik dan sosial. Ini adalah masalah kelas, seperti halnya semua program sosial lainnya. Ini adalah masalah siapa yang harus membayarnya: rakyat pekerja atau kapitalis.
Ketika rakyat miskin sudah tidak bisa lagi dipajak karena memang tidak ada sesuatu pun yang bisa dipajak darinya, maka anggaran sosial ini harus didapatkan dari pajak kelas-kelas atas (kelas menengah ke atas dan kapitalis). Kelas menengah kita, yakni terutama lapisan kelas pekerja yang kondisinya relatif lebih baik secara ekonomi, tidak suka dipajak. Posisi ekonomi mereka pun sebenarnya sangat rentan, dan hanya menunggu waktu saja sebelum mereka sadar bahwa mereka adalah bagian dari kelas proletar. Sementara kapitalis kita, terutama pada periode krisis ini, sangat alergi dipajak. Ketika ekonomi sudah sangat lesuh seperti hari ini, hal terakhir yang mereka inginkan adalah pajak dan berbagai peraturan yang akan memotong kue pendapatan mereka. Sebaliknya yang mereka inginkan adalah stimulus dan keringanan pajak. Oleh karenanya masalah pembiayaan program sosial menjadi lebih serius ketika kapitalisme hari ini sedang dalam krisis di seluruh dunia. Di mana-mana pemerintahan kapitalis menderita defisit anggaran besar yang harus mereka seimbangkan, dan ini mereka lakukan dengan pemotongan subsidi-subsidi sosial untuk rakyat pekerja.
Oleh karenanya, tidaklah mengejutkan kalau program Kartu Jakarta Sehat menemui banyak masalah: rumah sakit yang menolak berpartisipasi karena merugi, pasien yang ditolak, fasilitas dan staf kesehatan yang tidak memadai, antrean yang panjang, dsb. Dalam kata lain, tidak ada sumber daya yang cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas untuk semua orang. Untuk mengatasi masalah kurangnya anggaran ini, awalnya Jokowi dan Ahok mengusulkan meningkatkan premi KJS, dari Rp 23.000 menjadi Rp 50.000. Mereka segera membatalkan niat ini karena mereka tahu betul ini akan ditentang rakyat miskin. Tahun ini, untuk membiayai program-program ambisius mereka, pajak bumi dan bangunan dinaikkan antara 120% hingga 240%. Kebijakan ini telah menimbulkan keresahan di antara lapisan kelas menengah yang sebelumnya adalah pendukung fanatik Jokowi. Ketika mereka dengan begitu kreatif menjajakan Jokowi dan Ahok, tidak ada yang pernah memberitahu mereka kalau pajak mereka akan dinaikkan. Tidak bisa dipungkiri kalau ini akan memberikan efek negatif terhadap dukungan mereka untuk Jokowi dan Ahok ke depannya.
Penataan PKL juga adalah masalah mendesak yang diharapkan oleh banyak rakyat Jakarta dapat diselesaikan oleh Jokowi. Jokowi meraih hati massa dengan cepat ketika dia menggunakan pendekatan yang manusiawi dalam menghadapi masalah PKL: dia melucuti tameng dan pentungan para petugas Satpol PP yang terkenal suka main pukul ketika menertibkan para PKL. Walhasil, usaha-usaha awalnya untuk menertibkan PKL menemui keberhasilan. Para PKL dengan sukarela menerima ditertibkan karena mereka mempercayai janji-janji Jokowi kalau mereka akan ditampung di tempat baru dan mereka juga akan mendapatkan pembinaan. Akan tetapi, tidak lama kemudian para PKL kembali menduduki trotoar dan badan jalan. PKL adalah masalah sosial yang tidak bisa diselesaikan secara administratif dan teknokratis. Selama masih ada kemiskinan maka di setiap sudut Jakarta akan ada selalu pedagang kaki lima yang dengan gerobak mereka berusaha mengais kehidupan. Belakangan ini sudah mulai terjadi kericuhan antara petugas Satpol PP dan para PKL yang mulai menolak dipindahkan. Jokowi dan Ahok sudah mulai resah dengan ketidakberhasilan program penataan PKL mereka. “Tangkap, ambil barangnya, sita!” ancam Ahok. Andai saja kata-kata ini ditujukan kepada para koruptor dan kapitalis besar di Indonesia. Tetapi tidak, ini ditujukan kepada para pedagang kecil di jalanan. Satpol PP yang tanpa tameng dan pentungannya adalah seperti macan tanpa taring yang tidak akan mampu mengimplementasikan kebijakan “tangkap dan sita” ini, dan aparatus negara ini cepat atau lambat harus menggunakan kekerasan untuk menghadapi para PKL yang melawan.
Lebih dari semua ini, yang cukup menentukan dalam mengekspos keterbatasan dari Jokowi dan Ahok adalah sikap dan tindakan mereka selama gelombang pemogokan buruh 2 tahun terakhir. Menanggapi pemogokan nasional pada 3 Oktober 2012, Jokowi hanya mengatakan: “Semuanya yang baik untuk masyarakat, saya setuju-setuju saja.” Tidak jelas apa yang dikatakannya, mendukung atau tidak mendukung mogok nasional dan tiga tuntutannya. Dia tidak memberikan penilaian apakah sistem outsourcing itu baik atau buruk, dan apakah upah minimum hari ini layak atau tidak. Pemimpin yang merakyat ini mencoba memposisikan dirinya “netral” ketika ada gerakan rakyat pekerja yang luas, yang mandiri dan terorganisir. Sementara di dalam masyarakat kelas posisi “netral” berarti berdiri dengan yang berkuasa. Jadi, ketika masalahnya adalah masalah kelas yang konkret, posisi Jokowi dan Ahok menjadi jelas, yakni berdiri di sisi kekuatan modal. Dia menandatangani penangguhan upah minimum untuk ratusan perusahaan di Jakarta, yang secara efektif membatalkan kemenangan kaum buruh pada Getok Monas 2012. Lalu pada pemogokan nasional jilid II pada Oktober-November 2013, dia tidak mengindahkan tuntutan buruh dan menyetujui ketetapan upah murah di DKI. Alasannya: tuntutan buruh untuk upah yang tinggi tidaklah rasional, yakni tidak rasional dari kacamata kapitalis karena akan mencegah profit besar pengusaha. Kita bisa lihat bahwa untuk hal-hal yang fundamental keberpihakan Jokowi sangatlah jelas.
Pendeknya, Jokowi, layaknya seorang reformis borjuis, menjanjikan segalanya kepada semua orang. Dia menjanjikan kapitalisme yang akan berfungsi untuk semua lapisan masyarakat, yakni kapitalisme tanpa kontradiksi.
Judul asli: Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita
Sumber : militanindonesia.org
Bersambung ke:
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.