BREAK
Loading...

Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin, Sang Revolusioner

Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin, Sang Revolusioner

Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin (1870-1924) adalah seorang pemimpin politik berdirinya negara buruh pertama di dunia. Dia diakui sebagai salah seorang yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Lahir di Simbirsk (kini ganti jadi Ulyanovsk untuk menghormatinya) pada tahun 1870.

90 Tahun telah berlalu semenjak kematian Lenin. Lenin meninggal pukul 18.50 (waktu Moscow, pada 21 Januari 1924, di umur 53 tahun. Lebih dari sembilan ratus ribu orang berduka dan menjenguk jenazahnya. Bahkan untuk ukuran seorang revolusioner, Lenin adalah orang yang bekerja sangat keras. Dalam sehari ia bekerja sebanyak empat belas hingga enam belas jam, mengurusi masalah besar, kecil, dan urusan-urusan rutin lainnya. Dalam ingatannya sendiri, Lenin cuma punya dua kali istirahat dalam seumur hidupnya. Pertama, saat ia jadi buruan Rezim Kerensky dan terpaksa bersembunyi. (Saat itu dia gunakan waktunya untuk menulis buku Negara dan Revolusi). Kedua, saat ia berusaha memulihkan diri saat berhasil selamat dari upaya pembunuhan oleh Fanni Kaplan.

Kejadiannya tanggal 30 Agustus 1918. Hari itu Lenin menyampaikan pidato di “Palu Arit”, suatu pabrik yang terletak di Moskow. Saat Lenin meninggalkan gedung, tepat sebelum memasuki mobil, Kaplan memanggilnya. Lenin menoleh. DOR! DOR! DOR! Kaplan menembakkan tiga peluru ke Lenin. Satu peluru menembus jaket Lenin, satu peluru menembus pundak kirinya, dan satu peluru mengenai lehernya, melubangi sebagian paru-paru sebelah kirinya, serta berhenti dekat tulang selangkangnya.

Buruh-buruh yang berada disana sontak marah dan menangkap Kaplan. Kenyataan bahwa Kaplan merupakan anggota Socialist Revolutionaries (SR) atau Revolusioner Sosialis yang seringkali dipakai oleh akademisi dan politikus borjuis untuk memfitnah seakan-akan Lenin adalah orang yang sedemikian otoriter sehingga banyak kaum kiri jadi membencinya dan menuduhnya pengkhianat. Mari kita cocokkan dengan pengakuan Kaplan sendiri saat ia diinterogasi. 

”Namaku adalah Fanya Kaplan. Hari ini aku menembak Lenin dan aku melakukannya sendiri. Aku tidak akan bilang darimana aku dapat revolverku. Aku tidak akan memberitahu rinciannya. Sudah sejak lama aku memutuskan untuk membunuh Lenin. Aku menganggapnya sebagai seorang pengkhianat Revolusi. Aku pernah diasingkan ke Akatui karena terlibat dalam upaya pembunuhan pejabat Tsar di Kiev. Selama 11 tahun aku dihukum kerja paksa. Setelah Revolusi, aku dibebaskan. Sejak saat itu aku menghendaki Majelis Konstitusi sampai sekarang.” Majelis Konstitusi! Majelis bukanlah Soviet/Dewan Pekerja. Kaplan dan sekutu-sekutu SR-nya jelas-jelas menentang revolusi sosial.

Mari kita putar kembali ingatan sejarah kita pada Kongres Kedua Soviet/Dewan Pekerja Se-Rusia yang digelar di Petrograd pada malam hari Revolusi Oktober. Kaum Bolshevik dan SR-Kiri (yang pecah dari SR lama dan bersama Bolshevik mendukung Revolusi Oktober) merupakan mayoritas dalam kongres itu. Disana diresmikanlah pemindahan kekuasaan dari Pemerintahan Sementara Kerensky yang direbut ke tangan Soviet/Dewan Buruh serta dengan demikian negara buruh sosialis resmi didirikan.

Kongres tersebut juga menyatakan bahwa rezim Soviet/Dewan-Dewan Buruh merupakan rezim yang multi partai dan terbuka bagi semua partai dan kelompok yang mendukung revolusi. (Jadi hal ini sama sekali berlawanan dengan fitnah kaum borjuasi yang menganggap bahwa rezim Soviet/Dewan Buruh merupakan rezim monolitik/dikuasai partai tunggal). Namun di seberang negara buruh yang baru berdiri ini, berdirilah kaum Menshevik dan SR lama atau SR kanan. Mereka datang di Kongres Kedua Soviet/Dewan Pekerja Se-Rusia dengan tujuan untuk menentang Soviet dan akhirnya melakukan aksi walk-out dari kongres tersebut.

Baik Kaum Menshevik maupun SR Kanan, keduanya sama-sama menentang revolusi, menentang kediktatoran proletar, menentang rezim sosialis, dan menentang penyerahan kekuasaan kepada Soviet/Dewan Buruh. Mereka ini adalah bagian dari Pemerintahan Sementara rezim Kerensky yang tidak saja berkehendak untuk menghapus Soviet/Dewan Buruh dan menggantikannya dengan parlemen borjuis namun juga berniat meneruskan Perang Dunia I melawan Jerman dan sekutu-sekutu negara porosnya yang tidak lain dan tidak bukan merupakan perang negara-negara imperialis. Inilah yang didukung oleh Kaplan yang ingin membunuh Lenin!

Ternyata Kaplan gagal menghabisi nyawa Lenin. Sebagaimana yang diberitakan Pravda, “Lenin kena tembakan dua kali namun dengan darah mengucur dari tubuhnya ia menolak bantuan. Memang Lenin menolak dibawa ke rumah sakit karena khawatir disana sudah menanti para pembunuh lainnya. Akhirnya ia dibawa ke tempat tinggalnya di Kremlin. Dokter-dokter kemudian didatangkan untuk merawat luka-luka Lenin namun mereka tidak mampu mengambil peluru yang bersarang ditubuhnya. (Peluru ini baru bisa diambil bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada 24 April 1922, oleh dokter bedah yang didatangkan dari Jerman). Terlepas dari betapa keras luka-lukanya, Lenin telah selamat. Masih dikabarkan di Pravda, “…Pagi harinya meski masih dibayangi kematian, Lenin melanjutkan kegiatannya membaca koran, mendengarkan radio, (dan seterusnya)…” Namun tidak semua bernasib sebaik Lenin. Hari yang bersamaan dengan insiden percobaan pembunuhan terhadap Lenin, Moisei Uritsky, Komisar Rakyat Urusan Dalam Negeri di Wilayah Utara sekaligus Kepala Cheka di Petrograd tewas dibunuh. Kenyataan bahwasanya bukan Lenin sendiri yang jadi sasaran pembunuhan merupakan bukti jelas teror pembunuhan sedang dilancarkan oleh musuh-musuh negara buruh yang baru berdiri ini.

Watak keras kepala orang-orang yang menuduh Lenin sebagai “diktator”, “otoriter”, dan “haus kekuasaan” jelas memang sulit dipahami kalau sekedar disebabkan “ketidaktahuan belaka”. Apalagi banyak peristiwa dalam sejarah yang membuktikan bahwa Lenin harus memenangkan pendapatnya melalui mekanisme demokrasi organisasi. Ambillah contoh Tesis April yang ditulis Lenin harus berhadapan dengan mayoritas anggota Bolshevik yang saat itu menganggap bahwa sementara ini cukup revolusi demokratis yang menumbangkan Tsar dan belum waktunya revolusi sosialis menuju kediktatoran proletar.

Berlawanan dengan itu, Lenin, melalui Tesis April-nya menyatakan bahwa Kaum Bolshevik tidak boleh berpuas diri dengan tahapan borjuis atau tahapan demokratis-nasional Revolusi Februari. Sebaliknya kaum Bolshevik harus berjuang mendorong kelas buruh serta kaum tani miskin untuk memperjuangkan dan memenangkan revolusi sosialis. “(2) Ciri khusus situasi terkini di Rusia menunjukkan bahwa negeri ini tengah bergerak dari tahapan awal revolusi, yang karena kurangnya kesadaran kelas dan organisasi proletar, akhirnya membuat kekuasaan mendarat di tangan kaum borjuasi–menuju tahapan kedua, yang harus menyerahkan kekuasaan ke tangan kaum proletar dan lapisan-lapisan termiskin dari kaum tani.” Lenin menyatakan bahwa revolusi sosialis ini akan dicapai dengan pengambilalihan kekuasaan dari Pemerintahan sementara yang parlementer oleh dan kepada Soviet/Dewan-Dewan Buruh. “Tidak ada dukungan bagi Republik Parlementer–kembali dari Dewan-Dewan Deputi Pekerja ke suatu republik parlementer akan menjadi suatu langkah kemunduran–maka didirikanlah suatu republik Soviet/Dewan-Dewan Buruh, Buruh Tani, dan Deputi Tani di seluruh negeri, dari atas sampai bawah.“

Tesis April saat itu jauh lebih radikal dari kesadaran dan pemikiran mayoritas anggota Bolshevik. Sebagian besar masih menganggap Rusia baru matang untuk revolusi borjuis dan belum matang untuk revolusi sosialis. Bahkan Joseph Stalin dan Lev Kamenev yang baru datang pada pertengahan Maret dari pengasingan di Siberia serta menguasai Pravda malah sudah mulai berkampanye mendukung Pemerintahan Sementara. Lenin harus berusaha keras dan bersusah payah untuk meyakinkan anggota-anggota Bolshevik ke dalam perspektif yang ia tuangkan melalui Tesis April. Saat ia menyampaikan Tesis April dalam rapat gabungan Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia ia tidak saja kurang didukung mayoritas kelompok Bolsheviknya namun ia juga dicibir oleh kelompok Menshevik. Saat itu dari kelompok Bolshevik hanya Alexandra Kollontai yang setuju dan mendukung Lenin (meskipun pada perkembangannya Lenin berhasil meyakinkan mereka atas kebenaran Tesis April).

Lenin meyakini bahwa meskipun kapitalisme Rusia masih merupakan kapitalisme terbelakang, suatu revolusi sosialis di Rusia bisa memicu revolusi di negara-negara lainnya khususnya negara-negara kapitalis maju di Eropa yang kemudian bisa membantu Rusia mencapai pembangunan serta perkembangan ekonomi dan sosial. Dengan demikian melalui perspektif ini Lenin semakin menjauh dari pandangan yang hanya mengejar revolusi borjuis atau demokrasi nasional di Rusia, serta semakin dekat dengan pandangan Leon Trotsky dan teori Revolusi Permanen.

Kalau benar apa yang difitnahkan kaum akademisi dan politikus borjuis bahwa Lenin itu otoriter maka untuk apa Lenin repot-repot berjuang menyampaikan Tesis April, berusaha keras meyakinkan kawan-kawan partainya? Bukankah kalau Lenin itu otoriter maka mudah saja baginya untuk menginstruksikan agar Tesis April ini dipatuhi tanpa boleh dikritik dan ditanya sama sekali?

Mari kita ambil contoh Insureksi dalam Revolusi Oktober. Saat itu Kamenev dan Zinoviev yang masih menentang pengambilalihan kekuasaan dari Pemerintah Sementara kemudian membocorkan rencana insureksi ke surat kabar luar. Lenin yang murka kemudian menuntut pemecatan keduanya dari keanggotaan Bolshevik. Kalau Lenin seorang diktator otoriter yang memupuk kultus individu maka pasti tuntutannya akan langsung disetujui tapi nyatanya tidak, mayoritas anggota Bolshevik menentang pemecatan itu. Diktator perorangan macam apa yang harus patuh pada keputusan mayoritas? Jelas bahwa fitnah yang menyebut Lenin sebagai seorang diktator otoriter tak lebih dari propaganda hitam belaka.

Tidak puas dengan itu, banyak kaum akademisi dan politikus borjuis kemudian berusaha mencomot perkataan Rosa Luxemburg dan membenturkannya dengan Lenin. Luxemburg yang mendengar kabar bahwa kebebasan berpendapat dan menerbitkan surat kabar diberangus dalam revolusi di Rusia mengeluarkan pernyataan yang menentang hal demikian. Bahkan ia mengatakan “Kebebasan juga merupakan kebebasan bagi mereka yang tidak setuju dengan pemerintah.” Namun kita harus paham konteksnya. Berbeda dengan di masa sekarang yang sudah ada Internet dengan berbagai media sosial, dominasi borjuasi terhadap media massa Eropa jauh lebih kuat sehingga berita-berita faktual dan tidak bias mengenai revolusi buruh sulit didapatkan kalau bukan dari media yang dikuasai buruh.

Apa yang terjadi di Rusia bukanlah Lenin memberangus kebebasan berpendapat dan mencetak penerbitan, sebaliknya, Lenin malah mendukung gerakan buruh dan pekerja media (mulai dari media cetak sampai radio) untuk mengambil alih penguasaan alat produksi media massa dari tangan borjuasi ke tangan kelas buruh. Inilah yang disebut dengan kontrol buruh atas alat produksi (termasuk media massa). Hal ini justru bisa disebut demokratisasi alat produksi karena membebaskan alat-alat cetak, pabrik-pabrik, kantor-kantor, stasiun-stasiun radio, dan pemancar-pemancar dari kekangan milik pribadi borjuasi ke tangan rakyat pekerja. Jadi sekali lagi tuduhan Lenin itu otoriter dan mengekang kebebasan berpendapat dan informasi itu tuduhan yang tidak benar.

***
Kini sembilan puluh tahun telah berlalu semenjak kematian Lenin akibat memburuknya kondisi tubuhnya karena stroke. Namun tidak puas dengan itu, kaum borjuasi masih terus berusaha membunuh Lenin dan teori-teorinya, termasuk dengan melakukan fitnah dan pengaburan sejarah. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh kaum akademisi dan politisi borjuis di Amerika, Eropa, dan Australia saja namun juga dilakukan oleh kaum akademisi dan politisi borjuis yang ada di Indonesia.

Kita, kaum aktivis perjuangan kelas, mengemban tanggung jawab untuk melawan upaya-upaya kotor yang berusaha mencoreng dan menggelapkan Lenin pada khususnya dan Marxisme pada umumnya. Tidak ada cara lain selain kembali mempelajari secara rajin teori-teori Lenin dan Marxisme, membaca Tesis April, Negara dan Revolusi, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme, dan karya-karya lainnnya serta mendiskusikannya secara rutin, mengkajinya lebih jauh, dan mengaplikasikannya sebagai kompas dalam perjuangan kelas. Menyepelekan teori dan mengagungkan praktek jelas merupakan tindakan yang berbahaya. Tidak ada praktek revolusioner tanpa teori revolusioner dan tidak ada teori revolusioner tanpa praktek revolusioner. Keduanya adalah kesatuan yang tak terpisahkan. (bumirakyat)
Sebarkan Artikel Ini :
Sebar di FB Sebar di Tweet Sebar di GPlus

About Unknown

WEBSITE ini didedikasikan untuk ilmu pengetahuan dan HUMAN BEING, silahkan memberikan komentar, kritik dan masukan. Kami menerima artikel untuk dimuat dan dikirim ke kawanram@gmail.com. Selanjutnya silahkan menghubungi kami bila memerlukan informasi lebih lanjut. Salam PEMBEBASAN!
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Post a Comment

PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.