TANPA peran besar RM. Tirto Adhisuryo (TAS), niscaya para Pejuang Kemerdekaan berikutnya, seperti : Wahidin Sudiro Husodo, dr. Soeomo, Cokro Aminoto, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Marco Kartodikromo, Semaun, Alimin, Tan Malaka, Haji Misbach, Ali Archam, Mas Manyur, Ki Hajar Dewantoro, Muso, Cipto Mangun Kusumo, Muh.Yamin, Soekarno, Hatta, Amir Syarifudin, Sutan Syahrir, dan lain lain. Mereka masih harus menghabiskan waktunya untuk mencari Identitas Nasionalisme di Tanah Hindia-Belanda.
1. Pendahuluan, Tinjauan Singkat Kedudukan Identitas Nasionalsme dalam Kajian Postkolonialisme
Konsep tentang Nasionalisme dalam kajian Postkolonial menduduki peran yang sangat penting, bukan hanya sebagai energi bagi perjuangan anti-kolonialisme di seluruh dunia, utamanya di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Nasionalisme sendiri pertama berkaitan dengan sebuah konsep tentang identitas sebuah bangsa atau “Nation” ditengah dominasi penjajahan bangsa asing yang berkontradiksi dengan kepentingan atau bangsa yang dijajah. Bentuk-bentuk penjajahan asing (Kolonialisme) ini terjadi dalam berbagai bidang, dengan sekalanya yang luas. Praktek kolonialisme lebih sering dipenuhi oleh wajah kekerasan terhadap korbanya, yaitu bangsa-bangsa yang dijajah.
Penelitian tentang identitas nasionalisme juga selalu berkaitan erat dengan akar sejarah akan identitas nasional sebuah bangsa, atau bagaimana embrio kelahiran identitas nasional sebuah bangsa itu dipahami dan mulai membangun dirinya. Konsep nasionalisme pada umumnya merupakan aspek penting dari sejarah moderen sebuah bangsa tersebut, pada saat dan dengan cara apa kemudian dia mengidentifikasikan dirinya sebagai subyek bangsa atas identitasnya bangsa dalam dunia kontemporer hari ini.
Konsep dan ide tentang identitas nasionalisme ini memiliki banyak sekali medan kajian dan disertai berbagai macam dampak serta implikasi-implikasinya, baik implikasi terhadap bangsa yang menjajah, terlebih lagi dampak yang ditimbulkan terhadap bangsa-bangsa yang mengalami penjajahan. Kajian tentang identitas nasionalisme tak dapat dipungkiri berlangsung sangat dinamis dan penuh perdebatan, terutama diantara para pemikir Postkolonial dan berbagai disiplin ilmu sosial lainya sejak awal kemunculanya hingga hari ini.
Dari berbagai macam teori dan konsep luas tentang identitas nasionalisme dalam kajian postkolonial ini, saya hanya akan mengutip dan menjelaskan beberapa bahan saja yang saya anggap relevan dengan tema paper kecil saya ini, dan tentunya juga kutipan singkat dari begitu melimpahnya buku-buku dan karya-karya yang telah mereka (teoritisi Postcolonial) hasilkan dalam dunia akademik.
Pertama, Ania Lomba sebagai salah satu pemikir Postkolonial dalam bukunya “Kolonialisme / Pascakolinialisme”, pada Halaman 239 dan 240, menjelaskan :
“Apa yang diperlukan oleh Subjek-subjek kolonial untuk beralih dari keterasingan ke pemberontakan, dari kesadaran ketidak adilan ke perlawanan ?”
“Maka Perjuangan-perjuangan anti kolonial harus menciptakan identitas-identitas baru yang kuat bagi rakyat-rakyat terjajah, dan menentang kolonialisme bukan saja pada tingkat politis atau intelektual, tetapi juga pada tingkat emosional. Dalam berbagai konteks, gagasan bangsa adalah wahana yang kuat untuk menyatukan energi-energi anti kolonial pada semua tingkatan”.
Kesadaran akan ketidak adilan bagi bangsa-bangsa terjajah, dalam hal ini kaum Pribumi di Hindia adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam pencarian Identitas nasionalisme, Tirto Adhisuryo dalam memulai karir Jurnalistik pada awalnya banyak menulis untuk membela keadilan bagi kaum Pribumi yang dirugikan oleh beberapa pejabat Kolonial belanda. Dari beberapa tulisan atas pembelaanya atas kaum pribumi kelas menengah dan dari kelas bawah inilah, kemudian Tirto merumskan sebuah pencarian identitas awal, yaitu bangsa yang “memerentah” dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda, dan bangsa yang “terprentah” dalam hal ini semua suku bangsa baik berasal dari suku-suku pribumi sendiri, juga bangsa Indo dan peranakan Timur asing seperti Tionghwa, Arab, India dan lain-lain, yang hidup dan tinggal di Hindia saat itu. Apa yang dilakukan Tirto dalam mengidentifikasi Nasionalisme Hindia ini, menunjukkan kemampuanya dalam menyatukan energi-energi anti kolonial secara lebih luas dari masa sebelumnya. Sementara Leela Gandi pada bukunya halaman 129, mengutip Ernest Gellner menjelaskan bahwa :
“Kemunculan nasionalisme dengan perubahan yang berhubungan dari Ekonomi Pra-Industri ke ekonomi Industri, sebagai bentuk-bentuk organisasi sosial yang menjadi lebih kompleks dan bervariasi”
“ ... Mobilitas, komunikasi, ukuran menurut perbaikan spesialisasi, yang ditentukan oleh masa Industri, dan oleh kebutuhan akan pertumbuhan dan kemakmuran – mengharuskan unit-unit sosial-nya menjadi besar dan seara kultural tidak homogen. Pemeliharaan kebudayaan sejenis ini yang mutlak tinggi (karena terpelajar) memerlukan perlindungan dari sebuah bangsa...”
(Galner 1983, hlm.141).
Apa yang dikatakan Galner, dalam pembentukan Identitas Nasionalisme di Indonesia sangat relevan, terutama pada masa lahirnya Zaman Modal dan Zaman Moderen yang membawa Hindia Belanda memasuki Industrialisasi secara besar-besaran, diiringi munculnya kota-kota perdagagan yang moderen, angkutan kereta api dan lain-lain. Kondisi ini berlangsung pada akhir Abad ke-19 dan awal Abad ke-20. Pengaruh Industrialisasi di Hindia ini kemudian melahirkan kelas menengah Pribumi terpelajar baru, kelas pekerja kasar, orang particculier, pedagang, pengusaha Pribumi dan lain-lain. Menjadi petanda lahirnya tatanan sosial masyarakat yang baru dari sebelumnya di Tanah Hindia. Kemudian bagaimana budaya baru berupa budaya baca-tulis diperkenalkan dalam sekolah-sekolah Belanda, yang diikuti oleh lahir dan menjamurnya Pers pribumi yang ditulis sendiri oleh kaum Pribumi seperti pada Sosok Tirto Adhisuryo, yang pada akhirnya melahirkan Identitas Nasionalme bangsa Hindia. Kemudian Leela Gandi dalam bukunya Teori Postkolonial, Upaya meruntuhkan Hegemoni Barat, mengutip perkataan Franz Fanon, menjelaskan bahwa :
“Nasionalisme merespon kekerasan kolonialisme dengan memperbesar solidaritas vertikal antara kaum tani, pekerja, pemilik modal, pemilik tanah feodal dan kaum borjuasi”. (hlm :138)
Dalam teks tersebut Fanon ingin menggambarkan kepada kita bahwa bentuk-bentuk kontradiksi dan represi kolonial terhadap bangsa terjajah, dalam hal ini kondisi kaum pribumi Indonesia pada masa penjajahan belanda, secara tidak langsung akan memicu lahirnya solidaritas antar pribumi, yang akhirnya akan membentuk sebuah identitas nasionalisme.
2. Tirto Adisuryo dan Proses awal Identifikasi Nasional, Bagaimana Nasionalisme dikalangan Pribumi terpelajar di Hindia-Belanda.
Latar belakang singkat situasi umum Kolonialisme Belanda pada Zaman modal
Raden Mas Tirto Adhi Soeryo lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880, meninggal tanggal 7 Desember 1918. Nama kecilnya Djokomono, ia adalah cucu dari Bupati Bojonegoro R.M.T. Tirtonoto, sedangkan ayahnya adalah R.Ng. HM. Chan Tirtodipoero adalah seorang pegawai kantor pajak (Collectteur). Djokomono kecil ini mengenyam pendidikanya di sekolah dasar belanda ELS (Europeech Lagere School), Kemudian melanjutkan ke HBS, setelah lulus pada umur 14 tahun kemudian dia melanjutkan sekolah dokter STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche Artsen) di Jakarta. Dia tidak sempat tamat hanya sampai tingkat empat. (Sang Pemula, hlm : 29).
Dari asal-usul keturunan ini menunjukkan bahwa Tirto Adhi Soeryo adalah keturunan bangsawan Jawa, yang kala itu memiliki kesempatan sedikit lebih luas ruang geraknya dibandingkan kaum pribumi kebanyakan yang berasal dari kelas bawah atau kaum Kromo rendahan. Kaum bangsawan kala itu berkesempatan mengenyam pendidikan sekolah belanda dan memiliki sedikit hak istimewa berupa forum previligiatium yang memungkinkan dirinya bebas dari hukum siksa pemerintah kolonial belanda, posisi sedikit hak istimewa yang dimiliki Tirto Adhi Soeryo ini nantinya akan lebih mempermudah dirinya dalam membidani kelahiran Identitas nasionalisme bagi bangsanya yang baru.
Hampir bersamaan dengan kelahiran Tirto Adhi Soeryo di Blora, situasi di tanah Jawa sedang memasuki sebuah tatanan zaman kolonial baru, dibandingkan dengan masa sebelumnya, zaman ini disebut dengan zaman modal. Zaman modal ini ditandai dengan politik kolonial yang lebih liberal, dengan turut beroprasinya Kapitalisme swasta belanda di tanah Jawa. Pada masa sebelumnya, hampir semua eksploitasi ekonomi hanya dimonopoli oleh pemerintah Belanda. Secara formal praktek liberalisasi tatanan ekonomi-politik kolonial ini ditandai dan diatur dalam Undang-undang Agraria tahun 1870 (Zaman Bergerak, hlm. 10). Bentuk liberalisasi pada zaman modal ini tercermin dari banyaknya perusahaan-perusahaan swasta belanda (modal swasta) yang mulai beroperasi secara intensif dengan membuka lahan-lahan subur perkebunan secara masif dan luas di tanah Jawa.
Bersamaan dengan itu, pada tahun 1870 jalur kereta api pertama di Hindia belanda dibangun, yaitu jalur yang menghubungkan antara Vorstenlanden (daerah kerajaan) dengan Pelabuhan utama, yaitu pembangunan jalur kereta api dari Surakarta ke Semarang. Jalur pertama ini di operasikan oleh perusahaan swasta belanda bernama Nederlandch Indische Spoorweg (NIS). Beberapa tahun kemudian menyusul dibangunnya jalur-jalur kereta api baru, yang menghubungkan kota-kota dipulau Jawa sebagai pusat perdagangan dengan daerah Perkebunan subur, Pabrik dan Industri pengolahan, dan tentu saja semuanya bermuara ke Pelabuhan untuk kemudian dipasarkan ke Eropa dan negara Induknya Belanda.
Pembangunan jalur kereta api pertama ini utamanya ditujukan untuk mengangkut hasil perkebunan tebu dan tembakau, dari wilayah karesidenan Surakarta dan Yogyakarta (Vorstenlanden), yang pada saat itu sangat marak diusahakan oleh perkebunan swasta Belanda. Jalur kereta api ini seketika menggantikan angkutan transportasi tradisional sungai di Bengawan Solo, di mana dalam mobiltasnya kereta api mampu mengangkut orang dan barang dengan lebih cepat dan masif dibandingkan angkutan sungai dan kuda. Selain Perkebunan dan Jalur kereta api, di Jawa pada saat itu juga mulai dibangun Pabrik-pabrik yang mengelola hasil perkebunan, salah satunya yang tertua adalah berdirinya Pabrik Gula di Tasik Madu dan dan Colomadu pada awal tahun 1870 di Surakarta, yang nantinya akan diikuti oleh munculnya berbagai macam pabrik-pabrik dan Industri besar dan kecil, serta berbagai usaha kerajinan tangan lainya di tanah Jawa. (Sang Pemula. Hlm : 16).
Usaha-usaha perkebunan Swasta, pendirian pabrik-pabrik swasta pengolahan hasil perkebunan dan berdirinya Industri-industri pengolahan ber-sekala besar dan kecil ini, memicu semakin maraknya indsutri dan jasa perdagangan di Hindia belanda pada akhir abad XIX dan awal abad XX ini. Selain pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan Swasta Belanda, para bangsawan pribumi seperti para raja, pangeran dan para bangsawan pribumi lainya juga mulai terlibat secara aktif terlibat. Mulai dari menyewakan tanah kerajaan, menanamkan modalnya, mendirikan pabrik Gula dan lain-lain. Para pedagang dan pengusaha Thionghwa, Arab dan Timur asing di Jawa juga sangat aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi pada masa Zaman Modal ini.
Awal abad XX adalah sebuah zaman baru bagi Politik Kolonial Belanda di Hindia, semboyan dari zaman baru ini adalah “Kemajuan menuju modernitas”, “Kemajuan” dalam arti dibawah pengawasan belanda, dan “Modernitas” seperti yang ditunjukkan belanda di Hindia dipahami sebagai peradaban bangsa Barat. Zaman baru ini digambarkan sebagai “ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan”, dimana kepulauan Hindia dari Sabang sampai Merauke kini berada dibawah kontrol Belanda secara politik, kebijakan rust and order ditegakan diatas wilayah tersebut. (Zaman Bergerak, hlm : 36). Zaman moderen ini dalam sejarah sering di katakan sebagai Era Politik Etis.
Tatanan zaman modal dan dan zaman moderen ini merupakan proses awal masuknya industrialisasi moderen kolonial di pulau Jawa, yang memberikan dampak serta implikasi luas bagi kaum pribumi di Hindia, baik dikalangan rakyat pribumi biasa atau kebanyakan, maupun di kalangan keturunan bangsawan yang berasal dari kelas menengah Pribumi, yaitu kaum bangsawan-Priyayi yang rata-rata bekerja sebagai Ambtenaar (Pegawai negeri) bekerja pada Dinas Pemerintah Belanda.
Zaman modal dan zaman moderen ini, di tanah jawa juga mulai lahir secara lebih luas kelas Pekerja Upahan atau kuli pekerja kasar (buruh), baik mereka yang bekerja sebagai buruh perkebunan, buruh pertanian, buruh industri, maupun buruh atau pekerja sektor jasa bidang transportasi di pelabuhan, kereta api dan lain-lain. Selain itu, pada kurun waktu ini juga mulai melahirkan kelas menengah baru. Di daerah perkotaan muncul orang particculier yaitu pekerja kantoran pada perusahaan swasta yang berbeda dengan pekerja kasar kebanyakan dan berbeda dengan bangsawan-priyayi lama yang bekerja pada dinas pemerintahan belanda, orang particculier ini adalah kelas menengah penerima gaji, yang memiliki karakter dinamis bersifat kota, moderen dan terpelajar hasil pendidikan Eropa gaya Belanda. (Zaman Bergerak, hlm : 36).
Selain munculnya kelas pekerja upahan, banyak dari para bangsawan-priyayi yang juga mulai beralih menjadi pengusaha swasta, juga makin tumbuhnya para pedagang dan pengusaha Tionghwa, Arab dan timur jauh lainya. Selain itu semakin banyak kaum bangsawan terpelajar, kaum Indo-blasteran, juga para pemodal dan pekerja belanda dan eropa yang membuka usahanya di Hindia Belanda.
Konsistensi Pemikiran Tirto Adisuryo dan Identitas Priyayi Jawa dalam Cengkeraman Sistem Kolonialisme Hindia-Belanda.
Dalam konteks situasi zaman modal dan zaman moderen di Hindia-Belanda inilah, sosok Tirto Adhi Soeryo lahir, tumbuh dan berkembang. Memasuk Zaman modal kedua atau Zaman moderen ini (pada periode sebelumnya disebut zaman modal pertama), kemudian menghantarkan tatanan kolonial Hindia belanda memasuki sebuah masa Reorganisasi dan reformasi pemerintah Kolonial, yang lebih dikenal dengan istilah Era politik Etis (zaman modal kedua). Era Politik Etis ini juga sering dikaitkan dengan lahirnya zaman moderen dalam berbagai bidang di Negeri jajahan Hindia-Belanda.
Tirto Adhisuryo sebagai seorang bangsawan Pribumi, menunjukan bahwa jiwa dan pemikiran awalnya sangat di pengaruhi atau mewarisi sikap neneknya Raden Ayu Tirtonoto, istri Bupati Bojonegoro yang masih keturunan langsung dari Pangeran Sambernyowo pendiri Terah Mangkunegaran di Surakarta. Pengalama pribadi yang pahit dan menyakitkan yang dialami RA. Tirtonoto dan keluarganya, membuat dia sangat membenci kelakuan pemerintahan kolonial belanda yang banyak merugikan kaumya (bangsawan). Tentang hal ini Tirto mengungkapkan-nya dalam karyanya Busono (Sang Pemula. hlm : 28). Dikemudian hari Tirto juga banyak mengkritik sikap-sikap dan sepak terjang kastanya sendiri yaitu para bangsawan-priyayi Jawa, dia menggambarkan watak Feodalisme pada kastanya seperti ini :
“Kasta bangsawan-priyayi merupakan golongan atas masyarakat yang konsumtif, tidak produktif, dan lebih lagi tidak kreatif. Watak dan impian kasta ini : pangkat dan kehormatan yang diinderai, bintang, payung, selempang, pita, gelar. Dan karunia langsung dari penjajahnya sendiri pula.” (Sang Pemula, hlm : 32).
Kemudian dijelaskan bahwa dari Pendidikan Eropa yang didapatnya dia bisa memiliki pembanding bagaimana melihat watak kastanya yang cenderung negatif ini. Dalam banyak hal, Kasta Priyayi sebagai pejabat (negeri) atau sama dengan pegawai negeri, bersama-sama pemerintah kolonial Belanda justru turut terlibat aktif melakukan penindasan dan penghisapan terhadap kaum pribumi kebanyakan yang berasal dari lapisan rakyat jelata. Dalam penggambaran Pramudya Ananta Toer, sikap Tirto ini tercermin pada apa yang dia ungkapkan yaitu :
“percaya pada diri sendiri, berdiri diatas kaki sendiri, tidak takut pada kematian, tidak takut tidak berpangkat”. Kemudian Pram menjelaskan : “Unsur-unsur pembentukan pribadi yang tidak dikenal dalam kastanya, kasta bagsawan-priyayi Jawa, hal ini menyebapkan ia menjadi “si anak hilang”. Tak dapat diragukan lagi, sumber kelainan juga sumber kekuatanya berasal dari pengaruh neneknya-nya” (Sang Pemula. hlm : 30).
Dalam proses penencarian Identitas Nasionalisme ini, Tirto Adhisuryo menyadari bahwa cengkeraman sistem Kolonial-Belanda sesungguhya bukan hanya merugikan dan menjadi penyebab kemunduran bangsanya, akan tetapi tindakan para priyayi-bagsawan dari kastanya sendiri juga tidak kalah merugikan dan membuat bangsanya semakin tenggelam kedalam alam Feodalisme.
“Bahwa ia menyambut baik “reeger program” Van Heutsz (Gubernur Jenderal Hindia-Belanda 1851-1924) dapat di fahami karena pendapatnya, bahwa kekuasaan kolonial merupakan kekuatan yang telah melakukan “pembebasan” bagsanya dari kekuasaan ningrat-priyayi. Ia menyambut dikuranginya kekuasaan para raja dan kepala suku yang memerintah negorij dan Lanschap di luar Jawa-Madura”. (Sang Pemula. hlm : 75)
Kaum Pribumi di Hindia Belanda pada masa itu umumnya mengalami beban ganda tekanan penindasan, pertama tekanan penindasan dari Kolonialisme Belanda sebagai bangsa penjajah, dan kedua dari para bangsawan-priyayi sebagai Ambtenaar (pegawai negeri kolonial) yang banyak mengambil banyak keuntungan tidak wajar dari jabatan-jabatan yang diembanya, praktek upeti, korupsi, menyalahgunakan wewenang, dan kecurangan terhadap rakyat dilapisan bawah lainya banyak di praktekan.
Krisis yang dialami oleh kaum bangsawan-priyayi Jawa dalam menghadapi arus besar zaman moderen yang lebih dinamis ini, kemudian mewarnai situasi ekonomi, politik, sosial dan budaya di Hindia Belanda pada Awal abad XX. Situasi ini pada akhirnya menghantarkan sayarat-sayarat baru, kesadaran baru dan kondisi sosial baru menuju kearah identitas nasional sebuah bangsa terjajah, yaitu kaum Bumiputera dengan cara pandandang baru terhadap identitas dirinya.
Media Jurnalistik dan Pembentukan Identitas Nasional Pribumi.
Sebagai seorang bangsawan kelas menengah dan pribumi terpelajar yang mengenyam pendidikan Eropa, Tirto Adisuryo mulai menyadari betul persoalan yang dihadapi oleh bangsanya itu. Sejak tahun 1894 pada usia yang sangat muda sekitar 14 tahun, saat dia masih menempuh pendidikannya di sekolah kedokteran STOVIA, di Betawi atau Jakarta. Tirto sudah aktif menulis kesejumlah surat kabar terbitan Betawi, seperti Chabar Hindia Olanda dan Pemberita Betawi dalam bahasa Melayu-Betawi (melayu pasar), yang kemudian lebih dikenal dengan bahasa Melayu Linguafranca. Walaupun pada saat itu Tirto juga sudah fasih menggunakan bahasa Belanda dan Jawa. (Sang Pemula. Hlm : 41).
Pada tahun 1900 dalam usianya sekitar 20 tahun Tirto dikeluarkan dari STOVIA, padahal saat itu dia sudah duduk ditingkat 4, selama belajar disana selama 6 tahun (2 tahun kelas persiapan), tanpa diketahui sebapnya. Setelah keluar dari STOVIA dia langsung diangkat menjadi redaktur surat kabar Pemberita Betawi, yang kemudian menjadi Redaktur-Kepala menggantikan F.Wigeers (Sang Pemula. hlm: 45), Inilah kiprah awal profesionalisme Tirto dalam dunia jurnalistik di Hindia Belanda.
Selain sangat produktif menulis dalam berbagai bidang sepanjang karir Jurnalistiknya, Tirto juga dipercaya mengelola berbagai surat kabar yang terbit di Hindia pada saat itu, seperti Pemberita Betawi, Pewarta Priangan, Nieuws van den Dag, Terbitan berkala Staatblad Melayu (lembar negara), terbitan berbahasa Belanda Oranje Nassau.
Tirto banyak menceritakan tentang perjalanan kehidupannya dalam sebuah karya fiksi semi otobiografi “Busono”, dia bercerita bagaimana sering sekali mendapatkan teguran dari Taoke-nya (atasanya atau pemilik terbitan yang dia kelola), atas tulisan-tulisan dan investigasi jurnalistiknya yang begitu tajam, menyerang tanpa ampun lembaga-lembaga dan individu-individu pemerintah kolonial Belanda yang merugikan kaum pribumi pada saat itu.
Karakter tulisan Tirto yang memiliki sikap keberpihakan terhadap kaum pribumi ini, mendapatkan sambutan yang luas dari kalangan pembaca pribumi, baik dari kalangan bangsawan terpelajar, Priyayi, orang particculier, Perempuan bangsawan terpelajar, Pedagang dan Pengusaha keturunan arab, kelas menengah keturunan Tionghwa, juga sebagian orang Belanda dan Indo, yang simpatik dengan nasib kaum pribumi. Selain itu sambutan yang tak kalah antusias berasal dari lapisan kaum “Kromo” atau rakyat biasa yang dia bela dalam tulisan-tulisanya. Akan tetapi tulisan-tulisan Tirto yang tajam dan menusuk jantung sistim pemerintahan Kolonial ini juga mengancam dan mencemaskan bagi pemerintahan Kolonial belanda, berpotensi mengancam Rust and order Kekuasaan Kolonial pada saa itu. Dr. Rinkes-lah nanti sebagai sebagai wajah asli Kolonial-Belanda yang akan menyadari ini.
Dari keberpihakan Tirto dalam hampir semua karya jurnalistiknya pada kaumnya sendiri kaum pribumi atau Bumiputera ini, dia mulai menemukan gagasan tentang Identitas nasionalisme Pribumi yaitu posisi dirinya sebagai Subyek, menemukan identitas bangsa secara kolektif (nasionalisme), Subyek Identitas Nasional bagi kaum pribumi di Hindia. Dengan kata lain “Bumiputera untuk Bumiputera”. (Karya-karya lengkap Tirto Adhisuryo, Pers, pergerakan dan Kebangsaan, hlm: 30). Proses penemuan Subyek Identitas Nasional ini, tentunya juga bersamaan dengan saat dirinya melihat Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Lyan atau the Other atau yang lain, dari bangsa yang berkuasa (penjajah asing) atas kaum pribumi atau Bumi putera yang di kuasai atau dijajah.
Karena tekadnya yang begitu kuat ingin mewujudkan “Pers sebagai pengawal pendapat umum”, akhirnya Tirto Adhisuryo mulai mengelola surat kabar yang di-dirikannya sendiri pada tahun 1903, yaitu Soenda Berita atas bantuan Bupati Cianjur, dengan redaksi dan percetakanya berada di daerah Cianjur, Jawa Barat. Kemunculan Soenda Berita ini sering dikaitkan sebagai terbitan pertama milik kaum pribumi di Hindia-Belanda dalam sejarah Pers Nasional Indonesia. Penerbitan pribumi pertama ini berumur singkat hanya sekitar 3 tahun (1903-1906) saat ditinggalkan Tirto pergi ke Maluku. (SP. hlm : 63).
Akan tapi bagaimanapun Tirto telah melakukan eksperimen awal, meletakan pondasi awal batu pertama, menggagas pendirian Pers nasional milik Pribumi pertama di tanah Hindia. Sampai akhirnya setelah kembalinya Tirto dari Maluku, pada bulan Januari 1907 dia kembali menerbitkan pers milik pribumi yang kedua, yaitu Medan Priyayi.
Tirto Adhi Suryo dan Medan Priyayi, sosok Pribumi pertama yang menggerakan Nasionalisme melalui tulisan, bahasa dan organisasi.
Kondisi Pers di Hindia Belanda sebelum tahun 1900, dapat dikatakan belumlah ada pers murni pribumi, sekalipun mulai menggunakan bahasa pribumi, Melayu dan terutama Jawa. Walaupun pada waktu itu sudah ada Pribumi yang duduk di redaksi misalnya Abdoel Rivai, Sosrokartono, Wahidin Soediro Hoesodo, F.D.J. Pangemanan, Maharadja Salambuwe, Datoek Soetan Maharandja, Dja Endar Moeda, R. Martodarsono dan lain-lain, juga jurnalis keturunan atau peranakan asing dalam deretan nama-nama tersebut. Akan tetapi para jurnalis ini masih dalam rangka “dari mereka untuk Pribumi”, belum ke arah “dari Pribumi untuk Pribumi”. (SP. hlm : 43).
Tirto Adhisuryo menyadari sepenuhnya bahwa untuk menggerakan bangsanya, maka dibutuhkan sebuah senjata yang ampuh dan luas pengaruhnya dikalangan kaumnya sendiri, yaitu kaum pribumi atau Bumiputera. Maka Pers-lah yang kemudian menjadi senjata T.A.S –nama pena Tirto Adhi Suryo dalam memperjuangkan gerakan nasionalisme kaum pribumi ini. Sepulangnya dari pengembaraan di tanah timur (Maluku). Tirto dengan semangat barunya mulai mempersiapkan sebuah “Medan” dalam makna sesungguhnya, yaitu sebuah penerbitan milik pribumi, yang didirikannya di Batavia atas bantuan beberapa orang pribumi seperti R.A.A. Prawiradiredja Bupati Cianjur, Oesman Sjah Sultan Bacan, H.M. Arsad seorang pedagang pribumi. Surat kabar ini diberi bernama Medan Priyayi.
Dalam butir-butir semangat dan asas Medan Priyayi yang tercantum pada halaman muka, yaitu : memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangun dan memajukan bangsan-nya, serta memperkuat usaha bangsanya dengan perdagangan. Asas kemadirian itu menjadi sebaris jargon panjang Medan Priyayi :
“Soeara bagi sekalian Radja-radja, Bangsawan Asali dan Fikiran, Prijaji dan saudagar Boemipoetera, dan Officer-officer, serta Saudagar-saudagar dari bangsa jang terperentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegeri di seloeroeh Hindia Olanda” (Karya-karya Lengkap Tirto Adhisuryo, Pers dan Pergerakan, hlm : 31).
Tirto Adhisuryo dalam kiprahnya menggerakan kaum Bumiputera menuju zaman kemajuan melalui Medan Priyayi ini, telah banyak sekali menghasilkan tulisan dalam berbagai bidang. Karya tulisan Tirto ini mulai dari liputan peristiwa dan laporan Jurnalistiknya di daerah-daerah Hindia-Belanda, tulisan tentang Organisasi dan pentingnya Organisasi bagi kaum Bumiputera, tulisan tentang Alkemis atau dunia Kesehatan, menulis tentang Kronik yaitu catatan berbagai peristiwa penting yang terjadi ditengah masyarakat, Tirto Juga sangat produktif menulis beberapa karya Sastra. Berbagai macam judul dan kisah tulisan sastra dia buat, mulai dari cerita pendek, cerita pewayangan, cerita bersambung, hingga cerita semi-fiksi yang dia hasilkan menghiasi surat kabar yang dimiliki dan dikelolanya, termasuk juga di dalam Medan Priyayi.
Dalam membangkitkan kesadaran nasionalisme bagi bangsanya ini, dia menggunakan ketajaman pena dan analisisnya, yang dengan sadar berpihak kepada kepentingan bangsa Pribumi yang terprentah. Serangan-serangan yang dilancarkanya tidak kenal ampun dalam membongkar berbagai kasus-kasus ketidak adilan, yang ditimbulkan oleh para pejabat pemerintah kolonial belanda masa itu. Mulai dari membongkar sekandal kecurangan Residen Madiun JJ. Doner, yang menurunkan Bupati Madiun RMA. Brotodiningrat secara semena-mena. Kemudian membongkar skandal Aspiran Kontroler Purworejo A. Simon, yang bersekongkol mengangkat Kepala Desa Bapangan yang kalah dan menyalahi ketentuan. Juga pembongkaran-pembongkaran kasus pejabat kolonila ditempat lainnya, untuk kepentingan kaum Pribumi dan rakyat kecil di Hindia.
Serangan-serangan tulisannya tersebut, pada akhirnya menyebapkan dia dijatuhi hukuman dua bulan pembuangan. Dia harus menjalani hukuman pembuangan ke Telukbetung, Lampung. Peristiwa ini terjadi pada masa Pemerintahan Gubernur Jendral AWF. Idenbergh (1861-1935).
Dalam pembuangannya Tirto tetap aktif menulis, dan justru semakin keras dan mengasah ketajaman penanya. Tulisan-tulisan itu dia beri judul “Oleh-oleh dari tempat pembuangan” yang dikirimkannya ke Betawi dan dimuat dalam Surat kabar Perniagaan. Kemudian setelah dia bebas dikutip dan dipublikasikan kembali oleh Medan Priyayi. Seperti dijelaskan oleh Pramudya Ananta Toer dalam buku-nya “Sang Pemula” Halaman 81:
“Tulisan yang diberi judul oleh-oleh dari pembuangan ini, bukan saja menjadi karya-tama di bidang Jurnalistik, juga menjadi dokumen sosial tentang tata Pemerintahan dan politik dari kurun kebangkitan nasional”.
Medan Priyayi yang mulai terbit sejak Januari 1907, tak lama kemudian mengalami masa zaman ke-emasan, sangat populer dikalangan pembaca Pribumi, keturunan asing bahkan dikalangan orang-rang Eropa baik yang berada di Hindia maupun yang tinggal di negeri Belanda. Medan Priyayi yang awalnya adalah sebuah terbitan Mingguan, berkembang menjadi Harian dengan oplah sekitar 2.000 pelanggan. Kala itu dari segi oplah, untuk sebuah harian Eropa yang terbit di Hindia sudah merupakan jumlah yang besar, lebih-lebih untuk sebuah harian Melayu.
Bahkan menurut laporan dan pengakuan DR. DA. Rinkes, seorang Ajunct Penasihat Urusan Pribumi Gubernur Jenderal Idenburg, yang juga pendiri dan direktur ke dua Balai Pustaka, yang menjadi musuh utama Tirto paling sengit, pun mengakui bahwa “masa jaya” Medan Priyayi adalah pada tahun 1909 – 1911, Rinkes menjelaskan MP banyak membela kepentingan rakyat kecil, dalam laporanya kepada Gubernur Jenderal Idenbergh, tertanggal 19 Februari 1912, Rinkes menulis :
“Satu-satunya terbitan yang mendominasi semua terbitan (di Hindia), kecuali Darmokondo, adalah Medan Priyayi, yang selain tidak keluar dari watak umum tersebut, juga lebih banyak energik, penuh bakat.... dan menyatakan seluruh Jawa adalah medan geraknya.”
Dalam hampir semua karya tulisanya, Tirto selalu menggunakan bahasa Melayu Pasar "Linguafranca", kecuali pada saat dia menulis di Oranje Nassau terbitan berbahasa Belanda dan beberapa tulisannya yang berbahasa Belanda lainya. Tirto adalah Pribumi pertama yang menggerakan “Bangsa” melalui bahasa yang ditulisnya dalam Medan Priyayi. Bahasa Melayu linguafranca yang sering diistilahkan sebagai bahasa melayu rendahan atau bahasa melayu pasar pada saat itu. Bahasa ini merupakan bahasa percakapan sehari-hari antar kaum Pribumi dari berbagai suku yang berbeda, juga banyak digunakan oleh kaum Thionghwa di Hindia, baik yang totok maupun Singkek, selain itu melayu linguafranca juga menjadi bahasa para pedagang Arab dan Timur Jauh lainya. Tirto sangat konsiten selalu menggunakan bahasa melayu linguafranca ini dalam tulisan-tulisannya di Medan Priyayi. Bahasa Melayu linguafranca ini dikemudian hari menjadi sebuah bahasa yang dipergunakan oleh hampir seluruh kaum pergerakan kemerdekaan Indonesia sepeninggal Tirto Adhisuryo.
Apa yang di katakan oleh Pramudya Ananta Toer pada bukunya “Sang Pemula” halaman 26, menjelaskan tentang peran Tirto dan posisi bahasa Malayu linguafranca bagi kaum Pribumi :
“Ia termasuk angkatan pertama penulis fiksi Melayu linguafranca. Dibidang bahasa ia peletak pedoman dasar, bahwa Melayu lingu-franca adalah bahasa bangsa-bangsa di Hindia yang di printah, sedang bahasa Melayu atau sekolah, adalah bahasa yang memerintah. Pedoman dasar ini dalam perkembangan alamiah terus berlangsung sampai dengan jatuhnya kekuasaan Hindia-Belanda pada 1942”. (SP. Hlm 26).
Selain pelopor awal Jurnalisme Pribumi, Tirto Adhisuryo adalah pendiri Organisasi moderen pertama di Hindia-Belanda, yaitu Serikat Priyayi pada tahun 1906 di Bogor, hal ini tentunya membantah dengan tegas klaim Budi Utomo (BO) pada tahun 1908 sebagai oragnisasi moderen pertama di tanah Hindia. Sekalipun organisasi pertama ini mengalami kegagalan karena kedinianya. Tak lama kemudian pada tahun 1909, Tirto mendirikan Organisasi dan gerakan sekaligus, yaitu Serikat Dagang Islamiyah (SDI) di Solo. Yang kemudian ada tahun 1912 berubah menjadi menjadi Serikat Islam (SI) yang diketuai oleh Cokro Aminoto, yang berkembang dan memiliki cabang hampir di seluruh kota-kota penting di Hindia.
Memang beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1900 penduduk peranakan Tionghwa di Hindia, sebagai bangsa yang juga ”terprentah” telah mendirikan organisasi moderen yang pertama yitu Perhimpunan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), Organisasi dikalangan Tionghwa ini banyak bergerak dibidang Ekonomi dan sosial. Tirto sangat ter-inspirasi dan menaruh perhatian besar pada pergerakan bangsa Tionghwa ini. Melalui Medan Priyayi dia menyediakan ruang untuk organisasi Tionghwa seperti THHK, Kiem Siek Hak Koan, Soet Sien Hwee dan sebagainya. Kekaguman Tirto sekaligus memberikan pelajaran kepadanya, ini ditunjukan pada saat terjadi ketegangan antara pedagang Tionghwa dan Eropa, dimana Organisasi dan orang-orang Tionghwa ini melancarkan Boikot di Surabaya terhadap perusahaan-perusahaan besar Eropa. Hal ini menyebapkan Ekonomi Surabaya lumpuh. Ttirto menulis tentang Aksi Boikot ini dalam beberapa tulisanya. Tirto menganjurkan agar kaum Pribumi dan bangsanya bersatu memakai aksi boikot bila diperlukan.
Kemudian pada tanggal 17 Juli 1905 untuk pertama kalinya golongan peranakan Arab di Hindia mendirikan organisasi moderen bernama Jumiat Ul-khair, yang didirikan para bangsawan Arab di Betawi, seperti Sayid al-fakhir Bin Abdurrahman, Sayid Muhamad Bin Abdula dan lain-lain. Yang kemudian berhasil mendirikan sekolah di Tanah Abang dan Krukut. (Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Suryo, Jakarta, hlm : 42). Tirto Adhisuryo sangat terinspirasi akan kemajuan para peranakan Tionghwa dan Arab di Hindia ini, sehingga sangat menganjurkan kaum pribumi yang lebih tertinggal dalam hal gerakanya pada masa itu, agar dapat mendirikan Organisasi moderen Pribumi serupa.
Istilah “Kebangkitan Nasional” dapat diuraikan maknanya dari kata “bangkit” dan “Nasional”. “Bangkit” berarti proses awal, permulaan, menjadi sadar akan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Sedangkan makna dari “Nasional” diturunkan kata dari Nation, yang artinya bangsa atau kebangsaan. Kemudian kebangkitan nasional bisa kita sederhanakan pengertianya menjadi awal mula terbentuknya kesadaran akan adanya bangsa Hindia (Indonesia) dan upaya yang ditempuh untuk menjadikan bangsa itu berdaulat. Tirto menyebut tanah airnya ini sebagai “Hindia” dan batas-batasnya sangat jelas “sebagai bangsa yang terprentah”. Maka proses Politik untuk menemukan tanah air telah dimulai, periode proses Politik inilah yang kemudian menjadi periode kebangkitan Nasional di Tanah Hindia. Seperti tulisan Tirto dalam Medan Priyayi :
“Pers Belanda sudah berteriak... Ya, berteriak, tapi tidak berbuat sesuatu apapun untuk menolong gerakan itu. Kita yang memimpin gerakan itu hanya tersenyum dan goyang kepala sesudah bergirang yang kami orang sudah bergerak tidak dengan pimpinan bangsa Eropa”
(Karya-karya Lengkap Tirto Adhisuryo, Pers dan Pergerakan, Halaman 40).
Konsep Nasionalisme yang dibangun oleh Tirto Adhisuryo, sejatinya adalah berwatak Nasionalisme yang bersifat Progresif, bukan Nasional Chaufinish yang sempit dan puritan. Dalam penjelasan Tirto, di Hindia hanya ada dua golongan manusia, yaitu bangsa yang “memerentah” dan Bangsa yang “terperentah”. Sehingga dari kategori tersebut mencakup kumpulan berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke adalah bangsa yang “terprentah”. Selain itu bangsa terperentah dalam pemahaman Tirto adalah juga mencakup semua bangsa-bangsa yang hidup di Hindia yang menjadi korban penindasan bangsa yang “memerentah” yakni Belanda. Dengan begitu golongan Timur Asing atau bangsa peranakan Thionghwa, Arab, Indo-Eropa, India dan bagsa Timur jauh lainya, yang hidup bersama di tanah Hindia juga merupakan bagian dari bangsa-bangsa yang “terprentah”, seperti yang di maksud oleh Tirto Adhisuryo.
3. Penutup, Refleksi dan Catatan Kritis terhadap Identitas Nasionalisme Indonesia hari ini.
Seperti kita ketahui, bahwa hampir seluruh tokoh-tokoh pergerakan politik penting dan utama di Indonesia pada masa setelah Tirto Adhisuryo wafat, pastilah berkaitan dengan seluruh warisan yang pernah dikerjakan oleh Tirto sebelumnya. Seperti Terbitan sebagai senjata atau alat Propaganda dan Agitasi pergerakan kaum pribumi menuju pembebasan Nasional. Organisasi Moderen sebagai wadah bersama kaum pribumi memperjuangkan kemerdekaan. Usaha bersama kaum pribumi untuk pemberdayaan dan memperkuat posisi tawar ekonominya (dalam bentuk Kooperasi), Tirto melakukanya pemberdayaan ekonomi rakyat ini dalam sebuah eksperimen awalnya di Desa Pasir Cabe, Juga metode rapat-rapat Umum atau Vergadring, sebagai wadah protes massa dan konsolidasi, Juga metode gerakan Boikot atas kepentingan-kepentingan bangsa Kolonial yang merugikan. Dikemudian hari metode Boikot ini dikembangkan lebih jauh oleh Serikat Islam, VSTP (serikat buruh pertama di Hindia) dan PKI dalam bentuk aksi-aksi pemogokan kemudian berkembang lebih jauh menjadi Pemberontakan Nasional melawan Pemerintah Kolonial Belanda, tahun 1926-1927.
Selain itu, Tirto juga membidani lahirnya Perhimpunan Perempuan Pribumi dan Pers Perempuan Pribumi, yang ditulis sendiri oleh para Jurnalis Perempuan dalam terbitan Poetri Hindia tahun 1908. Pada akhirnya Tirto Adhisuryo adalah peletak dasar Nasionalisme awal yang berwatak Progresif di Indonesia.
Tirto Adhisuryo adalah seorang tipe manusia Pribumi pemula dalam banyak bidang, yang pernah hidup pada awal XX. Tetapi justru karakternya sebagai tokoh besar “Bapak Pendiri bangsa” dan “Sang Pemula” ini, telah dihilangkan rekam-jejaknya secara sitematis dalam banyak catatan sejarah sejak zaman kolonial belanda, bahkan dalam sejarah resmi kontemporer bangsa Indonesia sampai hari ini.
Banyak dari kalangan Aktifist Sosial, Budayawan, Akademisi, para Pengajar, para Peneliti sejarah dan sejarawan di Indonesia saat ini dalam melihat dan menjelaskan proses berdirinya sebuah Negara-Bangsa (Nation State) Indonesia, terutama yang berkaitan dengan Sejarah Moderen dan kontemporer di Indonesia, lebih banyak pola pikirnya masih terjebak pada narasi-narasi “Heroik” (aneka cerita kepahlawanan yang cenderung Mitos), konstruksi sejarah ala pemerintah kolonial, atau dengan kata lain lebih banyak hanya berisi narasi-narasi yang ada dipermukaan sejarahnya saja.
Bagimana konstrukis sejarah perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia saat itu, lebih banyak digambarkan justru hanya terfokus pada peristiwa dan tokoh-tokoh di seputar Budi Utomo, Serikat Islam (SI), Indische Partij (IP), Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, BPUPKI, PPKI, Wahidin Sudiro Husodo, Soetomo, Soekarno, M. Hatta, Volskraad, Sumpah Pemuda, Proklamasi dan aktor-aktor serta peristiwa sesudahnya. Bahkan pasca meninggalnya Tirto sejarah penting gerakan Sosialisme di Indonesia nyaris jarang disentuh dalam sejarah arus utama, seperti kelahiran dan eksistensi VSTP (serikat buruh kereta api), ISDV dan juga Partai Poitik pertama di tanah Hindia yaitu PKI (partai Komunis Indonesia), yang berdiri pada tahun 1920.
Konstruksi Sejarah semacam ini bukannya tidak penting untuk dibaca dan dipahami, akan tetapi yang juga lebih penting adalah bagaimana kita melihat dan meneliti bagaimana akar persoalan dan konteks yang menjadi latar belakang awal proses pencarian identitas Nasionalisme bangsa ini melalui kehidupan sehari-hari orang biasa, seperti yang bisa kita lihat dan rasakan dari berbagai tulisan-tulisan Tirto Adhisuryo yang sangat kaya pada jamannya. Untuk kemudian kita bisa melihat sebuah konstruksi sejarah yang lebih utuh dan mendasar dalam melihat proses awal Nasionalisme Indonesia dan eksistensi Indonesia sebagai bangsa hari ini.
Konstruksi sejarah seperti ini mampu lebih gamblang menjelaskan kepada kita tentang tahapan embrio proses awal pencarian identitas nasional, kemudian tahap penemuan identitas nasional, hingga bagaimana kelahiran awalnya sebagai sebuah penemuan identitas nasional ini bergerak lebih maju lagi sebagai sebuah bangsa baru. Posisi sebagai Negara-Bangsa (National State) baru yang lahir ditengah tatanan Kolonial belanda yang begitu menindas, eksploitatif dan hegemonik kala itu.
Proses melihat pondasi awal kelahiran bangsa Indonesia yang di paparkan oleh Pramudya Ananta Toer dalam “Sang Pemula”, tentunya akan memberikan pesan kepada kita bahwa bentuk bangsa macam apa yang akan kita bangun hari ini dan dimasa depan, di tengah makin menguatnya arus Liberalisasi kehidupan masyarakat, tatanan Globalisasi, dan Neoliberalisme dalam segala bentuk-bentuk bidang kehidupan orang banyak, seperti tatanan Ekonomi, Politik, Sosial, Kebudayaan, derasnya arus Informasi, membanjirnya Ilmu Pengetahuan dari luar dan juga muncul dan berkembangnya berbagai aliran, kepercayaan dan Idiologi dunia hari ini di Indonesia.
Persoalan yang dialami oleh umat manusia juga bangsa Indonesia hari ini juga semakin komplek dan beragam, Sejarah proses kelahiran nasionalisme memberikan sebuah refleksi kritis bagi kita bahwa sesungguhnya jejak-jejak Tirto Adhisuryo dalam “Sang Pemula” yang ditampilkan oleh Pramudya Ananta Toer telah memaparkan bagaimana kondisi sosial masyarakat di Hindia pada Awal abad ke-20, jejak-jejaknya ini masih bisa kita jumpai. Walaupun dalam bentuk-bentuk tampilan yang berbeda. Akan tetapi watak, karakter dan sifat-sifat sosial dan budaya masyarakat Indonesia hari ini masih sangat jelas meninggalkan jejak-jejaknya yang masih kita bisa rasakan bersama, dalam tatanan Postkolonial.
Bagaimana gambaran watak dan sifat kaum Pribumi dalam tatanan Kolonial dimasa lalu, tampaknya masih tidak jauh berbeda dengan kondisi tatanan sosial masyarakat Indonesia hari ini, dengan bentuk-bentuk yang tentu saja agak berbeda, fariasi yang berbeda dan persoalan yang berbeda (tentunya tidak bermaksud menyamakan secara Biner dan fatalistik atau sama dan serupa), Gambaran ini bisa kita lihat seperti :
Kelas menengah di Indonesia hari ini, mayoritas masih mewarisi sifat Kasta bangsawan-priyayi di masa Kolonial, dimana banyak dari mereka merupakan golongan masyarakat yang konsumtif, tidak produktif, dan lebih lagi tidak kreatif. Watak dan impian kasta ini masih sama dengan dimasa kolonial, yaitu : Hanya untuk mengejar pangkat dan kehormatan yang diinderai, bintang, payung, selempang, pita, gelar. Dan karunia langsung dari dari Tuan/Penjajahnya sendiri (baca: kepentingan modal asing). Kelas menengah Bangsawan-Priyayi rata-rata hanya terobsesi bekerja sebagai Ambtenaar (Pegawai negeri) pada dinas pemerintah, atau sekedar menjadi calo dan broker bagi kepentingan modal asing yang justru merugikan.
Selain apa yang telah disebutkan oleh Tirto diatas, hal ini masih relefan jika kita ingin menilisik realitas kelas menengah Indonesia hari ini, tentunya dengan berbagai farian jaman yang berbeda, Kelas menengah Indonesia mayoritas masih berwatak tidak mau bekerja keras, cenderung manipulatif, Koruptif, konsumtif, masih menyisakan sifat-sifat Feodal, mudah frustasi, mudah termanipulasi/termakan isyu yang tidak produktif, terkadang tidak memiliki karakter dan prinsip yang kuat serta tidak mandiri sebagai kelas menengah, lebih sering A-historis atau kurang memahami sejarah dengan baik, celakanya lagi mayoritas kelas menengah Indonesia hari ini masih sangat lemah dalam pembelaan dan solidaritas sosialnya terhadap sesama kelas menengah, terlebih terhadap masyarakat kelas bawah yang mayoritas dan lain-lain. Dalam perdebatan di media sosial akhir-akhir ini sering di istilahkan dengan Kelas menengah Ngehek. Atau dalam isyu yang paling kontemporer hari ini yaitu Pemilu 2014, potret paling gamblang menggambarkan bagaimana posisi kelas menengah Indonesia mengalami kebingungan dalam membaca realitas politik, sikap ambiguitas dan tidak memiliki pendirian atas sikap politiknya (berdaulat), serta cenderung hanya terjebak dalam polarisasi medan pertarungan modal asing dalam Pemilu ini. Sikap ini jelas mengalami kemunduran Kualitatif dibandingkan masa awal-awal Reformasi 1998 yang lalu.
Kondisi yang masih sama pada kelas pekerja upahan atau kaum kuli pekerja kasar, baik mereka yang bekerja sebagai buruh perkebunan, buruh pertanian, buruh industri maupun buruh Pabrik dan para pekerja sektor jasa diberbagai bidang di Perkotaan. Didaerah perkotaan, utamanaya kawasan-kawasan Industri saat ini juga semakin besar jumlah orang particculier, yaitu pekerja kantoran pada perusahaan swasta yang berbeda dengan kebanyakan bangsawan-priyayi atau PNS. Juga semakin banyaknya kelas menengah pengrajin, pengusaha swasta, para pedagang dan pengusaha Tionghwa, arab dan timur jauh, kaum Indo blasteran, orang asing yang bekerja di Indonesia (expatriat) dan lain-lain. Sementara yang relatif berkurang secara drastis dibandingkan masa kolonial saat ini hanyalah para pemodal Belanda, yang telah digantikan oleh modal atau Investasi Amerika, Jepang, RRC, Eropa, dan Timur Tengah lainya.
Pada realitasnya, bentuk-bentuk penjajahan atau Kolonialisme berupa dominasi modal Belanda dimasa lalu, saat ini digantikan secara lebih masif dan luas dengan bentuk-bentuk Penjajahan gaya baru atau bentuk Postkolonial oleh bangsa sendiri (komprador) yang bekerjasama dengan kepentingan-kepentingan modal bangsa Asing, yang lebih banyak merugikan rakyat Indonesia. Bagaimana kondisi pengaruh atau dominasi negara dan kepentingan (baca; Kedaulatan) orang banyak, sejatinya tetap dibawah kendali Modal atau Investasi raksasa asing seperti Amerika Srikat, Jepang, Uni Eropa dan lain-lain yang saat ini menggurita di Indonesia.
Celakanya rakyat Indonesia dilapisan bawah (Kaum Buruh, Para Petani, Nelayan dan kaum miskin Perkotaan) yang mayoritas ini, kondisinya relatif masih tidak berubah dengan kondisi dimasa kolonial-belanda, yaitu umumnya masih tetap mengalami beban ganda tekanan penindasan, pertama tekanan penindasan dari Tatanan Kapitalisme Neoliberal sebagai entitas penjajah, dan kedua dari Kalangan kelas menengah berwatak bangsawan-priyayi sebagai Ambtenaar kaum modal, yang banyak mengambil keuntungan tidak wajar dari jabatan-jabatan yang diembanya, praktek upeti, korupsi, menyalahgunakan wewenang, manipulasi pajak, penjarahan sumber daya Publik, dan kecurangan terhadap rakyat dilapisan bawah lainya yang banyak dipraktekan.
Maka melihat kembali prespektif sebuah Kemandirian bangsa Pribumi di Indonesia, dengan menggali kembali kelahiran akan Identitas atas akar Nasionalisme Bagsa Indonesia sejenak kebelakang, menjadi sangat penting dan mendesak untuk melihat kembali secara kritis dan reflektif atas masa depan Nasionalisme yang berwatak progresif ditanah Indonesia hari ini dan yang akan datang.
SEKIAN.
Daftar Pustaka :
Pramudya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta : Lentera Dipantara, 1985.
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Iswaran Raditya dan Muhidin M Dahlan, Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Suryo, Jakarta : I:Boekoe, Desember 2008.
Leela Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta : Qalam, Februari 2006.
Ania Loomba, Kolonialisme / Pascakolonialisme, Yogyakarta : Bentang Budaya, April 2003.
Ditulis oleh : Dwi Hartanto Lucas
Judul Asli: Membongkar Mitos Sejarah Kolonial Belanda Dan Orde Baru, Bahwa 20 Mei Sebagai Hari "Kebangkitan Nasional"
Judul Asli: Membongkar Mitos Sejarah Kolonial Belanda Dan Orde Baru, Bahwa 20 Mei Sebagai Hari "Kebangkitan Nasional"
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.