Judul:
REVOLUSI BURUH DI DUNIA BAG IX – REVOLUSI POLANDIA 1980-1981
Tahun 1980, aksi berjuta buruh Polandia jelas mendemonstrasikan betapa cepat perubahan atas segala sesuatunya. Tahun itu menjadi saksi kelahiran suatu gerakan buruh di Polandia bernama Solidarnosc, atau Solidaritas. Selama beberapa bulan, puluhan juta buruh bergabung dan meletuskan revolusi.
Sebagaimana yang terjadi di semua perlawanan buruh, selama enam belas bulan dari Agustus 1980 hingga Desember 1981, terdapat suatu persemian kreatifitas yang sebelumnya direpresi dan dilarang di saat-saat “normal” serta juga terdapat rasa gembira dan optimisme yang menyebar luas.
Galangan Kapal Lenin yang merupakan tempat kelahiran perjuangan, dijadikan tempat penyelenggaraan konser musik Chopin dan komposer musik klasik lain serta pementasan aktor-aktor lokal. Buletin-buletin mogok dibanjiri dengan sajak-sajak yang ditulis oleh buruh dan banyak tempat kerja yang menghiasi gerbangnya dengan bunga-bunga.
Andrej Wajda, seorang sutradara mengunjungi Galangan Kapal Lenin dan menyampaikan kesannya kepada para editor buletin pemogokan:
“Menyentuh, memukau, terasa seperti sesuatu yang luhur dan luarbiasa. Aku merasa bahwa aku tengah menyaksikan suatu fragmen sejarah..kau bisa merasakannya, melihatnya, menyentuhnya.”
Agustus 1980—setelah enam minggu dimana tidak ada satu hari pun tanpa suatu pemogokan di Polandia—buruh-buruh Gdansk mengambil alih sistem transportasi publik. Trem-trem dan bus-bus memasang plakat bertuliskan “Kami juga mogok tapi kami bekerja untuk membuat hidupmu lebih mudah.”
Suatu komite yang disebut MKS, dengan perwakilan-perwakilan dari setidaknya 250 tempat kerja di sekitar kota, mengorganisir suplai makanan. Merekia mulai mengawasi sistem kesehatan dan sebagai bagian memelihara tata tertib, mereka juga melarang penjualan alkohol di kota.
Anna Walentynowics, yang kriminalisasinya turut memicu gelombang mogok, adalah seorang sopir mobil derek sekaligus aktivis buruh militan kawakan di galangan kapal Gdansk. Dalam kesaksiannya dia mengatakan:
“Kami menerbitkan ijin-ijin bagi toko-toko makanan untuk dibuka kembali. Lori-lori pengantar masih dioperasikan, dan begitu pula dengan pabrik-pabrik roti. Pabrik pengalengan juga terus berjalan sehingga stok-stok ikan tidak akan terbuang. Pabrik yang memproduksi kaleng juga harus bekerja, begitupula transportasi. Para sopir mengenakan ban lengan warna merah dan putih serta bendera-bendera dikibarkan diluar pertokoan. Sebagaimana yang dikatakan Joanna Duda-Gwiazda, ‘Kita telah merebut kekuasaan di kota ini, lebih baik kita mulai mengorganisir segala sesuatunya.”
Para penguasa Polandia mengklaim kekuasaannya atas nama Marx dan Komunisme. Tampaknya buruh-buruh menerima ideologi ini—sebagaimana buruh-buruh di Barat dan Australia yang tampaknya juga didominasi oleh propaganda media.
Jadi bagaimana mungkin perlawanan ini, yang muncul berkali-kali dari kota ke kota, bisa terjadi? Sebenarnya berlawanan dengan kepercayaan yang menyebar luas baik di Timur maupun Barat, Polandia sebenarnya merupakan suatu masyarakat kelas, suatu bentuk kapitalisme negara birokratis yang bertujuan untuk mencari laba bukan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.
Karl Marx pernah bertanya “siapa yang mendidik sang pendidik” kalau buruh perlu dididik untuk membuat suatu revolusi. Dia menyatakan bahwa karena kapitalisme terus-menerus terperosok ke dalam krisis dan tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia, buruh dan kaum tertindas akan terus didorong untuk melawan para penguasa mereka demi memenangkan cara hidup yang lebih baik. Terkadang pertempuran ini berlangsung terbuka, terkadang tidak tampak sama sekali.
Dalam perjuangan-perjuangan inilah, baik perjuangan besar maupun kecl. Buruh perlu belajar pentingnya solidaritas. Mereka melihat bagaimana cara kerja tatanan masyarakat dengan lebih jelas, mereka juga mengetahui potensi-potensi yang mereka miliki sebagai kelas buruh untuk mengubah tatanan masyarakat. Perjuangan tidak saja “mendidik” buruh namun juga kita semua.
Tahun 1978 suatu kelompok akademisi, pakar, dan manajer yang mendapatkan persetujuan rezim mengindikasikan bahwasanya suatu krisis tengah terjadi di Polandia. Mereka menulis “kecemburuan dan kedengkian yang telah menumpuk dan menggumpal di benak publik.”
Namun tidak seorangpun, termasuk mereka yang terlibat dalam kerja oposisi ilegal, siap menyambut perlawanan yang meletus setelah rezim mengumumkan kenaikan harga barang-barang pada 1 Juli 1980. Rezim menganggap bahwa mereka bisa mengatur untuk menghindari pemogokan-pemogokan dengan cara memberikan kenaikan upah pada seksi-seksi terkuat dari kelas buruh.
Bagaimanapun juga kali ini protes-protes menentang kenaikan harga pangan memicu bangkitnya gerakan revolusioner yang membentuk suatu visi tentang masyarakat bebas.
Suatu kelompok kecil buruh berhimpun di sekitar suatu koran bernama Buruh Pelabuhan, dengan sejumlah intelektual dalam Komite Pertahanan Buruh (KOR).
Mereka merespon kriminalisasi terhadap Anna Walentyonowicz dengan cara mengorganisir pendudukan galangan kapal Lenin dan menyerukan pemogokan di seluruh penjuru Gdansk. Suatu komite mogok yang dipilih oleh para buruh kemudian merumuskan tuntutan-tuntutan atas suatu serikat buruh yang bebas, kebebasan informasi dan berpendapat, bebaskan tahanan politik dan pekerjakan kembali buruh-buruh yang dipecat.
Saat tiga hari kemudian mereka ditawari suatu persetujuan dan pertimbangan untuk kembali kerja, buruh-buruh transporrasi menyatakan bahwa mereka mendukung para buruh galangan kapal dan memutuskan tidak merima apapun. Para sopir trem yang bersolidaritas dengan gerakan secara keseluruhan juga menolak kenaikan upah, yang nilainya terbesar dalam seumur hidup mereka, yang pernah ditawarkan. Maka berlanjutlah pemogokan galangan kapal.
Kemungkinan Sosialisme
Ini merupakan permulaan gerakan massa yang disebut Solidarnosc. Gdansk merupakan tempat kelahiran MKS—Komite Mogok Antar Perusahaan—serta organisasi-organisasi serupa di seluruh negeri.
Organisasi ini bukan produk teori apapun. Organisasi ini muncul murni dari kebutuhan buruh untuk mengorganisir dan mengonsolidasikan perjuangan, untuk menyediakan pangan dan menyebarkan informasi untuk menangkal misinformasi dan ancaman-ancaman rezim.
Buruh-buruh Polandia membentuk organisasi yang sama yang pernah muncul di Rusia pada tahun 1905 dan 1917, serta di setiap saat buruh menantang hak para penguasa untuk berkuasa—dewan-dewan buruh, yang menyediakan landasan tatanan masyarakat baru untuk dibangun.
Pengalaman praktis perjuangan buruh sendiri inilah yang menunjukkan kemungkinan sosialisme, bukan teori akademis kering yang seolah-olah dibayangkan dalam kepala Marx.
Seluruh penjuru Polandia turut dilanda pengalaman Gdansk.
Buruh-buruh tertentu mendapatkan kenaikan upah 20% dengan begitu mudah. Namun hal ini memicu buruh-buruh lain untuk mogok juga, termasuk sekitar 14.000 buruh traktor Ursus di Warsawa. Pemogokan-pemogokan menjalar ke stasiun-stasiun trem, pabrik-pabrik baja, pabrik-pabrik kaca, dan pabrik-pabrik tekstil yang melanda satu kota ke kota lain hingga daerah pertambangan Silesia.
Kaum perempuan di lima pabrik tekstil di Zyrardow meluaskan tuntutan-tuntutan mereka dari kenaikan upah ke hal-hal seperti pemotongan jumlah majikan di pemintalan. Suatu tuntutan merakyat menuntut tunjangan keluarga yang sama besarnya dengan yang dinikmati polisi keamanan.
Sedangkan di Lublin, buruh-buruh menduduki pabrik-pabrik truk serta memulai suatu pola menuntut kenaikan upah bagi mereka yang upahnya paling rendah. Mereka juga menambahkan tuntutan seperti penutupan toko-toko “komersil” yang melayani orang kaya serta hak kebebasan pers ke dalam daftar tuntutan mereka yang semakin banyak.
Pemogokan empat hari dikobarkan oleh para buruh rel dan kereta yang memblokade jalur utama ke Rusia dengan lokomotif-lokomotif. Mereka menuntut hari libur di hari sabtu (dimana mereka tidak perlu bekerja) serta agar serikat-serikat buruh “tidak menerima perintah dari atas.”
Pemogokan menjalar ke sopir-sopir bus, buruh-buruh pabrik kimia, pabrik roti, serta rumah sakit, dan sebagainya. Saat buruh-buruh dari Siedlce dikirim untuk mengambilalih pekerjaan buruh-buruh rel dan kereta yang mogok, mereka langsung balik pulang saat mendengar isu pemogokan demikian.
Saat koran setempat mengancam akan terjadi invasi Rusia (ancaman umum yang muncul saat buruh-buruh berontak di Eropa Timur), buruh-buruh percetakan sontak langsung menghentikan penerbitannya.
Metode-metode perjuangan mencerminkan pelajaran-pelajaran yang mereka pelajari dari perlawanan-perlawanan lebih awal. Alih-alih membuat kerusuhan di jalanan dimana mereka bisa ditembaki dengan mudah, aksi-aksi pendudukan jadi lebih populer. Hal ini pada gilirannya melahirkan psat-pusat pengorganisiran yang hidup di tempat-tempat kerja.
Peristiwa-peristiwa serupa terjadi di seluruh Polandia. Pertengahan Oktober saja sudah terjadi pemogokan di 4.800 perusahaan terpisah dan jumlahnya masih terus meningkat.
Teknologi modern yang dulunya digunakan untuk menindas buruh akhirnya direbut dan digunakan buruh untuk kepentingan perjuangannya. Buruh-buruh di pabrik-pabrik besar bersikeras bahwa negosiasi-negosiasi antara perwakilan-perwakilan mereka dengan para manajer harus disiarkan melalui sistem interkom. Tuntutan keterbukaan ini bahkan meningkat lebih jauh di Bielsko-Biala pada Januari 1981, dimana negosiasi-negosiasi disambungkan melalui jaringan telepon nasional!
Saat seruan demonstrasi muncul, suatu guyonan beredar di Warsawa: “Mereka yang tidak mogok tidak boleh makan daging”—suatu referensi terhadap daging yang didistribusikan ke pusat-pusat militan.
Kepercayaan diri kelas buruh yang semakin tumbuh serta ketakutan dan kesewenangan yang semakin menyebar diantara kelas penguasa, tercerminkan dalam fakta bahwa buruh-buruh mengeluarkan para pasien rumah sakit jiwa dan kasur-kasur mereka diisi dengan para birokrat.
Sebagaimana yang dikatakan Marx, kelas buruh telah menjadi pemimpin bangsa. Terinspirasi Solidarnosc, aksi-aksi pendudukan mahasiswa melanda negeri dan tuntutan-tuntutan untuk mengakui serikat-serikat mahasiswa independen muncul, Solidarnosc Mahasiswa.
Para tahanan di kebanyakan penjara mengorganisir kelompok-kelompok Solidarnosc dan berunjukrasa menuntut kondisi-kondisi yang lebih baik. Kelompok-kelompok lain yang juga bergerak adalah, para penghuni rumah susun, kaum ekologis, filatelis, jurnalis, seniman, aktor, dan penulis.
Antrian diluar pertokoan kemudian mendirikan sistem swa-kelola untuk memprioritaskan kaum lanjut usia dan orang yang memiliki anak-anak serta menjalankan negosiasi-negosiasi dengan para manajer untuk perlakuan yang adil.
Upaya untuk mengorganisir suatu Solidarnosc tani kemudian menjadi titik balik perkembangan. Maret 1981, di Bydgoszcz, aktivis-aktivis Solidarnosc dipukuli sampai babak-belur oleh 200 polisi dan 27 diantaranya sampai dilarikan ke rumah sakit setelah suatu pendudukan tampaknya hampir memenangkan hak bagi Solidarnosc Tani.
Ini merupakan kali pertama pecahnya kekerasan dalam kebangkitan revolusioner, meskipun hal ini bukan yang terakhir—semua ini muncul bukan dari gerakan buruh yang mengarah pada pembangunan tatanan dunia bebas yang baru namun dari mereka yang gelap mata frustasi ingin mempertahankan sistem membusuk yang masih berlaku.
Rezim penguasa menghantam gerakan pembebasan inspiratif dan kreatif ini pada Desember 1981. Bagaimanapun juga visi yang dimunculkan oleh kelas buruh Polandia tetap merupakan suatu wasiat yang menunjukkan kemungkinan sosialisme dan mengonfirmasikan padangan Marxis bahwasanya kelas buruh bisa dan harus memimpin perjuangan yang diperlukan.
Buruh-buruh Polandia menghabiskan Natal 1981 dengan berkabung meratapi ratusan orang yang tewas ribuan orang yang dipenjara, yang mana semuanya adalah orang yang mereka sayangi, namun berakhir dipukuli, ditembaki, dan dipenjara oleh para polisi dan tentara.
Gerakan ini hancur. Namun adakah kemungkinan mereka menang sebelumnya?
Tidak pernah ada jaminan namun Solidarnosc bisa saja meningkatkan kesempatan-kesempatan mereka untuk menyelamatkan diri dari represi dan pemburuan rezim.
Saat para aktivis mereka dipukuli di Bydgoszcz pada bulan Maret kalau saja Solidarnosc terus menjalankan pemogokan total yang sebelumnya mereka rencanakan maka mereka sudah pasti akan mengirimkan pesan keras kepada rezim penguasa bahwa mereka tidak bisa diintimidasi. Pemogokan akan semakin menumbuhkan rasa kepercayaan diri dan mengembangkan organisasi di akar rumput.
Namun sebaliknya, akibat terpengaruh gagasan revolusi “membatasi dirinya sendiri”, para pimpinan takut bergerak terlalu jauh dan kemudian malah menerima kesepakatan busuk untuk membatalkan pemogokan yang sebelumnya sudah direncanakan dan disepakati. Tes pertama ini berakibat pada kekecewaan yang meluas diantara buruh dan menurunnya tingkat aktivitas dan komitmen.
Para pimpinan yakin bahwa mereka hanya sekedar perlu untuk mereformasi Partai Komunis yang berkuasa dan mengabaikan kekuasaan badan-badan bersenjata negara serta peran Gereja.
Jadi saat para prajurit yang jadi prajurit karena wajib militer (sebagian besar dari keluarga buruh dan tani) menolak masa perpanjangan, Solidarnosc tidak memobilisasi diri untuk mendukung mereka. Mereka juga tidak memobilisasi dukungan dan dprongan saat polisi menuntut Solidarnosc mereka sendiri. Peluang-peluang vital untuk melemahkan kekuatan para perwira angkatan bersenjata lewat sudah. Saat kemudian mereka diperintahkan untuk menembak, perintah itu kemudian ditaati.
Tak satupun kata yang mengkritisi atau memperingatkan peran Gereja yang bermanuver merayu para anggota Solidarnosc sembari di saat yang bersamaan membela rezim penguasa. Saat bentrokan muncul, pihak Gereja malah menyeru jangan melawan “saudara-saudara Polandia” mereka malah semakin memperkeruh kebingungan.
Kalau saja Solidarnosc lebih siap menghadapi benturan maka para buruh akan semakin yakin untuk berjuang dan berlawan—dan ya, memang masih akan ada pertumpahan darah. Bagaimanapun juga, kalau tentara dan polisi terpecah, maka tekad di pihak buruh akan memainkan peranan penting dalam mengubah perimbangan kekuatan, serta kemenangan Solidarnosc pasti tetap akan memungkinkan.
Perlunya Organisasi Revolusioner
Saat revolusi tampak tidak akan terjadi, proyek membangun suatu organisasi sosialis tampaknya tidak masuk akal bagi banyak orang.
Namun seandainya di tahun 1981 ada suatu organisasi revolusioner yang cukup besar di Barat, maka organisasi itu akan bisa mempengaruhi hasil yang terjadi. Suatu minoritas signifikan para aktivis menentang para pimpinannya. Namun mereka masih meraba-raba dalam gelap untuk mencara pegangan dan pemahaman teori agar bisa mendapat kepercayaan dan kemampuan untuk mengorganisir dalam Solidarnosc agar bisa membangun militansi yang berkali-kali ditunjukkan oleh para anggotanya.
Acap kali insting buruh akan mendorongnya untuk membalas dengan aksi-aksi pemogokan lagi dan lebih banyak aksi radikal saat mereka menghadapi ancaman dari rezim penguasa. Di pucuk pimpinan Solidarnosc, mereka dikelilingi oleh para “penasehat” yang seharusnya lebih terdidik dan lebih bijak dari buruh pada umumnya namun kenyataannya malah menyatakan untuk mundur.
Kaum intelektual di KOR melaporkan betapa kagetnya mereka saat menyaksikan militansi dan radikalisme buruh yang muncul berkali-kali.
Keberadaan suatu organisasi revolusioner yang bisa mendorong para buruh untuk mempercayai insting alami mereka alih-alih para pimpinan dan intelektual yang percaya bahwa tatanan masyarakat totaliter bisa disembuhkan, jelas akan menyumbang pengaruh dan hasil yang berbeda.
Seorang revolusioner sosialis di Ingris, Colin Barker, menyimpulkan tragedi kegagalan kaum kiri di Barat:
“Kekuatan kita terlalu kecil, suara kita terlalu lemah, kita tidak mampu memberikan dukungan material dan intelektual yang dibutuhkan oleh para buruh Polandia…Kita tidak memimpin satupun pemogokan di belahan dunia manapun untuk mendukung Solidarnosc; kita tidak bisa menghajar satupun bankir Barat uang mencekik ekonomi Polandia dengan keserakahannya atas suku bunga, kita hanya bisa mengirimkan satu paket fotocopyan dokumen-dokumen dengan staples padahal yang diperlukan adalah bergerbong-gerbong kereta propaganda.”
Kata-kata ini—dan semua peristiwa yang dirangkum di pamflet ini merupakan suatu dorongan bagi kita untuk membangun suatu organisasi revolusioner disini dan saat ini pula. Tidak peduli betapa tidak kondusifnya keadaan yang tempak berlaku, sudah merupakan tugas mendesak dan kepentingan vital bagi kita untuk bersiap di waktu berikutnya buruh berlabuh di atas perjuangannya yang hebat.
--------------------------------------------------
Ditulis oleh Tess Lee Ack sebagai bab III dari pamflet “Workers Revolutions of The 20th Century – A Socialist Alternative Pamphlet. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan ulang oleh Bumi Rakyat juga di weblog MerdekaFiles ini.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.