Oleh: Doug Lorimer
Bagi Marxis, mempelajari sejarah manusia, tak bisa dipisahkan, juga mempelajari sejarah masyarakat. Menurut Karl Marx dan Frederick Engels, keberadaan manusia “dibedakan dengan binatang karena kesadarannya, karena agamanya atau karena hal-hal lainnya. Mereka mulai membedakan dirinya dengan binatang begitu mereka mulai bisa memproduksi bahan-bahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.” (2) Jadi, apa yang membedakan manusia dengan binatang lainnya adalah karena, secara sadar, manusia memproduksi bahan-bahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan atau membuat alat produksi yang terbuat dari berbagai macam bahan. Tapi, agar bisa melakukannya, mereka harus secara sadar saling bekerjasama dengan sesamanya. Masyarakat, yang melibatkan kehidupan dan kerja bersama sebagai kelompok yang integratif, merupakan cerminan hasil pengerahan tenaga kerja dalam memproduksi makanan, pakaian dan tempat tinggal. Keharusan manusia untuk saling bekerjasama dalam memenuhi kebutuhannya merupakan landasan berdirinya masyarakat dan landasan sejarah manusia. Dalam konsepsi Marxis, hukum-hukum pokok kehidupan sosial adalah identik dengan hukum-hukum pokok yang mengatur sejarah manusia.
Pendekatan tersebut bertentangan secara tajam dengan pendekatan dominan “ilmu-pengetahuan” sosial borjuis, sebagaimana yang dipelajari dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan borjuis. Hal tersebut menyebabkan “ilmu-pengetahuan” sosial borjuis memilah-milah ilmu sosial menjadi berbagai disiplin ilmu yang terpisah, tak ada kaitannya, misalnya dipilah-pilah menjadi arkeologi, antropologi sosial, ekonomi, ilmu politik, sejarah dan sosiologi. Bahkan, dalam disiplin-disiplin ilmu tersebut juga ada pemilahan-pemilahan lagi. Sehingga, misalnya, “sejarah” dibagi berdasarkan masanya—sejarah masa kuno, sejarah masa pertengahan dan sejarah modern—dan juga dibagi menjadi berbagai macam sejarah—sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah kebudayaan, sejarah masyarakat perkotaan, sejarah masyarakat pertanian, dan sebagainya. Sosiologi, sebagaimana yang didefinisikan oleh akademisi borjuis, dipahami sebagai “studi tentang asal-usul, perkembangan, organisasi, dan fungsi masyarakat manusia,” dan dipahami sebagai “ilmu tentang hukum-hukum pokok hubungan sosial” (3) yang dibagi menjadi lusinan cabang ilmu tersendiri, dan yang tak satu pun bisa mengungkapkan hukum-hukum pokok apa yang sebenarrnya mengatur asal-usul, perkembangan dan pengorganisasisan masyarakat manusia.
1. Ilmu-pengetahuan Borjuis dan Reduksionisme
“Ilmu-pengetahuan” sosial borjuis tak mampu memenuhi tugas ilmu-pengetahuan kemasyarakatan yang sejati, yakni memberikan teori tentang masyarakat yang integral, yang bisa mengungkapkan hukum-hukum umum yang mengatur asal-usul, organisasi dan perkembangannya. Sungguh, ajaran-ajaran teori sosial borjuis yang dominan, sejak awal abad ke-20, telah berdalih bahwa upaya untuk menciptakan teori umum tentang perkembangan sosial adalah sia-sia saja karena, menurut mereka, masyarakat hanya lah kumpulan dari berbagai individu atomik yang tergabung secara kebetulan, dan sejarah sekadar rekaman berbagai peristiwa unik yang terjadi secara kebetulan. Jika segala sesuatu dalam kehidupan sosial dan sejarah bersifat individual dan unik maka, memang, mubazir saja menyusun ilmu pengatahuan tentang masyarakat dan sejarah. Sudah bisa dipastikan, bahwa cara pandang borjuis (yang atomistik) dalam memahami masyarakat tak akan mengarahkan kita hingga memperoleh penjelasan ilmiah tentang masyarakat, tapi sekadar memperoleh deskripsi, penyusunan dan klasifikasi fakta empiris yang didasarkan pada perasaan subyektif suka atau tidak suka seorang sejarawan atau komentator sosial.
Pemikiran borjuis kontemporer, sejak awal, telah kehilangan keyakinannya terhadap kemampuan akal manusia yang, sebenarnya, bisa menjelaskan sebab-sebab material (yang obyektif) dalam segala gejala sosial. Agnotisisme dalam teori sosial semacam itu memiliki hubungan yang intim dengan irrasionalisme dalam pemikiran borjuis yang tumbuh bersamaan dengan membusuknya sistem sosial kapitalisme, yang tumbuh bersamaan dengan lingkaran spiral kekacauan ekonomi kapitalis, perang dan krisis sosial yang semakin mendalam.
Cara memahami masyarakat yang atomistik tersebut merupakan cerminan dari hakikat kontradiktif sistem sosial kapitalisme. Kapitalisme mencerai-beraikan manusia dan mempertentangkan satu dengan yang lainnya setelah merubah tenaga kerja dan alat-alat produksinya menjadi barang dagangan (komoditi) semata. Ketika melihat kerumunan manusia di jalan-jalan London, Frederick Engels menuliskan hal tersebut dalam karya utamanya, The Condition of the Working Class in England:
Individu-individu yang terisolir ini, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, merupakan prinsip dasar masyarakat kita, dimana pun ... manusia cerai berai menjadi atom-atom, masing-masing memiliki prinsip dan tujuannya sendiri, dunia atom-atom, yang sudah mencapai taraf yang paling ekstrim. (4)
Atomisasi kehidupan sosial di bawah kapitalisme menyebabkan elit-elit intelektualnya berpikir reduksionis saat mencoba menghasilkan konsepsi tentang segala fenomena, apakah itu fenomena alam ataupun fenomena sosial. Ada 4 asumsi dasar untuk melihat ciri pendekatan reduksionis:
1. Terdapat seperangkat unit-unit atau bagian-bagian prinsipil yang membagi obyek studi yang akan dipelajari.
2. Unit-unit tersebut homogen hanya dalam dirinya, setidaknya saat mempengaruhi obyek yang mereka bagi-bagi.
3. Bagian-bagian tersebut secara ontologis dianggap telah ada sebelumnya, mendahului semuanya. Jadi, bagian-bagian tersebut ada secara tersendiri, yang kemudian bergabung bersama membentuk keseluruhannya. Bagian-bagian tersebut memiliki sifat hakekatnya sendiri, yang berproses sendiri-sendiri, terisolir, walaupun merupakan hasil dari interaksi secara keseluruhan. Dalam kasus yang sederhana, keseluruhan tersebut samasekali tak bermakna, yang ada hanya lah sekumpulan bagian-bagian; kasus yang lebih kompleks bisa saja terjadi selama interaksi bagian-bagaian tersebut menghasilkan sifat-sifat baru pada keseluruhannya.
4. Sebab dipisahkan dari akibat, karena sebab dianggap sebagai sifat subyek-subyek, dan akibat dianggap sebagai sifat obyek-obyek. Ketika sebab memberikan respon terhadap informasi yang datang dari akibat (apa yang mereka sebut “hubungan timbal-balik”), tak ada ambigitas antara sebab (yang merupakan) subyek dengan sebab (yang merupakan) obyek.
Itu lah konsepsi tentang dunia alam dan dunia kehidupan sosial yang menelikung ilmu-pengetahuan borjuis. Ilmu-pengetahuan tersebut memandang bagian-bagian terpisah dari keseluruhan, dan menganggap bagian-bagian sebagai sesuatu yang terisolir dalam dirinya sendiri, demikian juga dalam memandang sebab-akibat dan subyek-obyek, sebab terpisah dari akibat, subyek terpisah dari obyek. Itu lah konsepsi intelektual yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan sosial borjuis.
Dimulai saat bermunculannya para pengusaha perdagangan Eropa pada abad ke-13, dan memuncak saat revolusi borjuis pada abad ke-17 dan abad ke-18, hubungan-hubungan sosial borjuis semakin menguatkan pendapat bahwa aktor sosial utama adalah individu-individu (terisolir) yang memiliki komoditi. Saat terjadi tindakan-tindakan penggusuran, populasi massa dipisahkan dari alat-alat produksi (yang diperlukan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka direduksi menjadi “atom-atom sosial”, yang diadudomba di pasar, sesuai dengan kepentingan-kepentingan khususnya masing-masing dan sifat intrinsiknya dalam mengambil peran di masyarakat.
Bagaimanapun, dalam masyarakat borjuis, tak ada seorang individu pun yang berperan tunggal. Orang yang sama bisa sebagai sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, sebagai pemilik sekaligus sebagai penyewa. Teori sosial borjuis masih memandang bahwa masyarakat dibangun dari bagian-bagian individual yang homogen, namun dengan kepentingan khususnya masing-masing. Massa “konsumen” punya kepentingannya sendiri, “buruh” punya kepentingannya sendiri, “kapital” punya kepentingannya sendiri, sehingga bentuk masyarakat kapitalis ditentukan oleh saling-hubungan-tindakan individu-individu tersebut, yang memiliki kategori-kategorinya sendiri.
Alasan bahwa tatanan sosial kapitalis adalah hasil “alamiah” atas keseimbangan antara permintaan dan kepentingan kelompok-kelompok kepentingan yang saling berkompetisi merupakan formulasi ideologis agar struktur tersebut dianggap sebagai hal yang tak terhindarkan dan, juga, selain itu, mencerminkan realita sosial yang dibangunnya. Sebagai individu-individu, memang benar buruh harus saling bersaing sesamanya dalam menjual satu-satunya komoditi yang mereka miliki—tenaga kerja mereka—di pasar, yang nilainya ditentukan oleh perjuangan antara buruh melawan majikan-majikan kapitalis. Kepentingan konsumen terhadap komoditi yang ditawarkan sangat bertentangan dengan kepentingan produsen. Tapi, kelompok-kelompok kepentingan tersebut benar-benar diciptakan oleh sistim hubungan-hubungan sosial, atau apa yang disebut sebagai sebagai basis.
Kaum reduksionis memandang bahwa sifat suatu objek studi dapat disederhanakan menjadi sekadar sifat-sifat individu elemen-elemen strukturalnya, yang dianggap memiliki basis yang homogen. Dengan demikian, metode tersebut merupakan suatu usaha untuk mengisolir bagian-bagian tersebut sesempurna mungkin dan kemudian baru mempelajarinya. Metode tersebut juga mengenyampingkan pentingnya interaksi, bukan saja antara bagian-bagian obyek studi tersebut, tapi juga antara obyek studi dengan obyek-obyek lainnya.
Keyakinan terhadap hakikat atomistik dunia, yang menjadi basis dalam pendekatan reduksionis ilmu-pengetahuan borjuis, menempatkan tolak-ukur (relatif) terpisah dari tujuan ilmu-pengetahuan sehingga, juga, memperumit hakikat interkoneksi. Karena perilaku sederhana dianggap merupakan hasil yang tanpa ada interaksi kompleks, maka reduksionisme lebih mendewakan penyederhanaan dan menolak kompleksitas; karena perilaku itu sebenarnya rumit, maka reduksionisme menjadi bingung sendiri dan menolak hukum regularitas.
Kesalahan mendasar reduksionisme sebagai cara pandang umum adalah karena menganggap obyek yang kompleks “tersusun” dari bagian-bagian “alamiah” yang sederhana dan homogen, yang sudah ada sebelumnya dan terisoilir dari obyek. Dengan konsepsi dunia semacam itu, tujuan ilmu-pengetahuan jadinya hanya lah sekadar meneliti unit-unit terkecil yang secara internal homogen, unit-unit “alamiah” yang membentuk dunia.
Sejarah ilmu kimia dan fisika klasik merupakan simbol dari cara borjuis memandang dunia secara atomistik. Dalam ilmu kimia klasik yang mikroskopik, obyek tersusun dari molekul-molekul, masing-masing homogen dengan dirinya sendiri. Dengan perkembangan teori atomik tentang materi, molekul-molekul tersebut dianggap tersusun dari berbagai jenis atom, sehingga kemudian molekul-molekul dianggap secara internal heterogen. Kemudian nampaknya atom-atom tersebut benar-benar tidak dapat diberi nama-namanya lagi (atomos, tidak dapat diuraikan) karena atom-atom tersebut secara internal terlalu heterogen, tersusun dari partikel-partikel dasar—neutron, proton dan elektron. Tapi, bahkan homogenitas pun kemudian melenyap lagi, sejumlah partikel “dasar” melipatgandakan dirinya karena dipengaruhi oleh akselerasi/tor yang lebih kuat.
Selanjutnya baca: Pengantar Pokok-Pokok Materialisme Historis (2)
Blogger Comment
Facebook Comment