(Ditulis oleh George Novack dalam "An Introduction to the Logic of Marxism")
Bagian I
Memahami (secara benar) kemajuan ilmu-pengetahuan—yang, sejak abad ke-16, sudah berkembang begitu luas dalam berbagai bidang—merupakan salah satu cara untuk mempelajari metode dialektika secara lengkap. Kemajuan ilmu-pengetahuan menuntut suatu rekonstruksi (radikal) terhadap ilmu logika, sebagaimana juga meluasnya tenaga produktif kapitalis menuntut suatu transformasi (radikal) terhadap tatanan ekonomi dan politik. Hegel, dalam karya filosofisnya, menuntaskan revolusi dalam ilmu logika tersebut dengan penuh kebimbangan (baca: perhitungan), sebaliknya dari yang dilakukan oleh kaum revolusionis kampungan seperti kaum Jacobin yang, secara serampangan, mencoba menata kembali masyarakat dan negara Perancis. Metode dialektika Hegel, yang juga merupakan suatu prestasi dalam sejarah pemikiran, hanya layak disebandingkan dengan metode dialektika Aristoteles.
Karena itu, dalam mempelajari metode dialektika, harus didiskusikan juga konsepsi-konsepsi utamanya. Tujuannya: agar, dalam pelajaran awal logika formal, kita bisa memberikan perhatian khusus terhadap gagasan-gagasan utamanya, atau memfokuskan diri pada tiga hukum fundamentalnya, menuliskannya dalam bentuk formulasi dan, lebih jauh lagi, menganalisa gambaran-gambaran penerapannya serta kekurangan-kekurangannya yang ada.
Gagasan-gagasan metode dialektika bisa bersesuaian dengan metode-metode yang lain. Artinya: kami tidak akan dengan serta merta memberikan satu atau beberapa hukum fundamental dialektika karena, dengan demikian, akan memagari seluruh sistem logika, sebagaimana yang terjadi dalam kasus logika formal. Kami tak akan mendekati dialektika sebagai sebuah sistem yang tertutup; karena, sebaliknya, dialektika merupakan sebuah sistem yang terbuka, memerlukan pendekatan yang elastis, kongkret dan lebih informal.
1. Perbedaan antara logika formal dengan logika dialektika dalam memandang realitas
Prosedur (yang paling utama) untuk memahami perbedaannya haruslah dengan menangkap motifnya—yang lahir atau dihasilkan karena terdapat perbedaan (menyolok) antara karakter berpikir logika formal dengan logika dialektika. Hukum-hukum dan gagasan-gagasan mendasar logika formal bisa diungkapkan dengan mudah dalam rumusan-rumusan yang sederhana, bahkan juga dengan persamaan-persamaan yang sederhana, karena jeneralisasi sepihak seperti itu memang menunjukkan hakekat utama, keberadaan sesungguhnya, dari cara berpikir formal. Sebagaimana sudah kami jelaskan, hukum-hukum dasar logika formal tidak berisi apa pun selain dari penguraian terhadap sebuah konsepsi tentang identitas yang sudah ditetapkan, hanya seperti itu saja, walau dalam bentuknya yang lain sekali pun.
Logika formal adalah istilah yang salah. Karena formalisme lah yang menjadi nafas kehidupannya, dan formalisme, di mana pun diletakkan, cenderung memelihara rumusan-rumusan mutlak dan tetap—di atas landasan model tiga hukum logika formal, yakni hukum-hukum yang menyatakan, menampung, kandungan realitas yang seolah-olah telah selengkap-lengkapnya, di manapun hukum-hukum tersebut dihadapkan pada realitas. Formalisme mengambil bentuk-bentuk yang spesifik dan episodik, yang dimanifestasikan pada alam, masyarakat, dan pikiran manusia—menilai alam, masyarakat, dan pikiran manusia sebagai sesuatu yang kekal, mutlak dan tetap.
Basis sudut pandang dialektika sepenuhnya berbeda, dan pandangannya terhadap realitas—yang bentuk-bentuknya bisa berubah—(dengan begitu) juga berbeda. Dialektika merupakan logika terhadap gerak, evolusi, dan perubahan. Realitas, sebenarnya begitu penuh dengan kontradiksi, begitu sukar dipahami, begitu beragam, dan tak bisa dikerangkeng dalam satu bentuk tunggal maupun dalam satu atau seperangkat rumusan. Setiap tahapan khusus realitas memiliki hukum-hukumnya sendiri, kategori khasnya sendiri, dan memiliki konstelasi kategori-kategori—yang berkaitan dengan bagaimana kategori-kategori tersebut berbagi/bersesuaian dengan tahapan lain realitas. Hukum-hukum dan kategori-kategori tersebut harus ditemukan melalui investigasi langsung terhadap seluruh kenyataan kongkret, karena hukum-hukum dan kategori-kategori tersebut tidak bisa didapatkan dari hasil perenungan pikiran semata, sebelum realitas materialnya dianalisa. Lebih jauh lagi, seluruh realitas berubah secara konstan, menyingkapkan setiap aspek baru realitas itu sendiri—dan perubahan tersebut harus dipertimbangkan karena tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam rumusan yang lama, apalagi aspek yang baru tersebut sudah bukan saja sekadar berbeda, tapi ia juga sering berkontradiksi dengan aspek yang lama.
Metode dialektika berusaha mengakomodir gambaran realitas (yang fundamental) tersebut. Sebagai titik awal keberangkatannya, dan sebagai landasan bagi prosedurnya, metode dialektika harus mempertimbangkan gambaran tersebut. Bila setiap perubahan realitas itu kongkret, penuh dengan pembaruan, mengalir seperti sungai, dibelah oleh kekuatan-kekuatan yang saling-bertentangan, maka dialektika—dalam kerangka logika—yang berusaha menjadi sebuah refleksi, cerminan, murni realitas, harus berbagi karakteristik yang sama dengan realitas. Pemikiran dialektis harus lah kongkret, mampu berubah, selalu segar, mengalir layaknya alur arus pemikiran yang berkilauan, dan siap mendeteksi, menangkap, kontradiksi dalam aluran arusnya.
Para ahli dialektika mengakui bahwa semua rumusan harus lah sementara dan terbatas sifatnya, karena semua bentuk eksistensi pun sifatnya sementara dan terbatas. Semua rumusan yang sifatnya terbatas dan sementara itu lah yang harus diterapkan pada ilmu-pengetahuan dialektika—pada hukum-hukumnya dan pada gagasan-gagasannya. Karena dialektika berhadapan dengan realitas yang selalu berubah, kompleks, dan berkontradiksi, maka rumusan-rumusannya memiliki batasan-batasan intrinsik. Dalam interaksinya dengan realitas obyektif, dan dalam proses pengembangan dirinya—sehubungan dengan aktivitasnya—pemikiran dialektika menciptakan, memelihara, namun selanjutnya juga menyingkirkan rumusan-rumusan lama pada setiap tahap pertumbuhannya. Dialektika mengalami pertumbuhan, berubah, sering dengan cara yang bertentangan, sesuai dengan kondisi material dan intelektual spesifik yang mengendalikannya. Dan dialektika telah melalui dua tahap perkembangan yang krusial, yakni perkembangan dalam versi idealis (Hegel) dan dalam bentuk materialis (Marxisme).
Karenanya, pemikiran dialektika tidak bisa sepenuhnya terdiri dari seperangkat rumusan yang tetap, dan dialektika juga tak dapat dikodifikasi dengan cara yang sama atau dikodifikasi dengan bidang yang sama, sebagaimana lazim dilakukan oleh logika formal. Mendesakkan semacam tuntutan terhadap dialektika, atau berusaha mencekokkan rumusan yang sempurna kepada proses-prosesnya, berarti mengkhianati upaya untuk membedakannya dari metode berpikir formal; cara seperti itu asing, tidak sesuai dengan hakekat esensial dialektika—suatu metode berpikir yang memiliki semangat yang hidup. Seperti kata Goethe, “Kawanku, teori itu berwarna abu-abu, tapi pohon kehidupan yang abadi itu berwarna hijau.”
Namun, semua uraian di muka tersebut bukan berarti dialektika merupakan subyek yang berada di luar hukum, atau bukan berarti tak memiliki hukum-hukum yang bisa dibentuk dalam kerangka yang jelas. Setiap logika harus berkemampuan mendeterminasikan dan mengekspresikan realitas obyektif secara kategoris. Jika tidak demikian, maka upaya untuk mempelajari dialektika akan menjadi upaya yang tak masuk akal, dan ilmu-pengetahuan tentang logika menjadi tak mungkin diwujudkan; selain itu, maka pemikiran logis akan tenggelam ke dalam skeptisisme, yang produk logisnya adalah mistisisme. Segala sesuatu yang terjadi bukan lah hasil dari kekuatan-kekuatan yang mistis, melainkan hasil dari hukum-hukum yang bergerak secara regular dan memiliki kepastian. Itu lah kebenaran yang diperoleh dari proses-proses mental—di sini lah logika secara langsung menempatkan dirinya. Artinya, hukum-hukum proses mental itu memang ada, dan hukum-hukum tersebut bisa ditemukan, diketahui, dan dipergunakan.
Berangkat dari penjelasan sebelumnya, maka dialektika menggabungkan sistemnya sendiri dan menggunakan perangkat-perangkat logika formal—definisi yang ketat, klasifikasi, koordinasi kategori-kategori, silogisme, penilaian, dan sebagainya. Akan tetapi, logika formal menempatkan alat-alat pemikiran tersebut sebagai pelayannya, bukan tuan bagi proses pemikiran. Sebenarnya, elemen-elemen pemikiran logis tersebut seharusnya menyesuaikan diri dengan proses realitas dan dengan realitas pemikiran. Elemen-elemen tersebut tak diperbolehkan melangkahi batas-batas manfaatnya yang ada, tak boleh memaksa (baik realitas obyektif maupun pemikiran), dan tak boleh mengadaptasikan dirinya pada mekanisme dialektika, sebagaimana dilakukan dan dituntut oleh kaum formalis yang picik.
Sebagaimana mesin, alat-alat disubordinasi dan diadaptasikan dengan kebutuhan-kebutuhan proses produksi dan produknya, tak lebih dari itu. Karenanya, seharusnya, bersesuaian dengan alat-alat pemikiran yang dibentuk oleh logika formal atau logika dialektika. Masing-masing harus menemukan tempatnya yang tepat dalam proses produksi mental, bekerjasama dengan alat-alat dan operasionalisasi kerja masing-masing, guna memperoleh hasil yang diharapkan—itu lah konsepsi reproduksi realitas material yang tepat.
Sehubungan dengan teoritisasi formalistik—yang dilakukan oleh seorang profesor Jerman, Stammler, penulis wacana “Ekonomi dan Hukum”, yang berpengaruh terhadap sejumlah intelektual Sosialis Eropa; sebagaimana juga gagasan-gagasan filsuf Morris Cohen, yang berpengaruh terhadap sejumlah intelektual Amerika—Trotsky menegaskan: “Apa yang ditulis oleh Stammler hanya lah salah satu dari sekian banyak usaha untuk memaksa arus besar alam dan sejarah manusia—sejak masih amuba hingga menjadi manusia sekarang ini, dan lain-lainnya—dengan berkubang dalam lingkaran tertutup kategori abadi, yang realitasnya hanya sebatas salinan otak orang yang sok berilmu”. (My Life, hal.119).
Kebiasaan mental yang ditanamkan oleh orang-orang yang sok berilmu itu begitu susah dihilangkan. Khususnya ketika kebiasaan tersebut berakar dalam pemikiran yang dilatih di universitas-universitas borjuis. Menurut kebiasaan tersebut, dialektika dipaksa memberikan temuan hukum-hukum dan gagasan-gagasannya agar berlaku di setiap waktu, untuk semua kegunaan, di semua lingkungan, dan itu sama artinya dengan meniadakan dialektika itu sendiri. Jelas, dialektika tak bisa memenuhinya. Karena, sekali lagi, usaha seperti itu akan mengingkari hakekat utama dialektika itu sendiri, dan dialektika akan tergelincir kembali ke dalam formalisme.
Sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya hukum serta gagasan dialektika digambarkan, hasilnya pasti tak akan pernah lebih dari: ‘kira-kira, ini lah yang benar’. Hukum dan gagasan dialektika tak bisa mencakup seluruhnya dan, juga, tak abadi. Tuntutan semacam itu seringkali diminta dan didesakkan oleh kaum borjuis kecil gerakan Marxis yang tetap diperbudak oleh formalisme kehidupan dan pemikiran akademik. Dalam hal itu, Engels berkata, “Sistem pengetahuan alam dan sejarah, yang mencakup segalanya dan dianggap tuntas saat terakhir disimpulkan, tetap berkontradiksi dengan hukum-hukum fundamental metode berpikir dialektika; dialektika lepas atau jauh dari tujuan untuk melakukan pembatasan atau, sebaliknya, justru memasukkan gagasan pengetahuan sistematik tentang alam semesta sehingga bisa membuat langkah besar dari generasi ke generasi” (Anti-Duhring, hal.31).
Kritik yang mencela dialektika kadang kala dipertanyakan dengan begitu bersemangat oleh orang-orang yang mempelajari dialektika: “Jadi, di mana sebenarnya kita bisa menemukan risalah dialektika yang paling pokok?” Ketika mereka diarahkan untuk mempelajari karya-karya Marxis terkemuka—Marx, Engels, Mehring, Plekhanov, Lenin, Trotsky, dan sebagainya—mereka terkejut ketakutan dan berteriak: “Buku-buku tersebut tidak lah seperti buku-buku teks sebagaimana yang biasa kami terima di sekolah dan universitas. Gagasan-gagasannya tidak ditabulasi, tidak disebutkan satu demi satu, dan tidak siap pakai. Buku-buku itu penuh dengan polemik mulai dari halaman pertama hingga yang terakhir; polemik tentang problem-problem kongkret dalam berbagai bentuknya; mereka tidak menuliskan hukum-hukum dan kesimpulan-kesimpulannya dengan tatanan yang tetap dan judul yang pasti; seperti para prajurit dalam jajaran angkatan bersenjata. Di satu tempat dan di suatu waktu gagasan tertentu dihadirkan sebagai yang paling unggul, di tempat dan waktu yang lain berbeda lagi. Lalu, julukan apa yang yang pantas diberikan pada perilaku semacam itu?”
Jika memang itu keberatan-keberatannya, maka jawabannya: apa yang kalian temukan dalam tulisan-tulisan Marxis tersebut bukan lah suatu kejutan. Kami bisa memberikan semua buku teks dan risalah tentang dialektika beserta hukum-hukumnya, sebagaimana yang kalian minta. Bahkan Marx sendiri pun berharap, sebagaimana dalam suratnya pada Engels pada tahun 1858: “Jika pun harus ada waktu untuk mengerjakan hal semacam itu lagi, dengan senang hati aku akan membuatnya dalam cara yang mampu diserap oleh akal sehat manusia biasa, yang tercetak dalam dua atau tiga lembar cetakan (yang hakekatnya tak beda dengan 32 atau 48 halaman cetak), yang akan membahas tentang rasionalitas dalam metode yang ditemukan Hegel yang, sebenarnya, pada saat yang sama, terbungkus dalam mistisisme” (Marx-Engels, Selected Correspondence, hal.102). Nilai kegunaan risalah semacam itu tak terkira besarnya bagi orang-orang yang mempelajari dialektika. Karya-karya Engels— Ludwig Feurbach and the End of Classical German Philosophy dan Anti-Duhring—bisa menyelesaikan tugas yang diharapkan oleh Marx tersebut.
Namun demikian, presentasi sistematis yang ditulis oleh Marx sekalipun belum tentu bisa memuaskan kaum formalis. Mereka haus akan formalisme, akan pengungkapan yang mutlak, final, dan dialektika tak bisa memuaskannya. Menurut dialektika, kebenaran itu selalu kongkret. Itu lah mengapa, sebagai contohnya, dialektika akan selalu menampilkan sesuatu yang terbaik saat menganalisa persoalan-persoalan kongkret dalam bidang pengalaman tertentu; itulah mengapa, secara alami dan tak terhindarkan, dialektika mengasumsikan segala sesuatu dengan karakter yang saling-bertentangan, karakter polemik. Tidak lah mengejutkan bahwa ungkapan sastra terbaik bagi dialektika terdapat dalam dialog-dialog Plato—yang bentuknya kontroversial dan isinya dialektik. Demikian pula halnya dengan Aristoteles, yang terus menerus berpolemik melawan pandangan-pandangan para pendahulunya dan yang ada pada jamannya.
Pemikiran progresif dan revolusioner (dalam ilmu-pengetahuan) secara spontan mengasumsikan, sedikit banyaknya, karakter polemik. Bacalah dialog Galileo sehubungan dengan Dua Sistem Dunia, yang mempertentangkan skema-skema astronomi Copernicus dengan Ptolemeus, yang menyebabkan ia dipenjara. Atau karya Bacon yang berjudul Advancement of Learning, yang menandai era baru dalam pemikiran moderen. “Seluruh isi buku yang kutulis ini merupakan argumentasi yang panjang”, tegas Darwin dalam bagian terakhir karyanya The Origin of Species. Karya-karya yang memeras otak dan mengguncang dunia tersebut berkarkater polemik, dialektik kandungannya, karena mereka mengemban tugas untuk menghancurkan yang lama demi membuka jalan bagi gagasan-gagasan yang baru, atau demi meperbarui kesadaran sosial.
Dalam pidato terkenalnya, On the Essence of Constitutions, yang dicetak ulang pada bulan Januari, 1942, oleh Fourth International, Lassalle menegaskan bahwa konstitusi tertulis negara merupakan ungkapan yuridis konstitusi material struktur sosial yang spesifik, dan konstitusi tersebut bisa berubah seiring dengan peralihan-peralihan dalam hubungan kekuatan-kekuatan kelas. Definisi formal tak akan sanggup menjelaskan asal-usul, perkembangan, dan kehancuran konstitusi negara. Karenanya, kita harus selalu bergerak dengan mengacu pada hubungan-hubungan kelas dan perjuangannya yang nyata ada dalam masyarakat yang, sebenarnya, sepenuhnya, mendasari eksistensi bentuk-bentuk konstitusional, penciptaan, perubahan, dan penghancurannya.
Bukan lah tugas yang besar dalam membuat draft konstitusi tertulis; bisa diselesaikan dalam beberapa hari saja. Pimpinan Bolshevik, Lenin khususnya, pada tahun 1917, menulis konstitusi Republik Soviet dalam waktu yang singkat, seperti sambil lalu saja, namun demikian tetap bertumpu pada kepatuhan untuk mengakomodir kebutuhan perjuangan revolusioner di tahap tertentu. Kaum Bolshevik bukanlah orang-orang formalis. Mereka memahami peran subordinasi semua dokumen formal, menempatkan dinamika perjuangan kelas dan hubungan aktual kekuatan-kekuatan yang terlibat di dalamnya merupakan hal yang harus diwadahi sebagai problem-problem konstitusional.
‘Konstitusi’ tertulis sebenarnya berkarakter sama dengan logika dialektika. Karena konstitusi merupakan cerminan bentuk dialektika satu momen tertentu, memiliki titik pandang spesifik dan terbatas. Karenanya, kodifikasi semacam itu penting, diperlukan dan berguna, namun tidak lah berarti bisa seenaknya melepaskan kepedulian (secermat-cermatnya) terhadap realitas material dan kekuatan-kekuatan yang berkonflik—sebagaimana dialektika mendasarkan dirinya—yang akan menentukan karakteristiknya dan juga akan menentukan perubahan-perubahan karakteristiknya.
Hubungan yang sebenarnya antara materi dengan bentuk mengasumsikan bahwa keduanya harus diteliti, dipahami, karena keduanya selalu saling bergantung dan saling bereksistensi satu terhadap yang lainnya. Bagi para ahli dialektika materialis, itu lah yang disebut gerak materi—yang kini diekspresikan dalam ilmu-pengetahuan alam sebagai energi massa—gerak materi itu lah yang menentukan, bukan bentuk-bentuk sementara dan khusus, dan gerak materi harus dipandang sebagai gerak materi pada satu tahap tertentu dan dalam formasi khusus yang spesifik. Formalisme adalah sesuatu yang menjijikkan bagi materialisme dialektik.
Ketika aku mendiskusikan dialektika (dan kaitannya dengan persoalan-persoalan lainnya) bersama Kawan Vincent Dunne, ia menegaskan bahwa tuntutan terhadap dialektika—agar memiliki pernyataan yang tegas dan cepat—menyerupai permintaan orang-orang baru dalam gerakan massa; menghararapkan parasmanan instruksi-instruksi yang ketat tentang, misalnya, bagaimana merundingkan sebuah kontrak serikat buruh, bagaimana memimpin sebuah pemogokan, bagaimana mengorganisasir sebuah cabang dan, bahkan, menganjurkan “bagaimana mendapatkan dukungan kawan serta mempengaruhi massa rakyat”. Buku-buku panduan dan arahan semacam itu memang sangat membantu, misalnya saja, bagi orang-orang yang menerima instruksi partai-tingkat-pusat. Akan tetapi, buku-buku tersebut memiliki batasan-batasan inheren tertentu. Buku-buku tersebut tak bisa memberikan apresiasi kongkret terhadap situasi aktual—apresiasi yang didasarkan pada sebuah analisis terhadap seluruh situasi yang kompleks, termasuk hubungan-hubungan kekuatan yang ada dan arah perkembangannya. Karenanya, setiap problem yang berbeda atau khusus memerlukan solusi tertentu yang berbeda pula. Lalu, Apa susunan esensialnya?
Kawan Cannon sering mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan tegas: “intelejensia tak bisa ada gantinya”. Kita bisa mencapai tahap tertinggi intelejensia bila dibimbing oleh metode dialektika materialis. Bagaimana mungkin intelejensia Marxis seperti itu bisa dicapai? Melalui pengalaman dalam gerakan massa, melalui studi, melalui pemikiran kritis, melalui keterlibatan dalam kehidupan dan perjuangan kelas pekerja sehingga gerakan, semangat, dan pikiran massa menjadi mudah dikenal dan diketahui. Yang demikian itu: gerakan sosial yang memberikan cahaya kehidupan bagi dialektika materialis, mengilhami dan mempromosikan perkembangannya melalui perkawinannya dengan realitas kongkret.
Di sepanjang perjuangannya melawan oposisi borjuis kecil, dialektika materialis dituntut memberikan jawaban (kilat dan mencakup segalanya) bagi seluruh bentuk pertanyaan yang abstrak. Lalu, apa yang akan kamu lakukan dan katakan? Jawaban Trotsky bagi orang-orang yang sangat panik tersebut: “Jawaban bagi persoalan-persoalan ‘kongkret’, sebagaimana yang diinginkan oleh kaum oposisionis, hanya lah sekadar resep-resep yang tercantum dalam sebuah buku pintar, yang berisi tentang, misalnya, epik perang imperialis. Aku tak mau menulis buku pintar semacam itu. Namun, saat kita harus memberikan jawaban (bagi persoalan-persoalan fundamental) dengan pendekatan prinsipil, kita akan selalu bisa memberikan solusi yang tepat bagi setiap problem kongkret, serumit apa pun persoalan tersebut.” (In Defence of Marxism, hal.42).
Tak seorang pun bisa menyediakan sebuah buku pintar tentang dialektika. Namun, gagasan-gagasan utama dialektika bisa dikedepankan dengan suatu cara tertentu—sebagai metode yang bisa dipahami dan digunakan untuk mencari jalan keluar bagi problem-problem kongkret. Engels pernah menulis: “Sejak kita menerima teori evolusi, maka semua konsep kita tentang kehidupan organik selalu harus dihubungkan dengan realitas. Yang tak akan berubah lagi: begitu konsep dan realitas sepenuhnya telah berada dalam dunia organik, maka perkembangan selanjutnya akan menuju ke titik akhirnya. Konsep ikan mencakup kehidupan dalam air, namun bisa bernafas melalui insang: bagaimana mungkin kalian bisa memperoleh suatu manfaat dari ikan (saat akan memahami amfibi) tanpa memecahkan konsep ikan tersebut? Nyatanya, konsep tersebut sudah dipecahkan: kini kita bisa mengetahui berbagai macam ikan yang telah mengembangkan kantung-kantung udaranya (sebagai paru-paru) sehingga bisa menghirup udara. Tanpa mempertentangkan satu atau dua konsep dengan realitas, bagaimana mungkin kalian bisa mempelajari reptilia (petelur) hingga binatang menyusui (yang melahirkan keturunannya)? Kenyataannya, lihat saja monotremata, sub-kelas mamalia petelur—pada tahun 1843, saat aku melihat telur platipus di Manchester, aku kemudian mengejek pikiran sempit dan aroganku. Seekor mamalia petelur sekarang justru menjadi kenyataan! Karenanya, jangan lah memperlakukan konsepsi nilai dengan cara sepertiku, hingga akhirnya harus meminta maaf pada seekor platipus!” (Marx-Engels, Selected Correspondence, hal.530).
Hukum dialektika berada dalam kapal yang sama sebagaimana halnya hukum nilai (ekonomi politik)—dan begitu juga dengan hukum-hukum lainnya. Hukum-hukum tersebut memiliki realitas hanya sebagai perkiraan, kecenderungan, dan pukul rata saja. Hukum-hukum tersebut tak bisa dengan segera, secara langsung dan lengkap berada bersamaan dengan realitas. Karena, bila demikian, maka hukum-hukum tersebut tak akan menjadi refleksi, cerminan (konseptual) realitas, tapi akan menjadi realitas obyektif itu sendiri. Walaupun pemikiran dan eksistenti itu saling tergantung, namun keduanya tidak lah identik.
2. Keabsyahan Realitas—dan Keniscayaannya
Logika formal dimulai dengan pertanyaan: apakah sesuatu itu? Sedangkan dialektika dimulai dengan pertanyaan: apakah yang bukan atau selain dari sesuatu itu? Sekarang kami akan mendiskusikan apakah dialektika itu, apakah isi positif yang terkandung di dalamnya.
Hegel berangkat dari filsafat dan logikanya dengan premis: “Semua yang nyata adalah yang rasional.” Walaupun proposisi tersebut jarang dikemukakan dengan kerangka yang cermat, namun proposisi tersebut berguna dalam membimbing semua praktek dan upaya teorisasi yang akan kita lakukan. Saat diri kita diarahkan pada pekerjaan dan kehidupan sehari-hari kita maka, di seputar kita, terdapat begitu banyak landasan fakta material yang memiliki hubungan-hubungan yang seolah-olah telah mapan, terdapat begitu banyak gejala-gejala alam yang seolah-olah teratur, segalanya seolah-olah berubah menurut hukum-hukum yang pasti—segalanya, termasuk hubungan-hubungannya dan kejadian-kejadian yang muncul kembali secara obyektif, seolah-olah memiliki hukum-hukum yang bisa diketahui dan tepat—padahal, seperti yang dikatakan oleh para akademisi: secara rasional, semuanya harus selalu diamati.
Aturan yang sama, dalam kaitannya dengan rasionalitas, berlaku juga dalam wilayah teori. Memang, teori diarahkan oleh rasionalitas. Semua investigasi ilmiah dihasilkan di atas landasan pengertian bahwa segala sesuatu berhubungan satu dengan yang lainnya dalam cara-cara yang pasti, bahwa perubahan-perubahannya memperlihatkan keseragaman yang pasti, keteraturan, dan keabsyahan—karenanya, keterkaitan, transisi (antara yang satu dengan yang lainnya), serta hukum-hukum perkembangannya bisa diketahui dan dijelaskan. Banyak pemikir skeptis dan kaum agamawan yang menolak bahwa dunia yang nyata adalah dunia yang rasional. Sebagaimana juga postulat utama eksistensialisme. Dan, anehnya, banyak filsuf yang menyatakan bahwa realitas itu tidak rasional, dan karenanya tak mampu diketahui oleh pikiran manusia—walau kesimpulan tersebut diperoleh melalui metode-metode yang rasional. Jadinya: walaupun metode prosedur mereka sebenarnya rasional, namun kesimpulannya menjadi irasional, bohong, dan kontradiktif .
Ilmu-pengetahuan logika harus dipelajari sebagai titik berangkat kesatuan antara proses subyektif pemikiran dengan proses dunia eksternal. Alam itu mampu dipikirkan karena, bila tidak, alam akan bertentangan dengan pemikiran. Segala sesuatu, demi kecukupan eksistensinya, membutuhkan kecukupan pemikiran—harapan tersebut bisa dipenuhi, dan hasilnya bisa dikomunikasikan kepada orang lain. Konsepsi tersebut dirumuskan pada tahun 1646 oleh Leibnitz (ahli logika, matematika dan filsuf terkenal Jerman) sebagai “prinsip pemikiran yang berkecukupan” yang, menurutnya, didasarkan atas: “Kita tahu bahwa tak ada fakta yang dapat diketahui dengan nyata, tak ada proposisi yang benar, tanpa pemikiran yang cukup tentang mengapa sesuatu itu lebih atau berbeda ketimbang yang lainnya.”
Landasan material hukum tersebut: segala sesuatu itu memiliki saling-ketergantungan aktual dan memiliki interaksi timbal-balik di dalamnya. Gambaran-gambaran tentang dunia material tersebut merupakan determinasi konseptual dan ekspresi logis dalam kategori-kategori semacam sebab-akibat, determinisme-kebebasan, dan lain sebagainya. Jika kita mengerti mengapa segala sesuatu, demi kecukupan eksistensinya, membutuhkan kecukupan pemikiran yang diperlukannya, maka akan mengerti lah kita mengapa segala sesuatu itu menjadi ada/berada. Segala sesuatu itu ditekan untuk bereksistensi dan memaksakan caranya sendiri untuk bereksistensi melalui keniscayaan alam. Segala sesuatu itu harus berjuang melawan segala bentuk kekuatan yang menentangnya, dalam rangka menciptakan ruang bagi eksistensi dirinya di dunia nyata. Realitas membuktikan dirinya berdasarkan keniscayaannya. Realitas, rasionalitas, dan keniscayaan, berkaitan erat di segala waktu.
Guna mencerahkan gagasan-gagasan di atas, ambil lah, misalnya, kasus gerakan sosialisme. Sebelum masa Marx, sosialisme adalah utopia, sebuah mimpi usang humanitas, yang tak akan bisa diwujudkan dalam realitas karena prakondisi material yang diperlukannya memang tak ada. Sosialisme, karenanya, tak nyata dan tak diperlukan bagi tahap perkembangan humanitas—irasional, mimpi di siang bolong, dan merupakan penolakan terhadap realitas.
Melalui perkembangan kapitalisme, untuk pertama kalinya, sosialisme memiliki prospek yang nyata sebagai capaian manusia. Marx dan Engels bisa membuktikan hal tersebut setelah berhasil menemukan sosialisme ilmiah. Keduanya berhasil menyingkap bentuk teoritis realitas, rasionalitas, keniscayaan sosialisme dan perjuangan proletariat menuju realisasinya. Namun, perlu dipahami, bahwa hal tersebut paling-tidak merupakan antisipasi teoritis terhadap realitas, bukan sebuah prospek praktek yang mendesak. Sosialisme, pada umumnya, merupakan suatu program dan tujuan yang diperbandingkan dengan realitas sosial kapitalisme.
Namun, dengan berkembangnya gerakan massa proletariat dan perluasan gagasan-gagasan sosialis, sosialisme semakin lama semakin mendekati realitas, keniscayaan, dan rasionalitasnya. Mengapa? Karena, seperti yang ditegaskan oleh Marx dan Engels, gagasan-gagasan akan memperoleh kekuatannya bila massa menerimanya. Lompatan besar idealitas menuju menjadi realitas bisa diwujudkan saat terjadi revolusi Bolshevik, tahun 1917, yang membuat sosialisme jauh lebih nyata ketimbang kapitalisme di atas seperenam permukaan bumi.
Dengan demikian, realitas sosialisme telah terwujudkan melalui pertumbuhan eksistensi material yang semakin lama semakin banyak. Hal itu juga membuktikan rasionalitas keterkaitannya, katakan lah, dengan kebutuhan humanitas yang mendesak lagi nyata dan, terutama, pada bagian yang paling progresif, dengan perkembangan kelas pekerja. Sosialisme membuktikan hasil rasional usaha manusia untuk memperbaiki kondisinya menjadi lebih baik. Hal itu menjadi aktual karena rasional, yakni selaras dengan kecenderungan kemajuan sosial. Sosialisme menjadi rasional karena semakin lama semakin nyata, merupakan kekuatan aktif dalam kehidupan dan perjuangan kemanusiaan. Rasionalitas dan realitasnya bereaksi serta saling-memperkuat satu dengan yang lainnya.
Pada saat dan cara yang bersamaan, saat sosialisme membuktikan rasionalitas dan realitasnya, sosialisme juga membuktikan keniscayaannya. Jika sosialisme tak dibutuhkan, jika kondisi-kondisi yang disyaratkan oleh produksi dan reproduksinya (dengan basis yang diperluas) tak muncul, maka sosialisme tak akan bisa menjadi suatu realitas, sekalipun didorong atau diperbarui dalam jangka waktu yang lama.
Situasi yang sama juga terjadi pada asal-usul dan evolusi spesies: bereksistensi melalui perjuangannya dalam alam organik. Spesies bisa bertahan karena sesuai dengan kondisi-kondisi lingkungannya. Spesies bisa berubah karena keragaman-keragaman dalam spesies yang sama, yang diseleksi oleh alam—sehingga menjadi individualitas yang lebih baik—bersesuaian dengan lingkungan yang berubah dan bahkan dengan penciptaan spesies yang baru. Di situ lah terdapat hubungan yang nyata, masuk akal, dan diperlukan di kalangan spesies tumbuhan, binatang dan lingkungannya, yang menyebabkan spesies itu ada, bertahan, berubah maupun lenyap.
Jikalau segala sesuatu yang aktual itu rasional, itu artinya segala hal di dunia nyata ini memiliki alasan yang cukup untuk eksis dan harus menemukan penjelasan rasionalnya. Semua bentuk kemanusiaan akan menjadi keliru jika mengabaikan eksistensi atau menolak signifikansi rasional beberapa porsi realitasnya. Orang-orang Yunani mengatakan bahwa angka-angka yang berbasis 2 itu ‘irasional’ dan, karenanya, bukanlah angka, sehingga tak perlu diperhatikan. Namun studi dan pengembangan angka-angka ‘irasional’ ternyata melahirkan cabang matematika yang bermanfaat.
Para filsuf Yunani, secara prinsipil, merendahkan nilai praktek sebagai sebuah elemen pengetahuan. Kami, di lain pihak, menempatkan pengetahuan pada landasannya yang sesungguhnya.
Jika tidak karena Freud, para ahli psikologi akan selalu mengabaikan mimpi—kelalaian, kesalahan ucap, akan dianggap sebagai fenomena mental yang remeh dan tak bermakna. Freud menunjukkan bagaimana manusia bisa menyingkapkan operasi terselubung pikiran yang tak sadar.
Seperti juga pengilangan minyak modern yang telah disempurnakan—melalui produk-produk penyulingan dan penggaliannya yang lebih bernilai ketimbang sekadar minyak murni—demikian pula tumpukan sampah warisan sejarah yang tak berharga bisa disempurnakan melalui proses-proses kerja dan berpikir. Menurut Engels, konsepsi materialis (dalam menganalisa sejarah/materialisme historis) mendasarkan dirinya pada “fakta sederhana, yang sebelumnya disembunyikan di balik baju ideologis, yakni: bahwa yang pertama-tama harus dipenuhi dalam kehidupan manusia adalah kebutuhan untuk makan, minum, perumahan dan pakaian bagi dirinya, sebelum mereka memberikan perhatian pada politik, ilmu-pengetahuan, seni dan agama...”
Peristiwa-peristiwa yang paling mengerikan dari epik kita—krisis ekonomi, perang sipil, perang imperialis, dan fasisme—kelihatan irasional, luar biasa, dan tak bermakna bagi mentalitas filistin kaum demokrat borjuis kecil. Namun, peristiwa-peristiwa tersebut bukan saja nyata tapi juga diperlukan oleh mereka—dan karenanya memiliki penjelasannya yang rasional. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan proses-proses yang paling penting dan menentukan dalam kehidupan kontemporer. Peristiwa-peristiwa tersebut mengungkapkan hakekat terdalam bagaimana kapitalisme sedang mengejang-sekarat menerima ajalnya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan manifestasi nyata sistem hubungan sosial yang sangat irasional.
Lebih jauh lagi, apa yang rasional dan dibutuhkan oleh anggota-anggota satu kelas—bagi kelas pekerja: upah yang tinggi karena pajak dan biaya hidupnya yang tinggi—tampak tak masuk akal dan tak dibutuhkan oleh kelas yang menentangnya—pengusaha yang akan terpangkas keuntungannya. Apa yang rasional dari satu sudut pandang sosial yang satu dianggap sebagai puncak absurditas bagi sudut pandang sosial lain yang lain. Namun irasionalitas tersebut memiliki penjelasan rasionalnya, yang nyata: tergantung kepentingan-kepentingan dua kelas yang saling-bertentangan, yang terlibat dalam perjuangan atas pembagian pendapatan nasional.
Gerakan kita, bagi kaum borjuis kecil liberal, begitu tampak tak nyata, begitu tak penting untuk diperhatikan secara serius, bahkan pemerintah yang berkuasa malahan menuntut kita. Mereka ‘mempertahankan’ kita dengan landasan semacam itu. Bagi mereka, kita dilihat sebagai kekuatan signifikan, sebagaimana Stalin, Hitler, Roosevelt—itu karena realitas kita, itu karena kekuatan sosial-politik (laten) yang ada dalam gagasan-gagasan kita. Tuntutan irasional mereka terhadap kaum Trotskis secara rasional juga bisa dijelaskan. Dan akan lebih signifikan lagi bila dorongan revolusioner kaum pekerja dan rakyat yang dijajah (kolonialisme) bisa dimanifestasikan dengan kekuatan yang lebih besar.
Mengapa partai dan gerakan internasional kita bisa eksis? Apa yang sebenarnya sedang terjadi sehingga berbagai individu dari berbagai negeri bisa berada dalam ikatan politik yang kuat dan disatukan oleh disiplin? Itu karena, di bawah kondisi kondisi sosial yang ada saat ini, dan karena eksistensi kita merupakan keniscayaan yang rasional, maka kita lahir dan terus menerus tumbuh semakin kuat. Gerakan Trotskis bukan lah suatu kecelakaan, dan bukan juga kekuatan yang bisa diremehkan. Gerakan kita tercipta untuk memenuhi kebutuhan (kelas pekerja) akan kepemimpinan revolusioner. Kita hadir untuk mengungkapkan kenyataan dan rasionalitas politik kita, sebagai suatu keniscayaan politis.
Itu lah sebabnya mengapa kita harus mempelajari metode dan gagasan kita secara serius. Prinsip-prinsip dan tradisi di atas merupakan patokan untuk menyeleksi kader-kader kita, sesuatu yang penting dan vital bagi eksistensi kita. Itu lah juga mengapa kami mempelajari gagasan-gagasan (yang kami perlakukan secara holistik) dengan begitu seriusnya karena, bagi kita, gagasan-gagasan tersebut secara harfiah merupakan persoalan hidup dan matinya politik. Dan kami telah terlibat dalam berbagai pertempuran mati-matian melawan musuh yang kuat dan tersamar, untuk melindungi, memelihara dan menyebarluaskan gagasan-gagasan tersebut.
Ketimbang semua gerakan politik yang ada, gerakan politik kita adalah yang paling rasional karena gerakan politik kita, dalam makna historis, merupakan yang paling nyata dan yang paling dibutuhkan. Kita harus rasional agar menjadi nyata. Itu lah juga mengapa kita bisa meletakkan begitu banyak kehidupan ke dalam logika kita, dan bisa meletakkan begitu banyak logika ke dalam kehidupan kita. Keduanya, bagi kita, tak bisa dipisahkan.
Orang-orang berdatangan menghampiriku dan berkata: “Anda membuat logika menjadi begitu hidup.” Tak ada keuntungan personal bagiku karena pujian tersebut. Logika kami, dialektika materialis, dengan sendirinya adalah logika kehidupan. Logika tersebut meluap bersama dengan pergerakan, dengan vitalitas, dengan kekuatan. Saat dipelajari dan diajarkan, logika para profesor kelas borjuis (dan borjuis kecil) seperti bangkai, mati. Karena, memang, yang demikian itu lah logika alam semesta yang statis dan mati. Logika mereka semakin lama semakin tak berkaitan dengan realitas kehidupan sosial dan ilmu-pengetahuan yang ada saat ini. Logika mereka adalah fosil masa lalu yang mati, bukan bagian dari masa kini yang hidup, dan bukan bagian dari masa depan yang kreatif. Sebenarnya, logika yang telah diformalisasikan tersebut kini menjadi demikian tak berguna, begitu sterilnya, sehingga para profesornya merajalela bergerak sedemikian jauh, mengerjakan segalanya sesuka hatinya, dan berkata (seperti ucapan Burnham) bahwa logika hanya memiliki kegunaan yang kecil, atau tak berguna secara praktis, atau tak bisa diterapkan di dunia nyata. Suatu pengakuan jujur: kebangkrutan teoritis.
Dengan demikian, realitas, rasionalitas dan kepastian, berjalan beriringan satu dengan yang lainnya.
***
Proposisi tersebut kelihatannya membenarkan segala sesuatu yang eksis, menerima eksistensi segala seuatu sebagaimana adanya. Proposisi tersebut, agar bisa berlaku secara tepat, memang seharusnya lah demikian. Segala sesuatu yang eksis membutuhkan pembenaran teoritis karena fakta yang ada, dilihat dari aktualitasnya, memberikan suatu pengakuan yang valid atas rasionalitas, realitas dan kepastiannya.
Doktrin-doktrin kaum konservatif dan kaum reaksioner yang bersandar pada pemikiran Hegel hanya melihat dari sisi tersebut saja: yakni pembenaran terhadap apa yang eksis. Itu lah sisi konservatif pemikiran Hegel dan juga metode dialektika secara umumbila itu memang pilihan kalian. Pemikiran merupakan elemen yang sangat dibutuhkan oleh semua dialektika, termasuk dialektika materialis. Karena segala sesuatu bisa menjadi eksis dan disimpulkan hanya untuk waktu yang telah ditetapkan. Lebih jauh lagi, segala sesuatu yang pernah eksis dalam beberapa tahapan tertentu akan dipelihara namun juga akan dihancurkan oleh apa yang hadir sebelum dan sesudahnya. Yang ada pada masa lalu akan diperlakukan sebagai bahan mentah bagi generasi-generasi yang baru, sebagai bahan mentah bagi pekerjaan dan landasan (jalur tertentu) untuk mempersiapkan masa depan.
Akan tetapi, hal tersebut bukan lah kebenaran akhir pengetahuan kita tentang realitas, hanya merupakan kebijakan awal. Sisi lain realitas dan dialektika yang terkandung di dalamnya akan menjadi tema pelajaran selanjutnya.
Bersambung ke Metode Dialektik - Bagian II
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.