Pertemuan negara-negara G-20 dalam The London Summit akan segera
diselenggarakan pada tanggal 1 – 2 April 2009. Tentunya agenda forum 20
pemimpin negara-negara maju dan berkembang tersebut punya banyak
tawaran. Beberapa pihak pun akhirnya berharap banyak akan adanya solusi
berbagai macam krisis melalui forum ini. Namun karena secara garis besar
masih tetap dalam kerangka kebijakan kapitalisme- neoliberal, tawaran
dan harapan sepertinya akan jauh api dari panggang. Hal tersebut kami
tuangkan dalam pernyataan sikap kami di bawah ini:
Pertama, kami menyatakan bahwa G-20 tidak memiliki legitimasi sebagai
forum pengambilan keputusan untuk rakyat di seluruh dunia, khususnya
yang berada di negara-negara miskin dan berkembang. Liberalisasi
investasi, perdagangan dan keuangan (pasar bebas) yang menjadi agenda
utama G-20 adalah rangkaian kebijakan yang telah dan akan mendorong
krisis menjadi semakin parah.
Selanjutnya
kami mendorong suatu upaya penyelesaian krisis di tingkat global yang
lebih representatif dan sah, salah satunya melalui mekanisme PBB.
Berbagai inisiatif yang sudah dilakukan dengan pembentukan High Level
Task Force (HLTF), yang merupakan koordinasi global dalam rangka
mengatasi krisis pangan. Kemudian ada pula usulan untuk pembentukan
Global Economic Council (yang diinisiasi oleh Joseph Stiglitz), yakni
sebuah sistem penyimpanan global yang skupnya diperluas. Cara-cara
alternatif dan partisipatif merupakan jalan keluar yang lebih demokratis
dalam mengambil keputusan yang dapat mempengaruhi seluruh dunia.
Kedua,
kami mendesak negara-negara maju untuk tidak memperalat negara-negara
berkembang dalam pertemuan G-20 untuk merevitalisasi Putaran Doha
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan pembukaan investasi dalam rangka
eksploitasi kekayaan alam negara berkembang dan perdagangan
karbon/offset dalam penyelesaian krisis. Sebagai bagian dari masalah
krisis global, terutama krisis pangan, mekanisme pasar dalam WTO sudah
sejak lama diprotes oleh rakyat di seluruh dunia. Hal tersebut telah
menimbulkan: 1) Ketergantungan yang sangat besar terhadap pasar
internasional, yang pada saat krisis ini menyebabkan pertanian di
berbagai negara kolaps; 2) Eksploitasi secara besar-besaran sumber daya
perikanan negara-negara berkembang via negosiasi NAMA (Non-Agriculture
Market Access); 3) Subsidi domestik dan ekspor yang tidak adil dan
merusak pasar domestik (terutama negara miskin dan berkembang); 4)
Keuntungan sejumlah perusahaan transnasional (TNCs) besar pertanian,
pemerintah negara sponsornya, serta spekulator di pasar internasional
pangan dan pertanian.
Kami juga mendesak sebuah strategi ekonomi domestik yang melindungi
kepentingan rakyat dari serangan utang, eksploitasi sumber daya alam dan
liberalisasi pasar.
Ketiga,
Pertemuan G-20 tidak digunakan untuk mempromosikan utang baru bagi
negara-negara berkembang melalui reformasi Lembaga Keuangan
Internasional (IFIs). Agenda tersebut semakin menguatkan kembali peran
Bank Dunia dan IMF dalam penyebaran utang luar negri yang semakin
memiskinkan negara-negara berkembang. Kami juga menolak utang baru dan
penggunaan anggaran negara untuk restrukturisasi perbankan dan lembaga
keuangan yang mengalami kebangkrutan akibat krisis.
Transaksi utang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus
melaksanakan kewajiban pembayaran utang luar negerinya meskipun sumber
keuangan negara terbatas. Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008,
pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren
yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005
sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok
pinjaman luar negeri sebesar Rp 277 triliun. Sedangkan total penarikan
pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008
sebesar Rp 101,9 triliun.
Reformasi
terbatas terhadap IMF dan Bank Dunia bukanlah jalan keluar. Sebab dua
lembaga tersebut sejak lama korperasi sesuai dengan selera
negara-negara kaya yang menjadi pemilik saham mayoritas. Institusi
finansial ini seharusnya berfungsi mendukung pembangunan. Namun,
institusi finansial yang ada sekarang merupakan pengejawantahan ideologi
kapitalisme- neoliberal yang malah mereduksi makna pembangunan hanya
pada pertumbuhan ekonomi semata. Selanjutnya, terjadi legalisasi praktek
akumulasi kapital tanpa batas oleh TNCs dengan mengesampingkan
kerusakan sosial dan ekologi.
Keempat, dibutuhkan tanggung jawab dan kewajiban negara (state
obligation) secara langsung serta perubahan kebijakan secara mendasar
dalam rangka penyelamatan rakyat. Menolak model penyelesaian krisis
apalagi hanya dalam bentuk stimulus “pemicu” dalam bentuk insentif bagi
penanaman modal, pembebasan pajak dan keringanan tarif bea masuk yang
merugikan perekonomian nasional.
Konsep stimulus ekonomi sebagaimana yang direncanakan pemerintah
Indonesia, tidak berkontribusi langsung terhadap pekerja dan masyarakat
miskin yang justru terkena dampak paling parah. Stimulus hanya
berkontribusi terhadap para pelaku usaha, yang itupun tidak akan dapat
langsung diharapkan dapat mempertahankan kondisi keuangan perusahaan
yang tergerus akibat pelemahan pasar global.
Langkah
yang mesti diambil oleh pemerintah/negara dalam mengatasi krisis harus
merupakan langkah koreksi total dari mekanisme pasar. Krisis yang
sedemikian akut tidak akan dapat diatasi dengan cara-cara yang
konservatif seperti rangsangan/stimulus yang terkesan masih mengharapkan
pasar dapat bekerja secara alamiah. Paradigma penyelesaian krisis
sebagai bagian dari paradigma pembangunan ekonomi harus diubah secara
progresif yaitu menggantikan pasar dengan ekonomi perencanaan yang
menuntut peran langsung negara dalam melibatkan rakyatnya untuk
membangun stabilitas ekonomi yang riil. Hal ini tentunya berhubungan
erat dengan amanat konstitusi RI yang menyatakan bahwa produksi
dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan,
bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Kelima,
Kami menuntut penyelesaian krisis sumber daya alam (energi, pangan, air
dan perikanan), krisis lingkungan (pencemaran, perubahan iklim), dengan
pengarusutamaan hak-hak rakyat terutama buruh, petani dan konsumen
kecil.
Kehancuran sistem ekonomi kapitalisme- neoliberal, di mana produksi
terkonsentrasi pada segelintir individu dan korporasi, harus menjadi
momentum perubahan mendasar. Perekonomian nasional ke depan haruslah
menjamin terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya seluruh
masyarakat. Sekaligus melakukan koreksi atas pengelolaan sumber daya
alam yang berorientasi ekspor demi kepentingan Negara kapitalisme maju
menjadi lebih mengedepankan kepentingan nasional dan kesejahteraan
rakyat banyak dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekologi.
Keenam,
Presiden SBY agar tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat dengan
penciptaan utang baru yang dapat menjadi beban bagi pemerintahan
berikutnya. Mengingat utang indonesia yang sudah terlampau besar dan
menjadi beban ekonomi nasional dan perekonomian rakyat. Selain itu
penggunaan utang untuk restrukturisasi (bantuan keuangan) untuk
pengusaha di tengah kemiskinan rakyat adalah tidak dibenarkan. Kebijakan
utang baru hanya akan melanggengkan ketergantungan Indonesia pada IMF,
World Bank, dan ADB. Tiga lembaga yang harus bertanggung jawab terhadap
krisis berkepanjangan yang dihadapi Negara ini.
Di tengah kritik yang tajam atas kegagalan sistem ekonomi kapitalisme
neoliberal saat ini, pemerintah justeru sangat aktif mengusulkan
agenda-agenda penyelamatan/ pemulihan ekonomi yang berorientasi pasar.
Kebijakan liberalisasi pasar yang luas hanya akan menjadi beban bagi
pemerintah berikutnya dalam memulihkan krisis ekonomi dan menjadi beban
bagi perekonomian nasional dan ekonomi rakyat saat ini dan di masa yang
akan datang.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.