MERDEKAFILES, Jakarta - Tribun Indonesia edisi Januari no. 3 memuat oto-kritik dari Politbiro Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) pada September 1966. Oto-kritik ini berjudul “Bangun PKI sesuai Garis Marxis-Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokratis Rakyat di Indonesia”.
Oto-kritik tersebut menjelaskan bahwa bencana yang mengakibatkan kekalahan-kekalahan serius pada PKI dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia setelah meletus dan kalahnya Gerakan 30 September[1] telah menyingkap tabir yang sekian lama menyembunyikan kesalahan-kesalahan fatal PKI.
Politbiro sepenuhnya sadar bahwa sudah merupakan tanggung jawab besar menyangkut kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan fatal Partai selama periode tersebut harus dikoreksi. Karena itu Politbiro memberikan perhatian serius dan sepenuhnya menghargai semua kritik dari para kader dan anggota Partai dalam semangat Marxis-Leninis, sebagaimana kritik jujur dari para simpatisan Partai yang dikemukakan dengan cara-cara berbeda. Politbiro memutuskan merumuskan oto-kritik dengan cara Marxis-Leninis, menerapkan dan mempraktekkan ajaran Lenin dan teladan Kawan Musso dalam membuka kritik dan Oto-Kritik Marxis-Leninis.
Oto-kritik mengatakan bahwa dalam situasi paling keji dan dimana teror putih dilancarkan oleh kediktatoran militer sayap Kanan Jenderal Nasution dan Suharto, tidak mudah dan tidak mungkin untuk merumuskan suatu kritik dan oto-kritik yang lengkap dan menyeluruh. Demi memenuhi kebutuhan yang mendesak, perlu untuk menunjukkan permasalahan-permasalahan utama di lapangan ideologis, politik, dan organisasi, demi memfasilitasi aktivitas mempelajari kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan Partai selama gerakan pembetulan saat ini.
Dengan segala kesederhanaan dan keikhlasan Politbiro mempersembahkan oto-kritik ini. Politbiro mengharapkan semua anggota mengambil peran aktif dalam mendiskusikan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan pimpinan Partai, menganalisisnya secara kritis, dan memberikan apa yang terbaik yang bisa mereka lakukan untuk meningkatkan oto-kritik Politbiro ini dengan menarik pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang berharga, baik secara kolektif maupun secara pribadi. Politbiro mengharapkan semua anggota menjunjung tinggi prinsip “persatuan-kritik-persatuan” dan “mempelajari kesalahan-kesalahan di masa lalu untuk menghindari kesalahan-kesalahan di masa depan, serta menyembuhkan penyakit demi menyelamatkan pasien, untuk mencapai dua sisi obyektif dari kejelasan dalam ideologi dan persatuan di antara kawan[2]”. Politbiro yakin bahwa dengan berpegang teguh pada prinsip tepat tersebut, setiap anggota Partai akan turut ambil bagian dalam gerakan mempelajari dan mengatasi kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahan tersebut dengan tekad tinggi untuk membangun kembali PKI dengan garis Marxis-Leninis, untuk memperkuat persatuan dan solidaritas Komunis, untuk membangkitkan kesiagaan ideologis, politik, dan organisasi, serta memperbesar semangat juang demi mencapai kemenangkan.
Kelemahan-Kelemahan Utama di Lapangan Ideologi
Kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan serius Partai di periode pasca 1951, sebagaimana yang diungkapkan oto-kritik, jelas-jelas juga bersumber pada kelemahan-kelemahan di lapangan ideologi, khususnya di antara para pimpinan Partai. Alih-alih mengintegrasikan teori-teori revolusioner dengan praktek konkret revolusi Indonesia, pimpinan Partai malah mengadopsi jalan yang diceraikan dari panduan teori-teori maju. Pengalaman ini menunjukkan bahwa PKI belum berhasil dalam mendirikan inti pimpinan yang tersusun dari elemen-elemen proletar, yang sebenarnya memiliki pemahaman paling tepat mengenai Marxisme Leninisme secara sistematis dan bukan fragmentaris, serta pemahaman melalui praktek bukan secara abstrak.
Selama periode pasca 1951, subyektivisme terus berkembang, secara perlahan makin membesar dan membesar serta menumbuhkan oportunisme Kanan yang bergabung dengan revisionisme modern dalam gerakan komunis internasional. Hal ini merupakan garis hitam oportunisme Kanan yang menjadi fitur utama kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh PKI dalam periode ini. Muncul dan berkembangnya kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahan ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
Pertama, tradisi kritik dan oto-kritik secara Marxis-Leninis tidak dikembangkan dalam Partai, khususnya di antara pimpinan Partai.
Pembetulan dan gerakan belajar yang dari waktu ke waktu diorganisir di dalam Partai tidak dilaksanakan dengan serius dan telaten, hasil-hasilnya tidak disimpulkan dengan metode yang tepat, dan tidak diikuti pengukuran yang sesuai di lapangan organisasional.. Gerakan pembelajaran diarahkan pada pengurus-pengurus dan bukan pada kritik dan Oto-Kritik di antara pimpinan. Kritik dari bawah jarang didengarkan, bahkan dibungkam.
Kedua, penyusupan ideologi borjuis melalui dua saluran, melalui kontak dengan borjuasi nasional ketika Partai mendirikan front persatuan dengan mereka, dan melalui borjuasifikasi kader-kader Partai, terutama di antara para pimpinan, setelah partai memperoleh berbagai jabatan di institusi-institusi pemerintahan dan semi pemerintahan. Bertambahnya jumlah kader-kader Partai yang menduduki beberapa jabatan di institusi-institusi pemerintahan dan semi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-daerah, menciptakan “peringkat pekerja-pekerja terborjuasifikasi” dan hal ini membentuk “saluran-saluran nyata bagi reformisme”[3] Situasi demikian tidak ada sebelum revolusi Agustus 1945.
Ketiga, revisionisme modern mulai menyusup ke dalam Partai ketika Sesi Pleno Keempat Komite Sentral Kongres Kelima secara tidak kritis menerima suatu laporan yang mendukung garis-garis Kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), dan mengadopsi garis “mencapai sosialisme secara damai melalui cara-cara parlementer” sebagai garis PKI. “Jalan damai” ini, yang merupakan salah satu ciri revisionisme modern, ditegaskan kembali secara lebih lanjut pada Kongres Nasional Keenam PKI yang mana disahkan melalui frase berikut dalam Konstitusi Partai: “Terdapat kemungkinan bahwa sistem demokratis rakyat sebagai suatu tahapan transisional menuju sosialisme di Indonesia bisa dicapai melalui cara-cara damai, melalui jalan parlementer. PKI dengan teguh memperjuangkan agar kemungkinan ini menjadi kenyataan”. Garis revisionis ini kemudian ditekankan lebih lanjut pada Kongres Nasional Ketujuh PKI, dan tidak pernah dikoreksi, bahkan pada saat Partai sadar bahwa sejak Kongres Ke-20 PKUS, pimpinan PKUS telah menempuh jalan revisionisme modern.
Oto-kritik menegaskan bahwa pengalaman PKI memberikan pelajaran bahwa mengkritik revisionisme modern dari pimpinan PKUS tidak berarti bahwa PKI itu sendiri secara otomatis bebas dari kekeliruan-kekeliruan oportunisme Kanan, yang sama halnya dengan yang dilakukan oleh para revisionis modern tersebut. Pengalaman PKI menyediakan pelajaran bahwa revisionisme modern, bahaya terbesar dalam gerakan komunis internasional, juga merupakan bahaya terbesar bagi PKI. Bagi PKI, revisionisme modern bukanlah “suatu bahaya laten melainkan bahaya akut”, suatu bahaya konkret yang telah menyebabkan kerusakan besar bagi Partai dan kekalahan-kekalahan serius bagi gerakan revolusioner rakyat Indonesia. Karena itu kita tidak boleh meremehkan bahaya revisionisme modern dalam cara apapun dan harus mengobarkan perjuangan yang tegas dan tanpa ampun melawannya. Pendirian tegas melawan revisionisme modern di semua lapangan hanya bisa dipertahankan secara efektif ketika Partai mencampakkan garis “mempertahankan persahabatan dengan revisionis-revisionis modern”.
Faktanya, PKI ketika mengkritik revisionisme dari pimpinan PKUS, juga melakukan kesalahan-kesalahan revisionis sendiri, meskipun telah merevisi ajaran-ajaran Marxis-Leninis mengenai perjuangan kelas, negara dan revolusi. Selanjutnya, pimpinan PKI tidak saja tidak mengobarkan perjuangan di lapangan teoritis melawan pemikiran-pemikiran politk “revolusioner” lain yang bisa menyesatkan kaum proletar, sebagaimana yang diajarkan Lenin, namun juga dengan sukarela memberikan konsesi-konsesi di lapangan teoritis. Pimpinan PKI mempertahankan bahwa terdapat identitas antara tiga komponen Marxisme: filsafat materialis, ekonomi politik, dan sosialisme ilmiah, dengan apa yang disebut sebagai “tiga komponen ajaran-ajaran Sukarno”. Dengan ini mereka ingin menjadikan Marxisme, yang merupakan ideologi kelas pekerja, menjadi kepemilikan seluruh bangsa, termasuk milik kelas-kelas penghisap dan penindas yang bermusuhan dengan kelas pekerja.
Kesalahan-kesalahan Utama di Lapangan Politik
Oto-kritik menyebutkan bahwa kesalahan-kesalahan oportunisme kanan di lapangan politik yang sekarang didiskusikan meliputi tiga masalah: (1) jalan menuju demokrasi rakyat di Indonesia, (2) pertanyaan mengenai kekuasaan negara, dan (3) penerapan kebijakan front persatuan nasional.
Salah satu perbedaan dasar dan permasalahan yang menjadi perdebatan antara Marxisme-Leninisme dan revisionisme modern terletak tepat pada permasalahan memilih jalan menuju sosialisme. Marxisme-Leninisme mengajarkan bahwa sosialisme hanya bisa dicapai melalui revolusi proletar dan pada kasus negara-negara kolonial atau semi kolonial dan semi feodal seperti Indonesia, sosialisme hanya bisa dicapai melalui penuntasan tahap menuju revolusi demokratis rakyat. Sebaliknya, revisionisme bermimpi mencapai sosialisme melalui “jalan damai”
Selama tahun-tahun ini dari periode semenjak tahun 1951, Partai kita telah mencapai hasil-hasil tertentu dalam perjuangan politik sebagaimana dalam pembangunan Partai. Salah satu pencapaian penting dari periode ini adalah formulasi permasalahan-permasalahan utama dalam revolusi Indonesia. Telah diformulasikan bahwa tahapan terkini dari revolusi Indonesia merupakan revolusi demokratis borjuis tipe baru, yang tugas-tugasnya adalah melikuidasi imperialisme dan sisa-sisa feodalisme dan untuk mendirikan sistem demokratis rakyat sebagai suatu tahapan menuju sosialisme. Tenaga-tenaga penggerak revolusi adalah kelas pekerja, kaum tani, dan borjuasi kecil: tenaga pemimpin revolusi adalah kelas pekerja dan kekuatan massa pokok adalah kaum tani. Diformulasikan pula bahwa borjuasi nasional merupakan tenaga terombang-ambing dalam revolusi yang bisa berpihak pada revolusi pada batasan-batasan tertentu dan pada periode-periode terntentu namun, di saat yang lain, berkemungkinan pula mengkhianati revolusi. Selanjutnya Partai memformulasikan bahwa dalam rangka agar kelas pekerja bisa memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin revolusi, maka harus didirikanlah suatu front persatuan dengan kelas-kelas dan kelompok-kelompok revolusioner lainnya berdasarkan aliansi buruh dan tani, serta di bawah pimpinan kelas pekerja.
Bagaimanapun juga terdapat kekurangan sangat serius di hari-hari berikutnya yang berkembang menjadi oportunisme Kanan atau revisionisme yaitu Partai belum sampai pada kesatuan pikiran paling jernih mengenai cara-cara pokok dan bentuk utama dari perjuangan revolusi Indonesia.
Revolusi Tiongkok, sebagaimana dikatakan oto-kritik, telah menyediakan pelajaran menyangkut bentuk utama perjuangan revolusi di negara-negara kolonial atau semi kolonial dan semi feodal, yaitu, perjuangan rakyat bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata. Segaris dengan esensi revolusi sebagai suatu revolusi agraria, maka esensi perjuangan rakyat bersenjata merupakan perjuangan bersenjata kaum tani dalam suatu revolusi agraria di bawah kepemimpinan kelas pekerja. Praktek revolusi Tiongkok merupakan penerapan pertama dan paling maju dari Marxisme Leninisme ke dalam kondisi-kondisi konkret di Tiongkok. Di saat yang bersamaan, ia telah menggariskan hukum umum bagi revolusi-revolusi untuk rakyat di negara-negara kolonial maupun semi kolonial dan semi feodal.
Demi mencapai kemenangan sepenuhnya, ditekankan bahwa revolusi Indonesia harus mengikuti jalan revolusi Tiongkok. Hal ini berarti bahwa revolusi Indonesia secara tidak terelakkan mengadopsi bentuk utama perjuangan, yaitu perjuangan rakyat bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata yang pada esensinya merupakan revolusi agraria bersenjata kaum tani di bawah pimpinan proletar.
Semua bentuk kerja legal dan parlementer harus melayani cara-cara pokok dan bentuk utama perjuangan, serta tidak boleh dengan cara apapun menghalangi proses pematangan perjuangan bersenjata.
Pengalaman selama lima belas tahun yang lalu telah mengajarkan kita bahwa memulai dengan tidak secara eksplisit menyangkal “jalan damai” dan tidak secara tegas berpegang pada hukum umum revolusi di negara-negara kolonial atau semi-kolonial dan semi-feodal, PKI secara perlahan-lahan telah terjerumus di parlementer dan dalam bentuk-bentuk perjuangan legal lainnya. Legalitas Partai tidak dipertimbangkan sebagai satu metode perjuangan pada suatu waktu dan dalam kondisi-kondisi tertentu, namun malah dianggap sebagai suatu hal prinsipil, sementara bentuk-bentuk lain dari perjuangan harus melayani prinsip ini. Bahkan ketika kontra-revolusi tidak hanya menjegal legalitas Partai bahkan melanggar hak-hak asasi manusia dari para Komunis pula, pimpinan Partai masih berusaha mempertahankan “legalitas” ini dengan segala daya upaya mereka.
“Jalan damai” didirikan secara kuat di dalam Partai ketika Sesi Pleno Keempat Konite Sentral Kongres Kelima pada tahun 1956 mengadopsi suatu dokumen yang mengijinkan garis revisionis Kongres ke-20 PKUS. Dalam situasi tersebut, dimana garis revisionis telah didirikan secara kuat di dalam Partai, maka mustahil untuk membetulkan garis Marxis-Leninis dari strategi dan taktik. Perumusan garis-garis utama strategi dan taktik Partai dimulai dari suatu kebimbangan antara “jalan damai” dan “jalan revolusi bersenjata”, dalam prosesnya “jalan damai” akhirnya menjadi dominan.
Di tengah kondisi-kondisi tersebut, Garis Umum PKI dirumuskan melalui Kongres Nasional Keenam (1959). Hal tersebut berbunyi “Untuk melanjutkan penyatuan front persatuan nasional, dan untuk melanjutkan pembangunan Partai, dengan demikian untuk mencapai tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945”. Berdasarkan Garis Umum Partai, ditetapkanlah slogan “Kibarkan Tripanji Revolusi Agustus 1945”, yaitu (1) panji front persatuan nasional, (2) panji pembangunan Partai, dan (3) panji Revolusi Agustus 1945. Garis Umum dimaksudkan sebagai jalan menuju demokrasi rakyat di Indonesia.
Pimpinan Partai berupaya menjelaskan bahwa Tripanji Partai merupakan tiga senjata utama untuk memenangkan revolusi demokratis rakyat, sebagaimana dikatakan Mao Tse Tung bahwa “suatu Partai yang berdisiplin dan dipersenjatai teori Marxisme-Leninisme, menggunakan metode oto-kritik dan berhubungan dengan massa rakyat, adanya suatu tentara di bawah kepemimpinan Partai tersebut, serta suatu front persatuan dari semua kelas dan kelompok revolusioner di bawah kepemimpinan Partai tersebut.”[4]
Dengan demikian senjata utama kedua berarti bahwa harus terdapat suatu perjuangan rakyat bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata di bawah kepemimpinan Partai. Kepemimpinan Partai berupaya menggantikan hal ini dengan slogan “Kibarkan panji Revolusi Agustus 1945”.
Demi membuktikan bahwa jalan yang ditempuh bukanlah “jalan damai” yang oportunis, kepemimpinan Partai selalu membicarakan adanya dua kemungkinan, kemungkinan “jalan damai” dan kemungkinan jalan non-damai. Mereka berpegang bahwa lebih baik bagi Partai untk mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan jalan non-damai, namun kemungkinan “jalan damai” lebih besar. Dengan demikian kepemimpinan Partai menuai pikiran para anggota Partai, kelas pekerja dan massa pekerja, yang mengharapkan jalan damai, yang nyatanya sama sekali tidak ada.
Dalam prakteknya, kepemimpinan Partai tidak mempersiapkan seluruh pengurus Partai, kelas pekerja dan massa rakyat untuk menghadapi kemungkinan jalan damai. Bukti paling mengejutkan dari hal ini adalah tragedi hebat yang terjadi setelah meletusnya dan gagalnya Gerakan 30 September. Dalam jangka waktu paling singkat, kontra revolusi berhasil dalam membantai dan menahan ratusan ribu komunis dan kaum revolusioner non komunis yang berada dalam posisi pasif, melumpuhkan organisasi PKI dan organisasi-organisasi massa revolusioner. Situasi demikian tentu tak akan terjadi lagi bila kepemimpinan Partai tidak menyimpang dari jalan revolusioner.
Kepemimpinan Partai menyatakan, menurut oto-kritik, bahwa “Partai kita tidak boleh menjiplak teori perjuangan bersenjata di luar negeri namun harus melaksanakan Metode Mengombinasikan Tiga Bentuk Perjuangan: perang gerilya di pedesaan (terutama oleh para buruh tani dan tani miskin), aksi revolusioner oleh para buruh (khususnya buruh transportasi) di perkotaan, dan kerja intensif di dalam tenaga-tenaga bersenjata musuh”. Kepemimpinan Partai mengkritik beberapa kawan yang dalam mempelajari pengalaman peruangan bersenjata rakyat Tiongkok, hanya memandang kemiripan-kemiripannya dengan kondisi-kondisi di Indonesia. Sebaliknya, kepemimpinan Partai mengajukan beberapa kondisi-kondisi yang konon berbeda juga harus dipertimbangkan, hingga akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa metode yang sesuai dengan revolusi Indonesia adalah “Metode Mengombinasikan Tiga Bentuk Perjuangan.”
Demi memenuhi tugas berat namun sekaligus tugas sejarah mulianya, demi memimpin revolusi rakyat melawan imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme birokrat, kaum Marxis-Leninis Indonesia harus dengan tegas menolak “jalan damai” revisionis, menolak “teori Metode Mengombinasikan Tiga Bentuk Perjuangan”, dan menjunjung tinggi panji revolusi rakyat bersenjata. Mengikuti contoh revolusi Tiongkok yang gemilang, kaum Marxis-Leninis harus mendirikan daerah-daerah basis revolusioner, mereka harus “membalikkan desa terbelakang menjadi daerah-daerah basis yang maju dan terkonsolidasi, menjadi kubu pertahanan kokoh revolusi baik dari segi militer, politik, maupun kebudayaan”.
Sembari bekerja untuk mewujudkan pertanyaan paling pokok ini kita juga harus melaksanakan bentuk-bentuk lain perjuangan; perjuangan bersenjata tidak akan pernah maju tanpa dikoordinasikan dengan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
* * * * *
Garis oportunisme kanan yang diikuti oleh kepemimpinan Partai juga tercermin dalam sikap mereka terhadap negara, khususnya negara Republik Indonesia, sebagaimana dikatakan oto-kritik.
Berdasarkan ajaran Marxis-Leninis tentang negara, bahwa tugas PKI, setelah gagalnya Revolusi Agustus 1945, seharusnya mendidik kelas pekerja Indonesia dan rakyat pekerja lainnya, sehingga mereka paham sepaham mungkin bahwa watak kelas Republik Indonesia adalah kediktatoran borjuis. PKI seharusnya membangkitkan kesadaran kelas pekerja dan rakyat pekerja bahwa perjuangan mereka untuk pembebasan secara tidak terelakkan akan menuju perlunya “penggantian negara borjuis” dengan negara rakyat di bawah kepemimpinan kelas pekerja, melalui “revolusi dengan kekerasan”. Namun kepemimpinan PKI malah mengambil garis oportunis yang menimbulkan ilusi di antara rakyat mengenai demokrasi borjuis.
Oto-kritik mengatakan bahwa puncak penyelewengan yang dilakukan kepemimpinan Partai terhadap ajaran Marxis-Leninis mengenai negara adalah formulasi “teori dua aspek dalam kekuasaan negara Republik Indonesia”.
“Teori dua aspek” memandang negara dan kekuasaan negara dengan cara berikut:
Kekuasaan negara Republik, dipandang sebagai suatu kontradiksi, merupakan kontradiksi antara dua aspek yang saling bertentangan. Aspek pertama adalah aspek yang mewakili kepentingan rakyat (diwujudkan melalui pendirian dan kebijakan progresif Presiden Sukarno yang didukung PKI dan kelompok-kelompok rakyat lainnya). Aspek kedua adalah aspek yang mewakili kepentingan musuh-musuh rakyat (diwujudkan melalui pendirian-pendirian dan kebijakan-kebijakan angkatan dan ekstrim sayap Kanan). Aspek rakyat kini telah menjadi aspek utama dan mengambil peran kepemimpinan dalam kekuasaan Republik.
“Teori dua aspek” jelas-jelas merupakan penyelewengan oportunis atau revisionis, karena menyangkal ajaran Marxis-Leninis bahwa “negara adalah alat kekuasaan dari suatu kelas konkret yang tidak bisa didamaikan dengan kutub lawannya (kelas pekerja yang berlawanan dengannya)[5]” Maka dari itu tidak mungkin bahwa Republik Indonesia bisa dikuasai secara bersama-sama antara rakyat dengan musuh rakyat.
Oto-kritik menyatakan bahwa kepemimpinan Partai yang berkubang dalam rawa oportunisme mengklaim bahwa “aspek rakyat” telah menjadi aspek utama dan meraih hegemoni dalam kekuasaan negara Republik. Seakan-akan rakyat Indonesia berada di dekat lahirnya suatu kekuasaan rakyat. Karena mereka menganggap bahwa kekuatan borjuis nasional dalam kekuasaan negara benar-benar menyusun suatu “aspek rakyat”, kepemimpinan Partai melakukan apapun untuk mempertahankan dan mengembangkan “aspek rakyat” ini. Kepemimpinan Partai seluruhnya meleburkan diri ke dalam kepentingan borjuasi nasional.
Dengan mempertimbangkan “aspek rakyat” borjuasi nasional dalam kekuasaan negara Republik, dan Presiden Sukarno dalam aspek ini, kepemimpinan Partai secara keliru menganggap bahwa borjuasi nasional mampu memimpin revolusi demokratis tipe baru. Hal ini bertentangan dengan tuntutan sejarah dan fakta-fakta historis.
Kepemimpinan Partai mendeklarasikan bahwa “teori dua aspek” sepenuhnya berbeda dari “teori reforma struktural”[6]. Bagaimanapun juga, pada kenyataannya, baik dari kenyataan teoritis maupun di atas kenyataan praktek, tidak ada perbedaan sama sekali di antara kedua “teori” tersebut. Keduanya mengambil titik permulaan dari “jalan damai” menuju sosialisme. Keduanya memimpikan perubahan berangsur-angsur di tengah perimbangan kekuatan-kekuatan dalam kekuasaan negara. Keduanya menolak jalan revolusi dan keduanya merupakan revisionis.
“Teori dua aspek” yang anti revolusioner dengan jelas menyorot dirinya sendiri melalui pernyataannya bahwa “perjuangan PKI dengan menghormati kekuasaan negara adalah untuk mempromosikan aspek pro-rakyat, sehingga membuatnya lebih kuat dan dominan, serta agar aspek anti-rakyat bisa disingkirkan dari kekuasaan negara”.
Kepemimpinan partai bahkan memberikan nama bagi jalan anti-revolusioner ini, mereka menamakannya jalan “revolusi dari atas dan dari bawah”. Dengan “revolusi dari atas” mereka bermaksud bahwa PKI “harus mendorong semua kekuasaan negara untuk mengambil langkah-langkah revolusioner yang diarahkan untuk membuat perubahan-perubahan yang diinginkan dalam personel dan organ-organ negara”. Sementara dengan “revolusi dari bawah” mereka bermaksud bahwa PKI “harus membangkitkan, mengorganisir, dan memobilisasi rakyat untuk mencapai perubahan-perubahan yang sama.” Benar-benar suatu khayalan yang luar biasa! Alih-alih muncul perubahan dalam kekuasaan negara, kepemimpinan Partai tidak belajar dari fakta bahwa konsep Presiden Sukarno tentang pembentukan kabinet gotong royong (pemerintahan tipe lama dari koalisi nasional), tidak pernah terwujud meskipun delapan tahun telah berlalu semenjak pengumumannya. Tidak ada satu pun tandanya akan direalisasikan, terlepas dari adanya tuntutan-tuntutan keras untuk membentuk hal tersebut.
Oto-kritik menekankan bahwa demi membersihkan dirinya dari rawa oportunisme, Partai kita harus membuang “teori dua aspek dalam kekuasaan negara” ini dan kembali mendirikan ajaran Marxis-Leninis mengenai negara dan revolusi.
* * * * *
Kongres Nasional Ke-5 Partai pada pokoknya telah memecahkan permasalahan front persatuan nasional secara teoritis. Kongres memformulasikan bahwa aliansi buruh dan tani adalah dasar dari front persatuan nasional. Dengan tetap menghargai peran borjuasi nasional, pelajaran telah diambil dari pengalaman selama Revolusi Agustus bahwa kelas ini memiliki karakter yang terombang-ambing. Dalam situasi tertentu borjuasi nasional mengambil peran dalam revolusi dan berpihak dengan revolusi, sementara di situasi lain mereka mengikuti jejak borjuasi komprador untuk menyerang tenaga-tenaga pendorong revolusi dan mengkhianati revolusi (sebagaimana yang mereka tunjukkan selama Provokasi Madiun dan persetujuan mereka terhadap kesepakatan Konferensi Meja Bundar). Berdasarkan karakter bimbang borjuasi nasional ini, Partai merumuskan pendirian yang harus diambil oleh PKI, yaitu mengadakan upaya terus menerus untuk memenangkan borjuasi nasional ke sisi revolusi, sembari menjaga kemungkinan mereka mengkhianati revolusi. Dengan demikian, oto-kritik ini menyebutkan bahwa, PKI harus mengikuti kebijakan persatuan dan perjuangan terhadap borjuasi nasional.
Meskipun demikian, karena kelemahan ideologis berupa subyektivisme dalam Partai, khususnya diantara pimpinan Partai belum dihapus, akibatnya Partai semakin terjerumus ke dalam kesalahan yang makin serius, bahkan sampai mengakibatkan Partai kehilangan independensinya dalam front persatuan dengan borjuasi nasional. Kesalahan yang berujung pada situasi dimana Partai dan kaum proletar diletakkan sekedar sebagai pelengkap borjuasi nasional.
Oto-kritik menyatakan bahwa perwujudan hilangnya independensi dalam front persatuan dengan kaum borjuasi nasional adalah evaluasi dan pendirian kepemimpinan Partai terhadap Sukarno. Pimpinan Partai tidak mengambil sikap independen terhadap Sukarno. Mereka selalu menghindari konflik dengan Sukarno, dan di sisi lain, juga terlalu menekankan kesamaan dan persatuan antara Partai dan Sukarno. Khalayak umum memandang bahwa tidak ada kebijakan Sukarno yang tidak didukung PKI. Dengan tanpa pertentangan sama sekali, pimpinan Partai bahkan menerima dengan sepenuhnya Sukarno sebagai “pemimpin besar revolusi” dan pemimpin “aspek pro-rakyat” dalam kekuasaan negara Republik. Dalam banyak artikel dan pidato, pimpinan Partai berulangkali mengatakan bahwa perjuangan PKI tidak hanya berdasarkan pada Marxisme-Leninisme, namun juga berdasarkan “ajaran-ajaran Sukarno”, bahwasanya PKI menempuh perkembangan pesat juga karena menyadari gagasan Sukarno akan persatuan Nasakom[7] dan lain sebagainya. Bahkan konsep sistem demokrasi rakyat di Indonesia dikatakan sepadan dengan gagasan-gagasan pokok Sukarno yang termuat dalam pidatonya, “Lahirnya Pancasila[8]” pada 1 Juni 1945.
Oto-kritik menolak pandangan keliru yang menyatakan bahwa “menerapkan Manifesto Politik (Manipol) secara konsisten sama halnya dengan menerapkan program PKI.”
Pernyataan yang mengatakan menerapkan Manipol sama dengan menerapkan program PKI hanya bisa ditafsirkan bahwa bukanlah program PKI yang diterima kaum borjuasi, melainkan sebaliknya, adalah program borjuasi nasional yang diterima PKI, dan dibuat untuk menggantikan program PKI.
Oto-kritik menyatakan bahwa penolakan prinsip-prinsip dalam front persatuan dengan borjuasi nasional telah menumbuhkan apa yang disebut sebagai “Garis Umum Revolusi Indonesia” yang dirumuskan sebagai berikut “Front Nasional memiliki buruh dan tani sebagai pilarnya, Nasakom sebagai intinya dan Pancasila sebagai basis ideologinya, untuk menuntaskan revolusi demokratis nasional demi maju menuju Sosialisme Indonesia”. Apa yang disebut sebagai “Garis Umum Revolusi Indonesia” ini sedikitpun tidak memiliki bau revolusi sama sekali. Karena tiga prasyarat untuk memenangkan revolusi, yaitu, keberadaan suatu Partai Marxis-Leninis yang kuat, perjuangan rakyat bersenjata di bawah pimpinan Partai, dan suatu front persatuan, hanya dari tiga hal inilah suatu front persatuan bisa dipertahankan. Dengan berkaca dari hal ini maka bisa disimpulkan bahwa front persatuan di masa lalu sama sekali bukanlah suatu front persatuan yang revolusioner, karena tidak dipimpin oleh kelas pekerja, tidak berdasarkan aliansi buruh dan tani yang dipimpin oleh kelas pekerja, namun sebaliknya berdasarkan Nasakom.
Kepemimpinan Partai menyatakan bahwa “slogan kerjasama nasional dengan Nasakom sebagai poros tidak akan mengaburkan watak kelas front persatuan nasional”. Pernyataan ini tidak benar. Watak kelas Nasakom adalah kelas pekerja, borjuasi nasional, dan mencakup pula elemen-elemen komprador, kapitalis birokrat, dan juga tuan tanah. Jelas sekali bahwa menempatkan Nasakom sebagai poros tidak hanya mengaburkan watak kelas front persatuan nasional namun juga secara drastis mengubah makna front persatuan nasional ke dalam persekutuan antara kelas pekerja dengan semua kelas dalam negeri, termasuk kelas-kelas reaksioner, dengan berdasarkan kolaborasi kelas.
Kesalahan ini harus dikoreksi. Partai harus membuang “Garis Umum Revolusi Indonesia” ke tempat sampah dan mengembalikan konsep front persatuan nasional revolusioner berdasarkan aliansi buruh dan tani di bawah kepemimpinan kelas pekerja.
Oto-kritik juga menyatakan bahwa pencampakan prinsip dalam front persatuan nasional dengan kaum borjuasi nasional juga disebabkan oleh ketidakmampuan Partai untuk merumuskan analisis yang tepat dan konkret terhadap situasi konkret.
Oto-kritik menunjukkan bahwa semenjak gagalnya Revolusi Agustus 1945, kecuali di Irian Barat, kaum imperialis tidak memegang kekuasaan politik secara langsung di Indonesia. Di Indonesia, kekuasaan politik terletak di tangan kaum komprador dan tuan tanah yang mewakili kepentingan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Disamping itu tidak ada agresi imperialis yang muncul lagi di Indonesia. Dalam situasi tersebut, bilamana PKI tidak membuat kesalahan-kesalahan politik, maka kontradiksi antara kelas-kelas penguasa reaksioner dan rakyat akan berkembang dan menajam menjadi kontradiksi utama di Indonesia. Tugas utama revolusi Indonesia adalah menggulingkan kekuasaan kelas-kelas reaksioner dalam negeri yang juga mewakili kepentingan-kepentingan imperialis, khususnya imperialis AS. Hanya dengan menempuh jalan inilah penghapusan sebenarnya terhadap imperialisme dan sisa-sisa feodalisme bisa dicapai.
Dengan mengoreksi kesalahan-kesalahan Partai dalam front persatuan nasional dengan kaum borjuasi nasional, tidak berarti sekarang Partai tidak perlu membangun persatuan dengan kelas ini. Dengan basis aliansi buruh dan tani di bawah pimpinan kelas pekerja, Partai kita harus memenangkan kelas borjuasi nasional ke sisi revolusi.
Kesalahan-Kesalahan Utama di Lapangan Organisasi
Oto-kritik mengatakan bahwa garis politik yang mendominasi Partai secara tak terelakkan diikuti dengan garis organisasi yang sama salahnya. Makin panjang dan makin intensif garis politik yang salah menguasai Partai, maka makin besar pula kesalahan dalam lapangan organisasi, dan makin besar pula kekalahan yang diakibatkannya. Oportunisme kanan yang menyusun garis politik Partai yang salah pada periode pasca 1951 telah diikuti dengan penyelewengan Kanan lainnya di lapangan organisasi yaitu liberalisme dan legalisme.
Garis liberalisme di lapangan organisasi mewujudkan diri berupa tendensi untuk membuat PKI sebagai Partai dengan keanggotaan sebesar mungkin, suatu partai sebagai organisasi longgar yang disebut sebagai Partai massa.
Oto-kritik menyatakan bahwa karakter massa dari Partai tidak ditentukan oleh besarnya keanggotaan, namun secara utama ditentukan dengan ikatan erat yang menghubungkan Partai dan Massa, dengan garis politik Partai yang membela kepentingan-kepentingan Massa, atau dengan kata lain dengan menerapkan garis massa. Dan garis massa Partai hanya bisa dipertahankan ketika prasayarat-prasyarat yang menentukan peran Partai sebagai detasemen maju telah digenggam erat, ketika anggota-anggota Partai telah tersusun dari elemen-elemen terbaik kaum proletar yang dipersenjatai dengan Marxisme-Leninisme. Konsekuensinya, mustahil membangun Partai Marxis-Leninis dengan karakter massa tanpa menekankan pentingnya pemberian pendidikan Marxis-Leninis.
Oto-kritik menunjukkan bahwa selama tahun-tahun terakhir, PKI telah melaksanakan garis pembangunan Partai yang melenceng dari prinsip-prinsip Marxisme Leninisme di lapangan organisasi.
Oto-kritik mengatakan bahwa ekspansi liberal keanggotaan Partai tidak bisa dipisahkan dari garis politik “jalan damai”. Keanggotaan luas ditujukan untuk meningkatkan pengaruh Partai dalam front persatuan dengan borjuasi nasional. Gagasannya adalah untuk memberi dampak perubahan sedikit demi sedikit dalam perimbangan kekuatan sehingga akan memungkinkan untuk mengalahkan sepenuhnya kekuatan-kekuatan penentang yang masih bertahan, sementara Partai tumbuh kian lama kian besar, sebagai tambahan untuk melanjutkan kebijakan persatuan dengan borjuasi nasional.
Penekanannya tidak lagi diberikan pada pendidikan dan pelatihan kader-kader Marxis-Leninis untuk menyiapkan mereka bagi revolusi, untuk bekerja di antara kaum tani demi mendirikan basis-basis revolusioner, melainkan ditekankan pada pemberian pendidikan kaum intelektual untuk mengabdi pada kebutuan bekerja dalam front persatuan dengan borjuasi nasional, serta menyuplai kader-kader ke berbagai jabatan dalam institusi negara yang diraih berkat kerjasama dengan borjuasi nasional. Slogan “integrasi total dengan kaum tani” dengan demikian tinggallah omong kosong belaka. Apa yang dikerjakan pada prakteknya adalah menarik kader-kader dari pedesaan ke perkotaan, dari daerah-daerah ke pusat, alih-alih mengirimkan kader-kader terbaik untuk bekerja di wilayah-wilayah pedesaan.
Demi meningkatkan prestis PKI di mata borjuasi, dan demi membuatnya dihargai sebagai intelektual Partai, Rencana 4 Tahun ditetapkan, dimana semua kader dari posisi-posisi yang lebih tinggi diharuskan untuk menempuh pendidikan akademis, kader-kader dari posisi-posisi menengah harus menempuh pendidikan SMA, dan kader-kader dari posisi-posisi bawah harus menempuh pendidikan SMP. Demi tujuan ini Partai mendirikan banyak akademi, sekolah, dan kursus. Begitu mengakarnya intelektualisme yang mencengkram pimpinan Partai hingga semua pimpinan Partai dan tokoh-tokoh gerakan kerakyatan diwahibkan menulis empat tesis demi mencapai gelar “Sarjana Marxis”.
Semakin dalam Partai terjerumus pada rawa oportunisme dan revisionisme, semakin besar kekurangannya dalam kesiagaan organisasional dan semakin ekstensif legalisme berkembang dalam organisasi. Kepemimpinan Partai telah kehilangan kewaspadaan kelasnya terhadap kepalsuan demokrasi borjuis. Semua aktivitas Partai diindikasikan seakan-akan “jalan damai” benar-benar tak terelakkan. Pimpinan Partai tidak membangkitkan kesiagaan massa anggota Partai terhadap bahaya serangan-serangan oleh kaum reaksioner yang terus menerus mencari celah untuk menyerang. Disebabkan oleh legalisme dalam lapangan organisasi inilah, dalam kurun waktu yang singkat kontra-revolusi berhasil melumpuhkan PKI secara organisasional.
Liberalisme dalam organisasi telah menghancurkan prinsip demokrasi internal dalam Partai, menghancurkan kepemimpinan kolektif, dan menimbulkan kepemimpinan perorangan serta kekuasaan perorangan, bahkan sampai memunculkan otonomisme.
Dalam situasi dimana liberalisme mendominasi garis organisasional Partai, mustahil untuk menyadari bagaimana cara Partai bekerja “untuk mengombinasikan teori dan praktek, untuk menjaga ikatan erat dengan massa dan menjalankan oto-kritik.” Sama mustahilnya untuk menyadari metode kepemimpinan yang esensinya adalah kesatuan antara pimpinan dan massa, untuk menyadari bahwa pimpinan harus memberi contoh pada pengurus-pengurus di bawahnya.
Oto-kritik menunjukkan bahwa karena itu, garis politik salah yang berkuasa dalam Partai dan diikuti dengan garis salah dalam lapangan organisasional yang menyalahi prinsip-prinsip Partai Marxis-Leninis, berakibat menghancurkan fondasi organisasional Partai, yaitu, sentralisme demokrasi, dan berakibat menjatuhkan cara kerja Partai dan metode kepemimpinannya.
Oto-kritik dengan empatis menunjukkan bahwa untuk membangun PKI sebagai Partai Marxis-Leninis, kita harus secara tuntas mencabut liberalisme di lapangan organisasi dan dari sumber ideologisnya. PKI harus dibangun kembali sebagai Partai tipe Lenin, suatu Partai yang akan mampu memenuhi tugasnya sebagai detasemen maju dan sebagai bentuk tertinggi organisasi kelas Proletar Indonesia, suatu Partai dengan tugas sejarah untuk memimpin massa rakyat Indonesia untuk mencapai kemenangan revolusi anti-imperialis, anti-feodal, dan anti-kapitalis birokrat, serta maju menuju sosialisme. Partai demikian harus memenuhi kondisi-kondisi berikut: secara ideologis dipersenjatai dengan teori Marxisme-Leninisme, dan bebas dari subyektivisme, oportunisme, dan revisionisme modern; secara politik harus memiliki program tepat yang menyertakan program revolusi agraria, memiliki pemahaman menyeluruh terhadap masalah-masalah strategi dan taktik revolusi Indonesia, menguasai bentuk dasar perjuangan, yaitu, perjuangan bersenjata kaum Tani di bawah pimpinan proletar, sebagai mana bentuk-bentuk perjuangan lainnya, mampu mendirikan front persatuan revolusioner dari semua kelas anti imperialis dan anti feodal dengan berdasarkan aliansi buruh-tani di bawah pimpinan kelas pekerja; Secara organisasional harus memiliki akar yang kuat dan dalam terhadap massa-rakyat, tersusun dari anggota-anggota Partai yang bisa dipercaya, berpengalaman, dan terbajakan, yang mana merupakan teladan dalam penerapan tugas-tugas nasional.
Hari ini, kita membangun kembali Partai kita di bawah kekuasaan terror putih kontra revolusioner yang paling kejam dan bengis. Legalitas Partai dan hak-hak asasi manusia dari kaum Komunis telah dilanggar secara semena-mena. Karena itu Partai harus diorganisir dan bekerja secara ilegal sepenuhnya. Sembari bekerja dalam ilegalitas sepenuhnya, Partai harus mahir dalam menggunakan seluruh kesempatan yang memungkinkan untuk menjalankan aktivitas-aktivitas legal sesuai kondisi-kondisi tertentu, dan memilih jalan dan cara yang bisa diterima oleh massa dengan tujuan memobilisasi massa untuk perjuangan dan memimpin perjuangan ini selangkah demi selangkah menuju tahapan yang lebih tinggi.
Oto-kritik menekankan bahwa dalam pembangunan ulang PKI di atas garis Marxis-Leninis, perhatian terbesar harus dicurahkan pada pembangunan organisasi-organisasi Partai di daerah-daerah pedesaan, untuk pendirian basis-basis revolusioner.
Tugas untuk membangun suatu Partai Marxis-Leninis, sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, memerlukan kerja berat dan terus-menerus, serta penuh bahaya, dan sebagai konsekuensinya harus dijalankan dengan berani, telaten, teguh, dan hati-hati.
Jalan Keluar
Oto-kritik menyatakan bahwa sekali kita mengetahui kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan Partai selama periode pasca 1951 sebagaimana yang dijelaskan di atas, jelas apa yang harus kita lakukan adalah menyadari tugas-tugas paling mendesak yang dihadapi oleh Kaum Marxis-Leninis Indonesia di saat ini, pertama adalah membangun kembali PKI sebagai suatu Partai Marxis-Leninis yang bebas dari subyektivisme, oportunisme, dan revisionisme modern.
Untuk membangun PKI sebagai suatu Partai Marxis-Leninis demikian, kader-kader Partai dari semua tingkatan dan selanjutnya semua anggota Partai harus mencapai kesatuan pikiran yang menyadari kesalahan-kesalahan Partai di masa lalu, serta jalan baru yang harus diambil selanjutnya.
Untuk mencapai kesatuan pikiran tersebut, gerakan pembetulan harus dijalankan di seluruh Partai. Melalui gerakan pembetulan ini kita akan mengarahkan gagasan-gagasan keliru di masa lalu menjadi gagasan-gagasan yang tepat. Demi maju menuju jalan baru maka sepenuhnya diperlukan pencampakan terhadap jalan keliru.
Dalam situasi saat ini, tidak akan mudah untuk mencapai kesatuan pikiran menyangkut semua kesalahan di masa lalu hingga sedetil-detilnya. Namun apa yang sepenuhnya diperlukan adalah kesatuan pikiran terhadap permasalahan-permasalah mendasar yang diangkat dalam oto-kritik ini.
Oto-kritik menyatakan bahawa kesalahan-kesalahan oportunis dan revisionis di lapangan-lapangan politik dan organisasi yang diperbuat oleh Partai, yang menjadi sasaran dari kritik ini, tidak semata-mata dihasilkan dari kondisi-kondisi sosial dan historis dari dekade lalu, namun bisa dilacak balik dari kondisi-kondisi sosial dan historis sejak pendirian Partai kita. Karena itu kita harus menyingkirkan pikiran yang menganggap semuanya akan baik-baik saja sepanjang kita memiliki kritik dan oto-kritik di masa kini. Sepanjang ideologi subyektivisme tidak dihapus sepenuhnya dari Partai, atau lebih parah lagi, sepanjang ideologi subyektivisme masih bisa ditemukan diantara pimpinan Partai, maka Partai kita tidak akan mampu menghindari kesalahan-kesalahan oportunisme Kanan atau oportunisme “Kiri”, karena bila demikian Partai tidak akan mampu menganalisis situasi politik dengan tepat dan sebagai akibatnya tidak akan mampu memberi arahan-arahan kerja yang tepat. Hal ini di atas segalanya merupakan tugas pimpinan dan kader-kader inti, serta selanjutnya tugas pimpinan daerah dan kader-kader daerah di semua tingkatan untuk memerangi subyektivisme secara gigih dan sepenuh hati.
Subyektivisme bisa diperangi secara efektif dan dilikuidasi ketika kemampuan seluruh Partai untuk membedakan ideologi proletar dari ideologi borjuasi kecil ditumbuhkan, dan ketika kritik dan Oto-Kritik dikembangkan. Peningkatkan kemampuan seluruh Partai untuk membedakan ideologi proletar dari ideologi borjuasi kecil hanya bisa dimungkinkan melalui pengintesifan pendidikan Marxisme-Leninisme. Partai harus mendidik anggota-anggotanya untuk menerapkan metode Marxis-Leninis dalam menganalisis situasi politik dan mengevaluasi tenaga-tenaga dari kelas-kelas yang ada, sehingga analisis subyektif dan evaluasi subyektif bisa dihindari. Partai harus menarik perhatian anggota-anggota terhadap pentingnya investigasi dan studi kondisi-kondisi sosial ekonomi, agar mampu merumuskan taktik-taktik perjuangan dan metode kerja. Partai harus membantu anggota-anggotanya untuk memahami bahwa tanpa investigasi terhadap kondisi-kondisi aktual, mereka akan terjerumus dalam fantasi.
Oto-kritik secara empatis menunjukkan bahwa pengalaman perjuangan yang dikobarkan oleh Partai di masa lalu telah menunjukkan betapa mutlak tak tergantikannya bagi kaum Marxis-Leninis Indonesia, yang memutuskan mempertahankan Marxisme Leninisme dan memerangi revisionisme modern, untuk tidak saja mempelajari ajaran-ajaran Marx, Engels, Lenin, dan Stalin, namun juga untuk mencurahkan perhatian istimewa untuk mempelajari Pemikiran Mao Tse Tung yang telah berhasil secara gemilang dalam mewarisi, mempertahankan, dan mengembangkan Marxisme-Leninisme hingga puncaknya di masa kini.
PKI akan mampu menjunjung tinggi panji Marxisme-Leninisme hanya bila ia memiliki pendirian dalam perjuangan melawan revisionisme modern yang kini berpusat di antara kelompok pimpinan PKUS. Perjuangan melawan revisonisme modern tidak bisa dijalankan secara konsisten bilamana, pada saat yang bersamaan, mempertahankan persahabatan dengan kaum revisionis modern. PKI harus sepenuhnya mencampakkan sikap salahnya di masa lalu dalam hal hubungan-hubungan dengan kaum revisionis modern. Kesetiaan pada internasionalisme proletar hanya bisa dimanifestasikan melalui pendirian tanpa ampun dalam perjuangan melawan revisionisme modern, karena revisionisme modern telah menghancurkan internasionalisme proletar, dan mengkhianati perjuangan kaum proletar dan rakyat tertindas di seluruh dunia.
Dalam pembangunan kembali Partai, kaum Marxis-Leninis Indonesia harus menaruh perhatian istimewa terhadap penciptaan kondisi-kondisi yang akan menuju pada revolusi agraria kaum tani yang akan menjadi bentuk utama perjuangan untuk memenangkan revolusi demokratis rakyat di Indonesia. Hal ini berarti bahwa perhatian paling besar harus diberikan pada pembangunan kembali organisasi-organisasi Partai di wilayah-wilayah pedesaan. Perhatian terbesar harus diberikan pada solusi terhadap masalah membangkitkan, mengorganisasikan, dan menggerangkan kaum tani dalam revolusi agraria anti-feodal. Integrasi Partai dengan tani, khususnya dengan buruh tani dan kaum tani miskin, harus dijalankan dengan sadar. Karena hanya melalui integrasi demikian maka Partai mampu memimpin kaum tani, dan kaum tani, akan mampu menjadi benteng tak terkalahkan bagi revolusi demokratis rakyat.
Akibat serangan teror putih ketiga, organisasi-organisasi Partai di daerah-daerah pedesaan pada umumnya telah menderita kerusakan parah. Kenyataan demikian telah menyebabkan makin sulitnya dan makin beratnya kerja di pedesaan. Namun hal ini tidak sedikitpun mengubah hukum yang berlaku terus menerus bahwa tenaga utama revolusi demokratis rakyat di Indonesia adalah kaum tani, dan daerah basisnya adalah pedesaan. Dengan tekad bulat bahwa segalanya adalah untuk massa, kaum Marxis-Leninis Indonesia pasti mampu mengatasi kesulitan-kesulitan paling besar. Dengan kepercayaan sepenuh hati pada massa dan bersandar kepada massa, kaum Marxis-Leninis Indonesia pasti akan mampu mengubah pedesaan Indonesia yang terbelakang, menjadi kubu militer, politik, dan kebudayaan yang terkonsolidasikan untuk revolusi.
Kaum tani Indonesia adalah kaum yang paling tertarik pada revolusi demokratis rakyat. Karena hanya dengan revolusi ini mereka akan membebaskan diri mereka dari keterbelakangan kehidupan dan ketimpangan yang diakibatkan penindasan feodal. Ini adalah satu-satunya revolusi yang akan memberikan apa yang telah mereka idam-idamkan seumur hidup mereka dan yang akan memberi mereka kehidupan: tanah. Inilah mengapa kaum tani pasti akan menempuh jalan revolusi untuk tanah dan pembebasan, tak peduli betapa berat dan berlikunya jalan ini nantinya.
Pastinya, tugas kedua kaum Marxis-Leninis saat ini adalah penciptaan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi revolusi agraria bersenjata kaum tani di bawah pimpinan kelas proletar. Asalkan kaum Marxis-Leninis Indonesia berhasil dalam membangkitkan, mengorganir, dan memobilisasi kaum tani untuk melaksanakan revolusi agraria anti feodal, pimpinan kelas pekerja dalam revolusi demokratis rakyat dan kemenangan revolusi ini sudah terjamin.
Bagaimanapun juga Partai harus melanjutkan upaya-upaya untuk mendirikan front persatuan revolusioner dengan kelas-kelas dan kelompok-kelompok anti imperialis serta anti feodal. Berdasarkan aliansi kelas pekerja dan kaum tani di bawah pimpinan kelas proletar, Partai harus bekerja untuk memenangkan borjuasi kecil perkotaan dan semua tenaga demokratis lainnya, serta harus melaksanakan pekerjaan untuk memenangkan borjuasi nasional sebagai sekutu tambahan dalam revolusi demokratis rakyat. Kondisi-kondisi obyektif saat ini menawarkan kemungkinan mendirikan front persatuan revolusioner yang luas.
Kediktatoran militer sayap kanan Jenderal Nasution dan Suharto merupakan perwujudan kekuasaan dari kelas-kelas paling reaksioner dalam negeri, yaitu borjuasi komprador, kapitalis birokrat, dan tuan tanah. Kelas-kelas reaksioner dalam negeri di bawah pimpinan klik jenderal militer sayap Kanan, menjalankan kediktatoran terhadap rakyat Indonesia, dan berlaku sebagai anjing penjaga kepentingan imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat di Indonesia. Akibatnya, kedikatoran militer jenderal-jenderal sayap Kanan sudah pasti akan mengintensifkan penindasan dan penghisapan rakyat Indonesia oleh imperialisme dan feodalisme.
Kediktatoran militer jenderal-jenderal Sayap Kanan Angkatan Darat mewakili kepentingan segelintir minoritas yang menindas mayoritas luas rakyat Indonesia. Itulah mengapa kediktatoran militer jenderal-jenderal Sayap Kanan Angkatan Darat pasti akan berhadapan dengan perlawanan massa rakyat luas.
Karena itu, tugas mendesak ketiga yang dihadapi oleh Kaum Marxis-Leninis Indonesia adalah untuk mendirikan front persatuan revolusioner dengan semua kelas dan kelompok anti imperialis dan anti feodal berdasarkan aliansi buruh dan tani di bawah pimpinan kelas pekerja.
Dengan demikian telah jelas bahwa untuk memenangkan revolusi demokratis rakyat, kaum Marxis-Leninis Indonesia harus menjunjung tinggi Tri Panji Partai, yaitu:
Panji pertama, pembangunan Partai Marxis-Leninis yang bebas dari subyektivisme, oportunisme, dan revisionisme modern.
Panji kedua, perjuangan rakyat bersenjata yang pada pokoknya adalah perjuangan bersenjata kaum tani dalam revolusi agraria anti feodal di bawah pimpinan kelas pekerja.
Panji ketiga, front persatuan revolusioner berdasarkan aliansi buruh dan tani di bawah pimpinan kelas pekerja.
Tugas-tugas yang dihadapi oleh kaum Marxis-Leninis Indonesia sangatlah berat. Mereka harus bekerja di bawah teror dan penindasan paling beringas, biadab, serta tidak ada bandingannya dalam sejarah. Meskipun demikian, kaum Marxis-Leninis Indonesia tidak memiliki keraguan sedikitpun bahwa, dengan membetulkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh Partai di masa lalu, kini mereka berbaris di atas jalan yang tepat, jalan revolusi demokratis rakyat. Tak peduli betapa berkepanjangan, berliku, dan penuh kesulitan, ini adalah satu-satunya jalan menuju Indonesia Baru yang merdeka dan demokratis, Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh rakyat Indonesia. Demi tujuan mulia inilah, kita harus memiliki keberanian untuk melintasi jalan panjang.
Oto-kritik menunjukkan bahwa kaum Marxis-Leninis Indonesia dan kaum revolsioner, dengan dasar pengalaman perjuangan mereka sendiri, tidak memiliki keraguan sedikitpun mengenai kebenaran tesis Kawan Mao Tse Tung bahwa “kaum imperialis dan kaum reaksioner semuanya adalah macan kertas. Penampilannya saja menakutkan namun kenyataannya mereka tidak terlalu kuat. Dari sudut pandang jangka panjang, bukanlah kaum reaksioner melainkan rakyatlah yang sesungguhnya kuat.” Kediktatoran jenderal-jenderal Sayap Kanan Angkatan Darat yang kini berkuasa juga adalah macan kertas. Tampilannya kuat dan menakutkan. Namun kenyataannya tidaklah terlalu kuat, karena mereka tidak didukung, sebaliknya ditentang oleh rakyat, karena kedudukan-kedudukan mereka dikepung oleh kontradiksi-kontradiksi, dan karena mereka bertikai di antara mereka sendiri demi mendapatkan bagian terbesar hasil rampokan dan kekuasaan yang lebih besar. Kaum imperialis, khususnya imperialis AS yang merupakan pendukung utama kedikatoran militer jenderal-jenderal Sayap Kanan Angkatan Darat, juga merupakan macan kertas. Tampilannya kuat dan menakutkan namun kenyataannya mereka lemah dan mendekati keruntuhan mereka yang sepenuhnya. Kelemahan imperialisme, khususnya imperialisme AS, dengan gamblang ditunjukkan oleh ketidakmampuan mereka untuk menguasai rakyat Vietnam yang heroik dan gelombang perjuangan anti-imperialis yang dikobarkan oleh rakyat di seluruh penjuru dunia, termasuk rakyat Amerika sendiri, yang dengan murka menjatuhkan pukulan pada benteng-benteng imperialisme.
Dari sudut pandang strategis, kaum imperialis dan kaum reaksioner lemah, serta akhibatnya kita harus membenci mereka. Dengan membenci musuh, secara strategis kita bisa membangun keberanian untuk melawan mereka, dan kepercayaan diri bahwa kita bisa mengalahkan mereka. Pada saat yang bersamaan kita harus menganggap mereka semua secara serius, mempertimbangkan semua kekuatan mereka secara taktis, dan menjauhkan diri dari mengambil langkah-langkah avonturir melawan mereka.
Oto-kritik mengatakan bahwa kini, kita berada dalam era dimana imperialisme menuju keruntuhan totalnya dan sosialisme tengah berbaris menuju kemenangannya di seluruh penjuru dunia. Tak ada kekuatan di muka bumi yang bisa mencegah kehancuran total imperialisme dan semua kaum reaksioner lainnya, dan tak ada kekuatan yang bisa menghalangi kemenangan Sosialisme di seluruh dunia. Kediktatoran militer jenderal-jenderal sayap Kanan angkatan darat, sebagai anjing penjaga kepentingan-kepentingan Imperialisme di Indonesia, juga tidak mampu untuk mengelak dari kehancurannya. Pembantaian serta penyiksaan kejam dan biadab terhadap ratusan ribu kaum Komunis dan demokrat yang masih berlangsung hingga kini, tidak akan mampu mencegah rakyat dan kaum Komunis untuk bangkit dan melawan. Sebaliknya, semua kekejaman dan kebrutalan hanya akan mengintensifkan perlawanan rakyat. Kaum komunis akan membalis kematian ratusan ribu kawan-kawannya dengan tekad untuk mengabdi lebih baik lagi pada rakyat, revolusi, dan Partai.
Kaum Marxis-Leninis Indonesia tidak akan membuang daya dan upaya untuk memenuhi harapan-harapan terbaik kaum Marxis-Leninis sedunia dengan sepenuhnya mempertahankan Marxisme-Leninisme dan berjuang melawan revisionisme modern, dengan bekerja lebih baik lagi bagi pembebasan rakyat dan negaranya, serta demi revolusi proletar sedunia.
Kaum Marxis-Leninis Indonesia yang satu dalam pikiran dan tekad untuk menempuh jalan revolusi, dengan menaruh kepercayaan sepenuh hati pada rakyat, dengan bersandar pada rakyat, dengan bekerja secara berani, tekun, telaten, sabar, tangguh, dan siaga, pasti akan mampu menunaikan tugas sejarahnya, yaitu memimpin revolusi demokratis rakyat, untuk menghancurkan kediktatoran militer jenderal-jenderal sayap Kanan Angkatan Darat dan untuk mendirikan kekuaasaan yang sepenuhnya baru, yaitu kediktatoran demokratis rakyat. Dengan kediktatoran demokratis rakyat, kekuasaan gabungan semua kelas dan kelompok anti imperialis dan anti feodal di bawah pimpinan kelas pekerja, rakyat Indonesia akan sepenuhnya menghapuskan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme serta membangun masyarakat baru yang merdeka dan demokratis, serta maju menuju Soosialisme dimana penindasan dan penghisapan manusia oleh manusia tidak akan ada lagi.
Mari bersatu untuk menempuh jalan revolusi yang diterangi oleh ajaran Marxisme-Leninisme, jalan yang menuju pembebasan rakyat Indonesia dan kaum proletar, jalan menuju Sosialisme.
----------------------------------------------------------------------
[1] Pada 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September, suatu kelompok yang terdiri dari perwira-perwira menengah di kalangan militer, menculik sejumlah Jenderal tingkat atas dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pimpinan kelompok tersebut menyatakan bahwa tujuan mereka adalah menggagalkan kudeta Jenderal-Jenderal sayap kanan dan menghadapkan mereka ke Sukarno. Menurut beberapa sejarawan, Gerakan 30 September disusupi agen provokator yang berafiliasi dengan Suharto. Aksi itu kemudian dicap sebagai “upaya kudeta” PKI dan merupakan prakondisi menuju pengambilalihan kekuasaan oleh klik Militer pimpinan Suharto dan Nasution serta pembantaian ratusan ribu orang yang dicap sebagai anggota dan simpatisan PKI.
[2] Mao Tsetung, “Our Study and the Current Situation,” Selected Works, Vol. III
[3] V.I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism.
[4] Mao Tsetung, “On the People’s Democratic Dictatorship,” Selected Works, Vol. IV.
[5] V.I. Lenin, The State and Revolution.
[6] “Teori reforma struktural”, mengacu pada teori revisionis Partai Komunis Italia yaitu “teori mengejar reforma-reforma secara berangsur-angsur dalam struktur negara borjuis saat ini dengan menggunakan cara-cara parlementer.
[7] Nasakom adalah akronim dari Nasionalis, Agama, Komunis. Sukarno mengajukan konsep ini untuk menggagas persatuan dari apa yang dianggapnya sebagai tiga kelompok besar di Indonesia, yaitu kaum nasionalis, agamawan, dan komunis.
[8] Pancasila adalah lima prinsip yang dikemukakan Sukarno sebagai landasan negara borjuis di Indonesia: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.