(Ditulis oleh George Novack dalam "An Introduction to the Logic of Marxism")
Bagian II
Hikmah pelajaran terakhir (yang kita dapatkan) dari dua proposisi Hegel adalah: bahwa kebenaran itu kongret dan, lebih jauh lagi, semua yang riil itu rasional. Dengan sesadar-sadarnya kita mengerti bahwa segala sesuatu itu memiliki eksistensidan tetap ada dalam segala sesuatubukan karena kecelakaan, tetapi sebagai hasil dari kondisi-kondisi yang menentukan dan karena sebab-sebab yang pasti. Terdapat beberapa alur keabsyahan yang bergerak melalui proses-proses realitas dan ditampilkan dalam eksistensi serta keberlanjutan hasil-hasilnya. Dunia nyata memiliki alasan, dan karenanya, secara rasional, direfleksikan dan diterjemahkan dalam pikiran kita.
Dalam diskusi ini kita akan menguji sisi lain proposisi tersebut, tetapi yang mana? Seperti yang akan kita lihat, sisi lain tersebut merupakan sebuah aspek realitas yang tak terpisahkan dari proposisi tersebut. Marilah kita ubah penegasan kita sebelumnya, yakni dalam hal poros dan aspek negatif proposisi tersebut.
Seperti yang sudah kita tegaskanukuran kebenaran yang terdapat dalam proposisi tersebut adalah bahwa yang riil itu yang rasional; segala sesuatu memiliki eksistensi dan memiliki ketetapan dalam cara yang absyah dan pasti. Tetapi hal tersebut bukan lah merupakan keseluruhan dan kebenaran akhir segala sesuatu. Kebenaran itu sepihak, relatif dan sementara sifatnya. Kebenaran riil tentang segala sesuatu itu: bahwa segala sesuatu itu tidak hanya eksis, berlanjut, tetapi juga berkembang dan mati. Kematian sesuatu, mengakhiri sesuatu dengan kematian, diungkapkan dengan terminologi logis: ‘negasi’.
Seluruh kebenaran segala sesuatu bisa dibongkar hanya jika kita memperhatikan aspek pertentangan dan aspek negatifnya. Dengan kata lain, jika kita tidak memperhitungkan negasi dari penegasan kita yang pertama maka, sebenarnya, kita sedang memeriksa realitas yang abstrak dan superfisial.
Segala sesuatu itu serba terbatas dan berubah. Segala sesuatu tidak saja memaksakan jalannya tapi juga dipaksa hadir dan mempertahankan dirinya. Segala sesuatu juga berkembang, membelah atau berdisintegrasi, ditendang dari eksistensinya dan, pada akhirnya, menghilang. Dalam kerangka logis, segala sesuatu tak sekadar menegasikan dirinya sendiri. Tampaknya, segala sesuatu juga menegasi dirinya sendiri dan dinegasi oleh sesuatu yang lain. Karena memiliki eksistensi, segala sesuatu bisa berkata kepada realitas dan pemikiran yang mencoba memahaminya: “Ya, aku di sini!” Karena segala sesuatu itu berkembang dan, pada akhirnya, ditendang dari eksistensinya, segala sesuatu akan berkata sebaliknya: “Tidak, aku tak seperti yang dahulu; aku tak bisa menyatakan diriku lagi.” Jika segala sesuatu yang eksis harus keluar dari eksistensinya, dan semua realitas terus menerus menyerbu masuk ke dalam benak kita, maka pemikiran logis kita harus berpendapat: setiap penegasan harus mengungkapkan negasinya. Gerak sesuatu dan gerak pemikiran semacam itu yang disebut sebagai gerakan dialektis.
“Segala sesuatu...pasti menemui ajalnya; dan, dengan demikian, kita memiliki satu persepsi bahwa dialektika merupakan kekuatan yang universal, dan segala sesuatu tak akan bertahansegala sesuatu tak bisa menetap, seberapa pun aman dan stabilnya segala sesuatu itu menganggap dirinya”, tulis Hegel (Shorter Logic, hal.128).
Kisah Seribu Satu Malam, yang berasal dari Arab, memberikan satu fabel: di awal tahtanya, seorang raja dari Timur bertanya kepada penasehatnyatentang ringkasan dari semua yang telah dipelajarinya, tujuannya untuk mendapatkan kebenaran yang akan ia terapkan pada segala waktu dan di bawah segala kondisi, sebuah kebenaran yang akan menjadi landasan bagi kedigjayaan absolut, sebagaimana yang ia cita-citakan. Akhirnya, di atas ranjang kematian sang raja, penasehatnya memberikan jawaban seperti ini: “Oh, rajaku yang mulia, kebenaran ini (kematian—red.) akan selalu berlaku pada, dan ini juga akan meninggalkan, segala sesuatu.” Jika keadilan ditegakkan, sang raja seharusnya memberikan penghargaan yang besar pada sang penasehatnya karena telah menyingkapkan kepadanya rahasia dialektika. Itu lah kekuatan, kelumpuhan di lihat dari sisi negatif eksistensi, yang selalu muncul, menghancurkan, dan melebihi aspek afirmatif segala sesuatu.
“Kegelisahan yang kuat” ini, sebagaimana disebut Leibnits, adalah kekuatan yang mempercepat tindakan destruktif atas kehidupan—dilihat dari sisi negatifnya—yang terdapat di mana pun selama ia masih beroperasi; dalam pergerakan benda, dalam pertumbuhan eksistensi segala sesuatu yang hidup, dalam perubahan-perubahan substansi, dalam evolusi masyarakat, dan dalam pikiran manusia yang merefleksikan semua proses obyektif tersebut.
Berangkat dari esensi realitas (yang dialektik) tersebut, Hegel menarik kesimpulan yang sangat menentukan pada bagian (tak terpisahkan) aforisme-nya yang terkenal itu: semua yang rasional itu nyata. Tapi, bagi Hegel, semua yang nyata, tanpa pengecualian dan kualifikasi yang selayaknya, memiliki eksistensi. “Eksistensi ada dalam atau sebagian dari penampakan, dan itu hanya lah sebagian dari realitas” (Introduction to Shorter Logic, § 6). Eksistensi secara elemental dan pasti membagi dirinya sendiri, sedangkan berdasarkan pikiran yang menyeledikinya: eksistensi menjadi begitu terbagi ke dalam aspek-aspek pertentangan antara penampakan dan esensi. Persilangan antara penampakan dan esensi tidak lah lebih misterius ketimbang persilangan antara bagian dalam dengan bagian luar sebuah obyek.
Bila bukan sekadar penampakan, lalu apa yang membedakan esensi atau realitas esensial? Suatu materi menjadi benar-benar nyata jika materi itu pasti, jika penampakannya benar-benar berkaitan dengan esensinya, dan jika hanya sepanjang materi itu membuktikan dirinya menjadi pasti. Hegel, seorang idealis yang paling konsisten, berusaha mencari dan mendapatkan sumber kepastian dalam pergerakan pikiran universal—Ide Absolut. Kaum materialis, di lain pihak, mencari dan mendapatkan akar kepastian dalam dunia obyektif, dalam kondisi-kondisi material dan kekuatan-kekuatan yang berkonflik, yang menciptakan, mempertahankan, dan menghancurkan segala sesuatu. Akan tetapi, bila dilihat dari sudut pandang yang benar-benar logis, maupun dari sudut pandang aliran-aliran filsafat, disepakati bahwa terdapat kaitan antara realitas dengan kepastian.
Sesuatu mendapatkan realitasnya karena memang terdapat kondisi-kondisi (yang dibutuhkannya) guna produksi dan reproduksinya, yang beroperasi dan tampil secara obyektif. Atau menjadi (kurang-lebih) nyata bila, dalam perkembangannya, dikaitkan dengan perubahan-perubahan situasi eksternal dan internal. Kesimpulannya menjadi (kurang-lebih) benar sepanjang dan sejauh mana ia berada di bawah kondisi-kondisi yang tersedia. Selanjutnya, bila kondisi-kondisi tersebut berubah, maka ia akan kehilangan kepastian dan realitasnya, ia akan menjadi sekadar penampakan.
Mari lah kita pertimbangkan beberapa ilustrasi proses tersebut—kontradiksi antara esensi dan penampakan, yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk yang berbeda dan diasumsikan oleh problem dalam pergerakannya. Dalam proses produksi tanaman—bibit, tunas, bunga dan buah, semuanya, tanpa pilih kasih, merupakan tahap-tahap dalam bentuk-bentuk eksistensinya. Secara terpisah, perkembangan masing-masing harus dilihat (tanpa pilih kasih) sebagai kenyataan, kepastian, dan tahap-tahap rasional perkembangan tanaman.
Setiap eksistensi digantikan oleh eksistensi lainnya dan, karenanya, menjadi kurang pasti serta tidak nyata. Setiap tahap perwujudan tanaman muncul sebagai sebuah realitas yang, selanjutnya, diubah (oleh perkembangannya) menjadi bukan realitas, atau meniadakan penampakan lamanya. Pergerakan tersebut lah—tritunggal (dalam kasus khusus ini), dari yang bukan realitas menjadi realitas yang, kemudian, kembali lagi ke yang bukan realitas—yang menentukan esensi, pergerakan di balik semua penampakan. Penampakan tidak bisa dimengerti tanpa memahami proses tersebut. Itu lah yang menentukan apakah setiap penampakan dalam alam, masyarakat, dan (bahkan) dalam pikiran manusia itu rasional atau non rasional.
Menurut Engels: Republik Roma itu nyata, demikian juga Kekaisaran Romawi yang menggantikannya. Pada tahun 1789, monarki Perancis telah menjadi demikian tak nyata, sehingga bisa dikatakan seolah-olah telah merampok semua bentuk kepastian, begitu tak rasional, sehingga monarki tersebut memang layak dihancurkan oleh Revolusi (Perancis) yang Agung—Hegel selalu berbicara tentangnya dengan antusiasme yang tinggi. Dalam kasus tersebut monarki merupakan sesuatu yang tak nyata dan revolusi lah yang nyata. Dengan demikian, bila perkembangan dipertimbangkan, maka semua yang sebelumnya nyata menjadi tak nyata, kehilangan kepastiannya, kehilangan haknya untuk eksis, kehilangan hak rasionalitasnya.
Dan, dalam realitas yang sekarat, hadir lah realitas baru, yang mampu hidup—baik secara damai, yakni jika realitas lama memiliki cukup intelejensia untuk sampai ke kematiannya tanpa suatu perlawanan; maupun dengan kekerasan, yakni jika realitas lama mengadakan perlawanan menentang kepastian baru. Dengan demikian proprosisi Hegelian ditentang oleh dialektika Hegelian itu sendiri. Semua yang nyata dalam lingkup sejarah manusia bisa menjadi irasional dalam proses waktu dan, karenanya, membawa irasionalitas dalam mencapai tujuannya, dicemari irasionalitas. Dan segala sesuatu yang rasional dalam pikiran manusia berjuang untuk menjadi nyata, sebanyaknya apa pun ia berkontradiksi dengan realitas yang muncul atau dengan kondisi-kondisi yang tersedia. Sesuai dengan semua aturan metode pemikiran Hegelian, proposisi rasionalitas segala sesuatu yang nyata menentukan dirinya sendiri menjadi proposisi yang lain. “Semua yang eksis mengabdi pada kematian” (Engels, Ludwig Feurbach and the End of Classical German Philosophy).
Kapitalisme sekali waktu memang merupakan suatu sistem sosial yang nyata dan dibutuhkan. Kapitalisme menjadi nyata karena berlandaskan kondisi-kondisi sosial yang ada dan dengan pertumbuhan tenaga produktif manusia. Kapitalisme bereksistensi dan berkembang luas ke seluruh dunia, menggulingkan, mensubordinasikan (pada dirinya dirinya), atau menggantikan semua hubungan-hubungan sosial lama, menjadi yang lebih nyata, ke dalam barisan kemenangannya. Kapitalisme, dengan demikian, membuktikan kepastiannya, keniscayaannya, dalam praktek historis—dengan menetapkan realitasnya, rasionalitasnya, dan mendesakkan kekuatannya dalam masyarakat.
Ada suatu ukuran kebenaran—dalam bentuk pernyataan—yang begitu menakutkan kaum filistin: “Yang kuat menjadi benar”. Tapi kaum filistin, yang kurang memahami dialektika, tak mengerti bahwa lawan dari proposisi tersebut juga sama benarnya: “Yang benar menjadi kuat”. Pada saat ini kapitalisme telah sampai di ujung tali gantungannya, atau lebih dari siap untuk digantung. Sistem produksi kuno tersebut begitu tak dibutuhkan lagi, tak nyata, tak rasional di abad ke duapuluh ini, tak seperti di awal kebangkitannya di abad ke limabelas, atau di sepanjang abad ke delapan belas dan ke sembilan belas. Sistem tersebut harus dihapuskan atau dinegasikan, jika manusia ingin hidup dan berkembang. Sistem tersebut akan menegasikan dunia melalui suatu kekuatan sosial dalam kapitalisme itu sendiri, yang jauh lebih nyata dan kuat, yang jauh lebih dibutuhkan dan rasional, ketimbang kapitalisme-imperialis: kaum proletariat sosialis dan sekutunya—kaum tertindas di negeri-negeri jajahan (kolonialisme).
Kelas pekerja memiliki alasan historis dan, karenanya, memiliki hak historis. Perjuangan kelas terbukti lebih efektif ketimbang semua kekuatan yang memiliki kebenaran (hanya pada masa lalu)—misalnya, reaksi kaum kapitalis, seandainya pun ia mengakumulasikan seluruh kekuatan masa lalunya. Revolusi Oktober, 1917, membuktikan bahwa alasan dan hak historis tersebut bisa menjadi cukup kuat untuk mengubah kapitalisme. Negasi terhadap kekuasaan kapitalis merupakan penegasan yang paling kuat terhadap kemungkinan dipenuhinya hak-hak sosial dan politik para pekerja (industrial) untuk mengatur dan membangun kembali tatanan sosial.
Dengan demikian, terbukti bahwa negasi bisa bukan merupakan sesuatu yang menghalangi atau menghancurkan diri sendiri. Negasi merupakan penegasan terhadap langkah atau tahap selanjutnya transformasi diri, dan negasi menunjukkan karakter positifnya sebagai negasi dari negasi, yakni: seluruh penegasan baru, yang mengandung bibit negasinya sendiri. Itu lah yang disebut sebagai dialektika perkembangan, kebutuhan untuk mentransformasikan satu proses ke dalam proses yang lainnya.
Untuk mengerti tentang tahap formatif gerakan Trotskis, sangat lah penting dan tepat jika kita selalu berusaha melampirkan kemunduran gerakan Internasional Ketiga, dengan demikian bisa dimengerti bahwa gerakan Trotskis merupakan upaya untuk memperbarui tingkah laku lama gerakan Internasional Ketiga yang tercela dan, selain itu, merupakan upaya untuk memenangkan program Bolshevik Lenin di hadapan massa pekerja revolusioner. Di Jerman, tahun 1933, setelah menyerah pada Hitlerisme, tak ada reaksi dari jajaran partai—dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa proses kemunduran telah mencapai titik kematian. Perubahan kwantitatif telah menghasilkan suatu kwalitas yang baru. Gerakan Internasional Ketiga bukan obatnya—gerakan Internasional Ketiga telah mati. Demikian pula yang terjadi pada Internasional Kedua, ‘mayat busuk’. Internasional Ketiga dikubur Stalin pada tahun 1943.
Karenanya, kebijakan utama kita terhadap Komintern (Komunis Internasional) menjadi tak penting, tak tepat, tak realistis, dan usang. Tahap perkembangan baru menuntut kebijakan baru dan bidang kerja baru yang disesuaikan dengan kondisi yang baru. Kaum Trotskis harus memutus semua ikatannya dengan Internasional Ketiga yang Stalinis, mulai membangun Internasional Keempat yang baru dan sepenuhnya independen. Kita seharusnya bukan untuk memperbarui Internasional Ketiga tapi menggantikannya dengan sebuah organisasi kelas pekerja yang benar-benar revolusioner.
Beberapa orang melihat—dan sebenarnya tetap melihat—adanya kontradiksi (yang tak terpecahkan) dalam tahap-tahap kejadian tersebut. “Bagaimana mungkin, pada satu masa, kalian berniat memperbarui Komintern namun, pada saat lainnya, kalian menyukai kehancurannya?”, demikian kesimpulan mereka. Karena mereka itu sok tahu, mereka menjadi formalistik, tak dialektis baik dalam pemikirannya maupun dalam aktivitas politiknya. Mereka tak mengerti bahwa bila realitas obyektif berubah maka dibutuhkan kebijakan dan strategi baru yang sesuai dengannya—karena memang dibutuhkan dan rasional. Mereka tak mengerti bahwa kebijakan yang berbeda dan, bahkan, bertentangan, bisa dan berlaku untuk mengembangkan salah satu tujuan strategi yang sama. Dalam kerangka logis, mereka tak bisa mengerti bahwa, secara umum, apa yang tampak berbeda bisa menjadi identik. Mereka sekadar berpikir menurut hukum identitas logika formal. Apa yang identik harus selalu/tetap sama, baik dalam penampakan maupun dalam esensinya, tanpa memperhatikan situasi. Tetapi dialektika mengajarkan: apa yang identik juga bisa dan, bahkan, harus berubah.
Problem yang sama juga muncul pada setiap tahap baru perkembangan gerakan kita. Setiap tahap merubah taktik politik kita, yang merupakan suatu keharusan karena adanya perubahan kondisi gerakan buruh radikal, yang telah mengerti makna peperangan antara penganut logika formal dan penganut dialektika. Pada tahun 1934, ketika terjadi penggabungan dengan Partai Buruh Amerika, kaum Oehlerite yang sektarian, pada kenyataannya, menentang penggabungan tersebut, dan berusaha meletakkan kerangka formal untuk menghalangi kaum sentris Musteite, yang juga berusaha mencegah perkawinan indah antara dua kelompok politik berbeda. Gagal dalam mencampuradukkan formalismenya dengan kebutuhan membangun sebuah partai revolusioner di negeri ini, mereka kemudian memisahkan diri.
Di tahun 1935, proposal untuk melebur ke dalam Partai Sosialis memunculkan penentangan dari kaum formalis yang ingin memelihara bentuk organisasi partai yang sudah ada, tanpa memperhatikan kebutuhan politik mendesak dalam proses pembangunan partai proletariat. Mereka berpikir bahwa partai kita telah mencapai struktur organisasional yang sempurna, padahal partai kita sesungguhnya baru dalam tahap pembangunan. Hengkangnya kita dari Partai Sosialis sebaliknya juga memunculkan penentangan dari kaum formalis lainnya, yang mulai mengakomodasikan diri mereka untuk hidup bersama dengan lingkungan kaum sentris, walaupun keharusan politik menunjukkan bahwa perjuangan bersama dengan kaum sentrisme bisa dijalankan hingga ke tujuannya. Tidak lah penting untuk diingat-ingat, dan tak perlu juga heran bahwa, kemudian, beberapa individu yang sama, yang menentang masuknya kita ke dalam partai Sosialis, adalah orang-orang yang paling malas untuk hengkang dari partai sosialis (Martin Abern). Semakin banyak perubahan terjadi, semakin saja formalisme dianggap benar bagi dan oleh dirinya sendiri—karena realitas telah mereka palsukan.
Semua tindakan yang berbeda tersebut yang, oleh kaum formalis dan sektarian, dianggap begitu kontradiktif satu dengan yang lainnya, sesungguhnya merupakan tahap-tahap yang penting dan rasional dalam proses dialektis penggabungan kekuatan-kekuatan kita. Rumusan-rumusan taktik, sebagaimana semua rumusan, harus menyesuaikan dirinya pada bidang yang berbeda yakni: arus kejadian yang nyata.
Bisa saja kami mengutip berbagai contoh perubahan-perubahan dialektis dalam sejarah partai kami: perubahan terhadap program transisional, perubahan sikap terhadap pembentukan Partai Buruh dan sebagainya. Dengan caranya sendiri, semuanya menegaskan kebenaran dialektika—itu karena semua perkembangan nyata memang bergerak dengan cara yang bertentangan, dengan berlandaskan pada konflik kekuatan-kekuatan (yang eksis) yang saling-bertentangan. Tak satu pun yang mapan tak berubah, atau selesai secara absolut. Segala sesuatu menghilang dalam perkembangan. Kepastian berubah menjadi kurang pasti, atau kemungkinannya berkurang atau kurang memiliki kesempatan; realitas berubah menjadi tak nyata, atau penampakannya berubah; rasionalitas menjadi irasionalitas, kebenaran pada saat yang lalu menjadi setengah benar pada saat sekarang, atau menjadi salah pada saat yang akan datang dan, akhirnya, menjadi kesimpulan yang usang.
Hegel menjeneralisasi gambaran mendasar kenyataan tersebut sebagai hukum logis: bahwa segala sesuatu yang pasti, nyata, dan masuk akal, bisa berubah menjadi sebaliknya selama berada di dalam area lingkungan yang isinya saling mempengaruhi. Menurut hukum-hukum logika formal, hal itu tak mungkin, tak logis, absur, karena mengandung kontradiksi dalam dirinya. Dalam logika formal, kontradiksi, khususrnya kontradiksi diri dalam realitas, adalah tak mungkin, dan tak disyahkan dalam pemikiran.
Setelah Hegel memperkenalkan dialektika, maka hukum logika formal bisa ia koyak-koyak, ia merevolusionerkan ilmu-pengetahuan logika. Meski Hegel pun menyingkirkan kontradiksi dari realitas dan logika, namun ia menjadikannya batu pijakan bagi konsepsi tentang realitas dan sistem logika. Seluruh struktur logika Hegel dihasilkan berdasarkan proposisi identitas, kesatuan dan saling interpenetrasi dari hal-hal yang saling-bertentangan. Sesuatu itu bukan lah sekadar dirinya sendiri tapi juga bisa bukan dirinya. A bukan lah sekadar setara dengan A; tapi juga lebih setara dengan yang non A.
Pencapaian Aristoteles yang agung dan luar biasa—yang tak melepaskan penghargaannya terhadap penemuan para pendahulu Yunani, yang mengakui bahwa A setara dengan A—adalah menjadikan hukum identitas tersebut sebagai landasan bagi penjelasan sistematik ilmu-pengetahuan logika, dan itu tak lebih merupakan upaya untuk membuat epik dalam mensistematisasikan penemuannya; demikian pula yang Hegel lakukan—yang mengakui bahwa A tidak sekadar setara dengan A tapi juga bisa setara dengan yang non A—ia menjadikan hukum identitas, kesatuan dan interpenetrasi dari hal-hal yang saling-bertentangan sebagai basis sistem logika dialektikanya.
Hukum kesatuan dari hal hal yang saling-bertentangan, yang begitu membingungkan dan menakutkan bagi para pecandu logika formal, bisa dengan mudah dipahami tidak saja saat diterapkan pada proses perkembangan aktual dan saling keterkaitan antara berbagai kejadian, tapi juga saat dipertentangkan dengan hukum formal identitas. Memang benar, secara logis, bahwa A setara dengan A; bahwa John adalah John, dan bahwa lima ditambah satu setara dengan enam. Tapi, akan menjadi jauh lebih benar bila A juga setara dengan yang non A; bahwa John bukan lah sekedar John: John adalah seorang manusia. Proposisi yang tepat tersebut bukan lah sebuah penegasan terhadap identitas abstrak tapi sebuah identifikasi dari hal hal yang bertentangan. Kategori logis atau kelas material—manusia—dengan nama John adalah salah seorang manusia yang sama, namun ia bukan sekadar John, ia adalah individu. Manusia, pada saat yang bersamaan, identik dengan yang berbeda dari John.
Logika formal mengabaikan pertentangan, mengabaikan kontradiksi—realitas Indian Amerika sekadar dilihat sebagai balas dendam mereka atas minyak bumi di masa lalu; realitas totalitarian sekadar dilihat sebagai balas dendam terhadap demokrasi. Logika formal mengabaikannya, membuangnya ke keranjang sampah. Hegel memulihkan kembali permata tersebut, memotong dan mengasah perwajahannya dan, dengan demikian, menghaturkan sumbangan besar bagi logika. Ia bisa menunjukkan bahwa pertentangan dan kontradiksi, sekalipun tanpa makna dan tanpa nilai, merupakan faktor-faktor yang penting dalam alam, masyarakat dan pemikiran. Hanya dengan menggenggam kuat prinsip tersebut maka seseorang bisa menangkap getarannya, kekuatan motif yang ada dalam realitas, dalam kehidupan—itu lah landasan logikanya Hegel.
“Ketimbang kita berbicara tentang perumpamaan hukum tiada jalan tengah (the law of excluded middle)—harus disadari bahwa perumpamaan itu merupakan pemahaman abstrak—lebih baik kita lebih mengatakan: segala sesuatu itu bertentangan. Apakah itu di surga maupun di bumi, apakah itu di alam pikiran maupun di alam itu sendiri, karenanya tak terdapat, di mana pun, semacam abstraksi ‘yang baik’; atau tak ada kebenaran, yang masuk akal, terus menerus bisa dipertahankan/dipelihara. Semuanya kongkret, dengan pembedaan dan pertentangan dalam dirinya. Keterbatasan ketetapan, kepastian, segala sesuatu terletak dalam keinginannya untuk saling berkaitan di antara berbagai keberadaannya saat ini, sekarang ini, dan semuanya jelas-jelas ditampakkan oleh segala sesuatu itu sendiri”. (Introduction to Shorter Logic, hal. 119).
Sebagai contohnya, bisa diperhatikan dua proposisi yang telah kita analisa. Yang kedua, proposisi ‘semua yang rasional itu nyata’ merupakan penentangan terhadap yang pertama dan, pada kenyataannya, memang bertentangan: ‘semua yang nyata itu rasional’. Hegel sama sekali tak terganggu oleh kontradiksi tersebut. Sebaliknya, sebagai seorang akhli dialektika, ia mengerti betul bahwa kontradiksi tersebut merupakan suatu petunjuk untuk memahami esensi atau intisari realitas. Ia memahami bahwa hal tersebut merupakan suatu kontradiksi murni, yang harus diterima dan harus berjalan seiring dengannya, karena baik oposisi maupun kontradiksi sesungguhnya nyata dan rasional. Kontradiksi khusus mengungkapkan hakekat inheren segala sesuatu, yang bisa muncul karena memang demikian lah karakter kontradiktif realitas itu sendiri.
Akhli logika formal meletakkan hukum identitasnya dengan cara yang sama sebagaimana monarki absolut meletakkan hukum pada subyeknya. Ini lah hukum; jangan berani melanggarnya. Sama halnya dengan subyek-subyek yang selalu memberontak melawan absolutisme politik maka, demikian juga, kekuatan-kekuatan realitas akan selalu resah hingga, akhirnya, melanggar hukum-hukum logika formal. Proses-proses alam, dalam perkembangannya, selalu mengkontradiksikan dirinya sendiri. Tunas menegasikan bibit, bunga menegasikan tunas, buah menegasikan bunga. Hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat. Kapitalisme menegasikan feodalisme; sosialisme menegasikan kapitalisme. “Kontradiksi, di atas segalanya, adalah yang menggerakkan dunia dan sungguh tak masuk akal mengatakan bahwa kontradiksi itu tak terpikirkan. Poin yang tepat dalam pernyataan tersebut: kontradiksi bukan lah akhir dari sesuatu tapi sedang menunda dirinya sendiri.” (Introduction to Shorter Logic, hal.119) Bunga yang menegasikan tunas dan, dengan sendirinya, dinegasikan oleh buah. Kapitalisme menggulingkan feodalisme dan, dengan sendirinya, digulingkan oleh sosialisme. Proses tersebut dikenal dalam logika sebagai hukum negasi dari negasi.
Dalam gerak dialektik tersebut, dalam bagian yang muncul dan menjadi bertentangan, terletak rahasia gerak segala sesuatu yang nyata. Karenanya, di situ terletak juga tempat bersemainya metode logika dialektika, yang merupakan penerjemahan konseptual yang tepat terhadap proses-proses perkembangan dalam realitas. Dialektika merupakan logika bagi materi yang bergerak, atau logika kontradiksi, karena perkembangan dalam dirinya mengandung kontradiksi yang melekat dalam dirinya (inheren). Dalam dirinya, segala sesuatu mengandung kekuatan yang mengarah pada negasinya, dan ketiadaannya berlanjut menjadi bentuk keberadaan yang lebih tinggi.
“Di mana pun terdapat pergerakan, di mana pun terdapat kehidupan, di mana pun segala sesuatu yang beroperasi mempengaruhi dunia aktual, maka di situ lah dialektika bekerja. Dialektika juga merupakan jiwa seluruh pengetahuan yang benar-benar ilmiah. Cara pandang umum memahami sesuatu: penolakan untuk patuh terhadap segala bentuk abstrak pemahaman hanya berlaku bila diterapkan pada hukum. Sebagaimana pepatah berkata: hidup dan biar lah hidup. Tiap-tiapnya harus berubah; kita menghargai yang satu tapi juga menghargai yang lain.
Namun, saat kita melihat lebih dekat, kita menemukan keterbatasan dari yang terbatas (sebagaimana juga yang tak terbatas—G.N.), yang tak sekadar hadir dari ketiadaan; (dalam setiap kasus, dan dengan caranya sendiri) hakekatnya sendiri lah yang merupakan penyebab dari ketiadaannya dan, dengan caranya sendiri, bergerak menjadi lawannya. Sebagai contoh, katakan lah bahwa manusia itu tak abadi dan, yang terpikir, bahwa dasar atau sebab kematiannya adalah hanya dari lingkungan eksternalnya; jika cara pandang tersebut dianggap benar maka manusia memiliki dua kepemilikan khusus: kehidupan dan kematian. Namun pandangan yang benar dalam memahami materi adalah: kehidupan, sebagaimana yang hidup, mengandung bibit-bibit kematian, dan keterbatasan tersebut berperang dalam dirinya sendiri, menyebabkan penghancuran dirinya sendiri.” (Introduction to Shorter Logic, hal. 81). Selain itu, Locke juga mengungkapkan gagasan yang sama saat ia menyatakan: bahwa segala sesuatu yang eksis berada dalam proses ‘terus menerus membusuk’.
Aktivitas dialektik tersebut universal kadar jeneralitasnya. Tak ada tandingan terhadap cakupannya, yang tak kunjung padam dan berkesinambungan. “Dialektika mengungkapkan sesuatu yang bisa dirasakan dalam setiap tingkat kesadaran dan dalam pengalaman umum. Segala sesuatu yang melingkupi kita bisa dipandang sebagai bagian dari dialektika. Kita menyadari bahwa segala sesuatu yang terbatas—selain itu, yang menjadi tidak fleksibel dan berakhir—merupakan yang lebih mampu diubah, mengalir, dan itu lah setepatnya yang kami maksudkan dengan dialektika dari yang terbatas—yang secara implisit dipaksa menyerahkan keberadaannya yang nyata, sehingga seketika berubah menjadi lawannya” (Introduction to Shorter Logic, hal. 81)
Kaum sipil adalah lawan dari tentara. Namun, wajib militer mengajarkan kepada banyak kaum sipil bahwa statusnya sebagai sipil ‘tidak lah tak fleksibel, bisa berakhir, mampu berubah dan sementara’; eksistensinya dalam status sedang menggeliat dan konvensional, tiba-tiba berubah menjadi lawannya. Itu lah yang disebut transformasi dialektik di area yang sama—manusia bahkan, lebih dari itu, bisa sadar bahwa perang tersebut memiliki karakter imperialis dan, walaupun individu diabaikan, karakter dialektik proses tersebut tak akan berubah.
Dialektika merupakan sisi revolusioner Doktrin Hegel
“Apa pun sisi lemahnya, di situ lah tepatnya terletak signifikansi yang benar dan karakter revolusioner filsafat Hegelian…Itu merupakan penyempurnaan (pertama kalinya) terhadap semua produk pikiran dan tindakan manusia, karenanya, yang sebelum-sebelumnya menjelang kehancurannya. Kebenaran, kognisi, yang merupakan bisnis filsafat, di tangan Hegel menjadi tak lebih dari sebuah agregat atau berlama-lama lagi menjadi sebuah agregat—atau kini menjadi pernyataan dogmatik yang tuntas, sehingga orang bisa melakukan studi dengan sesungguh-sungguhnya. Sekarang, kebenaran terletak dalam proses kognisi itu sendiri, dalam perkembangan ilmu-pengetahuan, yang ditinjau secara historis, yang bergerak memuncak dari tingkatan ilmu-pengetahuan yang paling bawah hingga ke tingkatan yang lebih tinggi tanpa pernah bisa menggapai apa yang disebut kebenaran absolut. Itu lah poin di mana kebenaran tak bisa dihasilkan tanpa lebih jauh lagi, tak akan ada lagi yang bisa atau harus dikerjakan kecuali mengekang tangan, menahan diri, atau sekadar menghargai kebenearan absolut yang telah dicapai.
Apapun yang bisa memelihara kebenaran alam pengetahuan filosofis, juga bisa memelihara kebenaran segala bentuk pengetahuan dan hal-hal praktis. Sebagaimana juga pengetahuan, yang tak akan mampu mencapai garis pengehentian yang sempurna (dalam suatu kondisi humanitas yang sempurna, ideal), demikian juga dengan sejarah; sebuah masyarakat yang sempurna, dengan ‘bentuknya’ yang sempurna, hanya lah hal-hal yang sekadar bisa eksis dalam imajinasi. Sebaliknya, seluruh situasi sejarah yang bergunta-ganti hanya lah merupakan tahap-tahap peralihan perkembangan masyarakat manusia, yang tanpa akhir, dari yang tahapan paling rendah menuju ke tahapan yang paling tinggi.
Setiap tahap memang dibutuhkan karena memang dibenarkan oleh waktu dan kondisi, dan setiap tahap memiliki asal-usulnya sendiri. Tapi, dalam kondisi-kondisi baru dan lebih tinggi—yang berkembang dalam rahimnya sendiri—setiap tahapan kehilangan validitas dan justifikasinya. Setiap tahap harus memberikan jalan bagi satu bentuk (tahap) yang lebih tinggi—yang juga akan mengalami kehancuran, melenyap. Sebagaimana juga yang akan menimpa kaum borjuis pemilik industri skala besar, kompetisi dan pasar dunia, dalam prakteknya, akan menghancurkan semua stabilitas pranata-pranata (berpengalaman) lama; pandangan dialektik pun demikian: mewajarkan kehancuran segala konsepsi atau kebenaran absolut dan, demikian juga, mewajarkan kehancuran bentuk absolut kemanusiaan yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Karenanya, tak ada yang final, absolut, dan sakral. Dialektika bisa membongkar adanya karakter peralihan dari sesuatu dan dalam sesuatu, tak ada yang bisa mendorongnya kecuali proses berkelanjutan untuk menjadi dan menghilang, atau perkembangan tanpa akhir dari tahapan yang rendah menuju ke tahapan yang lebih tinggi.
Dan pandangan dialektik sendiri tak lebih dari sekadar refleksi proses otak yang berpikir. Hal itu, tentunya, juga merupakan sisi yang konservatif: pandangan tersebut mengakui bahwa tahap-tahap pasti ilmu-pengetahuan dan masyarakat dibenarkan oleh waktu dan lingkungannya, walaupun hanya dalam batasan-batasan tertentu. Konservatisme cara pandang tersebut, memang, relatif; yang absolut adalah karakter revolusionernya—itu lah satu-satunya keabsolutan yang harus diakui.” (Engels, Ludwig Feurbach and the End of Classical German Philosophy).
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.