BREAK
Loading...

Dari Pedagogis ke Andragogis, Memanusiakan Manusia

Pendidikan
MFILES - Pedagogis adalah ilmu atau seni mengajar anak-anak, proses pembelajaran terpusat pada guru atau pengajar. Andragogis adalah ilmu atau seni mengajar orang dewasa, proses pembelajaran terpusat pada peserta didik.

Pembelajaran yang bercorak pedagogik hanya akan menghasilkan budaya bisu (the cultural of silence). Peserta didik hanya diposisikan sebagai obyek yang harus menuruti kemauan guru. Dengan pembelajaran yang bercorak andragogik maka peserta didik menjadi mitra belajar bagi guru itu sendiri. Guru dan peserta didik menjadi sama-sama belajar, ada keharmonisan dan kehangatan dalam belajar karena keduanya merasa di”manusiakan” . Pembelajaran andragogik juga menekankan pada problem solver sehingga teori yang diajarkan akan menjadi pisau analisis terhadap realitas yang ada, bukannya terbatas hanya sebagai alat ukur untuk mengetahui apakah kita tahu jawaban dari soal yang diuji diakhir waktu belajar.

Dari Pedagogis ke Andragogis
Perintis methode Andragogis adalah John Dewey yang mempraktekkannya di University of Chicago tahun 1896. Kemudian dikembangkan Edward C.Linderman via buku ” The Meaning of Adult Education ” tahun 1926, Martha Anderson melalui ” Education Through Experience” tahun 1927. Selanjutnya methode ini disempurnakan oleh Malcolm Knowles ( 1913-1997).

Pada tahun 1970 Knowles membedakan cara mengajar kepada anak yang disebut pedagogi dengan cara mengajar kepada orang dewasa yang dinamakan andragogi. Knowles berkeyakinan bahwa cara orang dewasa belajar sangat berbeda dengan cara anak belajar. Menurut Knowles, pedagogi berasal dari istilah Yunani paid (anak) dan agogus (membimbing) ; sementara andragogi dari istilah Yunani aner, andr (orang dewasa) dan agogus( pembimbing). Pedagogy means specifically “the art and science of teaching children” while andragogy “is the art and science of helping adults learn. Dalam pemahaman Knowles, untuk membina peserta didik dewasa cara mengajar untuk anak tidak berlaku lagi, atau haruslah ditinggalkan.

Perbedaan pokok antara Pedagogis dan Andragogis diuraikan Knowles dalam bukunya "
The Adult Learner ”, 1993 sebagai berikut :

1. Konsep diri peserta didik
• Pedagogis : Pribadi yang bergantung kepada gurunya
• Andragogis : Semakin mengarahkan diri (self-directing)
 

2. Pengalaman peserta didik
• Pedagogis : Masih harus dibentuk daripada digunakan sebagai sumber belajar
• Andragogis : Sumber yang kaya untuk belajar bagi diri sendiri dan orang lain
 

3. Kesiapan belajar peserta didik
• Pedagogis : Seragam (uniform) sesuai tingkat usia dan kurikulum
• Andragogis : Berkembang dari tugas hidup & masalah
 

4. Oriensi dalam belajar
• Pedagogis : Orientasi bahan ajar (subject-centered)
• Andragogis : Orientasi tugas dan masalah (task or problem centered)
 

5. Motivasi belajar
• Pedagogis : Dengan pujian, hadiah, dan hukuman
• Andragogis : Oleh dorongan dari dalam diri sendiri (internal incentives, curiosity)

Pembelajaran orang dewasa menurut Knowles dapat dialihkan dari pedagogis ke andragogis dengan berpedoman pada asumsi :
 

1. Orang dewasa perlu dibina untuk mengalami perubahan dari kebergantungan kepada pengajar kepada kemandirian dalam belajar. Orang dewasa mampu mengarahkan dirinya mempelajari sesuai kebutuhannya.
 

2. Pengalaman orang dewasa dapat dijadikan sebagai sumber di dalam kegiatan belajar untuk memperkaya dirinya dan sesamanya.
 

3. Kesiapan belajar orang dewasa bertumbuh dan berkembang terkait dengan tugas, tanggung jawab dan masalah kehidupannya.
 

4. Orientasi belajar orang dewasa harus diarahkan dari berpusat pada bahan pengajaran kepada pemecahan-pemecahan masalah.
 

5. Motivasi belajar orang dewasa harus diarahkan dari pemberian pujian dan hukuman kepada dorongan dari dalam diri sendiri serta karena rasa ingin tahu.

Selain itu Knowles juga melihat perbedaan proses pembelajaran orang dewasa dengan anak-anak dalam tujuh aspek utama, yaitu suasana, perencanaan, diagnosa kebutuhan, penentuan tujuan belajar, rumusan rencana belajar, kegiatan belajar dan evaluasinya.

Perbedaan lain yang saling kontradiksi adalah:


1. Suasana
• Pedagogis : Tegang, rendah dalam mempercayai, formal, dingin, kaku, lambat, orientasi otoritas guru, kompetitif dan sarat penilaian
• Andragogis : Santai, mempercayai, saling menghargai, informal, hangat, kerjasama, mendukung
 

2. Perencanaan
• Pedagogis : Utamanya oleh guru
• Andragogis : Kerjasama peserta didik dengan fasilitator
 

3. Diagnosa kebutuhan
• Pedagogis : Utamanya oleh guru
• Andragogis : Bersama-sama: pengajar dan peserta didik
 

4. Penetapan tujuan
• Pedagogis : Utamanya oleh guru
• Andragogis : Dengan kerjasama dan perundingan
 

5. Desain rencana belajar
• Pedagogis : Rencana bahan ajar oleh guru, Penuntun belajar (course syllabus) dibuat guru, Sekuens logis (logical sequence), pembelajaran oleh guru.
• Andragogis : Perjanjian belajar(learning contracts), Projek belajar(learning projects), Urutan belajar atas dasar kesiapan(sequenced by readiness)
 

6. Kegiatan belajar
• Pedagogis : Tehnik penyajian(transmitt al techniques), Tugas bacaan(assigned readings)
• Andragogis : Projek untuk penelitian(inquiry projects), Projek untuk dipelajari(learning projects), Tehnik pengalaman(experien tial techniques)
 

7. Evaluasi belajar
• Pedagogis : Oleh guru, Berpedoman pada norma(on a curve), Pemberian angka
• Andragogis : Oleh peserta didik berdasarkan evidensi yang dipelajari oleh rekan-rekan, fasiltator, ahli(by learner-collected evidence validated by peers, facilitators, experts), Referensinya berdasarkan criteria(criterion- referenced)

Selanjutnya saya bagikan curah pendapat dari seorang pensiunan guru yang mengkritik sekolah:

"Disinilah Saya Berdiri"Alkisah, ada seorang pemuda yang menjadi murid Zen yang paling tekun. Ia menghampiri sang Guru dan bertanya kepadanya, “jika aku bekerja dengan sangat keras dan rajin, berapa lama yang kubutuhkan untuk mencapai Zen?” Sang Guru berpikir, lalu menjawab, “sepuluh tahun.” Si murid kemudian berkata, “tapi, jika aku bekerja sangat, sangat keras dan benar – benar mengupayakan diriku untuk belajar dengan cepat, kira – kira berapa lama?” Jawab Sang Guru, “Dua puluh tahun.” “Tapi, jika aku benar – benar bekerja untuk hal itu, berapa lama?” Tanya murid. “Tiga puluh tahun,” jawab Sang Guru. “Saya tak mengerti,” jawab si murid yang merasa kecewa. “Setiap kali saya berkata saya akan berusaha lebih keras, Anda malah menjawab itu akan lebih memakan waktu saya. Mengapa demikian?” Respon sang Guru, “ketika kamu menaruh satu matamu untuk satu tujuan, kamu hanya memiliki satu mata yang tertuju pada jalan yang kamu tempuh.”

Dilema yang saya hadapi dalam mengikuti sistem pendidikan Amerika Serikat adalah, bahwa kita terlalu terfokus dalam satu tujuan, entah itu lulus suatu tes, ataupun menyelesaikan sekolah dengan nilai terbaik. Namun, dalam prosesnya, kita tidak pernah benar – benar belajar. Kita hanya melakukan apapun demi mencapai tujuan kita.

Beberapa dari kita mungkin berpikir, “jika kamu lulus suatu ujian, atau menjadi valedictorian (istilah untuk pembaca pidato perpisahan di sekolah, biasanya merupakan siswa/siswi dengan nilai terbaik), tidakkah kamu mempelajari sesuatu dari sana?” Yah, mungkin kamu telah belajar sesuatu, tetapi tidak semuanya. Mungkin kamu hanya belajar menghapalkan nama, tempat, dan tanggal, hanya untuk terlupakan tak lama kemudian, karena kamu menghapus semua isi otakmu hanya untuk mempersiapkan ujian berikutnya. Sekolah tidak menjadi lembaga yang kita harapkan ketika kita menjajaki tempat yang bersangkutan. Kini, sekolah menjelma menjadi suatu tempat dimana kebanyakan murid memutuskan bahwa tujuan mereka berada di tempat tersebut adalah untuk keluar dari sana secepatnya.

Sekarang saya telah mencapai tujuan yang saya sebutkan tadi. Saya telah lulus. Seharusnya saya melihat kelulusan ini sebagai suatu pengalaman positif, terutama oleh sebab saya menjadi yang terbaik dalam angkatan saya. Tetapi, sekedar mengingatkan kembali, saya tidak bilang bahwa saya lebih pintar dari teman – teman saya. Saya menunjukkan bahwa saya hanya menjadi yang terbaik dalam mengerjakan apa yang memang ditujukan kepada saya. Disinilah saya berdiri, dan sudah selayaknya saya bangga. Saya telah menyelesaikan periode indoktrinasi ini. Saya akan meninggalkan sekolah musim gugur ini lalu beranjak ke tahap selanjutnya, seperti yang sudah diharapkan, untuk mendapatkan sebuah dokumen, bukti bahwa saya bisa masuk ke dalam dunia kerja. Tetapi, saya sedang berusaha memperjuangkan kenyataan bahwa saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, petualang – bukan seorang pekerja. Seorang pekerja ialah seseorang yang terjebak dalam rutinitas, diperbudak oleh sistem. Ironisnya, pada saat ini saya telah membuktikan bahwa sayalah budak terbaik. Saya melakukan apa yang menjadi kewajiban saya saat itu. Sewaktu teman – teman duduk di kelas iseng menggambar sebagai bekal menjadi artis yang hebat di kemudian hari, saya duduk di kelas menulis catatan lalu menjadi penempuh ujian yang hebat. Ketika yang lain datang ke kelas tanpa membawa tugas karena mereka sedang membaca tentang apa yang menjadi hobi mereka, saya tak pernah melewatkan satu tugas pun. Selagi yang lainnya menciptakan lagu sambil menulis liriknya, saya memutuskan untuk mengambil tambahan kelas, walaupun mungkin saya tidak memerlukannya. Kemudian saya berpikir, kenapa saya menginginkan posisi ini? Ya, saya telah mencapainya, tetapi apa yang kemudian terjadi? Ketika saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya sukses atau tenggelam selamanya? Saya tidak tahu apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya; saya tidak punya ketertarikan tertentu karena saya melihat setiap mata pelajaran sebagai pekerjaan, saya menjadi yang terunggul di setiap subjek hanya untuk menjadi yang terbaik, bukan untuk belajar. Dan kini saya sungguh ketakutan.

John Taylor Gatto, seorang pensiunan guru sekolah sekaligus aktivis yang mengkritik keras sekolah – sekolah yang bersifat mendiktekan murid, menegaskan, “kita bisa menumbuhkan kualitas terbaik dalam masa muda – keingintahuan, petualangan, kemampuan beradaptasi dengan cepat, dan wawasan yang menakjubkan hanya dengan sedikit lebih fleksibel terhadap waktu, teks, dan ujian, dengan memperkenalkan anak – anak kepada orang – orang yang benar – benar berkompeten, dan memberikan setiap murid pelajaran yang mereka butuhkan untuk mengambil resiko setiap saat. Kenyataannya, kita tidak melakukan itu.” Kita semua dikungkung dalam tembok beton ini. Kita diharapkan (baca: dipaksa) menjadi sama. Kita dilatih untuk mahir tiap kali mengikuti ujian standardisasi. Siapapun yang menyimpang atau melihat dengan kacamata yang berbeda tidak dianggap berguna dalam konteks pendidikan publik, sehingga mereka pun dihina.

Dalam artikelnya di The American Mercury bulan April 1924 yang ditujukan kepada sekolah – sekolah publik, H. L. Mencken meminta sekolah – sekolah tersebut agar tidak mendiktekan anak – anak muda berbagai macam ilmu pengetahuan dan membangun intelijensi mereka dengan cara demkian…. Tidak lebih buruk dari kenyataan. Tujuannya sekedar untuk mengurangi penyerataan individu sebanyak mungkin, melatih dan menciptakan warga yang distandardisasi, menurunkan adanya perbedaan pendapat dan keaslian. Tujuannya di AS adalah demikian.

Sebagai contoh, tidakkah kalian bingung ketika kalian membayangkan seperti apakah “berpikir kritis?” Adakah sesuatu yang bernama “berpikir tidak kritis?” Berpikir adalah memproses informasi untuk membentuk sebuah opini. Tetapi apabila kita tidak kritis dalam memprosesnya, apakah kita benar – benar berpikir? Atau, jika kita menerima suatu opini orang sebagai kenyataan tanpa berpikir panjang? Inilah yang terjadi kepada saya, dan jika salah satu guru Bahasa Inggris kelas sepuluh saya yang sangat inovatif, Donna Bryan, tidak sering memacu saya membuka pikiran sebelum mengadopsi doktrin buku teks, saya bisa hancur. Saya telah dicerahkan sekarang, walaupun pikiran saya tetap kaku. Saya harus melatih diri seraya terus mengingat bagaimana gilanya berada di tempat penuh kemunafikan ini.

Dan kini saya berdiri di dunia yang diarahkan oleh ketakutan, dunia yang menekan keunikkan setiap dari kita, dunia dimana kita hanya bisa merelakan korporatisme (sistem organisasi yang melibatkan masyarakat ke dalam beberapa kelompok korporat yang didasarkan atas solidaritas organik demi kepentingan bersama) dan materialistis belaka merajalela, bila tidak menuntut adanya perubahan. Kita tidak dicerahkan oleh sistem pendidikan yang seharusnya membuat kita mampu menetapkan pekerjaan secara otomatis, untuk pekerjaan yang perlu kita selesaikan, untuk perbudakkan tanpa terpacu untuk pencapaian berarti. Kita tidak memiliki pilihan ketika uang merupakan motivasi kita dalam hidup. Motivasi kita seharusnya merupakan semangat, tetapi hilang ketika kita masuk ke dalam suatu sistem yang mengilusi kita, bukannya menginspirasi.

Kita lebih dari sekedar rak buku bergerak. Kita tidak dikondisikan untuk mengungkapkan fakta yang pernah diajarkan di sekolah tanpa berpikir terlebih dahulu. Kita semua spesial, sama halnya dengan semua manusia yang ada di planet ini, jadi tidakkah kita seharusnya mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari ini, menggunakan pikiran untuk inovasi ketimbang memorisasi, untuk kreativitas ketimbang aktivitas sia – sia, untuk refleksi daripada stagnasi? Kita tidak di sini untuk mendapatkan gelar, kemudian mencari pekerjaan sehingga kita dapat mendapatkan penempatan demi penempatan di berbagai industri yang telah diakui. Masih ada banyak lagi.

Hal yang paling mengecewakan ialah, kebanyakan murid tidak memiliki kesempatan untuk menolak seperti apa yang telah saya lakukan. Berbagai teknik mencuci otak yang sama, diaplikasikan untuk mayoritas siswa demi menciptakan tenaga kerja yang gampang puas diri, untuk bekerja di perusahaan – perusahaan dan pemerintah yang penuh rahasia, dan yang paling buruk adalah, mereka tidak sadar akan itu, tidak sama sekali. Saya tak akan bisa mengembalikan 18 tahun hidup saya walaupun saya kabur ke negara lain dengan sistem pendidikan yang bertujuan lebih untuk mencerahkan ketimbang mengkondisikan. Sebagian dari hidup saya telah berakhir, dan saya ingin memastikan bahwa tidak ada anak – anak lain yang memiliki potensi yang dimatikan oleh kekuasaan yang bersifat mengeksploitasi ataupun mengontrol. Kita adalah manusia, kita adalah para pemikir, pemimpi, petualang, artis, penulis, insinyur. Kita adalah apa yang kita mau – tetapi hanya ketika kita memiliki sistem edukasi yang mendukung kita daripada menumbangkan kita. Sebuah pohon mampu untuk tumbuh hanya jika akarnya diberi fondasi menyehatkan.

Bagi siapapun di luar sana, yang harus bekerja di meja kerja dan kewalahan menghadapi perintah otoriter dari instruktur kalian, jangan berkecil hati. Kalian masih memiliki kesempatan untuk bangkit, bertanya, bersikap kritis, membentuk persepsi kalian sendiri. Aturlah keadaan yang bisa mencerdasan kalian kemudian mengembangkan pikiran kalian, bukannya mengarahkan. Desaklah agar kalian dapat mengikuti suatu kelas tertentu yang menarik untuk kalian. Katakan bahwa alasan, “kamu harus belajar ini untuk ujian” bukan merupakan suatu hal yang baik untukmu. Pendidikan adalah baik jika digunakan dengan baik juga, lebih fokus belajar daripada meraih nilai sempurna.

Untuk kalian yang bekerja dalam sistem terkutuk ini, saya tidak bermaksud untuk menghina kalian, namun lebih kepada memotivasi. Kalian memiliki kemampuan untuk mengubah sistem yang tidak kompeten ini. Saya mengerti bahwa kalian tidak menjadi guru atau tenaga administrasi hanya untuk melihat murid kalian muak akan sekolah. Kalian tidak dapat menerima otoritas dari yang berwenang, yang memberitahu kalian apa yang harus kalian ajar, bagaimana caranya, dan bagaimana kalian dihukum jika kalian tidak melakukannya. Potensi kami telah dipertaruhkan.

Bagi kalian yang akan meninggalkan lembaga ini, jangan lupakan apa yang terjadi selama di kelas ini. JANGAN meninggalkan apa yang mengejar kalian. Kita adalah masa depan yang baru, dan kita TIDAK akan membiarkan tradisi ini bertahan. KITA akan menghancurkan korupsi untuk menumbuhkan taman ilmu di seluruh Amerika. Sekali dididik dengan baik, kita akan memiliki kemampuan melakukan apa saja, dan yang terbaik, kita hanya akan menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan, kita bisa menjadi bijak. Kita tidak akan menerima hal yang tidak pasti. KITA akan bertanya, KITA akan menuntut akan kebenaran.

Disinilah saya berdiri. Saya tidak berdiri sebagai seorang valedictorian sendirian. Saya dibentuk oleh lingkungan saya, teman – teman saya yang sedang duduk dan melihat saya. Saya tak dapat mencapai semua ini tanpa kalian semua. Kalianlah yang membuat saya benar – benar menjadi diri saya sekarang. Kalianlah kompetitor sekaligus tulang belakang saya. Dengan demikian, kita semua adalah valedictorian.

Pada saat ini, saya dikehendaki untuk mengucapkan salam perpisahan kepada sekolah ini, siapapun yang mengelolanya, dan semua yang berdiri bersama saya maupun di belakang saya, namun saya berharap salam perpisahan ini lebih mengarah ke “sampai jumpa nanti,” ketika kita bekerja sama mendalangi perubahan dalam bidang pendidikan. Tetapi pertama-tama, mari kita mendapatkan sehelai kertas yang membuktikan bahwa kita memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukannya!
Sebarkan Artikel Ini :
Sebar di FB Sebar di Tweet Sebar di GPlus

About Unknown

WEBSITE ini didedikasikan untuk ilmu pengetahuan dan HUMAN BEING, silahkan memberikan komentar, kritik dan masukan. Kami menerima artikel untuk dimuat dan dikirim ke kawanram@gmail.com. Selanjutnya silahkan menghubungi kami bila memerlukan informasi lebih lanjut. Salam PEMBEBASAN!
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Post a Comment

PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.