James Alexander Malcolm Caldwell[1] pada tahun 1969 menulis suatu laporan mengenai perlawanan bersenjata dari anggota PKI yang berusaha melawan balik pembantaian oleh rezim militer pimpinan Suharto. Dalam tulisan yang dimuat di Jurnal New Revolutionaries Left Opposition, yang disunting oleh Tariq Ali, Malcolm Caldwell menghimpun berbagai sumber pemberitaan luar negeri, pernyataan resmi pemerintah, dan menulis laporan singkat mengenai perlawanan PKI yang sudah mengambil bentuk perang gerilya dan menerapkan taktik-taktik Maois. Berikut tulisannya yang dihimpun dan diterjemahkan Bumi Rakyat:
Sebagaimana yang diperkirakan, pembantaian para komunis dan simpatisannya di Indonesia sejak kudeta Oktober 1965 telah gagal untuk melenyapkan komunisme. Sebaliknya: Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan kasar dan luka-luka telah mencampakkan ilusi konstitusionalisnya serta memutuskan untuk melawan balik. Semenjak pernyataan kebijakan umum yang dikeluarkan Komite Sentral PKI ‘di suatu tempat di Jawa’ pada 17 Agustus 1966 (Hari Ulang Tahun (HUT) proklamasi kemerdekaan Indonesia ke 21), PKI secara resmi mengadopsi perjuangan bersenjata Maois sebagai garis Partai.
Kondisi-kondisi terkini memang sedang tidak menguntungkan. Indonesia adalah kepulauan maha luas, membentang lebih dari tiga ribu mil sepanjang khatulistiwa. Masalah-masalah logistik sangat besar sekali—namun lebih merupakan masalah bagi tentara reguler daripada gerilyawan. Wilayah dalam negeri mencakup pulau-pulau terbesar seperti Kalimantan (Borneo) dan Sumatera, yang menimbulkan faktor terpencil dan sukar diakses, suatu faktor prasyarat sebagai daerah-daerah basis.
Negara Indonesia telah lama memiliki tradisi revolusioner yang panjang. Stamford Raffles (yang memerintah Indonesia sejak 1811 hingga 1815 saat masih dalam penguasaan Inggris) menulis bahwa orang Jawa: ‘…sejak kedatangan kaum Eropa, mereka tidak membuang kesempatan sama sekali untuk mencoba merebut kemerdekaan mereka’. Saat pemberontakan massal pada 1825-1830 yang dikenal sebagai Perang Jawa[2], delapan ribu orang Eropa kehilangan nyawanya sementara rakyat Jawa menderita sebanyak 200.000 korban jiwa (sebagian besar karena penyakit dan kelaparan). Di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, Sultan Yogyakarta, kaum tani bangkit secara massal di daerah Banyumas, Bagelin, Madiun, dan Kediri, serta membuktikan bahwa mereka mahir dalam perang gerilya sampai akhirnya mereka kehilangan pemimpin mereka akibat pengkhianatan Belanda. Hanya dalam beberapa tahun saja Jawa abad 19 bersih dari pemberontakan tani, ekspresi keluhan sosial dan ekonomi yang muncul bebarengan dengan daya pikat agama dan tradisi dari kaum revolusioner tani. Perlawanan terhadap Belanda juga tak dibatasi hanya terjadi di Jawa, karena banyak meletus perlawanan dimana-mana pula. Salah satu contohnya pemberontakan Maluku 1816-1818. Penundukan Belanda terhadap Aceh di Sumatera Utara yang memakan waktu hingga lebih dari 30 tahun dengan banyaknya korban jiwa pun tidak pernah tuntas sepenuhnya.
Abad ke20, yang menjadi saksi lahirnya gerakan nasionalis Indonesia modern dengan pembentukan organisasi-organisasi politik di seluruh negeri, bahkan turut menyaksikan pemberontakan-pemberontakan petani bersenjata lainnya. Selama Perang Dunia I, pasukan-pasukan Belanda harus dikirim untuk menumpas perlawanan di Kediri dan daerah-daerah industri gula lainnya di sekitar Yogyakarta dan Surakarta. Partai Komunis Indonesia, didirikan pada Mei 1920, juga merupakan salah satu partai komunis paling lama di dunia. Selama periode 1926-1927 mereka melancarkan pemberontakan di Jawa dan Sumatera, bentrokan bersenjata di Priangan dan Bantam (Jawa Barat), di Solo, Banyumas, Pekalongan, Kedu, dan Kediri (Jawa Tengah dan Jawa Timur), serta di Padang dan Padangpanjang (Sumatera Barat). Perlawanan gerilya berlangsung paling lama di Banya, yang selalu merupakan daerah bermasalah bagi Belanda—pemberontakan tani melawan Belanda meletus disana pada 1888. Penindasan brutal oleh Belanda pun diberikan dan para pimpinan PKI yang tidak terbunuh dalam peristiwa itu kemudian digantung atau dibui dan diasingkan. Banyak di antara mereka yang kemudian meninggal di tanah pembuangan di Tanah Merah akibat wabah Malaria di Irian Barat (Nugini Barat).
Perang dan penjajahan oleh Jepang membantu menyiapkan rakyat untuk perlawanan bersenjata menghadapi kembalinya Belanda. Jepang sendiri mempersenjatai dan melatih pemuda-pemuda Indonesia, sementara yang lainnya berhimpun dalam organisasi-organisasi perlawanan bawah tanah. Bentrokan bersenjata dengan Jepang tidak begitu sering sampai mendekati akhir Perang Dunia II, dengan prioritas utama untuk persiapan perjuangan menghadapi Belanda. Setelah Perang, meletus berbagai kerusuhan berupa pemberontakan tani secara spontan di berbagai bagian Indonesia, terutama di Sumatera, dimana anggota kelas penguasa tradisional yang sekian lama memiliki kedekatan dengan Belanda akhirnya dibunuh. Namun pengalaman besar Indonesia dalam perang gerilya muncul bersama dengan perlawanan panjang melawan rekolonialisme Belanda. Setelah perang mempertahankan kemerdekaan selesai, kelompok-kelompok pembangkang seperti Darul Islam, Republik Maluku Selatan (RMS), mengobarkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah baru, dan pada tahun 1958 terdapat pemberontakan besar di Sumatera. Karena itu bisa dikatakan bahwa sejak jauh-jauh hari sudah terdapat contoh bagi PKI untuk melancarkan perjuangan bersenjata.
Akibat pembantaian 1965-1966 yang dilakukan oleh penguasa militer di Indonesia, PKI tidak punya pilihan lain selain mengangkat senjata. 18 tahun sebelumnya pada 1948, karena terancam oleh penumpasan dan pembubaran terhadap unit-unit militer yang bersimpati pada PKI, maka PKI terpaksa melancarkan pemberontakan bersenjata di Surakarta dan di sekeliling kota Madiun serta di daerah Ngawi dan Ponorogo. Peristiwa 1948 merupakan kegagalan sekaligus malapetaka besar. Tentara Republik yang menumpasnya telah menangkap dan memenjarakan sebanyak 35.000 pemberontakan serta membunuh ribuan lainnya, termasuk para pimpinan komunis. Suripno, salah satu pimpinan PKI, menulis dalam penjara bahwa “Pelajaran yang kita ambil dari peristiwa ini, pelajaran yang sungguh berharga sekaligus pelajaran pahit, adalah rakyat tidak mendukung kita.”
Kenyang dengan pengalaman pemberontakan prematur, kader-kader PKI yang selamat akhirnya secara alamiah menjadi ragu dan takut untuk menempuh militansi karena khawatir berakhir dengan tragedi serupa. Pada tahun 1948 mereka telah salah menghitung pengaruh dan kekuatan wibawa Sukarno, sebagai simbol nasionalisme Indonesia, sehingga sebagai akibat dari menentang rezim Sukarno mereka mengalami kehancuran mematikan. Hal ini terjadi terlepas dari adanya frustasi ekonomi politik yang bisa saja digunakan untuk memenangkan dukungan rakyat ke sisi PKI. PKI kemudian bangkit di bawah pimpinan DN Aidit pada 1950an dengan berlindung di bawah bayang Presiden Sukarno, demi memperkuat diri mereka secara politik melawan kekuatan-kekuatan politik reaksioner di ndonesia (antara lain kelompok Muslim yang menginginkan terbentuknya negara Islam di satu sisi dan juga Angkatan Darat di sisi lain) serta secara bersamaan berusaha mencari jalan keluar dari stagnansi ekonomi, korupsi politik, serta kesenjangan sosial yang muncul seiring dengan kebijakan-kebijakan internal rezim yang gagal ini. Sembari menjalankan tindakan menjaga keseimbangan yang rapuh ini, Partai juga mencari basis massa yang benar-benar kuat agar Peristiwa 1948 tidak lagi terulang. Bahkan ketika PKI semakin dekat dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT) di awal 1960an, seiring dengan mendekatnya Sukarno ke orbit Peking, PKI juga berpegang pada rumusan Aidit mengenai transisi damai menuju sosialisme melalui pemerintah merdeka yang demokratis nasional.
Terdapat beberapa pembenaran atas optimisme PKI sebagaimana juga terhadap kewaspadaannya. Kewaspadaannya muncul akibat perseteruannya dengan angkatan darat yang sangat besar dan dipersenjatai dengan baik. Memang benar bahwa terdapat beberapa unit yang bersimpati kepada kaum komunis dan mereka juga mendapat dukungan di berbagai tentara di pangkat-pangkat yang lebih rendah. Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di bawah Oemar Dhani, serta angkatan laut atau Korps Komando Angkatan Laut (KKO) secara umum juga bersimpati. Namun kekuasaan secara besar tetap berada di tangan pejabat-pejabat militer yang anti Komunis seperti Jenderal Nasution dan Jenderal Suharto. Mereka memiliki unit-unit anti-komunis yang terlatih dalam operasi anti perang gerilya, yang dikenal sebagai Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang mereka banggakan “terlatih untuk mengemban tugas mulai dari pembunuhan sampai pengintimidasian, baik berseragam maupun tidak berseragam’.
Kewaspadaan juga disebabkan akibat struktur sosial Indonesia. Akibat beberapa alasan historis, orang Jawa yang jantung geografisnya terletak di Jawa Timur dan Jawa Tengah, namun juga tumbuh pesat di Jakarta dan sekitarnya, serta menempati eberapa daerah pedalaman di pesisir selatan dan timur Sumatera, memiliki karakteristik berbeda dibandingkan orang non Jawa dan luar Jawa. Secara khusus, masuknya agama Islam ke kepulauan nusantara telah menimbulkan perbedaan penting antara Jawa dan non Jawa. Semuanya memang Muslim, namun ketaatan lebih besar dan lebih ortodoks berlaku pada orang non Jawa daripada sebaliknya. Islam datang ke kepulauan nusantara melalui pedagang dari Timur Tengah dan pedagang muslim dari India. Mereka cenderung mempertahankan ikatan perdagangan dan dengan para pedagang—di Sumatera, di sepanjang pesisir barat dan utara Jawa, serta pulau-pulau timur lainnya. (Terdapat pula pedalaman yang menganut Hinduisme—seperti di Bali—dan menganut agama Kristen khususnya di pulau-pulau timur, seperti kepulauan Maluku).
Dikotomi kultural demikian diperkokoh dengan perbedaan kelas yang disebabkan berbagai macam alasan. Penghisapan Belanda mengalami intensifikasi pertama kali di daerah-daerah Jawa; mereka membutuhkan sawah-sawah teririgasi, penumbuhan tebu, misalnya. Penghisapan, administrasi, pertumbuhan populasi, dan pemiskinan berjalan beriring-iringan. Permasalahan ketiadaan tanah, penguasaan jabatan pemerintahan korup, serta tuan tanahisme, dengan demikian muncul paling parah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berbanding kontras dengan hal tersebut, di banyak bagian pulau-pulau luar, yang umumnya tidak terlalu padat penduduknya, masih memungkinkan bagi orang Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan internasional melalui komoditas-komoditas lokal seperti karet, yang mengubah kepulauan secara khusus mulai 1870an hingga seterusnya[3]. Akibatnya kaum tani “terploletarisasi” muncul di daerah-daerah berpenduduk padat di Jawa; sementara sejumlah kecil kaum tani di belahan daerah lainnya menjadi “terborjuasifikasi” dengan menjadi petani pemilik ladang kecil yang memiliki kepentingan dan kontak dengan ekonomi (kapitalis) internasional. Hal ini sebagian disebabkan karena hubungan mereka dengan perdagangan namun juga disebabkan budaya yang mendorong pengembangan usaha swasta dan penghematan (seperti nilai-nilai Protestan) sedangkan kaum tani yang “terploletarisasi” masih dipengaruhi budaya yang menekankan kewajiban sosial, upacara adat, dan kegiatan-kegiatan yang mementingkan solidaritas sosial dan kebersamaan. Akibatnya terdapat kesenjangan yang makin dalam di antara masyarakat Jawa, dengan kaum tani paling miskin cenderung menjadi abangan dengana kaum tani yang lebih kaya, pedagang, ulama, atau golongan santri. Hal ini tercermin dari para pimpinannya, dimana latar belakang seseorang sangat berpengaruh dalam menentukan pandangan politiknya: orang Sumatera dan penduduk pulau luar lainnya misalnya yang melancarkan pemberontakan pada 1958 memiliki tujuan dengan kandungan-kandungan yang lebih rasional dan memuat kebijakan-kebijakan kapitalistis, sementara para priayi Jawa seringkali berada diantara golongan yang menghendaki statisme dan gotong royong melalui manipulasi politik.
Akhirnya kewaspadaan tinggi muncul menyangkut hubungan dengan Tiongkok dan kaum Tionghoa. Terdapat antara dua setengah juta hingga tiga juta etnis Tionghoa di Indonesia (lebih dari sejuta diantaranya adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT)) dan—sebagaimana di daerah lain di Asia Tenggara—hubungan antara komunitas ‘pribumi’ dengan komunitas ‘pendatang’ sangat sensitif dan terkadang mudah tersulut konflik. Beberapa orang Tionghoa Indonesia adalah pendukung PKI, namun PKI secara keanggotaan dan simpatisan yang dominan tetap bukanlah Tionghoa. Bagaimanapun juga hubungan dekatnya dengan PKT, dan kepercayaan umum bahwa ‘Sekali Cina tetap Cina’ (yang memicu mitos lain bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah barisan kelima Mao) menyebabkan PKI kesulitan mengindari cap kebencian yang dilayangkan pada kaum Tionghoa.
Sementara itu di sisi lain terdapat berbagai alasan penyebab optimisme. Hingga setahun atau dua tahun lalu sebelum kejatuhan Sukarno, Sukarno telah mempertahankan dan melindungi PKI dari bayonet-bayonet para pimpinan angkatan darat anti-komunis. Dukungan rakyat pun tumbuh. Pemilu nasional tahun 1955 dan pemiliu daerah tahun 1957 telah mencerminkan hal ini. Dalam kesempatan lainnya PKI memenangkan suara lebih banyak daripada partai lainnya di Jawa Tengah serta meraih peringkat kedua di Jawa Timur. PKI juga tumbuh sebagai mayoritas absolut, sebagaimana yang terjadi di Semarang, Surabaya, Madiun, Magelang, Malang, dan Surakarta. Sebelum pemusnahan Partai, para pimpinan PKI memperkirakan bahwa terdapat antara 16 hingga 20 juta pendukung PKI di Indonesia yang berpopulasikan 110 juta. Bagaimanapun juga, dukungan mereka mengalami kesenjangan kuat di antara kaum abangan Jawa dan priayi, serta lebih lemah di daerah lainnya (kecuali di Kalimantan, dimana terdapat Organisasi Komunis Klandestin yang beroperasi melawan Malaysia di Sarawak dan memiliki basis-basis di teritori Indonesia, dimana banyak kaum Tionghoa disana merupakan petani). Dukugan terkonsentrasikan demikian secara otomatis menimbulkan ketidakpercayaan proporsional, ketakutan dan oposisi dari kalangan santri yang saleh, konservatif, dan sejahtera.
Seiring dengan kesehatan Sukarno yang menunjukkan tanda-tanda melemah pada tahun 1964 dan awal 1965, PKI menemukan dirinya berada dalam posisi sulit. Demi membuat persiapan untuk perjuangan bersenjata, melalui propaganda dan pengamanan senjata, akan seketika mendorong penindasan oleh Angkatan Darat. Namun kini jelas bahwa kemampuan Sukarno semakin habis dalam menghalangi jenderal-jenderal sayap kanan sebelum Partai berhasil mendirikan dan mengonsolidasikan basis massa yang sepenuhnya tak terkalahkan. Pada awal 1965, PKI menyerukan untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani ‘demi mempertahankan Revolusi Indonesia’, Sukarno tak memiliki kemampuan untuk menuruti tuntutan ini, sedangkan Angkatan Darat tidak akan tinggal diam bilamana musuh besar mereka mempersenjatai diri. Gambaran mengenai apa yang akan terjadi akan menyerupai reaksi biadab yang dilancarkan para tuan tanah terhadap para petani yang melaksanakan Undang-Undang Reforma Agraria, seperti yang terjadi di Jengkol, Kediri. Organisasi-organisasi pemuda muslim militan sudah gatal untuk menggulung kaum komunis dan kaum Tionghoa, yang berbulan-bulan sebelum kudeta Jenderal, menggelar drum band di jalanan. Posisi rawan mereka di hadapan kekuatan militer dan kalangan agamawan hampir merata mengena hingga kepada para pimpinan PKI.
Bukan pada tempatnya untuk membahas masalah kudeta Untung pada 30 September dan kontra-kudeta para Jenderal dengan analisis yang begitu mendetail. Fakta hubungan yang kelihatan antara Untung dengan PKI, atau dengan beberapa anggota lainnya, serta keterlibatan organisasi pemuda dan perempuan dalam menculik dan membunuh enam jenderal, telah menjadi dalih sempurna bagi peristiwa yang muncul berikutnya: penindasan terhadap PKI dan pembantaian beratus-ratus ribu para kader dan para simpatisan PKI. Pola pembantaian ini bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya antar pulau di Indonesia, namun yang mengejutkan adalah pada awalnya perlawanan bersenjata PKI melawan pembantaian tersebut sangatlah lemah. Nampaknya ini disebabkan kebimbangan yang berlaku cukup lama, bahkan para pimpinan PKI masih percaya bahwa Sukarno masih kuat dan mampu menyelamatkan mereka. Kebimbangan ini harus dibayar mahal, karena RPKAD bergerak dari satu daerah ke daerah lain di bulan Oktober, November, dan Desember, dalam mengepalai pembantaian, termasuk mempersenjatai para anggota organisasi-organisasi pemuda Muslim untuk melaksanakan pembantaian. Di luar para kader, simpatisan, dan semua yang terbunuh, sebanyak 300.000 orang yang dianggap sebagai ‘komunis’ atau ‘simpatisan-komunis’ digiring ke kamp-kamp konsentrasi yang didirikan dengan tergesa-gesa. Sedangkan perlawanan balik dari PKI muncul dalam pola-pola yang sporadis. Seorang perwira Angkatan Darat Pro PKI di Kalimantan Tengah memimpin pemberontakan yang kemudian berhasil dihancurkan oleh Angkatan Darat. Sejumlah kecil unit Angkatan Darat divisi Jawa Tengah menaruh simpati pada PKI namun tidak melakukan perlawanan sama sekali ketika RPKAD dikirim kesana. Aidit sendiri ditembak di dekat Surakarta, ketika dia ingin melarikan diri kesana demi mendirikan area basis di Klaten dan Boyolali.
Pernyataan sikap PKI pada Agustus 1966, mendukung perlawanan bersenjata Maois, yang diikuti dengan kritik pedih terhadap kebijakan PKI sebelumnya, semata-mata merupakan suatu keharusan yang mau tidak mau harus ditempuh. Sejak saat itu, perlawanan-perlawanan gerilya sporadis telah sampai kabarnya ke Barat, dan tulisan ini merupakan suatu upaya untuk memberikan gambaran mengenai situasi terkini. Bagaimanapun juga, merangkai sejarah awal perang pembebasan rakyat bukanlah suatu hal yang mudah. Berita-berita mengenai perlawanan tersebut sangatlah jarang dan kalaupun ada, tersebar di sana-sini, serta seringkali sulit untuk diandalkan. Hal ini memang wajar apalagi karena agensi resmi pemerintah berusaha meredam sebisa mungkin perlawanan apapun yang muncul. Sedangkan kaum gerilyawan, di sisi lain, jarang memiliki saluran-saluran komunikasi reguler terhadap dunia luas. Sehingga selanjutnya yang bisa dilakukan adalah menyisir laporan-laporan dari Barat, pernyataan resmi pejabat Indonesia, dan sumber-sumber dari PK, yang tersedia seadanya baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa Indonesia.
Di Jawa, perlawanan terkuat muncul di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Aksi bersenjata untuk menculik dan mengeksekusi para tuan tanah lokal dan pejabat-pejabat reaksioner dikabarkan terjadi di Malang Selatan, Blitar Selatan, Tulungagung, Bojonegoro, dan Kediri. Bentrokan-bentrokan dengan aparat keamanan muncul juga di Ngawi, Malang, dan Banyuwangi. Pada Bulan Maret 1968, sebanyak 330 perwira dan prajurit Angkatan Darat, dikabarkan telah menyeberang secara massal ke gerilyawan-gerilyawan PKI, mengangkat senjata dan menggunakan peralatan-peralatan lainnya, di Malang, Jawa Timur. Seorang jurnalis Kompas, surat kabar Katolik, mengunjungi Jawa Timur di tahun berikutnya dan melaporkan bahwa kegiatan-kegiatan PKI memiliki karakter politik dan sangat terorganisir dengan baik, serta bahwa di pedesaan Malang, Banyuwangi, dan Tulungagung meletus berbagai insiden bersenjata hampir tiap hari. Sementara itu, aksi-aksi lain ditujukan untuk merampas peralatan militer—senapan, granat, senapan mesin, dan sebagainya. Di daerah Surabaya, kaum gerilyawan PKI menyerang dan melengkapi suplai mereka dari depot amunisi Angkatan Darat (yang kini telah dibersihkan dari elemen-elemen pro-PKI seperti mantan Marsekal Angkatan Udara Republik Indonesia, Omar Dhani).
Menilai dari konsultasi-konsultasi di administrasi jajaran atas mengenai situasi-situasi Jawa Timur, jelas bahwa pihak otoritas sangat terganggu oleh perkembangan tersebut. Pada 5 Agustus 1968, The Times London melaporkan bahwa sebanyak 600 gerilyawan PKI telah tertangkap dan 30 lainnya terbunuh dalam serangan Angkatan Darat di Tenggara Jawa. Flame Thrower atau penyembur api, sulfur, dan dinamit dikerahkan penggunaannya untuk menggelontor mereka agar keluar dari tempat-tempat persembunyiannya. Sepekan berikutnya, koran yang sama melaporkan bahwa sebanyak 50 gerilyawan telah tewas dalam serangan terhadap daerah terpencil di Jawa Timur, serta jaringan terowongan-terowongan dan gua-gua ‘benteng pertahanan komunis’ telah ditemukan. (Sebelumnya diasumsikan secara luas bahwa PKI berupaya mendirikan daerah basis di bagian selatan Jawa Timur dan Jawa Tengah; serta berbagai kondisi, terlepas dari kenyataan bahwa derah-daerah tersebut merupakan jantung pusat dukungan lama, namun merupakan daerah menguntungkan karena terdapat hutan-hutan, pegunungan, serta daerah sawah subur yang mana dukungan dari kaum tani bisa diraih dari sana). Sementara itu pencerabutan pada ‘komunis’ dari kehidupan publik terus berlanjut. Pada permulaan Agustus 1968 dilaporkan dari Jakarta bahwa sebanyak 800 orang yang dicurigai sebagai komunis, telah ditangkap, termasuk diantaranya lima orang perwira senior Angkatan Darat.
Insiden-insiden juga dikabarkan bermunculan dari waktu ke waktu dari Jawa Barat, Sulawesi (Celebes), dan Sumatera. Pada April 1968 52 anggota angkatan bersenjata ditangkap dan didakwa merencanakan pembangunan sel komunis bawah tana di Sumatera Selatan. Sejak akhir 1967 kaum tani di Sumatera Utara telah berusaha untuk merebut tanah dari perkebunan-perkebunan ‘Negara’ (yang sebenarnya merupakan perusahaan pribadi dari birokrat militer yang menjalankannya) serta dipukul mundur secara brutal, kini telah berada di perbukitan dan memulai perjuangan bersenjata.
Namun perlawanan paling gigih dan berbobot dari kaum gerilyawan PKI selama ini dilaporkan muncul di Kalimantan. Disana luasnya hutan dan pegunungan sangat menguntungkan kaum gerilyawan. Terlebih sejak pembantaian November 1967 (yang dilancarkan oleh sebagian Dayak lokal dengan persekutuan Angkatan Darat), dimana ratusan orang Tionghoa tewas dan puluhan ribu digiring dari rumah mereka di pedesaan menuju kamp-kamp konsentrasi darurat di dekat Pontianak dan pelabuhan-pelabuhan lainnya. Selain itu seluruh populasi Tionghoa di Borneo—lebih dari sejuta di Sarawak, Sabah, dan Kalimantan—telah dipandang sebagai lawan potensial bagi rezim Suharto. Kedua belah pihak juga saling mengklaim kemenangan-kemenangan dalam berbagai pertempuran yang terjadi. Selain itu jumlah pertempuran yang bermunculan mengindikasikan bahwa ini merupakan area lain dimana, sebagaimana di Jawa Timur, situasinya telah berkembang baik bagi PKI dan buruk bagi Pemerintah.
Pada Oktober 1967, empat bulan setelah perlawanan bersenjata pertama kali dilaporkan meletus,suatu bentrokan dimana 150 gerilyawan terbunuh terjadi di gunung Merbabu, dekat kota Bengkajan. Bantuan pasukan pemerintah dari berbagai tempat lain, khususnya dari Sumatera, kemudian segera dialihkan ke Kalimantan Barat, ke pusat pemberontakan gerilyawan. Menurut perkiraan-perkiraan resmi, jumlah gerilya bersenjata cukup kecil dan mereka mengklaim hanya berkisar antara tujuh ratus hingga dua ribu. Namun angka demikian sudah cukup, bila jumlah tersebut memang benar dan akurat, untuk memberikan masalah besar dan perhatian besar bagi pihak otoritas. Celah dimana Divisi Siliwangi telah dikirim untuk melawan para gerilyawan, dan pada Maret 1968 pertemuan tingkat tinggi para komandan militer diadakan untuk mendiskusikan program pengamanan terkait hal tersebut.
Pertempuran-pertempuran Kalimantan Barat rupanya dikomandoi oleh Sofyan, seorang pimpinan PKI, yang dikatakan memiliki daerah basis di daerah Gunung Slabu. Bentrokan-bentrokan juga dikabarkan meletus di Batu Hitam, Bengkayan, Sengkung, Melantjeu, Benua Martinus, Sambas, Seluas, Sanggau, Singkawang, dan di daerah-daerah lainnya. Pasokan-pasokan beras disimpan berkodi-kodi di area-area pelatihan semi permanen di daerah-daerah antara Sambas dan Pontianak, berpusat di Gunung Niut, dalam jangkauan yang terbentang hingga melewati perbatasan Sarawak. Pasokan-pasokan demikian di area-area terpencil dan tak terjangkau menunjukkan adanya dukungan lokal ekstensif untuk pengiriman, pengantaran barang, serta kesediaan untuk bungkam. Di daerah hutan-hutan belantara, para gerilyawan sendiri mampu membabat lahan dan bercocok tanam.
Secara kontras, pasukan-pasukan pemerintah menghadapi permasalahan-permasalahan logistik serius. Tidak ada jalan raya serta terlalu sedikit helikopter Rusia (yang diperoleh berkat kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet) untuk memberikan mobilitas yang dibutuhkan tentara. Pasukan-pasukan pemerintah butuh berhari-hari untuk mencapai sasaran, kekurangan bahan makanan, obat-obatan, dan suplai-suplai lainnya yang diperlukan. Kebanyakan pasukan-pasukan reguler tidak suka dengan hutan Borneo, yang asing bagi mereka. Dalam melakukan pembalasan dendam terhadap kampung-kampung yang mereka duga membantu dan menyembunyikan para pemberontak, pasukan pemerintah mengalienasi penduduk lokal dengan membakar rumah-rumah, merampok dan menjarah, serta memperlakukan para penduduk kampung tersebut dengan kasar dan semena-mena. Demi mencegah para gerilyawan mendapatkan perlindungan di Sarawak, pemerintah Indonesia berusaha bekerjasama secara erat dengan pasukan keamanan Malaysia di sepanjang perbatasan. Setelah penyergapan oleh lima ratus tentara pembebasan di sekitar enam puluh kilometer dari kota Bengkayanpada akhir November 1967, pasukan-pasukan keamanan sadar bahwa mereka sedang menghadapi kaum gerilya terlatih dan bersenjata lengkap dengan senjata otomatis, mortir berat, dan perlengkapan canggih lainnya, serta terlindungi dengan baik oleh daerah pegunungan dan pedesaan yang menguntungkan kaum gerilyawan. Dalam penyerbuan kota Singkawang, para gerilyawan berhasil melarikan diri dengan lebih dari dua ratus senjata otomatis baru. Daerah-daerah basis yang dikosongkan oleh para pemberontak dan diduduki kemudian oleh para pasukan keamanan meninggalkan berbagai salinan tulisan-tulsan Mao Tse Tung, sehingga tidak ada keraguan lagi bahwa kaum gerilyawan memang bersiap untuk perjuangan jangka panjang dan terus-menerus.
Karena alasan-alasan demikian maka sejumlah kegelisahan terhadap situasi tersebut terus diekspresikan di media massa resmi Indonesia selama 1968. Akhir-akhir ini pemberontakan menyebar ke Kalimantan Timur, dimana kelompok-kelompok gerilyawan bergerak dekat Kerajan dan Longawan.
Terlalu dini untuk berspekulasi mengenai perkembangan gerilya kaum tani dalam perjuangan pembebasan di salah satu negara terbesar di dunia ini. Namun beberapa faktor tertentu harus ada sebagai prasyaratnya. Pertama, krisis ekonomi berkelanjutan. Meskipun terdapat rencana-rencana yang diuji untuk memperbaiki ekonomi, rezim militeris sayap Kanan terbukti telah gagal dalam menahan kemerosotan ekonomi. Kelaparan dan kemelaratan tetap menimpa banyak rakyat miskin di perkotaan dan pedesaan, sementara kekayaan segelintir elit penguasa semakin besar dari waktu ke waktu. Terdapat berbagai demonstrasi massa menuntut beras di Jakarta di awal 1968. Korupsi, sekali lagi, terlepas dari janji-janji reformasi yang nyaring berbunyi, malah semakin memburuk. Sepertinya tidak terdapat prospek perbaikan signifikan di lapangan ekonomi bagi rakyat Indonesia pada umumnya, meskipun segelintir orang kaya dan berkuasa diuntungkan oleh bantuan dan investasi asing.
Kedua, intervensi Amerika di perkara urusan Indonesia pasti memicu respon kedengkian nasonalistis. Terlepas dari Pemerintahan AS memiliki pengaruh ekonomi vital melalui konsorsium internasional dengan kreditur kapitalis dan melalui agensi-agensi ekonomi internasionakm bisnis AS telah mengarahkan dan memporak-porandakan ekonomi dengan mengambil keuntungan yang dirampas AS melalui regulasi-regulasi hukum terbaru yang mendorong modal asing untuk menjawab permintaan bantuan finansial darurat. Secara alamiah, untuk menjaga agar investasi tersebut dan untuk membantu menjamin “iklim” yang tepat untuk investasi lebih lanjut, maka diadakanlah keberadaan militer AS. Tampaknya untuk tujuan-tujuan yang tidak bersalah, perluasan pesat angkatan bersenjata AS dipimpin oleh seorang kolonel yang, menurut kata-kata wartawan The Times pada 8 Juli 1968: “…merupakan veteran berpengalaman dalam Pasukan Khusus dan Kontra-Insurgensi di Asia”. Basis-basis baru telah didirikan dan basis-basis lama telah direnovasi. Pembangunan neo-kolonial sedemikian lancang pastinya akan memicu reaksi lokal, yang mana PKI bisa memenangkan dukungan mereka.
Ketiga, kaum mahasiswa yang telah memainkan peran dalam memperbolehkan para pimpinan Angkatan Darat untuk menggulingkan Sukarno, telah menikmati buah simalakama saat mereka menyadari bahwa rezim yang mereka dukung telah membuka kedoknya sebagai penindas yang banal dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan massa. Para idealis dan realis politik di antara kelompok-kelompok yang berpengaruh di masyarakat Indonesia kini hanya punya satu arah pilihan—yaitu menuu PI dan perjuangan senjata untuk masyarakat sosialis.
Keempat, pimpinan tertinggi tidaklah tersatukan dan bahkan bisa jadi terpecah belah dalam pertikaian antar faksi, dengan satu sisi mendukung Nasution dari Sumatera dan kaum Santri Jawa, di sisi lainnya, mendukung Suharto. Nampaknya juga sulit untuk menyembuhkan perpecahan dalam masyarakat Indonesia yang begitu tragis diperburuk oleh pembantaian yang mereka sendiri lakukan selama periode 1965-1966. Rekam jejak rezim demikian dimanapun juga baik di Asia, Afrika, maupun di Amerika Latin, akan membawa kesimpulan bahwa hal tersebut tidak akan membawa penyelesaian dan pemecahan masalah melainkan hanya melayani kepentingan kapital monopoli internasional yang dipimpin oleh AS.
Kelima, pembantaian mengerikan yang terekspos melalui kekerasan anti PKI hanya meninggalkan luka dan kesedihan bagi komunitas Tionghoa Indonesia. Suatu laporan mengklaim bahwa tak ada satu pun orang Tionghoa yang dibiarkan hidup di pesisir barat Aceh di Sumatera Utara. Begitu halnya di Jawa, penindasan melalui kekerasan menimpa banyak komunitas Tionghoa. Namun banyak pula yang melaporkan bahwa mereka mampu melawan balik sembari menyerukan slogan-slogan Maois, di Kediri, Melang, Probolinggo, Pasuruan, bondowoso, Situbondo, Panarukan, dan Besuki, serta berupaya merampas persenjataan dari detasemen angkatan bersenjata setempat.
Keenam, situasi keamanan secara keseluruhan di daerah, dari sudut pandang AS dan sekian rejim yang menjadi antek-anteknya, secara umum tengah merosot. Partai Komunis Malaysia (PKM) telah aktif lagi di Malaysia Utara dan kamp basis mereka sempat ditemukan di Johor Selatan. Dua perlima Burma kini, mengacu ke sumber-sumber AS, ada di tangan Komunis Burma. Pertempuran juga tengah berlangsung di utara, timur laut, dan selatan Thailand, serta meletus dalam skala signifikan di Filipina. Vietnam juga secara terus menerus menentang agresi militer skala penuh AS. Gerakan pembebasan nasional di Indonesia harus mengambil keuntungan dari perluasan gerakan pembebasan dimana-mana dan di tiap daerah, seiring dengan makin terpecahnya serta terceraiberainya perhatian dan kekuatan AS.
Rakyat sedunia akan mengamati dengan perhatian dan kepentingan besar terhadap upaya PKI untuk meraih kemenangan dengan perjuangan senjata serta memperjuangkan keadilan ekonomi bagi rakyat miskin disana, hingga meraih kemerdekaan ekonomi sepenuhnya bagi negara mereka, bebas dari penindasan jaring neo-kolonialisme negara-negara kapitalis Barat.
-----------------------------------------------------------------
[1] James Alexander Malcolm Caldwell merupakan anak buruh tambang batu bara yang kemudian menjadi seorang penulis Marxis dan pengajar di Inggris. Malcolm Caldwell bukan sekedar akademisi melainkan juga seorang aktivis politik. Dia sendiri sempat melakukan kerja pengorganisiran di bawah Partai Buruh di Inggris dan sempat maju sebagai salah satu kandidat dalam pemilihan umum daerah di Sidcup, Bexley. Malcolm Caldwell terbunuh di sekitar tahun 1978 saat sedang melakukan peliputan ke Kamboja ketika Khmer Merah berkuasa.
[2]Perang Jawa juga dikenal sebagai Perang Diponegoro di Indonesia
[3] Lihat Malcolm Caldwell, (1968). The Modern World: Indonesia. Oxford University Press.
sumber: bumirakyat
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.