Pemilihan yang memiliki fungsi memilih para pembuat kebijakan, pengawasan serta penentu anggaran belanja negara dan daerah berlansung setiap lima tahun sekali disebut Pemilu. Prosesi ini lazim dinisbahkan orang sebagai pesta rakyat, dimana rakyat memiliki keleluasaan memilih perseorangan tertentu yang ada dalam senarai nama yang telah disiapkan Partai Politik dan telah melewati proses verifikasi persyaratan formal oleh panitia pelaksanaan Pemilu yang disebut KIP.
Partai politik diberi kewenangan oleh negara untuk menyiapkan nama-nama mewakili kelompoknya untuk kemudian dipilih oleh masyarakat sebagai perwakilan dirinya di parlemen dalam menentukan segala arah kebijakan negara yang memiliki implikasi individu kepada para pemilih. Partai politik memiliki kewenangan menentukan calon perwakilan rakyat karena rakyat melalui lembaga negara memberi kewenangan tersebut kepada partai politik.
Partai politik memang diberi mandat oleh negara untuk mengelompokkan masyarakat berdasarkan identitas dan kepentingan yang ada, lalu memperjuangkannya secara politik untuk mempengaruhi kebijakan negara atau menjadikan kepentingan tersebut menjadi kepentingan negara. Meski demikian kekuasaan absolut dalam penentuan akhir berada di tangan rakyat dalam bilik suara pemilihan umum.
Sistem pemilu Indonesia setelah jatuhnya orde baru senantiasa bergerak dan berubah kearah yang lebih baik. Bergerak ke arah yang lebih liberal; dimana kekuasaan individu warga negara menjadi aktor paling menentukan dalam pemilihan dibandingkan partai politik sekalipun. Partai politik dipaksa keadaan untuk menyediakan calon-calonnya sesuai dengan kehendak publik. Bila tidak, maka terancam akan tidak terpilih dalam Pemilu. Sistem politik kita terus menerus memangkas otoritarian partai politik dan memberikan otoritarian itu kepada individu masyarakat. Artinya politik negara kita sudah liberal.
Respon partai politik kemudian beragam. Ada partai politik dalam menentukan calon legislatif mendasarkan pada mekanisme jajak pendapat (memakai metode sampling). Ada partai politik dalam penentuan calon sedari awal sudah mengharuskan penglibatan tokoh masyarakat akar rumput. Ada partai politik –biasanya partai baru- menggunakan cara membajak (hijact) kader partai lain yang tidak terakomodir dalam mekanisme pemilihan di partainya. Ada partai politik yang sengaja mengajak tokoh-tokoh pemilik sumberdaya seperti , pengusaha, artis dan pesohor masyarakat lainnya untuk menjadi calon legislatif mewakili partainya dalam Pemilu.
Semua metode diatas mengabaikan aspek lama dan berjasa seseorang berkiprah di partai politiknya. Jenjang karir di partai belum menentukan dirinya dipilih partai menjadi calon legislatif. Untuk menghindari konflik internal biasanya partai politik menetapkan persentase pencalonan antara kepentingan “pasar pemilih” dengan kepentingan kaderisasi partai.
Semua kebijakan diatas dilakukan partai politik karena sistem Pemilu kita bukan lagi mengarah kepada memilih partai tetapi memilih perseorangan yang tersedia dalam senarai list yang disiapkan partai politik di kertas suara pemilihan umum. Semua metode diatas dilakukan semata-mata untuk merespon politik liberal yang semakin tumbuh membesar di Indonesia.
Pemilu dalam sistem politik liberal memaksa partai politik menjadi produsen perwakilan politik yang sesuai dengan minat di pasar. Dalam hal ini identitas khas partai politik yang dibentuk berdasarkan kepentingan tertentu bisa-bisa akan terlihat samar dan bahkan tergilas dalam kehendak publik. Para politisi, aktivis dan tokoh masyarakat yang berkeinginan mempengaruhi negara tidak perlu harus berkarir dalam jangka waktu tertentu di partai politik karena keinginan itu bisa terwujud dengan cara menunggu di persimpangan jalan ketika Pemilu sudah dekat.
Kepada para pembesar yang selalunya ditunjang oleh dana yang besar pula, yang memiliki cita-cita menjadi presiden Indonesia caranya cukup mudah yaitu mendirikan partai politik yang berkarakter perseroan terbatas dan menghimpun semua tokoh yang memiliki kemungkinan perolehan suara Pemilu karena jumlah kursi legislatif akan menentukan pencalonan seseorang ke lembaga presiden.
Dalam atmosfer politik pemilu seperti saat ini, kepada perseorangan yang memiliki pikiran melakukan perubahan melalui parlemen, pilihan mendirikan partai politik baru tentu tidak menarik. Tentu sangat merumitkan. Menghabiskan ongkos besar dan belum tentu mampu meraih jumlah kursi minimal sebuah partai politik karena masyarakat terbelakang (baca; miskin dan tak terdidik) yang hidup dalam demokrasi liberal sangat sulit diprediksikan mood dan kepentingan-kepentingannya.
Pilihan mudah adalah menunggu di persimpangan jalan, di tikungan jalan para pemilik partai politik yang gundah dalam merespon dinamika politik liberal. Membuka diri untuk dibajak oleh pemilik partai politik atau dalam bahasa yang lebih santun melakukan aktifitas dialektis dalam dinamika politik liberal, pemilu dan kepartaian Indonesia dengan tanpa harus mendirikan partai politik yang baru.
Di era liberalisme, politik identitas yang diperankan partai politik menjadi sesuatu yang samar. Apalagi jika politik identitas itu semakin tidak mampu menjawab tantangan zaman dalam hal kepentingan publik. Pada saat itu masyarakat Indonesia yang dominan feodal, miskin dan tidak terdidik akan kembali kepada politik kekerabatan (perkauman) dan politik uang yang hanya bersifat pendek karena Pemilu tidak lagi dianggap sebagai mekanisme melakukan perubahan tetapi hanya sebuah even komoditi dimana setiap orang mendapat “jerih” sesuai dengan kapasitas dan modal masing-masing.
Di Aceh, ada fenomena baru politik liberal dimana dalam senarai Daftar Calon Tetap (DCT) legislatif yang keluarkan KIP baru-baru ini tercantum nama-nama pesohor masyarakat yang memiliki latar belakang aktivis pro rakyat yang selama ini tidak percaya dengan sistem parlementer. Para aktivis yang pernah berdiri berhadap-hadapan dengan negara dan sistem yang menindas. Ada fenomena dimana partai politik tidak hanya melirik artis dan agamawan tetapi juga aktivis.
Kalau dirunut keterkaitan antara satu dengan yang lainnya nama-nama aktivis yang muncul di DCT tersebut pernah memiliki keterkaitan dalam front-front perjuangan sebelumnya. Kini mereka datang dari partai politik yang berbeda dan berkompetisi di Pemilu 2014. Saya yakin bahwa kenyataan ini bukanlah sesuatu yang direncanakan sebelumnya. Ini adalah hasil dialektika politik liberal pemilu Indonesia.
Pertanyaannya akankah mereka terpilih dalam Pemilu 2014? Akankah ada karakter politik berbeda setelah mereka terpilih nanti? Atau pertanyaan yang lebih panjang akankah ada perubahan kearah Aceh yang lebih baik ?
Saya kader Partai Aceh. Meyakini program politik Partai Aceh. Kami partai yang menjadikan politik identitas sebagai bagian dari strategi pemenangan. Partai Aceh memiliki karakteristik tertentu yang lahir dari dinamika politik perjuangan di Aceh. Meski demikian saya juga percaya bahwa tak akan mungkin semua kursi di parlemen akan dimiliki oleh Partai Aceh karena yang menentukan pemilihan ini adalah kehendak masyarakat pemilih yang beragam.
Tentu semua pegiat partai politik menginginkan partainya dapat mendominasi kemenangan 2014. Saya berharap ada keberkahan pemilu liberal di Aceh dimana calon legislatif kedepan memiliki kualitas yang baik dan berkarakter Aceh Maju.
Ditulis oleh : Kautsar Muhammad Yus
Sumber : partai-aceh.com diterbitkan untuk bahan diskusi/pendidikan
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.