2. Dialektika dan Reduksionisme
Bertentangan dengan konsepsi reduksionis ilmu-pengetahuan borjuis, Marxisme menggunakan pendekatan dialektis dalam memahami hakikat dunia dan kehidupan sosial. Sudah diasumsikan sejak awal bahwa semua benda itu, pada semua tingkatan, secara internal heterogen. Asumsi heterogenitas tersebut bukan berarti bahwa suatu obyek atau sistem terdiri dari unit-unit alamiah yang tetap dan tidak bergerak. Akan tetapi, pembagian (yang benar) keseluruhan menjadi bagian-bagian akan bermacam-macam, tergantung kepada aspek khusus keseluruhan tersebut yang akan dipahami.
Sudah menjadi sebuah logika yang sederhana bahwa suatu bagian dapat dipilah-pilah lagi menjadi bagian-bagian selama ada keseluruhan yang akan dipilah-pilah. Bagian-bagian akan mempengaruhi keseluruhan, dan keseluruhan akan mempengaruhi bagian-bagian. Tapi reduksionisme mengabaikan hubungan-hubungan tersebut, mengisolir bagian-bagian sebagai unit-unit awal dari susunan keseluruhan. Dalam dunia nyata, bagaimanapun juga, kedua aspek tersebut tak dapat dipisah-pisahkan. Sungguh, semua bagian-bagian dunia fisik, yang saling berhubungan dalam derajat yang berbeda, menentukan keseluruhan—kesemestaan material.
Prinsip pertama pandangan dialektis adalah bahwa suatu keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang heterogen, dan bagian-bagian tersebut tidak dianggap sudah ada sebelumnya, seolah-olah bebas tak tergantung. Prinsip kedua, dengan merujuk pada prinsip pertama, adalah bahwa, secara umum, sifat-sifat bagian-bagian tersebut keberadaan awalnya tidak bisa dipisah-pisahkan dari keberadaannya sebagai bagian dari keseluruhan. Dalam konsepsi dunia yang atomistik, sifat-sifat intrinsik bagian-bagian yang terisolir beralih menjadi sifat-sifat keseluruhan, yang bisa menambah sifat-sifat baru tapi bukan karakter dari bagian-bagian tersebut, sehingga, jumlah keseluruhan bisa lebih dari jumlah bagian-bagian. Dalam cara pandang dialektis, bagian-bagaian akan memiliki sifat-sifat sepanjang menjadi bagian dari keseleruhan: sifat-sifat tersebut bisa ada karena ada interaksi yang membentuk keseluruhan. Seseorang tidak akan bisa terbang hanya dengan mengepak-ngepakan lengannya, berapa kalipun ia mencobanya. Demikian pula bila ia melakukan hal serupa dengan sekelompok orang lainnya. Bisa terbangnya manusia merupakan konsekwensi atau hasil suatu formasi sosial ekonomi tertentu yang dapat menciptakan pesawat, pilot, dan bahan bakarnya. Tentu saja, bukan masyarakatnya yang terbang, tapi individu-individu anggota masyarakat tersebut, yang berhasil menciptakan pesawat, yang tak akan bisa mereka hasilkan dalam formasi sosial ekonomi sebelumnya, atau di luar formasi sosial ekonomi tertentu tersebut. Keterbatasan individu manusia bisa diselesaikan/dinegasi oleh interaksi-interaksi sosial. Keseluruhan, karenanya, tidak sesederhana sebagai obyek interaksi bagian-bagian, tapi merupakan subyek tindakan bagian-bagian tersebut.
Prinsip ketiga dialektia adalah bahwa keseluruhan tidak lah secara inheren seimbang atau harmonis. Ciri-cirinya tidak lah tetap. Melainkan merupakan kumpulan proses internal yang saling bertentangan, yang menghasilkan keseimbangan untuk sementara waktu saja. Saling-penetrasi antara bagian-bagian dengan keseluruhan (bagian-bagian membentuk keseluruhan, dan keseluruhan membentuk bagian-bagian) merupakan konsekwensi dari saling berubahnya subyek dan obyek, saling berubahnya sebab dan akibat.
Dalam dunia atomistiknya kaum reduksionis, obyek dianggap pasif, disebabkan karena elemen-elemen aktif lainnya, yakni subyek penyebab. Dalam teori (borjuis) evolusi organisme hidup—dalam teori Darwinian dan Neo-Darwinian, spesies/makhluk dianggap sebagai hasil seleksi alam—selalu dianggap sebagai obyek lingkungan: melalui alam, perubahan otonom dalam lingkungan menyebabkan organisme secara pasif beradaptasi tanpa mengalami perubahan dirinya. Dalam realitas, organisme merupakan subyek evolusi sekaligus obyek evolusi. Keduanya menciptakan dan diciptakan oleh lingkungan (apakah itu interaksi dunia fisik atau interaksi dengan makhluk lainnya) dan, karenanya, merupakan pelaku-pelaku sejarah evolusionernya sendiri. Contohnya, sekarang hampir setiap harinya seluruh makhluk di bumi ini, untuk bisa hidup, berada di bawah tekanan penyingkiran/penggusuran yang sangat kuat bila tidak berada dalam atmosfir yang kaya oksigen—agar tak menghirup banyak karbon dioksida. Masalah metabolisme ini sudah dialami dalam aktivitas organisme hidup sepanjang 3 milyar tahun masa evolusinya. Tanpa aktivitas hidup makluk hidup—memproduksi oksigen dengan fotosintesis dan mengurangi karbon dioksida dengan mengaturnya ke bentuk karbon dalam batu sedimen—maka atmosfir makhluk sekarang ini akan hampir sama sekali dipenuhi karbon dioksida, sebagaimana yang terjadi di Mars atau Venus.
Karena elemen-elemen itu saling mem/dibentuk oleh interaksi, dan saling mem/dibentuk oleh keseluruhan—dimana elemen-elemen tersebut menjadi bagian-bagiannya—maka perubahan merupakan karakter segala obyek dan segala aspek obyek. Itu lah prinsip keempat dialektika.
Dalam ajaran borjuis, perubahan ditempatkan dalam posisi yang nampaknya kontradiktif, sejalan dengan sejarah revolusi borjuis “klasik” pada abad ke-16, ke-17 dan ke-18. Kemenangan hubungan-hubungan sosial kapitalis atas feodalisme disertai dengan kegembiraan yang berlebihan, kesombongan, dan pembebasan atas keyakinan-keyakinan lama: yang sudah usang, usang lah, tak kami butuhkan lagi; ide-ide jangan diabadikan; orang bisa merubah posisi sosialnya; keberhasilan lahir dari inovasi. Tapi, dengan semakin dikonsolidasikannya dominasi lembaga-lembaga sosial borjuasi, masyarakat kapitalis itu sendiri dianggap sebagai puncak perkembangan sosial, hasil penyelesaian akhir terhadap “sifat intrinsik” kemanusiaan—memanen keuntungan pribadi melalui “perdagangan bebas”—yang, sebelumnya dibelenggu “kepalsuan” rantai feodal. Berangkat dari cara pandang tersebut, perubahan dibatasi dalam lingkaran yang sempit, yaitu: menciptakan inovasi-inovasi teknologi, perubahan hukum-hukum secara bertahap, keseimbangan, penyesuaian, mengkompromikan persaingan kepentingan.
Legitimasi masyarakat kapitalis atas pendapat tentang “akhir sejarah” tersebut bermakna: menolak kebutuhan sekaligus kemungkinan perubahan sosial yang mendasar. Stabilitas, kesimbangan, ekuilibrium dan kontinuitas menjadi nilai-nilai positif (yang didewak-dewakan) dalam masyarakat dan, karenanya juga, menjadi obyek kepentingan intelektual. Perubahan semakin dilihat sebagai hal yang dibuat-buat, superfisial, hanya penampakan belaka, untuk menyembunyikan statisme sedalam-dalamnya. Bahkan, saat suatu perubahan besar sudah tak bisa lagi dihindarkan, mereka masih juga berkilah dan menolak dengan formulasi prinsip-prinsip yang membosankan dan dibesar-besarkan: “Semakin berubah sesuatu, semakin sama lah mereka”.
Dalam dunia cara pandang kaum reduksionis, terdapat hal-hal yang konstan dan hal-hal yang variabel—sesuatu yang tetap dan sesuatu yang berubah sebagai konsekuensi dari hukum-hukum yang yang beroperasi dengan nilai-nilai parameter yang tetap. Dalam dunia cara pandang dialektis, karena semua elemen itu (baik subyek ataupun obyek) berubah, maka yang konstan dan yang variabel juga tidak lah tetap, berkategori berbeda, namun merupakan kategori yang relatif. Skala waktu perubahan elemen-elemen bisa saja berbeda, sehingga suatu elemen nampaknya saja seperti parameter yang tetap bagi elemen lainnya. Lagipula, hukum-hukum dan parameter-parameter perubahan itu sendiri berubah saat terjadi perubahan pada obyek, tempat hukum-hukum dan parameter-parameter tersebut berdinamika.
Dalam dunia cara pandang kaum reduksionis, entitas bisa berubah sebagai konsekwensi dari perkembangan kekuatan-kekuatan, tapi kekuatan-kekuatan itu sendiri tetap konstan atau berubah secara otonom akibat dari sifat-sifat intrinsik perkembangan. Dalam kenyataannya, bagaimanapun juga, sistem-sistem, yang merupakan obyek-obyek hukum-hukum transformasi, bisa berubah menjadi subyek yang merubah hukum-hukum tersebut. Sistem-sistem tersebut menghancurkan kondisi-kondisi, syarat-syarat, yang pada awalnya mempengaruhi atau mendorongnya, dan menciptakan peluang perubahan-perubahan baru yang sebelumnya tidak ada. Hukum yang ditumbuhkan oleh semua makluk hidup, akibat koneksinya dengan makhluk lainnya, telah ada dalam lingkungan kehidupannya sepanjang satu milyar tahun yang lalu. Sistem-sistim biotik awalnya lahir dari benda mati, tapi asal muasal tersebut tak mungkin dipertahankan terus, karena organisme hidup memerlukan molekul-molekul organik yang kompleks di luar sistim-sistim biotik yang tumbuh dari benda mati. Lagipula, atmosfer kehidupan, yang sudah ada sebelum organisme hidup muncul, telah “dinodai” oksigen reaktif pada derajat sedemikian rupa sehingga molekul-molekul organik yang kompleks tersebut serta merta tercerai berai keluar dari organisme hidup.
Perubahan, yang merupakan karakteristik segala sistem material, tumbuh akibat hubungan-hubungan internal dan eksternal. Heterogenitas internal suatu sistem bisa menghasilkan ketidakseimbangan dinamik, sebagai hasil dari perkembangan internal. Pada saat sama, sistem tersebut, sebagai suatu keseluruhan, berkembang saat berhubungan dengan dunia luar/eksternal, yang akan merubah dan dirubah oleh perkembangan tersebut. Jadi, proses-proses perubahan internal dan eksternal, keduanya, saling mempengaruhi, dan juga mempengaruhi sistim itu sendiri, karena merupakan rangkaian proses-proses tersebut.
Persetejuan metode dialektika terhadap prinsip bahwa semua obyek adalah, secara internal, heterogen, menggiring kita pada dua arah. Yang pertama, pengakuan bahwa tak ada satu unit pun yang merupakan unit yang telah selesai hingga tak bisa lagi membentuk dunia—tak ada “benteng/hambatan” utama yang tetap, homogen. Yang demikian itu bukan lah konsepsi awal yang dipaksakan kaum Marxis pada alam tapi merupakan jeneralisasi dari pengalaman: seluruh “unit-unit dasar” yang sebelumnya homogen sejauh ini telah berubah menjadi heterogen, dan pengakuan terhadap fakta tersebut telah membuka lapangan studi baru serta penggunaan praktis baru. Karena itu, pernyataan bahwa tidak ada “unit-unit dasar” yang homogen bisa meletakkan ilmu-pengetahuan pada prinsip yang mewajibkannya menyelidiki setiap level pengorganisasian materi tanpa harus meneliti unit-unit primer yang dibuat-buat semacam itu.
Konsekwensi kedua atas pengakuan terhadap heterogenitas semua sistim, apakah itu sistim sosial, atau pun sistim alam, adalah yang menggiring kita pada suatu penjelasan tentang perubahan dalam makna bahwa proses-proses yang saling bertentangan menyatu dalam sistim tersebut. Heterogenitas bukan lah sekadar keragaman belaka; bagian-bagian atau proses-proses tersebut saling berhadapan sebagai sesuatu yang saling bertentangan, bersyarat terhadap keseluruhan di mana keduanya menjadi bagian.
3. Gerak dan Kontradiksi
Apa yang menjadi karakter Marxisme dalam memahami dunia adalah pengakuan bahwa dunia, dalam segala aspeknya, terus menerus bergerak. Yang konstan berubah jadi variabel, sebab berubah jadi akibat, dan sistem berkembang, menghancurkan syarat-syarat yang menciptakannya. Bahkan unsur-unsur yang kelihatannya stabil pun sebenarnya berada dalam posisi ekuilibrium dinamik sesuatu yang saling bertentangan, yang bisa saja, secara tiba-tiba, menjadi tidak stabil, seperti sinar baja yang redup, yang sedang berada pada posisi kritis kepanasannya (mass), sehingga tiba-tiba berubah menjadi pijar-pijar atau bola-bola api. Walaupun, gerak itu memang ada batasnya dan tidak seragam. Organisme berkembang dan jadi berjenis-jenis, kemudian mati dan tercerai berai. Makhluk terlahir/muncul namun juga, tak terelakan, akan punah (keragaman jenis makhluk yang ada sekarang jumlahnya hanya kurang dari 1 % dari keseluruhan makhluk yang pernah ada di bumi). Bahkan dalam dunia yang semakin tidak kompleks ini, terbukti tak ada keseragaman gerak.
Gerak, perubahan dan perkembangan merupakan konsekwensi dari interaksi berbagai kekuatan dan proses yang saling bertentangan, itu lah memang karakter segala hal. Konsep sentral pemikiran dialektis tersebut, yakni prinsip kontradiksi, adalah prinsip yang paling sulit dan paling sering dipertengkarkan. Bagi kaum reduksionis, kontradiksi-kontradiksi hanya ada ketika memahami sesuatu atau antar sesuatu, tapi bukan sebagai karakter dari benda itu sendiri. Dalam pandangan dialektis, segala sesuatu itu bergerak, berubah dan berkembang karena tindakan berbagai kekuatan yang saling bertentangan di dalam dirinya sendiri atau terhadap dirinya, dan segala sesuatu itu akan tetap sebagaimana adanya selama ada keseimbangan temporer dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan tesebut.
Prinsip bahwa segala sesuatu itu secara internal heterogen mengarahkan perhatian kita pada proses-proses yang saling bertentangan yang bekerja dalam suatu obyek. Kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan tersebut kelihatannya seperti kontradiktif dalam arti: bahwa bila masing-masing bekerja sendiri maka akan memiliki efek-efek yang saling bertentangan, dan tindakan bersamanya mungkin akan menghasilkan sesuatu yang berbeda ketimbang bila bertindak sendiri-sendiri. Akan tetapi, obyek itu tidak lah sesederhana layaknya korban yang pasif dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan tersebut.
Cara pandang dialektis menekankan bahwa sifat bertahan dan sifat ekuilibrium bukan merupakan status normal segala sesuatu, tapi membutuhkan penjelasan lagi, yang harus dilihat dari tindakan-tindakan yang saling bertentangan tersebut. Syarat-syarat hingga kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan tersebut seimbang, dan sistimnya secara keseluruhan dalam keadaan ekuilibrium yang stabil, merupakan sebuah hal yang khusus dan tergantung pada variabel-variabel yang ada pada sistem tersebut, bukan dil uar parameter-parameter sistem tersebut. Dalam kasus tersebut, kejadian-kejadian eksternal, yang menghasilkan pergeseran-pergeseran kecil antara variabel-variabel tersebut, akan dihilangkan oleh proses-proses sistim yang mengatur dirinya sendiri.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.