BREAK
Loading...

“Agenda Tersembunyi” Dalam UU SJSN Dan RUU BPJS Rugikan Kepentingan Nasional

Skenario Neoliberal

Berikut adalah analisa berkaitan dengan skenario neoliberal berkaitan dengan BPJS-SJSN di Indonesia. Artikel ini dimuat di blog ini untuk referensi mengenai BPJS-SJSN yang merupakan produk yang sangat merugikan kepentingan nasional. 
--------------------------------------------------------------------------------

Ada yang menarik dari pro dan kontra atas SJSN/BPJS yang sekarang ini terjadi, yaitu sama-sama menggunakan UUD 1945 sebagai landasannya. Bedanya: kelompok yang pro mengatakan bahwa SJSN/BPJS yang akan dibentuk merupakan amanat konsitusi dasar (UUD 1945), sedangkan yang kontra justru menganggap SJSN/BPJS bertentangan dengan amanat UUD 1945. Lantas siapa yang benar?

Dalam pembukaan UUD 1945 alenia 4 tertera sebagai berikut :
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kutipan lengkap ini penting agar kita tak asal-asalan menginterpretasikan bahwa tujuan tujuan pendirian NKRI dalam pembukaan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan negara kesejahteraan, seperti dinyatakan Surya Chandra Surapaty di Kompas (20/7/2011). Negara kesejahteraan (welfare state) adalah sebuah konsep ekonomi-politik yang dijalankan di negara-negara barat sebagai jalan keluar untuk mengurangi ekses negatif dari kapitalisme.
Sementara dasar falsafah dan tujuan nasional yang terkandung dalam alenia empat UUD 1945 jauh lebih konferehensif dan lebih maju dari konsep negara kesejahteraan ala dunia barat. Disana ada semangat kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan. Ada semangat kemandirian. Disana tersirat semangat untuk membangunan karakter bangsa Indonesia perdasarkan Pancasila.

Baiklah, mari kita runut satu-persatu bagaimana sistem jaminan sosial menjadi isu penting, setidaknya sejak krisis global tahun 1997. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa resep yang dipakai oleh Indonesia menangani krisis adalah resepnya IMF dan lembaga kreditor lainya. Resep yang ditawarkan yang paling utama adalah adanya liberalisasi di segala bidang melalui skema deregulasi dan SAP (structural adjustment program). Sedemikian membiusnya resep tersebut sehingga liberalisasi menjadi tema utama dari semua proses ekonomi-politik Indonesia sejak reformasi. Liberalisasi menemukan lahannya dalam suasana euforia bangsa ini setalah lepas dari tekanan orde baru.

Kisah SJSN dimulai dari ide untuk mereformasi sektor keuangan. Tahun 1998, asian development bank/ADB mengeluarkan dokumen “Technical Assistance to the Republic of Indonesia for the Reform of Pension and Provident Funds”, yang menganjurkan adanya reformasi (liberalisasi) dalam pengelolaan dana pensiun atau jaminan hari tua.

Dalam perubahan kedua UUD 1945 ( tahun 2000) ditambahkan pasal antara lain pasal 28H (3), berbunyi: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Pada perubahan ketiga ( tahun 2001) ditambah lagi pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dalam perubahan keempat (2002) pada pasal 34 ditambahkan ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sedangkan Ayat (3) dan (4) dari pasal ini menjelaskan bahwa negara bertanggungjawab dan diatur dengan undang-undang.

Perubahan atau penambahan pasal-pasal dalam konstitusi diatas bukan tanpa maksud dan tujuan. Pasal-pasal dan ayat-ayat yang dicontohkan harus dimaknai sebagai respon atas arahan dari resep yang ditawarkan oleh IMF dan “kawan-kawannya”. Inilah hidden agenda dari amandeman UUD 1945. Maka, mereka pun seolah menemukan landasan konstitusionalnya. Skenario ini menemukan kesesuaiannya dalam proses selanjutnya.

Pada tahun 2002, ADB berdasarkan pada Report and Recommendation of the President to the Board of Directors on a Proposed Loan to the Republic of Indonesia for Financial Governance and Social Security Reform Program (Laporan dan Rekomendasi Presiden kepada Dewan Direksi pada Usulan Pinjaman untuk Republik Indonesia untuk Kelola Keuangan dan Program Keamanan Reformasi Sosial), mengeluarkan dokumen Technical Assistance to the Republic of Indonesia for Financial Governance and Social Security Reform. Dokumen itu mendorong adanya reformasi dalam pengelolaan keuangan negara dan jaminan sosial. Secara rinci ADB memberikan rekomendasi dan arahan-arahan bagi pemerintah maupun parlemen. Berbagai upaya dilakukan oleh ADB, bahkan dengan menggerlontorkan dana mencapai US$ 250 juta untuk mendukung lahirnya sistem jaminan sosial nasional di Indonesia. Akhirnya, pada tahun 2004, lahirlah UU Nomor 40 tentang sistem jaminan sosial nasional/SJSN. Didalamnya terkandung pasal-pasal krusial yang mengingkari tujuan nasional dalam pembukaan UUD 1945. Melainkan hanya turunan dari pasal-pasal tambahan dalam UUD 1945.

Pasal 17 merupakan pasal dimana pengalihan kewajiban negara menjadi kewajiban rakyat. Perlu dikutip secara lengkap agar masyarakat tak bingung. Bunyi pasal 17 adalah (1) Setiap peserta wajib mcmbayar iuran yang bcsarnya ditetapkan berdasarkan pcrsentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu; (2) Setiap pemberi kerja wajib mcmungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penye1enggara]aminan Sosial secara berkala; (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak; (4) Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah, (5) Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan; (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam pasal ini tidak ada kalimat dimana pemerintah akan membayar iuran untuk rakyat miskin secara terus menerus, bahkan dalam bagian penjelasan undang-undang inipun tidak ada. Oleh karena dasar inilah, kami mengajukan judicial review ke MK. Jadi apa yang dinyatakan oleh Surya Chandra Surapaty di Kompas (20/7/2011) adalah interpretasi ngawur dan memalukan karena terkesan hanya menjadi lips service untuk memoles RUU BPJS.

Hidden agenda dalam pasal ini adalah memaksa rakyat untuk membayar iuran wajib selain pajak. Pekerja dan pengusaha akan bertambah bebannya karena harus membayar lebih banyak pada BPJS. Jika tdak, mereka akan dikenai sanksi. Melalui skema asuransi sosial rakyat, dimobilisirlah dananya dengan iming-iming 5 jaminan sosial (jamian kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pension dan hari tua) yang digambarkan sebagai anak kandung dari UU SJSN. Padahal, kelima jaminan sosial itu sudah ada dan diselanggarakan oleh 4 BUMN yang saat ini sudah ada: Jamostek, Askes, Asabri dan Taspen.

Pada pasal lima dijelaskan bahwa ke empat BUMN tersebut merupakan BPJS, yakni di ayat (1), (2) dan (3). Tapi pada ayat (4) dari pasal ini dimungkinkan membentuk badan baru melalui undang-undang. Jadi untuk kesekian kalinya, Surya Chandra Surapaty gagal memahami dengan menyatakan bahwa BUMN yang ada bukan BPJS. Ayat (4) inilah yang mendasari DPR untuk mengambil inisiatif membentuk BPJS dengan mengajukan RUU BPJS yang arus besarnya adalah melebur atau mentransformasikan BPJS yang ada menjadi satu (terakhir menjadi dua) dengan mengubah bentuk BPJS yang BUMN dengan badan hukum publik.

Keteguhan DPR dengan pendiriannya tersebut terkesan dipaksakan oleh karena: pertama, bahwa tidak ada ketentuan di UU SJSN yang secara eksplisit menyebutkan bahwa BPJS harus badan hukum publik; kedua keinginan melebur atau mengubah 4 BUMN dengan alasan bahwa BUMN tidak cocok lagi sebagai penyelenggara jaminan sosial.

Pendapat ini disokong oleh seorang professor, ahli jaminan sosial, dan guru besar UI, yaitu Hasbullah Thabrany, yang dengan penuh semangat menyatakan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial oleh BUMN adalah keliru (Kompas, 19/7). Sang professor lupa bahwa dalam UU SJSN justru tak ada kalimat yang menyatakan hal tersebut. UU nomor 40 tahun 2004 adalah tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional bukan Sistem Asuransi Sosial Nasional. Pada bab ketentuan umum dalam UU ini sudah jelas bahwa keduanya berbeda. Lebih lanjut sang profesor meyakinkan bahwa badan hukum publik adalah milik negara dan tak akan ada campur tangan pihak swasta atau asing. Yakinkah? Mari kita lihat salah satu pasal di RUU BPJS. Dalam pasal 8 ada satu ketentuan tentang kewenangan BPJS untuk “menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai”.

Kemudian ketentuan bahwa BPJS dapat melakukan kerjasama dengan penyedia layanan kesehatan. Kewenangan berinvestasi dan bekerjasama dengan penyedia kesehatan ini membuka peluang bagi masuknya swasta (masuk dalam scenario pasar bebas). Padahal pukesmas dan RSU milik pemerintah dapat dimaksimalkan untuk mendukung sistem jaminan sosial. BPJS dilarang mendirikan dan/atau memiliki seluruh atau sebagian fasilitas pelayanan kesehatan; dilarang mendirikan dan/atau memiliki seluruh atau sebagian fasilitas jaminan sosial lainnya. Ketentuan ini jelas akan memberikan peluang bagi swasta yang menganut pasar bebas.

Yang pantas dicermati adalah keteguhan DPR dan para pendukungnya ternyata sejalan dengan apa yang tertera dalam dokumen-dokumen ADB, terutama white paper mengenai Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian, Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang dibuat ADB bersama pemerintah dalam hal ini departemen keuangan dibantu oleh konsultan asing bernama Mr. Mitchell Wiener, ahli Dana Pensiun. Pertama, dalam ringkasan eksekutif white paper, pengertian jaminan sosial disamakan dengan asuransi sosial. Kedua, tertulis ; “Menurut Undang-Undang SJSN, empat persero yang ada saat ini yaitu PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes secara bersama-sama akan menjadi administrator (BPJS) dari program SJSN. Secara teknis, untuk menjalankan program SJSN tidak diperlukan empat BPJS, namun cukup satu atau dua BPJS… (cetak tebal oleh penulis)” Ketiga, “bentuk badan hukum BPJS harus berdasarkan pada prinsip-prinsip dana amanat (trust fund). BPJS tersebut sebaiknya bersifat nirlaba dan harus melaksanakan segala upaya untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.

Itulah titik krusial dimana kontrol negara terhadap 4 BUMN (baca: 109 triliun rupiah) dicerabut secara sistematis. Para pendukung skema ini memainkan peranan penting dalam menyusun strategi dimana kontrol negara dicerabut dan dialihkan menjadi lembaga dibawah kontrol presiden. Dalam hal ini, kontrol negara pasti lebih kuat dibandingkan hanya oleh seorang presiden. Yang dibutuhkan adalah sistem kontrol dan pemastian keuntungan dari BUMN tersebut bisa efektif menaikkan pendapatan negara sehingga dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengalihan ini secara sistematis memberi peluang dalam pengelolaan dana secara independen oleh BPJS, dan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga tanpa ada batasan yang jelas. Negara dalam hal ini dikebiri, bahkan hanya diminta untuk menyokong modal awal BPJS, namun tidak diberi ruang untuk mengelola keuntungan sebagai kas negara.

Dalam hal ini, makna gotong-royong direduksi menjadi subsidi silang antar peserta asuransi, bukan keterlibatan rakyat dalam pembangunan bangsa Indonesia menuju kesejahteraan umum. Dilain pihak, menerapan pajak progresif bagi orang kaya dapat juga menjadi sumber penerimaan negara yang besar.

Demikianlah, dilihat dari prosesnya terdapat benang merah dimana ada satu skenario untuk melepaskan kontrol negara terhadap asetnya. Salah besar jika ini tidak ada campurtangan asing seperti dibantah oleh para pendukung RUU BPJS. Mereka tak menyadari (atau tidak mengakui) bahwa RUU BPJS justru mengacu pada poin-poin dalam white paper ketimbang UU SJSN dan UUD 1945.

Keterlibatan ADB dan resep liberalisasi (pasar bebas) ala IMF itulah yang berlangsung dengan hidden agendanya, adalah liberalisasi bidang keuangan negara dan jaminan sosial. Tujuanya satu: agar APBN tidak lagi dipotong banyak-banyak untuk jaminan sosial dan bisa dialihkan untuk pembayaran utang dan BLBI serta untuk pembiayaan sektor yang lebih mengacu pada sistem pasar bebas yang menguntungkan swasta (asing).

Dengan demikian skenario besar (hidden agenda) tersebut berpotensi akan merugikan kepentingan nasional, yaitu :
Pekerja dan rakyat yang masih berpendapatan rendah dan miskin harus membayar iuran lebih ke BPJS. Pada saat yang sama, pekerja dan rakyat tidak dapat mengontrol secara langsung pengelolaan dana yang yang diinvestasikan dalam kerangka pasar bebas.

Pengusaha (pelaku usaha nasional) yang notabene juga sedang terancam dan telah terdesak oleh pasar bebas, diwajibkan membayar iuran yang lebih. Pada saat yang sama, tidak ada kompensasi (proteksi) bagi industri nasional agar lebih berdaya dan maju; masih banyak pungli, perijinan sulit, bahan baku dan teknologi juga tidak didukung.

Negara tidak lagi diberi kesempatan mengelola sebagian keuntungan dari BUMN (4 BUMN) sebagai sumber pendapatan untuk ABBN, sehingga biaya pembangunan jadi kurang.

Dana besar yang tidak kurang dari 190 triliyun merupakan asset yang sangat besar dan berpengaruh besar terhadap perekonomian nasional, tetapi akan lepas dari kontrol negara dan masuk dalam sistem pasar bebas (liberal). Ini bertentangan dengan pasal 33 ayat (1) UUD 1945; “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Bangsa kita harus memaknai bahwa BUMN adalah lahan usaha bagi keluarga besar bangsa Indonesia yang dikelola oleh negara untuk menambah pendapatan dan digunakan mendukung tujuan nasional. BUMN adalah badan produktif yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, BUMN harus dikuasai oleh negara, sebagaimana pasal 33 UUD 1945 ayat (2). Kepesertaan masayarakat kedalam 4 BUMN tersebut tak lain adalah bentuk dari kegotong-royongan dan pembelaan terhadap negara dan bangsa demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Oleh karena itu merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan aset negara (BUMN) sambil menyusun-merancang sistem jaminan sosial yang benar-benar sesuai dengan UUD 1945 yang asli. (berdikarionline)

Ditulis oleh Satria Puta
Sebarkan Artikel Ini :
Sebar di FB Sebar di Tweet Sebar di GPlus

About Unknown

WEBSITE ini didedikasikan untuk ilmu pengetahuan dan HUMAN BEING, silahkan memberikan komentar, kritik dan masukan. Kami menerima artikel untuk dimuat dan dikirim ke kawanram@gmail.com. Selanjutnya silahkan menghubungi kami bila memerlukan informasi lebih lanjut. Salam PEMBEBASAN!
    Blogger Comment
    Facebook Comment