Lahirnya Nasionalisme
Sampai dengan saat ini, arus besar perspektif sejarah mengenai terbentuknya nasionalisme di Indonesia, umumnya di dasari atau mengacu kepada pemahaman sejarah pertumbuhan nasionalisme negara-bangsa di Barat. Keunikan proses historis yang berlangsung di Indonesia belum mendapat porsi fokus yang cukup, dan nasionalisme yang terlihat pada era seputar Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 dianggap sebagai suatu kewajaran proses dalam sejarah. Faktanya, proklamator kemerdekaan kita, Bung Karno dan Bung Hatta merasakan keraguan besar ketika diminta mendeklarasikan terbentuknya Republik Indonesia. Mereka meragukan dukungan tujuh puluh juta lebih rakyat Nusantara pada saat itu, terhadap ide kemerdekaan sebagai Republik Indonesia, dan meragukan legitimasi proklamasi yang akan dilakukan.Pemerintahan Belanda yang merubah struktur dasar organisasi sosial orang Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa, membuat organisasi ekonomi dalam masyarakat Nusantara yang memiliki sosio diversifikasi beragam ini lebih komunalistis. Komunitas-komunitas di masyarakat berkembang dengan kesadaran ekonomi dan kedaulatan yang begitu rendah. Perpecahan kerajaan-kerajaan besar di Jawa maupun di daerah lain yang di inisiasi pemerintah Belanda, semakin mempertegas dinding-dinding etnisitas dan tribalisme di dalam masyarakat Indonesia. Pemilahan-pemilahan masyarakat ke dalam komunitas-komunitas kecil yang dilakukan pemerintahan Belanda, membuat rakyat Nusantara tumbuh sebagai kelompok-kelompok kecil yang miskin wawasan, miskin ilmu dan terperangkap dalam pola pikir pasif serta apatis. Konsep negara-bangsa dengan teritori mencakup seluruh kepulauan Nusantara, hanya dipahami secara samar oleh mayoritas penduduk saat itu.
Kondisi bangsa pada saat itu, dimana dari total 73,3 juta populasi rakyat hanya 7% yang mampu baca tulis, ide bernegarapun masih sulit diterima oleh rakyat umum. Mayoritas masyarakat belum benar-benar paham akan makna negara dari Sabang sampai Merauke yang berdaulat dan merdeka. Bukan hanya kendala wawasan, bahkan golongan terpelajarpun seperti menjauhi ide kemerdekaan dan pembentukan negara bangsa yang baru. Terlihat pada kasus organisasi Insulinde yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara. Insulinde adalah perkembangan dari Indische Partij yang visinya adalah menyadarkan masyarakat dengan menghidupkan kembali harga diri, rasa mampu, dan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Walaupun belum menembus seluruh lapisan masyarakat yang ada, ide tersebut mengalami proses bola salju sejalan dengan waktu.
Pada tahun 1919, Insulinde yang memiliki 40.000 orang anggota, mencoba menunjukkan identitas kebangsaan dengan merubah bentuk organisasi menjadi Nationaal-Indische Partij atau NIP, tetapi aksi tersebut malah membuat organisasi ditinggal sebagian besar anggotanya. NIP berpendapat bahwa orang Hindia itu tidak hanya bumi putera saja, tetapi Indo-Belanda, Indo-Cina, Indo-Arab dan orang-orang yang dilahirkan di Hindia atau yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya. NIP merupakan partai pelopor yang berpikir dalam kerangka nasionalisme yang berbeda dari organisasi sejenis yang sejaman. Walaupun membawa kerangka berpikir yang ditabukan pada masanya, dan walaupun merupakan jawaban bagi rasa ketidakpuasan bangsa yang tertindas, ide tersebut tidak mudah dicerna oleh setiap kelompok masyarakat sebagai suatu keniscayaan.
Penyerahan Belanda yang tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati kabupaten Subang pada 8 Maret 1942, dari Jendral Terpoonten di pihak Belanda kepada Jendral Imamura dari pihak Jepang, meresmikan babak baru kolonialisme di Nusantara. Pemerintahan Jepang di Nusantara walaupun singkat, tetapi mampu membuat kondisi mental masyarakat bahkan lebih buruk lagi. Janji-janji Asia Timur Raya sempat membuai pola pikir pasif di masyarakat dan bahkan di segelintir elit yang sebelumnya menyuarakan perubahan dan perlawanan. Bahkan pemerintahan Jepang yang eksploitatif dan tidak berperi-kemanusiaan membuat kebanyakan rakyat menjadi sibuk bertahan hidup, dan hampir tidak mampu untuk memikirkan selain hidupnya sendiri serta keluarganya. Jepang yang semakin lama semakin berat mengimbangi serangan Sekutu, memang menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yang walaupun hal tersebut lebih terdorong oleh motif penggalangan dukungan, agar rakyat bersedia membantunya melawan Sekutu, namun hal tersebut sempat meredam gerak perlawanan di masyarakat yang sedikit itu.
Periode ini hampir dapat dikatakan menghilangkan lapisan kelas menengah pribumi, yang sebelumnya cukup baik memimpin pergerakan sosial di masyarakat. Pemerintah Jepang membangun struktur masyarakat yang terdiri atas golongan timur asing, seperti China, India, Arab. Golongan yang dipersamakan, terdiri dari orang Belanda dan keturunanya, orang Eropa lainnya, orang yang bukan bangsa eropa tetapi telah masuk menjadi golongan eropa. Dan terakhir adalah golongan Bumi putera, yaitu orang pribumi yang paling keras menerima dampak kolonialisme dalam wujud terburuknya. Dalam konteks ini, argumen Bung Karno ketika menunda proklamasi dengan alasan kemerdekaan pasti diberikan oleh Jepang, dapat dianggap sebagai suatu sikap yang timbul akibat keraguan pada kesiapan serta antisipasi rakyat dalam menyikapi kemerdekaan. Karena pernyataan Bung Karno kepada Sjahrir di awal pendudukan Jepang, bahwa “Jepang adalah fasis murni yang harus dilawan dengan metode yang paling halus,” menunjukkan bahwa Bung Karno tidak berniat menerima janji kemerdekaan dari Jepang.
Oleh karena hal-hal tersebut, Bung Karno sangat terkejut ketika proklamasi dapat disambut baik oleh mayoritas masyarakat dan lebih terkejut lagi ketika organisasi-organisasi di dalam masyarakat ternyata mampu menindak-lanjuti proklamasi dengan aksi-aksi yang sistemik dan nasionalis secara menggebu. Kesiapan dalam mengantisipasi proklamasi kemerdekaan itu memang terlihat kematangannya. Dalam tempo yang singkat pemerintahan tersusun, dan masyarakat segera larut dalam euphoria kemerdekaan, serta dengan mudah beradaptasi dengan negara-bangsa yang baru terbentuk. Mayoritas rakyat secara serentak menyikapi kemerdekaan dengan positif dan bersedia melakukan segala yang perlu, demi mempertahankannya. Perlu dicermati bahwa peralihan dari masyarakat yang pasif menjadi progresif ini bukan terjadi sekonyong-konyong. Adalah gerakan organisasi-organisasi bawah tanah yang tumbuh menjelang dan selama pemerintah Jepang yang mengkondisikan sikap tersebut. Gerakan bawah tanah yang selama pendudukan Jepang secara aktif mengelaborasi perubahan sikap dan pemikiran dalam masyarakat, berhasil mengkondisikan kesiapan mental masyarakat yang telah terjajah selama beberapa generasi.
Organisasi Klandestin
Gerakan organisasi bawah tanah mulai marak menggantikan perlawan terbuka pada awal abad ke 20. Seiring dengan munculnya kaum intelektual paska diterapkannya Politik Etis, gerakan bawah tanah bawah muncul secara sporadis dan konsisten. Walaupun gerakan bawah tanah tersebut lebih banyak berwujud kerangka berpikir yang revolusioner ketimbang gerilya bersenjata, namun militansi yang terbentuk atas dasar idealisme tersebut mampu menginspirasi kelahiran banyak pejuang-pejuang intelektual dari kalangan masyarakat menengah di Nusantara. Selama pemerintahan Jepang, ada empat gerakan bawah tanah yang berpengaruh besar terhadap berkembangnya rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan, juga penyebaran ide-ide mengenai nasionalisme dan kedaulatan di dalam masyarat.Ironinya, salah satu gerakan yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dengan memanfaatkan jaringan Partai Komunis Indonesia bawah tanahnya, di inisiasi oleh pemerintah Belanda melalui Dr. Charles van der Plas. Organisasi ini meredup ketika Amir Sjarifuddin dan beberapa pimpinan lainnya tertangkap. Gerakan bawah tanah lainnya adalah Persatoean Mahasiswa, yang dengan aksi menentang serta mengkritik pemerintah Jepang secara terbuka mampu membakar semangat anti Jepang. Kekuatan gerakan bawah tanah berikutnya walaupun tidak terlalu luas jejaringnya, namun pengaruhnya cukup kuat karena beranggotakan orang-orang yang militan seperti Sukarni, Pandu Wiguna, Chaerul Saleh, Maroeto Nitimihardjo, dan didukung intelektual veteran pada saat itu, Tan Malaka.
Kelompok-kelompok ini semuanya terkait secara khusus kepada gerakan bawah tanah yang lebih besar pimpinan Sutan Sjahrir. Organisasi ini mampu mengembangkan cabang-cabangnya secara luas di kota-kota besar di Jawa, Bali dan Sumatera. Gerakan bawah tanah ini mengorganisir jejaring pemuda terpelajar, golongan buruh, sampai kaum tani yang berorientasi progresif revolusioner. Terdapat juga gerakan-gerakan yang terlihat sporadis dari sekelompok pemuda terpelajar seperti yang dipimpin oleh Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, yang turut menyebarkan ide-ide kedaulatan dan mengumpulkan informasi intelejen untuk dipergunakan oleh organisasi yang lebih besar. Para revolusioner ini umumnya berangkat dari kesadaran akan dominasi asing atas bangsanya, yang mendorong tumbuhnya keinginan yang semakin menguat akan kemerdekaan.
Simpul Gerakan
Gerakan-gerakan bawah tanah ini walaupun secara jumlah sangat kecil prosentasenya dibanding total jumlah masyarakat Nusantara, namun mereka mampu menggalang dukungan dan menggugah kesadaran dalam masyarakat. Kegiatan bawah tanah ini mampu merasuk kedalam pemikiran masyarakat secara luas menanamkan ide kedaulatan dan membangkitkan serta menebar rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan kolonial serta mendidik rakyat dalam mempersiapkan diri menghadapi kemerdekaan sebagai sebuah negara-bangsa. Inisiator gerakan ini umumnya kelas menengah yang sempat mendapatkan pendidikan formal di sekolah-sekolah Belanda. Gerakan mereka tidak menjurus perlawanan bersenjata, tetapi lebih bertujuan menggalang solidaritas dan memperteguh cita-cita perjuangan.
Walaupun gerakan-gerakan tersebut terlihat berdiri sendiri-sendiri, namun hasil besar yang mereka peroleh adalah akibat adanya sinergi yang didasari oleh keterikatan emosi dan visi yang kuat antara satu kelompok dengan yang lain. Sinergi yang diatur secara sistematis dan terkordinasi. Organisasi-organisasi tersebut menginfiltrasi ke dalam PETA, organisasi Pembela Tanah Air, terdiri dari tentara Indonesia yang dipimpin oleh orang Indonesia dan mendapat pendidikan militer dari orang jepang, dan organisasi-organisasi pemuda binaan Jepang dengan tujuan untuk memegang kendali di setiap unit-unit kunci melalui anggota-anggota yang dapat dipercaya, dan menggiring anggota-anggota lainnya justru ke arah anti Jepang.
Mereka melakukan indoktrinasi ke dalam setiap unsur yang mungkin dimasuki. Tokoh-tokoh militan dari organisasi bawahtanah tersebut masuk ke dalam organisasi-organisasi semi militer seperti barisan pembantu polisi Keibodan, barisan pemuda Seinendan, organisasi perhimpunan wanita Fujinkai, organisasi siswa sekolah dasar dan menengah Seinentai dan Gakutotai, sampai ke Syuisintai, barisan pelopor yang dibimbing langsung oleh tokoh-tokoh nasionalis Indonesia seperti Bung Karno, Otto Iskandardinata, R.P. Suroso, dan lainnya. Hambatan besar bagi gerakan ini justru datang dari pribumi yang terbuai dengan kenaikan pangkat dan kenaikan status sosial ekonomi yang diberikan Jepang bagi mereka yang mengisi kekosongan administratif dan teknis level menengah.
Infiltrasi juga masuk ke dalam organisasi-organisasi politik seperti gerakan propaganda Jepang dalam Perang Asia Timur Raya pimpinan Mr. Samsudin dan Shimizu, organisasi PUTERA, Pusat Tenaga rakyat, dengan tokoh pemimpinnya “empat serangkai” yang terdiri atas Bung Karno, Bung Hatta, KH. Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara. Mereka berhasil membelokkan orientasi organisasi tersebut secara signifikan dan justru memanfaatkan infrastruktur organisasi tersebut untuk membangun kekuatan daya tawar sebagai entitas negara, ketika pasukan Sekutu yang diprediksi akan mampu mengalahkan Jepang datang ke tanah air. Mayoritas pimpinan organisasi pada saat itu tidak menghendaki kemerdekaan sebagai hadiah dari Jepang, selain dari aspek harga diri, juga meragukan legitimasi kemerdekaan tersebut. Karena Jepang semakin nampak sebagai pihak yang akan kalah perang.
Pada saat itu, umumnya pimpinan gerakan bawah tanah sepakat mengenai prediksi Sjahrir tentang kekalahan Jepang dan datangnya invasi tentara Sekutu. Mereka sepakat untuk mengambil momentum datangnya tentara Sekutu pada saat vacuum of power dalam mengambil alih pemerintahan dari tangan Jepang dan memproklamasikan suatu negara baru. Dengan maksud tersebut, kelompok Sjahrir secara rutin dan kontinyu memonitor setiap peristiwa terkait peperangan Jepang melawan Sekutu melalui siaran radio luar negeri. Walaupun pada saat itu mendengarkan radio dilarang keras oleh pemerintah Jepang, Sjahrir secara konsisten menganalisa berita-berita dari radio Sekutu untuk mendapatkan peluang bergerak.
Setiap informasi penting yang didapat biasanya diserahkan kepada Bung Hatta untuk disebarkan ke setiap lini gerakan. Pada masa ini, sifat gerakan adalah kombinasi dari kerangka pemikiran elit pimpinan dalam organisasi-organisasi bawah tanah dan laskar-laskar rakyat bersenjata yang bersifat lokal. Mereka tersebar di setiap tempat strategis dan memiliki ketua serta karakternya sendiri yang berbeda satu sama lainnya. Namun setiap jajaran dalam organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok harus bersiap untuk merespon informasi dengan suatu aksi yang tepat. Untuk itu, sangat penting dilakukan koordinasi antar organisasi dan kelompok dengan baik dan cepat.
Konsolidasi antar organisasi tersebut diatur oleh seorang tokoh kunci bernama Djohan Sjahroezah. Dengan segala keterbatasan fasilitas komunikasi, Djohan Sjahroezah yang kerap dipanggil Bung John atau Bung Djohan oleh rekan-rekan dekatnya, mengambil peran sebagai perantara utama dalam hubungan antar organisasi-organisasi bawah tanah tersebut. Kegiatan ini menjadi krusial karena kolaborasi dan komunikasi antar organisasi tersebut harus menghadapi Jepang sebagai penguasa dan sekaligus intelejen Sekutu yang masuk melalui pribumi yang termasuk binaan Belanda. Namun peran tersebut dapat dimainkan Bung Djohan dengan baik, karena sejak usia belasan di awal tahun 1930-an Djohan telah aktif bergerak secara klandestin dan menjalin jejaring dengan setiap kelompok dalam pergerakan.
Aktivitas seperti penyebaran paham dan cita-cita kemerdekaan, baik dengan cara menyusun sel diberbagai tempat, maupun penyebaran siaran serta bacaan yang berguna bagi perjuangan menuju ke kemerdekaan, telah dilakukannya sejak mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru, yang diketuai Soekemi. Pada saat itu, Bung Djohan yang baru berusia 19 tahun adalah sekretaris PNI Baru cabang Jakarta yang diketuai Sutan Sjahrir. PNI Baru yang kemudian berpindah pimpinan dari Soekemi ke Sjahrir adalah suatu organisasi yang mendasari aksi serta kegiatannya pada suatu pemahaman yang menganalisis kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi, serta berusaha untuk menempatkan rakyat Nusantara dalam suatu gambaran global sebagai penduduk dunia.
Ketika Bung Hatta kembali dari negeri Belanda dan mengambil alih kepemimpinan PNI Baru, Djohan bersama Maroeto Nitimihardjo dan Bung Hatta melakukan pengkaderan secara rutin dan mendidik pemuda-pemuda mengenai politik dan kebangsaan. Kegiatan ini banyak mempertemukan Djohan dengan pemuda-pemuda progresif revolusioner yang menjadi kadernya. Mereka kemudian mendirikan atau bergabung dalam kelompok atau organisasi yang tersebar di penjuru Jawa dan Bali. Karena aktivitas inilah maka Djohan memiliki kader hampir di setiap kelompok, yang membuatnya menjadi simpul dari organisasi-organisasi bawah tanah. Pemahamannya yang mendalam akan Marxisme dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam dari Masyumi, membuat Djohan adalah satu dari segelintir orang yang dapat diterima oleh semua golongan.
Sifat gerakan bawah tanah yang bekerja secara rahasia dan tertutup ini memiliki musuh utama berupa pengkhianatan dari dalam diri gerakan itu sendiri, serta organisasi-organisasi atau badan-badan kontra gerakan bawah tanah yang dibentuk oleh penguasa dimana gerakan bawah tanah tersebut beroperasi. Oleh sebab itu, gerakan bawah tanah ini sangat tertutup, dan akibatnya, narasi sejarahnya sulit ditemukan dalam literatur sejarah resmi, terutama yang ditulis dalam bentuk historiografi untuk kepentingan akademis. Keanggotaan gerakan bawah tanah ini bersifat sukarela dengan dasar militansinya adalah idealisme. Dalam hal ini, idealisme tersebut dapat berupa kecintaannya yang besar terhadap negaranya atau nasionalisme, maupun terhadap faham atau ideologinya, serta terhadap kebenaran tujuan gerakan atau organisasinya.
Maka dari itu, kegiatan dari setiap anggota gerakan bawah tanah ini jarang bisa diungkap oleh siapapun, termasuk oleh rekan seperjuangan. Tertutupnya aktivitas bawah tanah tersebut dapat terilustrasikan dari kisah keluarga Bung Djohan yang mengeluhkan bahwa cerita yang dibawa kerumah hanyalah peristiwa-peristiwa kecil berkaitan tentang sifat rekan-rekannya. Bahkan yang sangat mengganggu bagi keluarga dekatnya adalah, Bung Djohan selalu memakai kalung dengan liontin berisi racun sianida, yang akan mencegah dirinya membuka informasi gerakannya jika dirinya sampai tertangkap musuh.
Terbentuknya Ideologi
Idealisme bagi Djohan adalah suatu pemikiran akan nilai kebenaran yang dipegang teguh. Seperti umumnya kelas menengah yang beruntung mendapatkan pendidikan sampai universitas, Djohan sempat mengenyam pendidikan tinggi di Recht Hoge School (RHS) Batavia, walaupun kemudian keluar tanpa sempat menyelesaikan pendidikannya karena ditangkap akibat kasus penulisan artikel di majalah Indonesia Raya yang mengkritisi pemerintah Belanda. Djohan juga mengikuti kursus-kursus mandiri yang diselenggarakan oleh Golongan Merdeka di berbagai kota. Ia memanfaatkan momentum perubahan akibat Politik Etis yang dilangsungkan pemerintah Belanda.Aspek pendidikan dalam Politik Etis membuka sebuah pintu tanpa bisa dibendung: informasi. Dalam era tersebut, terjadi peristiwa-peristiwa di dunia yang memicu zeitgeist atau semangat zaman yang baru, termasuk di Hindia-Belanda. Kejayaan Turki yang goncang merangsang pembaruan dalam pemikiran Islam, reformasi Kwang-zu di China yang dampaknya terbawa oleh organisasi Tiong Hwa Hwe Koan memicu tumbuhnya semangat anti penjajahan, perang Boer di Afrika Selatan yang menginspirasi pemikiran bahwa penjajahan itu dapat dan harus dilawan, serta kemenangan Jepang atas Rusia yang memperlihatkan anggapan bahwa bangsa Eropa tak terkalahkan itu salah. Dalam semangat jaman seperti itulah Djohan dibesarkan.
Pada masa tersebut, dunia pers yang menyuarakan masalah politik semakin marak, seperti Retnodhoemilah yang diambil alih Wahidin Soedirohoesodo dari F.L. Winter di Surakarta, Medan Prijaji´ yang dipimpin R.M. Tirtoadisurjo, harian Oetoesan Hindia dari Tjokroaminoto, koran Api, Halilintar dan Nyala dari Semaoen, koran Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak dari Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara, Benih Merdeka dan Sinar Merdeka dari Parada Harahap, dan seterusnya. Sedikit pergeseran konstelasi politik Internasional dan terbukanya akses informasi tersebut memicu lahirnya pemikir-pemikir patriotik yang menginginkan perubahan dan kemakmuran. Pada era tersebut, gema revolusi Rusia, berkembangnya pemikiran seperti Leninisme, Trotskysme dan sosialis Eropa Barat seperti Eduard Bernstein serta Neo Marxist seperti Georg Lukács, Karl Korsch dan Antonio Gramsci, berkembang di kalangan intelektual progresif sebagai suatu keniscayaan.
Pemikiran-pemikiran progresif dan revolusioner ini mengendap dalam benak Djohan muda, dan mengkristal sebagai suatu paham ideologis. Pemahaman akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme melalui kegiatan intelektual dan pergerakan tersebut, menjadi dasar pemikiran ketika anggota-anggota PNI Baru yang masih hidup pada tahun 1948 bersama-sama dengan orang yang sependirian keluar dari Partai Sosialis untuk mendirikan Partai Sosialis Indonesia. Bersama dengan Soegondo, Djohan merangkai ideologi partai tersebut dan mengembangkan suatu isme yang disebut dengan Sosialisme Kerakyatan. Pemikiran yang didasari pemahaman Marxisme murni yang disesuaikan dengan karakter serta kondisi demografis dan geografis Indonesia, yang secara konsisten dan militan diterapkan dalam gerak perjuangan.
Dalam Partai Sosialis Indonesia, Djohan terus membangun usaha ideologis dalam rangka membangun integritas bangsa, pendidikan dan penempatan posisi Indonesia di dalam konstelasi politik global. Walaupun ide-ide Sjahrir memiliki arti yang penting bagi perkembangan ideologi dan program partai, namun Partai Sosialis Indonesia senantiasa mengandalkan pemikir bebas yang banyak mempengaruhi pemikiran sosial di dalam maupun diluar partai, seperti Djohan. Menurut Djohan, sosialisme yang dikembangkan oleh Partai Sosialis Indonesia telah secara seksama disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang ada serta tumbuh di Indonesia. Interaksinya dengan para kader dari berbagai daerah, dan pada akhirnya, tersebar di berbagai wadah organisasi, membuat posisi sentral Djohan di kalangan aktivis tidak dapat dipungkiri.
Buku ini membahas peran-peran dan faktor-faktor dalam kelahiran Republik Indonesia yang terlewatkan arus besar historiografi. Tim Penulis berusaha melukiskan konteks semangat jaman yang unik, dinamika isme-isme, dan pemikiran-pemikiran yang sejatinya mendominasi tumbuh-kembangnya percaturan politik di Indonesia. Buku ini berusaha menutup lubang-lubang dalam catatan sejarah yang selama ini mengarahkan asumsi dan membentuk stigma terhadap suatu pemikiran, peristiwa, tokoh dan aktivitas, dengan pemanfaatan jejaring tua untuk risetnya.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.