MFILES - Motif
penaikkan harga BBM sebenarnya tidak pernah berubah. Sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28 (b) UU Migas No. 22/2001, motifnya adalah untuk
melepaskan harga BBM ke mekanisme pasar.
Dengan
dilepaskannya harga BBM ke mekanisme pasar, maka pasar bisnis eceran
BBM di Indonesia akan terbuka bagi masuknya para pemain baru.
Sebagaimana sudah sering saya kemukakan, menyusul terbitnya UU Migas No.
22/2001, terdapat sekitar 80.000 SPBU swasta--asing dan domestik, yang
antri untuk dioperasikan di seluruh Indonesia.
Sejauh yang
saya ketahui, fakta itu tidak pernah dibantah. Alih-alih dibantah, para
pihak yang selama ini menyokong kenaikan harga BBM, cenderung berusaha
mengemukakan berbagai argumen lain untuk mengalihkan perhatian
masyarakat.
Namun karena tidak didukung fakta, berbagai
argumen lain itu sangat mudah dipatahkan. Simak misalnya argumen
mengenai tujuan pengurangan subsidi BBM untuk memperluas ruang fiskal.
Fakta yang ada secara tegas membantah hal tersebut.
Sebagaimana
berlangsung dalam periode 2001 – 2014, pengurangan subsidi BBM yang
ditandai oleh kenaikan harga BBM sebesar 465 persen (rata-rata 33 persen
per tahun), selain bermuara pada penurunan subsidi BBM terhadap belanja
pemerintah pusat dari 26,2 persen menjadi 19,3 persen, ternyata diikuti
oleh peningkatan belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat
dari 18,7 persen menjadi 37,6 persen.
Gambaran yang lebih
jelas mengenai hubungan timbal balik antara pengurangan subsidi BBM
versus peningkatan belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat
tersebut dapat disimak pada angka-angka berikut. Relatif terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB), dalam periode 2001 – 2014, subsidi BBM turun dari
4,1 persen menjadi 2,4 persen PDB atau turun 1,7 persen PDB.
Sebaliknya, belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat
meningkat dari 2,9 persen menjadi 4,8 persen PDB atau meningkat 1,9
persen PDB.
Bagaimana halnya dengan belanja modal? Jika
pengurangan subsidi BBM benar ditujukan untuk memperluas ruang fiskal,
maka belanja modal seharusnya meningkat secara signifikan. Namun fakta
yang ada tidak mengkonfirmasi hal tersebut. Relatif terhadap belanja
pemerintah pusat, belanja modal 2001 – 2014 justru turun dari 16 persen
menjadi 12,6 persen. Sedangkan relatif terhadap PDB, belanja modal turun
dari 2,5 persen menjadi 1,6 persen PDB.
Jika dicermati
lebih jauh, pengurangan subsidi BBM, penurunan belanja modal, serta
peningkatan belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat
sebagaimana dipaparkan tersebut, ternyata cenderung berlangsung secara
bersamaan dengan penurunan belanja pemerintah pusat dan belanja negara
secara keseluruhan. Dalam periode 2001 – 2014, belanja pemerintah pusat
turun dari 15,5 persen menjadi 12,7 persen PDB. Sedangkan belanja negara
turun dari 20,3 persen menjadi 18,7 persen PDB.
Menyimak
angka-angka tersebut, dapat disaksikan bahwa perkembangan perekonomian
Indonesia dalam 14 tahun terakhir, selain ditandai oleh berlangsungnya
proses pasarisasi harga BBM, juga ditandai oleh berlangsungnya proses
pasarisasi perekonomian. Artinya, akibat pelaksanaan agenda-agenda
ekonomi neoliberal secara massif dalam 14 tahun terakhir, peran negara
dalam perekonomian cenderung merosot.
Rangkaian fakta itu,
ditambah oleh fakta bahwa pengelolaan transaksi keuangan bisnis eceran
BBM selama ini didominasi oleh bank-bank BUMN, memaksa kita untuk
menarik kesimpulan sebagai berikut. Pengurangan subsidi BBM pada
dasarnya adalah mekanisme terselubung untuk: (a) mengalihkan beban
peningkatan belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat kepada
para pengguna BBM; (b) mempercepat pertumbuhan SPBU swasta—asing dan
domestik, di Indonesia; dan (c) mengakhiri dominasi bank-bank BUMN dalam
pengelolaan transaksi keuangan bisnis eceran BBM.
Diluar
ketiga kesimpulan tersebut, sejalan dengan peningkatan indeks gini 2001 –
2014 dari 0,32 menjadi 0,43, rasanya tidak berlebihan bila pengurangan
subsidi BBM juga patut diwaspadai sebagai mekanisme terselubung untuk
memperlebar kesenjangan kaya-miskin.
Dr. Revrisond Baswir
Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
@Kedaulatan Rakyat, Senin, 8 Desember 2014
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.