BREAK
Loading...

Pengantar Pokok-Pokok Materialisme Historis (3)


Pengantar Pokok-Pokok Materialisme Historis (3)

Proses-proses yang saling bertentangan tersebut sekarang bisa dianggap sebagai bagian dari obyek yang sedang berkembang dan mengatur dirinya sendiri. Hubungan antara proses stabilisasi dengan proses destabilisasi menjadikan keduanya sebagai obyek kepentingan, dan obyek aslinya/awalnya nampak sebagai suatu sistim, suatu jaringan umpan-balik positif dan umpan-balik negatif.

Umpan-balik negatif lebih gampang dimengerti. Bila tekanan darah binatang meningkat, sensor pada ginjalnya akan mendeteksinya dan akan menggerakan proses-proses yang akan mengurangi tekanan darah. Bila komoditi diproduksi lebih banyak ketimbang yang bisa dijual, harga komoditi tersebut akan jatuh, dan kelebihannya akan dijual murah sehingga produksinya diturunkan lagi; jika barang kurang, harga akan naik, dan akan merangsang peningkatan produksi. Dalam setiap kasus, status tertentu sesuatu akan menegasikan dirinya dalam konteks sistem tersebut, dan akan menambahkan sesuatu ke dalam dirinya, yang kemudian akan mendorong proses untuk mengurangi sesuatu dalam dirinya dan memelihara integritas sistim. Tetapi sistem juga berisi umpan balik positif (destabilisasi): tekanan darah tinggi mungkin akan merusak struktur pengukur-tekanan, sehingga tekanan darah disepelekan (tak bisa diukur) dan mekanisme penstabilisasi (homeostatic) itu sendiri akan meningkatkan tekanan darah; over produksi bisa menyebabkan pengurangan tenaga kerja, yang akan mengurangi daya beli dan karenanya akan meningkatkan kembali surplus relatif.

Sistem yang nyata mengandung jalan pemandu bagi umpan-balik positif maupun umpan-balik negatif. Umpan-balik negatif merupakan prasyarat bagi stabilitas; kelangsungan suatu sistem mensyaratkan jalan pemandu yang dapat menegasikan dirinya. Tapi umpan balik negatif bukan lah jaminan bagi stabilitas dan, di bawah situasi/lingkungan tertentu—umpan-balik positifnya lebih kuat atau jika umpan-balik negatif (tidak langsung) tak cukup kuat untuk mempengaruhi variabel-variabel—sistem tersebut akan menjadi tidak stabil. Karena itu lah, syaratnya sendiri merupakan penyebab negasi yang memenuhi syarat. Jadi, sistem-sistim bisa mengasikan dirinya (status A mengarahkan kita pada pernyataan bukan-A) atau, demi kelangsungannya, tergantung pada apakah sistim tersebut bisa atau tidak menghasilkan proses-proses yang dapat menegasikan dirinya

Stabilitas atau kelangsungan suatu sistem tergantung pada kesimbangan umpan-balik negatif atau umpan-balik positif tertentu, tergantung pada parameter-parameter yang mengatur tingkat proses-proses yang ditelikung oleh batas-batas tertentu (yang pasti). Tapi parameter-parameter tersebut, walaupun bila dilihat dalam model matematika dianggap konstan, merupakan obyek-obyek nyata duniawi yang, pada dirinya sendiri, mengandung subyek perubahan. Akhirnya, beberapa parameter tersebut akan bergerak melewati ambang-batas yang menyebabkan sistim awalnya/aslinya tak mampu lagi bertahan sebagaimana seharusnya/sebelumnya. Keseimbangannya kemudian porak poranda. Sistim tersebut mungkin akan memiliki fluktuasi yang lebih luas dan lebih luas lagi hingga menghancurkannya, atau bagian-bagiannya, yang hanya bisa bermakna dalam suatu keseluruhan tertentu, kehilangan identitasnya sebagai bagian-bagian dan melahirkan suatu kwalitas sistem yang baru. Selanjutnya, perubahan-perubahan pada parameter tersebut bisa saja merupakan konsekwensi dari sistim yang berperilaku stabil, yang merupakan syarat pertamanya.

Dunia cara pandang dialektis menyimpulkan bahwa tak ada satu sistem pun yang samasekali statis, walaupun beberapa aspeknya bisa saja sedang berada pada ekuilibrium dinamik. Perubahan kwantitatif yang terjadi dalam (kelihatannya) kestabilan (stabilitas) tetap akan melampaui batas-batas yang dapat mentransformasikan perilaku kwalitatifnya. Semua sistem menegasikan dirinya dalam jangka waktu yang panjang, sementara, kelangsungan jangka pendeknya tergantung pada status penegasian dirinya secara internal.

Penegasian-diri bukanlah sekadar suatu kemungkinan abstrak yang diberi alasan: universalitas perubahan. Kita harus menelitinya secara reguler pada alam dan masyarakat. Kelahiran monopoli bukan lah merupakan hasil dari pembatasan “perusahaan bebas” tapi sebagai konsekwensi keberhasilan pasar bebas; itu lah sebabnya peraturan yang menolak penggabungan perusahaan (anti-trust) dan peraturan pro-persaingan gagal. Pembebasan hamba dari belenggu tanah feodal juga bermakna adanya kemungkinan mereka digusur dari tanahnya; kebebasan pers dari pengawasan politik oligarki feodal selanjutnya bermakna kebebasan pers oligarki baron-baron kapitalis untuk mengawasi debat-debat dan informasi politik. Proses-proses penegasian-diri sistim kapitalisme seringkali menunjukkan kenyataan yang ironis, karena realisasi tujuan-tujuan idealnya membongkar maksud-maksud mereka sebenarnya yang menghasilkan kenyataan yang sebaliknya.

Aspek kedua kontradiksi adalah saling-penetrasi dari (yang penampakannya seperti) kategori-kategori eksklusif yang saling berbalasan. Satu tahap yang diperlukan dalam pekerjaan teoritis adalah membuat garis yang tegas. Tapi kapanpun kita memilah sesuatu menjadi yang eksklusif saling berbalasan dan menggabungkan semua kategori, maka hasilnya: ia akan keluar dari statusnya semula dan mendapatkan pengujian selanjutnya untuk melihat hasil interpenetrasi dari unsur-unsur yang saling bertentangan tersebut (yang dipilah-pilah tadi). Jadi, sekilas, nampaknya proses-proses yang “deterministik” (dibutuhkan) dan “random” (kesempatan) memperbanyak kategori-kategori eksklusif yang saling berbalasan. Yang pertama menyiratkan keteraturan dan regularitas, sedangkan yang kedua menyiratkan ketiadaannya. Tapi proses-proses yang sepenuhnya deterministik bisa menghasilkan proses-proses yang nampaknya acak. Sebenarnya, nomor-nomor acak yang digunakan dalam simulasi komputer mengenai proses acak dihasilkan oleh proses deterministik (operasi-operasi aljabar). Dalam dekade terakhir ini, para ahli matematika menjadi begitu tertarik pada apa yang disebut dengan gerak kaostik, yang mengarah bukan pada ekuilibrium ataupun gerak periodik regular tapi pada pola yang kelihatannya acak. Dalam sistim-sistim dengan kompleksitas tinggi, kemungkinan atau probabilitas ekuilibrium stabil mungkin sangat tipis/kecil jika sistimnya tidak dirancang untuk stabilitas. Hasil yang lebih umum adalah gerak kaostik (goncangan) atau gerak periodik dengan periode-periode yang (sepanjang itu) tidak berulang bahkan selama interval panjang pencaharian/observasi, jadi kelihatannya acak.

Kedua, proses-proses acak bisa membuahkan hasil deterministik. itu lah yang menjadi basis bagi prediksi-prediksi mengenai jumlah kecelakaan lalu-lintas atau tabulasi kalkulasi statistik. Proses-proses acak menghasilkan, dalam beberapa frekwensi, ditribusi kosekwensi. Frekuensi distribusi itu sendiri tergantung pada beberapa parameter, dan perubahan-perubahan pada parameter tersebut benar-benar menentukan efek pada distribusi. Jadi, distribusi, sebagai obyek studi, bersifat deterministik meskipun ia merupakan hasil dari berbagai peristiwa acak.

Ketiga, sedikit saja ambang-batas yang memisahkan berbagai bidang fenomena kwalitatif dilewati, bisa menyebabkan efek yang besar. Jika perubahan kecil tersebut berasal dari bawah, yakni dari level pengorganisasian materi yang kurang kompleks, maka sulit untuk untuk memperkirakannya; dan bila dilihat dari perspektif pengorganisasian yang lebih tinggi, maka akan lebih kompleks. Secara umum, pengaruh berbagai peristiwa dari satu level ke level yang lainnya nampak seperti acak.

Kontradiksi juga bermakna koeksistensi atau keberadaan bersama berbagai prinsip yang saling bertentangan (lebih benar ketimbang proses-proses yang saling bertentangan) yang, secara bersamaan, memiliki implikasi atau konsekwensi yang berbeda dibandingkan jika sendiri-sendiri. Komoditi, contohnya, mengandung kontradiksi antara nilai-pakai dengan nilai-tukar (yang secara tidak langsung terlihat pada harga, atau dalam “nilai-nilai moneter” nya). Jika obyek-obyek diproduksi sekadar untuk memenuhi kebutuhan manusia, kita bisa berharap bahwa barang-barang yang berguna saja yang lebih banyak diproduksi ketimbang barang-barang yang tak berguna, dan kita bisa berharap obyek-obyek dan metode-metode produksi dirancang sedemikian rupa sehingga meminimalkan kerusakan dan bahaya, serta memaksimalkan daya-tahan/keawetan (dan bisa diperbaiki kembali). Jumlah produksi akan disesuaikan dengan yang dibutuhkan; merendahnya tingkat kebutuhan memberikan waktu luang yang lebih banyak (untuk bersenang-senang) bagi orang yang terlibat secara langsung dalam memproduksinya atau memproduksi obyek-obyek lain. Jika suatu obyek sudah samasekali tak memiliki nilai-pakai, tentu saja, benda tersebut tidak akan bisa dijual; karena nilai pakai lah yang memungkinkan nilai-tukar ada. Tapi prospek nilai-tukar seringkali menyebabkan komoditi diproduksi bertentangan dengan kebutuhan manusia, yang sebenarnya harus lebih didahulukan. Komoditi akan diproduksi, misalnya, untuk orang yang mampu membelinya, dan prioritas produksi akan lebih mendahulukan komoditi yang akan memberikan batas keuntungan lebih besar. Inovasi-inovasi produksi, yang akan memungkinkan produksi komoditi menjadi lebih mudah dan lebih murah malah melahirkan pengangguran atau kesehatan yang buruk pada buruh dan konsumen. Jadinya, malahan, proses untuk memenuhi kebutuhan manusia menghasilkan barang-barang yang nilai-tukarnya menyebabkan kurang dipenuhinya pemuasan kebutuhan tersebut.

4. Sejarah Manusia dan Sejarah Alam

Perbedaan antara dunia cara pandang dialektika materialis dengan reduksionis sangat jelas terlihat ketika—secara radikal berbeda pendekatan—dalam menjawab masalah hubungan antara sejarah manusia dan sejarah alam. Cara pandang reduksionis menganggap absolut kontinuitas antara evolusi pra-manusia dan manusia. Reduksionis, sebagaimana juga determinis biologis, memandang masalah-masalah manusia sebagai hasil langsung dari pola biologis yang terbentuk pada masa lalu, yang telah menciptakan hakikat manusia yang baku, tetap (dikiranya hakikat tersebut memang ada dalam jen kita), yang menentukan tingkah laku dan organisasi sosial kita—hingga, tega-teganya, pola tingkah laku dan organisasi sosial yang menjadi ciri masyarakat borjuis dipamerkan sebagai sesuai dengan hakikat manusia yang baku, yang tetap, tersebut.

Bagi Marxis, evolusi dari pra-manusia hingga menjadi manusia mensyaratkan dua hal: kontinuitas dan diskontinuitas. Marx menekankan bahwa sejarah manusia merupakan bagian dari sejarah alam. Maksudnya, bahwa makhluk manusia adalah bagian dari alam dan, seperti binatang lainnya, agar bisa hidup, ia harus berinteraksi dengan alam. Tapi manusia berbeda dengan binatang lainnya dalam cara manusia berinteraksi dengan alam untuk mempertahankan dirinya. Manusia menggunakan tenaga kerjanya, yakni, ketika bekerja besama memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidupnya. Dalam hal itu, manusia memberi contoh tentang diskontinuitas dalam sejarah alam—maksudnya, muncul lah level baru pengorganisasian materi yang secara kwalitatif berbeda dibandingkan dengan bentuk-bentuk kehidupan binatang, yakni, kehidupan sosial. Tenaga kerja menyebabkan diskontinuitas kemanusiaan dengan alam dan juga menyebabkan kontinuitasnya dengan alam. Menurut Marx:

Tenaga kerja, di atas segalanya, merupakan suatu proses antara manusia dengan alam, suatu proses yang membuat manusia, melalui tindakan-tindakannya, memediasikan, mengatur dan mengontrol metabolisme antara dirinya dengan alam. Manusia berhadapan dengan materi-materi alam sebagai kekuatan alam. Manusia mempengaruhi/mengolah/mengatur kekuatan-kekuatan alam yang menjadi milik tubuhnya, lengannya, kakinya, kepalanya dan tangannya, dalam rangka menyesuaikan materi-materi alam dalam bentuk yang adaptatif terhadap kebutuhannya. Melalui gerak tersebut, manusia bertindak menghadapi alam di luar dirinya dan merubahnya, dan dengan cara tersebut manusia sekaligus merubah hakikat atau alam dirinya. (5)

Itu lah jawaban bagi masalah mendasar saat Marx dan Engels memulai studi mereka tentang masyarakat manusia: bagaimana kah perubahan jeneral yang memungkinkan dalam masyarakat manusia? Mereka menemukan pemecahannya dalam interelasi produktif (yang aktual dan praktis) antara manusia dengan alam yan,g tak bisa disangkal lagi, merupakan proses-hidup kemanusiaan, baik secara individual maupun secara kolektif, yang melibatkan interaksi konstan antara manusia dengan alam guna memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidupnya.

Dalam tindakan maupun fakta produksi, Marx dan Engels memandang, seperti juga mungkin orang-orang, bahwa humanitas tidak saja mampu, akan tetapi juga melakukan, terlibat dalam proses universal redistribusi materi dan gerak. Dengan demikian manusia menunjukkan hubungan materialnya dan ketergantungannya pada alam—tapi juga, karenanya, manusia juga merubah alam, yang sedikit banyak sesuai dengan keinginan dan hasratnya. Hal itu bukan saja menunjukkan “kesatuan” antara manusia dengan alam, tapi juga perbedaan dialektisnya dari alam, dalam tindakan ataupun fakta pertentangan produktifnya terhadap alam sebagai bagian dari kekuatan alam itu sendiri. Juga: hal tersebut menunjukkan hakikat produksi perubahan, pergeseran, dan formasi-formasi materi baru, yang tidak lagi bersifat majis dan misterius dibandingkan bila dilihat dari aktivitas produksi manusia; dan, juga, kekuasaan produksi manusia tidak lagi “menakjubkan” dibandingkan dengan kekuasaan produksi yang dimilik alam.

Pendekatan tersebut, yang diterapkan pada “teka-teki dunia” yang sudah begitu lama tak bisa dipecahkan—yaitu asal-usul manusia, asal usul pemikiran—memberikan suatu konsepsi yang begitu revolusioner dan sangat jauh-jangkauan kedalamannya. Namun penemuan tersebut begitu mudahnya dilupakan—-dan semua yang mengkritik Marx dan Engels, serta 99 % yang “menyederhanakan” Marxisme, benar-benar melupakannya.

Ilmu-pengetahuan alam telah menetapkan bahwa keseluruhan materi dan gerak di alam semesta ini merupakan suatu kuantitas konstan. Tapi fakta yang begitu kokoh tentang keseluruhan materi dan gerak di alam semesta ini hanya lah terdiri dari sisi konservatif dalam memandang kebenaran dan (namun) memiliki sisi revolusioner—yang berpendapat bahwa fakta bentuk-bentuk materi, dan gerak (termasuk kemanusiaan itu sendiri) bisa berubah, mampu bertransformasi secara radikal, dan itu setelah memenuhi prakondisi yang dibutuhkan, yang dilakukan oleh manusia. “Kesatuan” alam semesta dibuktikan bukan oleh eksistensi abstraknya, tapi oleh kemampuan berubahnya yang kongkrit dan spesifik.

Pengakuan terhadap kesatuan material alam semesta tidak diraih dengan mengabaikan berbagai perbedaan bentuk materi dan gerak: hal itu ditunjukkan oleh praktek alam maupun kemanusiaan—yang menunjukkan perbedaan-perbedaan tersebut tidak bersifat “akhir” tapi bisa berubah, yang merupakan produk bersyarat dari interaksi material spesifik. Itu juga tidak diraih dari evolusionisme abstrak reduksionisme borjuis yang menganggap semua perubahan merupakan pergeseran yang tak terbatas sehingga bisa diabaikan dan disangkal keberadaannya. Hal tersebut diraih melalui pengakuan bahwa segala hal di alam semesta ini merupakan produk suatu proses tak terbatas dari interaksi yang dialektis. Hanya melalui konsep seperti itu lah kemanusiaan, termasuk proses pemikiran dan kemajuan sejarahnya, bisa dibawa ke dalam suatu kesatuan konsepsi tentang alam semesta.

Adalah benar, bila dirinya (kesadaran setiap orang akan eksistensinya) dan yang bukan dirinya (pengakuan terhadap eksistensi suatu dunia yang berada di luar kesadaran individu sesorang) dikatakan sebagai sesuatu yang telah “akhir”—sepanjang bermakna bahwa mereka dan hubungan mereka yang saling bertentangan merupakan prasyarat dari seluruh pengalaman manusia. Tapi adalah benar juga, dan bahkan secara signifikan jauh lebih revolusioner, fakta bahwa setiap tindakan praksis manusia menghasilkan bukan hanya perubahan obyektif, tapi juga pergeseran subyektif “pengalamannya.” Di situ lah pula letak fakta yang bisa menghancurkan agnotisisme (6) yang merasuk pada filsafat borjuis saat harus menjawab pertanyaan apakah pikiran kita sudah tepat merefleksikan realitas obyektif, yang mencurigai bahwa pikiran manusia paling banter/benar juga hanya bisa “menggambarkan” dan “mensimbolisasi” realitas obyektif. Praktek, dan khususnya kerjasama sosial dalam praktek-memproduksi, merupakan sumber yang menggerakan/menghasilkan kesadaran diri, dan juga merupakan sumber yang menggerakan interelasi yang tak bisa dipisah-pisahkan antara dirinya dan bukan dirinya. Manusia tak perlu “membuktikan” logika eksistensi dirinya dan bukan dirinya; keduanya dibuktikan secara simultan, sekaligus, dan dalam persinggungan antara tindakan dengan fakta praktis—terutama sekali praktek produksi.

Alam semesta bukan lah satu keseluruhan yang “terakhir”, tapi penggandaannya yang serta merta dan kongkrit menunjukkan suatu kemampuan untuk berubah dan bertransformasi; bukan kemanusiaan itu yang, karena keberadaan materialnya, menjadi satu dengan alam semesta, tapi kemanusiaan lah yang, karena merupakan materi dalam materi alam semesta, yang bisa berpartiispasi dalam proses universal perubahan dan trasformasi dan, dengan melakukannya, ia, dalam kombinasi/penggabungan sosial, bisa menggunakan alam semesta sedikit banyak sesuai dengan keinginannya—itu lah fakta revolusioner yang mendasari konsepsi Marx dan Engels dalam memahami sejarah manusia.

Marx dan Engels tidak jatuh pada kesalahan kaum “obyektifis” (yang sesungguhnya adalah kaum kontemplasionis) yang bertitik-tolak pada anggapan bahwa manusia adalah makhluk biologis dan menelusuri evolusinya sejak titik-berangkat hingga sekarang dengan asumsi yang menduga-duga. Sebagaimana analisanya terhadap ekonomi kapitalis, Marx memulainya dengan relasi esensial yang ada sekarang—yakni komoditi—dan mendapatkan di dalamnya, setelah menganalisanya, semua relasi-relasi mendasar masyarakat borjuis; Marx dan Engels juga mendapatkan titik berangkat yang logis bagi analisa ilmiah tentang masyarakat manusia dan perkembangannya tidak dengan cara menduga-duga jalur masa lalunya, tapi dengan menguji relasi esensial masyarakat yang ada sekarang.

Keberadaan manusia (sebagai satu makhluk biologis) dapat “dijelaskan”—kurang lebih—dengan bantuan fakta bahwa manusia ternyata dikembangkan oleh alam sebagai satu makhluk yang berbeda. Tapi hal itu saja tidak menjelaskan mengapa manusia bisa maju melebihi tahapan seperti itu. Untuk menemukan suatu fakta yang tidak dapat disangkal lagi, yang bisa mendasarinya, tidak lah sekadar menyandarkan diri pada teori yang mengatakan bahwa masyarakat itu bisa be/dirubah, tapi teknik praktis lah yang bisa membawa perubahan tersebut, sehingga menjadi tidak relevan untuk memalingkan perhatian pada fakta bahwa apa yang sekarang disebut manusia pernah dulunya (bila dilihat di diri pada nenek moyang zaman purba) belum menjadi manusia. Suatu fakta yang tersedia untuk merubah masa sekarang harus ditemukan secara nyata dari yang tersedia sekarang ini. Fakta yang memadai untuk memahami eksistensi masyarakat sepanjang tahap-tahap perkembangannya harus ditemukan pada semua tahap sejarah manusia. Lebih dari itu, harus lah suatu fakta yang sedemikian rupa yang didapatkan dari hakikat dirinya yang mengalami perubahan secukupnya sehingga bisa dikenali, sebagaimana juga eksistensi masyarakat manusia, harus lah diketahui tahap-tahap perubahannya—dalam semua penggandaan historisnya—yang dialami dialami masyarakat.

Fakta apa yang secara aktif beroperasi di seluruh periode sejarah manusia? Fakta yang begitu kuat sehingga bisa menahan orang dalam interelasi permanen bahkan saat perbedaan-perbedaan hasrat masing-masing sudah melayang ke tenggorokan orang lain? Hanya ada satu fakta seperti itu—fakta ketergantungan bersama terhadap produksi material.

Tapi Marx dan Engels tidak menganggap masyarakat sebagai kontinuitas sederhana. Mereka juga memperhatikan, baik secara khusus maupun secara praktis, diskontinuitasnya, lompatan tiba-tibanya—dari suatu tahap eksistensi ke tahap eksistensi lainnya. Lompatan-lompatan tersebut—yang membuat gusar kaum “evolusionis” dan kaum “gradualis”, yang berusaha menyangkal bahwa lompatan-lompatan tersebut berada di luar eksistensinnya—bukan saja merupakan hal-hal yang harus dijelaskan; lompatan-lompatan tersebut merupakan bentuk realitas (yang keluar dari pusatnya) dan tanda-tanda yang bisa dilihat yang bisa menunjukkan bahwa kemajuan sejati sudah, faktanya, bisa dicapai, bahwa bentuk-bentuk baru masyarakat bisa, dan sudah, nyata-nyata ada. Dan, bahwa keinginan untuk merubah dunia memiliki pembenaran obyektifnya.

Konsepsi sejarah yang diajukan Marx dan Engels guna menjelaskan sebab-sebab mendasar evolusi sosial hingga berbentuk produksi manusia/sosial, sudah sangat dikenali. Apa yang belum dikenal atau dihargai dengan baik adalah bahwa konsepsi sejarah materialis-dialektis bukanlah sekadar teori evolusi sosial tapi teori revolusi sosial, yang bisa menjelaskan bagaimana manusia bisa merubah kehidpan sosialnya secara progresif demi memuaskan kebutuhan material dan kebudayaannya.

***

Segala hal yang membedakan manusia, apakah sebagai pembuat-perkakas kerja, atau dari bicara dan pemikirannya, hingga kemenangannya yang paling akhir, yakni, bisa berkesenian, memiliki ilmu-pengetahuan dan teknologi, merupakan produk aktivitas kolektif kita sepanjang jutaan tahun yang lalu. Manusia itu adalah produk sejarahnya, yakni apa yang sudah dibuat manusia dan bagaimana membuatnya. Itu lah yang dimaksud Marx ketika ia menulis bahwa “esensi manusia bukan lah abstraksi inheren yang ada di diri individu orang-seorang” tapi “orkesta relasi-relasi manusia”, yakni, totalitas praktek sosial. (7) 

Tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, keberadaan manusia begitu saling tergantung pada yang lainnya, pada aktivitas tenaga kerja kolektif. Kapitalisme telah mensosialisasikan proses tenaga kerja dan menyatukan seluruh dunia ke dalam suatu sistem produksi yang saling tergantung. Itu lah sisi progresif kapitalisme. Kapitalisme telah meletakkan fondasi-fondasi material dalam kehidupan sosial untuk menyatukan manusia dengan bebas namun, pada saat yang sama, menghasilkan persaingan “anjing-makan-anjing”, setiap orang saling bertentangan, dengan merubah setiap kebutuhan manusia menjadi komoditi di pasar dunia yang didominasi oleh rangsangan memperkaya diri segelintir minoritas keluarga-keluarga super-kaya.

Lingkungan sosial merupakan produk dari tindakan kolektif manusia. Karenanya, dapat dirubah oleh tindakan kolektif kelas pekerja dalam rangka membangun lingkungan yang sesuai dengan hakekat fundamental kehidupan sosial manusia—saling bekerjasama—yakni lingkungan sosial yang tidak menghambat pemenuhan (sepenuh-penuhnya) kebutuhan materi dan tidak menghambat upaya penggalian kemampuan fisik dan mental setiap orang. Tapi untuk memenuhinya, kelas pekerja membutuhkan pemahaman ilmiah mengenai hukum-hukum yang mengatur dan membentuk kehidupan sosial—yang hanya bisa dijelaskan oleh materialisme-(dialektis)-historis. 

----------------------------------------------------------------------

(1) Lorimer, Doug, Fundamentals of Historical Materialism, the Marxist View of History and Politics (Resistance Books: Sydney, 1999), hal. 5-19.

(2) Marx, Karl dan Engels, Frederick, Selected Works, Vol. 1 (Progress Publishers: Moscow, 1975), hal.20.

(3) The Macquarie Dictionary (Macquarie Library, Sidney, 989), hal. 283.

(4) F. Engels, The Condition of The Working Class in England (Progress Publishers: Moscow, 1973), hal.64.

(5) Marx, Karl, Capital, Vol. 1 (Penguin Books: Harmondsworth, 1976), hal. 283.

(6) Paham (yang dipegang seseorang) yang memandang bahwa realitas akhir apapun (misalnya Tuhan) tidak lah diketahui, dan kemungkinan tidak dimengerti; secara luas: seseorang yang tidak mau percaya terhadap keberadaan Tuhan atau ketiadaan tuhan (huruf kecil—ed.); Merriam Webster’s Collegiate Dictionary, Tenth Edition (Merriam-Webster, Incorporated: Springfield, Massachusetts, USA,1996) hal.23. (—ed.)

(7) Marx, Karl dan Engels, Frederick, Selected Works, Vol. 1 (Progress Publishers: Moscow, 1975), hal.14.


Sebelumnya baca:
Sebarkan Artikel Ini :
Sebar di FB Sebar di Tweet Sebar di GPlus

About Unknown

WEBSITE ini didedikasikan untuk ilmu pengetahuan dan HUMAN BEING, silahkan memberikan komentar, kritik dan masukan. Kami menerima artikel untuk dimuat dan dikirim ke kawanram@gmail.com. Selanjutnya silahkan menghubungi kami bila memerlukan informasi lebih lanjut. Salam PEMBEBASAN!
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Post a Comment

PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.