Judul resensi di indoprogres:
Judul buku: What the Market does to People: Privatization, Globalization, and Poverty
Penulis: David Macarov
Kota terbit, penerbit: London, Zed Books
Tahun terbit : 2003
Tebal buku : 183 halaman
1 MEI 2014 yang lalu menjadi ruang dengan banyak kaca besar berjejeran di sepanjang jalan, yang memantulkan kesadaran banyak lulusan universitas produk privatisasi, mengenai buruh dan kemiskinan. Banyak mahasiswa dan mereka yang merupakan jebolan dari universitas-universiats ternama di ibukota nyinyir dan cenderung kesal terhadap aksi-aksi buruh dalam memperingati May Day atau hari buruh internasional.
Intinya, ‘kaum terpelajar’ yang tengah menempuh pendidikan tinggi maupun yang telah menjadi sarjana itu tidak rela jika buruh punya gaya hidup yang ‘mewah’ seperti mereka dan bukannya bersyukur dengan kebutuhan-kebutuhan pokok/primer saja, padahal mereka (para buruh) sudah selayaknya hidup miskin karena buruh hanyalah lulusan SMA dan bukan lulusan S1 atau D3.2
Saya jadi teringat sebuah momen di masa lalu ketika salah satu dosen saya, pengajar mata kuliah Politik di Amerika Latin, menanyakan sebuah pertanyaan kepada seluruh peserta mata kuliah di kelas itu ‘Apa penyebab kemiskinan?’ Banyak yang terdiam, hingga salah seorang teman saya mengacungkan jarinya dan kemudian menjawab dengan cukup ngasal dan (sayangnya) juga lantang ‘Mereka miskin karena mereka malas, Mas.’ Dosen saya tersebut langsung meninggikan intonasinya dan berkata ‘Coba nanti kamu bangun jam 2 pagi dan langsung ke pasar tradisional, ya. Bisa pasar minggu atau yang lainnya. Lihat para kuli panggul yang hidup miskin di lorong-lorong pasar di sana sudah memanggul banyak sayur-sayuran berkuintal-kuintal di jam segitu, persis ketika kebanyakan orang masih tertidur lelap. Mereka sungguh pemalas, kan!’
Perdebatan mengenai definisi kemiskinan, ukuran-ukurannya, penyebab-penyebabnya serta upaya untuk mengatasi persoalan kemiskinan, tak pelak lagi merupakan salah satu perdebatan paling abadi sepanjang masa. Lebih-lebih di Indonesia, dimana kemiskinan seringkali dianggap sebagai hasil dari perbuatan perseorangan, individu yang malas, tidak punya jiwa entrepreneurship, dan sama sekali jauh dari problem yang sifatnya lebih struktural. Pertanyaannya, apa pentingnya membahas kemiskinan? Bukankah kemiskinan itu bersifat sangat relatif? Tergantung dari kemampuan tiap individu mensyukuri apa yang telah dianugerahkan padanya? Bukannya memang sudah sunatullah atau sudah seharusnya ada yang kaya dan ada yang miskin? Buku yang ditulis oleh David Macarov ini dengan cukup baik memetakan berbagai pertanyaan dan argumentasi yang mungkin terbayang di benak khalayak ketika mendengar kata kemiskinan.
Apa yang Dimaksud dengan Kemiskinan?
Kemiskinan adalah sebuah masalah, mungkin semua orang bisa bersetuju. Hanya saja, masalah yang seperti apa dan dari sudut pandang/perspektif yang seperti apa, tentu akan sangat berbeda-beda dan beragam. Pada titik inilah, pendefinisian mengenai kemiskinan dapat dilihat signifikansinya. Pendefinisian kemiskinan dapat menjadi pintu awal untuk membantu kita menganalisis berbagai pertanyaan yang menyertai kemiskinan: apa yang menjadi penyebab kemiskinan, serta posisi dan masukan kita terhadap permasalahan kemiskinan.
Perdebatan mengenai definisi kemiskinan hampir bisa dipastikan selalu terjadi sepanjang waktu. Jejak kemiskinan sendiri sudah dapat dikenali semenjak ribuan tahun yang lalu yang ditandai dengan peninggalan berbagai agama dalam menangani kemiskinan. Seperti misalnya konsep zakat dalam Islam yang menjadi ‘jawaban’ paling dikenal dalam mengatasi problem kemiskinan. Namun, apa yang dimaksud dengan kemiskinan, hingga kini masih banyak yang memperdebatkan definisinya. Dalam buku ‘What the Market does to People: Privatization, Globalization, and Poverty’ ini, Macarov mengidentifikasi bahwa terdapat beberapa pendapat umum yang berkembang seputar definisi kemiskinan.
Dalam hal ini, definisi kemiskinan seringkali ditetapkan sebuah pemerintahan suatu negara melalui penggambaran apa yang dikenal sebagai ‘garis kemiskinan’. Penggambaran mengenai ‘garis kemiskinan’ ini cenderung berbeda-beda dan tidak sama di setiap negara. Menurut Macarov, perbedaan ini sangat bergantung pada tujuan negara menetapkan ‘garis kemiskinan’ itu sendiri. Macarov menjelaskan bahwa beberapa negara menetapkan ‘garis kemiskinan’ dengan menggunakan ukuran-ukuran kemiskinan absolut, yakni berdasarkan pendapatan dan asset yang dimiliki seorang warga negara. Sementara itu, ada juga negara yang menetapkan ‘garis kemiskinan’ berdasarkan ukuran-ukuran yang bersifat relatif.
sumber: KLIK DISINI
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.