Jujur saja, perang Libya dan anatominya kian menarik diulas dari berbagai sisi kendati Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengklaim kemenangannya secara sepihak, setelah terbit khabar perihal “Kematian Gaddafi”. Akan tetapi sungguh uniq, pasca berita lelayu pergolakan terus berlangsung bahkan bertambah seru. Tidak ada duka cita di seluruh negeri, apalagi kibaran bendera setengah tiang untuk Gaddafi. Tampaknya khabar duka tidak berpengaruh apa-apa bagi loyalis Gaddafi dalam mempertahankan tanah air dan harga diri bangsa dari cengkraman asing. Ibarat api yang tak kunjung padam, demikian gambaran semangat prajurit Libya memburui “tikus-tikus” (istilah bagi pasukan pemberontak dan tentara bayaran) di sudut-sudut kota.
Memang, meski media mainstream menayangkan berbagai keberhasilan pemberontak yang dibantu NATO dengan tentara bayarannya, kenyataan di lapangan mengatakan sebaliknya. Ya, sebagian besar wilayah di medan tempur justru dibawah kendali dan pengawasan ketat pasukan Libya pro Gaddafi.
Ada fakta-fakta ironis. Yakni meski pertempuran belum usai namun tanpa basa-basi NATO menyodorkan tagihan biaya perang kepada pemberontak sejumlah $ 480 miliar (Al-Jazair ISP, Zengtena, 29/10/2011). Edan! Betapa perang telah menghancurkan semua infrastruktur dan menyebabkan kematian 70.000-an serta ribuan orang luka-luka, tanpa rasa malu ada penandatanganan kontrak merekontruksi Libya, disaat “luka bangsa dan derita sosial” lebar menganga. Bagi NATO, perang di Libya ---mungkin juga peperangan di tempat lain--- bukannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan tetapi dianggap proyek!
Banyak kajian terutama dari para peneliti dari Central for Research on Globalization (CRG), Montreal. Benang merah yang bisa ditarik dari CRG bahwa Libya merupakan salah satu target dari rangkaian operasi siluman melalui “Revolusi Warna”-nya Central Intellegent Agency via tangan-tangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Amerika Serikat (AS), National Endowment for Democracy berkolaborasi dengan LSM lokal, setelah sebelumnya mengunduh sukses atas lengsernya elit kekuasaan di Tunisia, Yaman, Mesir dan seterusnya (baca: Melacak Revolusi Warna, Virus Ganti Rezim di Berbagai Negara, www.theglobal-review.com). Sedang menurut Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) penyebab utamanya ialah kontra skema Gaddafi dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi negara-negara Afrika dianggap mampu merusak kepentingan para korporasi global dalam menguasai kekayaan sumber alam di Benua Afrika (Baca: NATO Berambisi Lengserkan Muammar Khadafi Untuk Gagalkan Skema Ekonomi Mandiri Afrika, www.theglobal-review.com). Maka rumor kuat yang berhembus adalah: bahwa Perang Libya sejatinya merupakan hajatan korporasi-korporasi minyak raksasa!
Pada catatan tak ilmiah ini, penulis ingin menyoroti dari aspek lain yang banyak dilupakan orang yakni masalah utang dan harta negara. Dua aspek yang mutlak harus seimbang dalam pemerintahan suatu negara dimanapun. Sekaligus mencoba mengurai munculnya berbagai berita tak lazim agar terbaca jelas kronologisnya. Inilah ulasan sederhananya.
Tak bisa dielak bahwa Libya adalah negeri sangat makmur. Menurut Fitch Rating, ia tidak memiliki hutang kepada siapapun atau badan manapun di dunia. Libyan Investment Authority dan Bank Sentral-nya menyatakan bahwa Libya memiliki aset di luar negeri senilai $ 168 miliar. Dan $ 50 miliar adalah uang tunai disimpan di Eropa, seperti Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Belanda dan AS. Apakah itu termasuk $ 150 miliar yang dibekukan secara sepihak oleh AS dan sekutunya?
Adalah Farhat Bengdara, Gubernur Bank Sentral Libya yang membelot dari pemerintah syah Gaddafi, baru-baru ini menginformasikan, ”Bangsa Libya tidak perlu pinjaman dana dari Bank Dunia atau IMF, oleh karena kami memiliki banyak cadangan minyak dan gas bumi dan kekayaan lainya. Sweet crude jarang didapat, hanya beberapa negara yang memiliki sweet oil”.
Bank Dunia mencatat, lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Libya diperoleh dari industri minyak dan gas. Pada 2009-an lalu, PDB Libya $ 62,36 miliar, maka dengan penduduk hanya 6,4 juta, pendapatan per kapita negeri itu $ 12.020. Bandingkan dengan Indonesia pada dekade 2010 baru mencapai $ 3.000. Bahkan data kemiskinan pun, Bank Dunia seperti kehilangan akal untuk menemukan. Ya, hingga kini Bank Dunia tidak memiliki data kemiskinan di Libya. Fakta lain tak kalah menarik, sebelum perang meletus, ekonomi negara tengah booming. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa perekonomian Libya tahun lalu tumbuh 10,6 persen dan diproyeksikan akan tumbuh 6,2 persen pada tahun ini. Sayang perang keburu meletus!
Di Libya tidak ada tagihan listrik untuk warga; pinjaman uang di bank negara dikenakan bunga 0 %; bagi Pemerintahan Libya, rumah dianggap hak azasi manusia (HAM) --- bahkan untuk hal ini Gaddafi pernah bersumpah, orangtuanya tidak akan mendapatkan rumah sampai semua rakyat Libya memiliki rumah. Dan hingga sang ayah meninggal pun ia, istri dan sang ibu tercinta tetap tinggal di tenda-tenda.
Ada pendidikan dan perawatan medis gratis disana. Sebelumnya hanya 25% dari warga yang melek huruf kini mencapai 83%, maka pantaslah bila 25% warganya memiliki gelar universitas; lalu semua pengantin baru menerima bantuan 60.000 dinar dan $ 50.000 untuk membeli apartemen guna membantu memulai sebuah keluarga; jika warga hendak membuka usaha bidang pertanian, selain akan menerima lahan pertanian, rumah pertanian, peralatan, bibit juga ternak untuk memulainya, semuanya gratis.
Jikalau di Libya tidak ditemukan pendidikan atau fasilitas medis yang diinginkan rakyatnya maka pemerintah akan mengucurkan dana untuk pergi ke luar negeri. Tak cuma gratis, namun juga mendapat $ 2.300, termasuk akomodasi dan tunjangan mobil; dan betapa harga bensin hanya $ 0,14 per liter, selanjutnya bila warganya membeli mobil, pemerintah mensubsidi 50%. Enak tenan!
Selanjutnya, apabila setelah lulus sekolah ada warga tidak mendapat kerja, maka negara membayar rata-rata gaji profesi seolah-olah ia bekerja sampai memperoleh pekerjaan; kemudian sebagian penjualan minyak Libya dikreditkan langsung ke rekening bank bagi semua warganya; dan bagi ibu yang melahirkan menerima $ 5,000 dari negara. Sedangkan mega proyek di Libya selain Great River, proyek irigasi terbesar di dunia – juga membuat Link Satelit komunikasi untuk terwujud persatuan dan kesatuan umat di Benua Afrika.
Melihat data-data di atas, memang terasa janggal manakala di negara makmur seperti Libya ada gerakan massa mengatas-namakan korupsi, HAM, kemiskinan dan sebagainya, lalu mencoba menggulingkan kekuasaan yang syah kecuali ia sebuah setting politik tingkat tinggi dari luar yang bermaksud menggulingkan kekuasaan.
Episode yang layak dicermati sebelum “keroyokan” AS dan NATO di Libya, adalah ketika Gaddafi mencetak uang emas/dinar. Ini mungkin titik awalnya. Ia menyatakan bahwa sistem transaksi minyak harus menggunakan dinar, bukan uang kertas seperti biasanya. Hal ini membuat AS dan Uni Eropa kebakaran jenggot sebab mereka berutang lebih $ 200 miliar atas minyak Libya. Tampaknya, hal ini serupa dengan kasus Saddam Husein ketika menyatakan transaksi minyaknya harus menggunakan uero bukan dolar AS. Hal itu membuat Bush Jr marah besar dan berujung penyerbuan Irak oleh pasukan AS dan sekutu dengan beragam dalih.
Selain daripada itu bahwa konsesi para korporasi minyak global milik negara-negara Barat di Libya bakal berakhir tahun 2012 ini. Gaddafi mengatakan bahwa jika mereka tidak segera membayar maka konsesi baru akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak milik Rusia dan Cina! (http://libyasos.blogspot.com/). Sudah barang tentu deadline itu membuat para pemilik korporasi raksasa minyak menjadi geram!
Pada episode lain, kendati media mainstream selalu mengekspos kemenangan pasukan pemberontak namun fakta di lapangan menyebut, bahwa pemberontak yang dibantu NATO justru “babak belur” menghadapi loyalis Gaddafi. Itu biasa dalam perang, ada edit dan juga counter berita. Maka sangatlah janggal ketika beredar video soal “kematian Gaddafi” justru saat sedang ramai-ramainya perburuan terhadap “tikus-tikus” (sebutan untuk pemberontak) oleh pasukan reguler Libya. Barangkali ini merupakan bagian perang psikologi yang digunakan NATO guna menurunkan moral tempur para loyalis, tetapi ternyata moral para loyalis Gaddafi malah naik.
Aisha, putri Gaddafi menyatakan ayahnya masih hidup. Gaddafi memiliki 12 ganda atau wajah serupa (http://libyasos.blogspot.com/2011/10/how-many-of-gaddafis-doubles-did-they.html). Bahkan Dr Steve Pieczenik, mantan pejabat Departemen Luar Negeri yang merupakan psikiater dan spesialis dalam operasi psikologis dan perubahan rezim, menyatakan bahwa Muammar Gaddafi tidak mati. Video tentang "Kematian Gaddafi” telah dimanipulasi oleh Departemen Operasi Psikologis US Army. Ya, Pieczenik adalah mantan Asisten Deputi Sekretaris Negara dalam pemerintahan Reagan dan anggota Dewan organisasi "bergengsi" Hubungan Luar Negeri.
Agaknya perlawanan maha dahsyat oleh tentara Libya membuat NATO terpontang-panting. Dan segera harus mengubah strateginya agar tujuan “merampok harta dan sumberdaya” di Libya tetap tercapai. Selanjutnya untuk tidak malu bila meninggalkan medan tempur, diciptakanlah opini kematian Gaddafi supaya dianggap publik global misi telah usai. Setelah itu dibuat pula perayaan palsu oleh para tentara bayaran yang seolah-olah rakyat merayakannya. Lagi - lagi, ini mirip bahkan identik dengan skenario “kematian Osama” yang mayatnya konon dibuang ke laut, padahal cuma alibi menutup rasa malu atas rencana mundurnya pasukan AS dan sekutu dari Afghanistan setelah 10-an tahun perang melawan Taliban, namun tak jua memetik hasil (baca: Catatan Kecil Tewasnya Osama, 05/05/2011, www.theglobal-review.com).
Akhirnya memang ada gelombang penarikan militer AS dan sekutu dari Afghanistan. Juru bicara militer Amerika di Afghanistan Brigjen Carsten Jacobson mengkonfirmasikan keluarnya 10 ribu pasukan AS dan 200 militer Perancis meninggalkan Afghanistan. Dan menurut rencana, 1500 tentara Perancis lain juga akan meninggalkan negera tersebut (Fars News, Kabul, 3/11).
Jacobson menjelaskan bahwa perang bukan solusi untuk mengatasi masalah Afghanistan. Namun harus ditempuh melalui jalan politik dan diplomasi. Ditambahkannya, mewujudkan perdamaian di Afghanistan tanpa kerjasama dengan Islamabad adalah mustahil, sebab para teroris bersembunyi di Pakistan.
Kembali pada skenario tadi, episode berikut negara-negara NATO menawarkan bantuan rekonstruksi Libya. Lalu langkah terakhir ialah mencairkan aset Libya di luar negeri. Itulah tujuannya. Dalam perundingan di Paris, para pemimpin negara anggota NATO setuju mencairkan miliaran dolar aset Libya yang telah dibekukan untuk membantu pemerintahan transisi bentukan asing, guna membangun kembali infrastruktur dan fasilitas publik di Libya yang telah porak-poranda akibat perang. Parahnya lagi, dana itu diberikan dalam bentuk hutang! (baca: Perampokan ala NATO di http://dinasulaeman.wordpress.com/). Itulah yang kini sedang terjadi.
Dari uraian di atas, penulis mencoba membuat simpulan dari coretan tidak ilmiah ini. Antara lain adalah : (1) Video kematian Gaddafi adalah propaganda, sekaligus sebagai alasan NATO untuk mundur dari kancah perang di Libya, karena selain telah melebihi target waktu yang ditetapkan (3 minggu), juga over budget sedang negara-negara NATO sendiri tengah di terpa krisis ekonomi tak kunjung usai; (2) Selain hal di atas, “Kematian Gaddafi” hanya awal skenario dimana ujungnya adalah penjarahan aset-aset Libya di luar negeri. Barangkali itulah tujuan utamanya, merampok sumberdaya sekaligus menjarah harta negara Libya, dan (3) Sesuai judul tulisan ini, sesungguhnya perang Libya merupakan cermin dari “perampokan internasional” yang dilakukan oleh NATO, dengan modus yang teramat licik yakni: utang dibayar dengan bom!
Referensi dirangkum dari berbagai sumber.
sumber
Memang, meski media mainstream menayangkan berbagai keberhasilan pemberontak yang dibantu NATO dengan tentara bayarannya, kenyataan di lapangan mengatakan sebaliknya. Ya, sebagian besar wilayah di medan tempur justru dibawah kendali dan pengawasan ketat pasukan Libya pro Gaddafi.
Ada fakta-fakta ironis. Yakni meski pertempuran belum usai namun tanpa basa-basi NATO menyodorkan tagihan biaya perang kepada pemberontak sejumlah $ 480 miliar (Al-Jazair ISP, Zengtena, 29/10/2011). Edan! Betapa perang telah menghancurkan semua infrastruktur dan menyebabkan kematian 70.000-an serta ribuan orang luka-luka, tanpa rasa malu ada penandatanganan kontrak merekontruksi Libya, disaat “luka bangsa dan derita sosial” lebar menganga. Bagi NATO, perang di Libya ---mungkin juga peperangan di tempat lain--- bukannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan tetapi dianggap proyek!
Banyak kajian terutama dari para peneliti dari Central for Research on Globalization (CRG), Montreal. Benang merah yang bisa ditarik dari CRG bahwa Libya merupakan salah satu target dari rangkaian operasi siluman melalui “Revolusi Warna”-nya Central Intellegent Agency via tangan-tangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Amerika Serikat (AS), National Endowment for Democracy berkolaborasi dengan LSM lokal, setelah sebelumnya mengunduh sukses atas lengsernya elit kekuasaan di Tunisia, Yaman, Mesir dan seterusnya (baca: Melacak Revolusi Warna, Virus Ganti Rezim di Berbagai Negara, www.theglobal-review.com). Sedang menurut Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) penyebab utamanya ialah kontra skema Gaddafi dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi negara-negara Afrika dianggap mampu merusak kepentingan para korporasi global dalam menguasai kekayaan sumber alam di Benua Afrika (Baca: NATO Berambisi Lengserkan Muammar Khadafi Untuk Gagalkan Skema Ekonomi Mandiri Afrika, www.theglobal-review.com). Maka rumor kuat yang berhembus adalah: bahwa Perang Libya sejatinya merupakan hajatan korporasi-korporasi minyak raksasa!
Pada catatan tak ilmiah ini, penulis ingin menyoroti dari aspek lain yang banyak dilupakan orang yakni masalah utang dan harta negara. Dua aspek yang mutlak harus seimbang dalam pemerintahan suatu negara dimanapun. Sekaligus mencoba mengurai munculnya berbagai berita tak lazim agar terbaca jelas kronologisnya. Inilah ulasan sederhananya.
Tak bisa dielak bahwa Libya adalah negeri sangat makmur. Menurut Fitch Rating, ia tidak memiliki hutang kepada siapapun atau badan manapun di dunia. Libyan Investment Authority dan Bank Sentral-nya menyatakan bahwa Libya memiliki aset di luar negeri senilai $ 168 miliar. Dan $ 50 miliar adalah uang tunai disimpan di Eropa, seperti Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Belanda dan AS. Apakah itu termasuk $ 150 miliar yang dibekukan secara sepihak oleh AS dan sekutunya?
Adalah Farhat Bengdara, Gubernur Bank Sentral Libya yang membelot dari pemerintah syah Gaddafi, baru-baru ini menginformasikan, ”Bangsa Libya tidak perlu pinjaman dana dari Bank Dunia atau IMF, oleh karena kami memiliki banyak cadangan minyak dan gas bumi dan kekayaan lainya. Sweet crude jarang didapat, hanya beberapa negara yang memiliki sweet oil”.
Bank Dunia mencatat, lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Libya diperoleh dari industri minyak dan gas. Pada 2009-an lalu, PDB Libya $ 62,36 miliar, maka dengan penduduk hanya 6,4 juta, pendapatan per kapita negeri itu $ 12.020. Bandingkan dengan Indonesia pada dekade 2010 baru mencapai $ 3.000. Bahkan data kemiskinan pun, Bank Dunia seperti kehilangan akal untuk menemukan. Ya, hingga kini Bank Dunia tidak memiliki data kemiskinan di Libya. Fakta lain tak kalah menarik, sebelum perang meletus, ekonomi negara tengah booming. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa perekonomian Libya tahun lalu tumbuh 10,6 persen dan diproyeksikan akan tumbuh 6,2 persen pada tahun ini. Sayang perang keburu meletus!
Di Libya tidak ada tagihan listrik untuk warga; pinjaman uang di bank negara dikenakan bunga 0 %; bagi Pemerintahan Libya, rumah dianggap hak azasi manusia (HAM) --- bahkan untuk hal ini Gaddafi pernah bersumpah, orangtuanya tidak akan mendapatkan rumah sampai semua rakyat Libya memiliki rumah. Dan hingga sang ayah meninggal pun ia, istri dan sang ibu tercinta tetap tinggal di tenda-tenda.
Ada pendidikan dan perawatan medis gratis disana. Sebelumnya hanya 25% dari warga yang melek huruf kini mencapai 83%, maka pantaslah bila 25% warganya memiliki gelar universitas; lalu semua pengantin baru menerima bantuan 60.000 dinar dan $ 50.000 untuk membeli apartemen guna membantu memulai sebuah keluarga; jika warga hendak membuka usaha bidang pertanian, selain akan menerima lahan pertanian, rumah pertanian, peralatan, bibit juga ternak untuk memulainya, semuanya gratis.
Jikalau di Libya tidak ditemukan pendidikan atau fasilitas medis yang diinginkan rakyatnya maka pemerintah akan mengucurkan dana untuk pergi ke luar negeri. Tak cuma gratis, namun juga mendapat $ 2.300, termasuk akomodasi dan tunjangan mobil; dan betapa harga bensin hanya $ 0,14 per liter, selanjutnya bila warganya membeli mobil, pemerintah mensubsidi 50%. Enak tenan!
Selanjutnya, apabila setelah lulus sekolah ada warga tidak mendapat kerja, maka negara membayar rata-rata gaji profesi seolah-olah ia bekerja sampai memperoleh pekerjaan; kemudian sebagian penjualan minyak Libya dikreditkan langsung ke rekening bank bagi semua warganya; dan bagi ibu yang melahirkan menerima $ 5,000 dari negara. Sedangkan mega proyek di Libya selain Great River, proyek irigasi terbesar di dunia – juga membuat Link Satelit komunikasi untuk terwujud persatuan dan kesatuan umat di Benua Afrika.
Melihat data-data di atas, memang terasa janggal manakala di negara makmur seperti Libya ada gerakan massa mengatas-namakan korupsi, HAM, kemiskinan dan sebagainya, lalu mencoba menggulingkan kekuasaan yang syah kecuali ia sebuah setting politik tingkat tinggi dari luar yang bermaksud menggulingkan kekuasaan.
Episode yang layak dicermati sebelum “keroyokan” AS dan NATO di Libya, adalah ketika Gaddafi mencetak uang emas/dinar. Ini mungkin titik awalnya. Ia menyatakan bahwa sistem transaksi minyak harus menggunakan dinar, bukan uang kertas seperti biasanya. Hal ini membuat AS dan Uni Eropa kebakaran jenggot sebab mereka berutang lebih $ 200 miliar atas minyak Libya. Tampaknya, hal ini serupa dengan kasus Saddam Husein ketika menyatakan transaksi minyaknya harus menggunakan uero bukan dolar AS. Hal itu membuat Bush Jr marah besar dan berujung penyerbuan Irak oleh pasukan AS dan sekutu dengan beragam dalih.
Selain daripada itu bahwa konsesi para korporasi minyak global milik negara-negara Barat di Libya bakal berakhir tahun 2012 ini. Gaddafi mengatakan bahwa jika mereka tidak segera membayar maka konsesi baru akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak milik Rusia dan Cina! (http://libyasos.blogspot.com/). Sudah barang tentu deadline itu membuat para pemilik korporasi raksasa minyak menjadi geram!
Pada episode lain, kendati media mainstream selalu mengekspos kemenangan pasukan pemberontak namun fakta di lapangan menyebut, bahwa pemberontak yang dibantu NATO justru “babak belur” menghadapi loyalis Gaddafi. Itu biasa dalam perang, ada edit dan juga counter berita. Maka sangatlah janggal ketika beredar video soal “kematian Gaddafi” justru saat sedang ramai-ramainya perburuan terhadap “tikus-tikus” (sebutan untuk pemberontak) oleh pasukan reguler Libya. Barangkali ini merupakan bagian perang psikologi yang digunakan NATO guna menurunkan moral tempur para loyalis, tetapi ternyata moral para loyalis Gaddafi malah naik.
Aisha, putri Gaddafi menyatakan ayahnya masih hidup. Gaddafi memiliki 12 ganda atau wajah serupa (http://libyasos.blogspot.com/2011/10/how-many-of-gaddafis-doubles-did-they.html). Bahkan Dr Steve Pieczenik, mantan pejabat Departemen Luar Negeri yang merupakan psikiater dan spesialis dalam operasi psikologis dan perubahan rezim, menyatakan bahwa Muammar Gaddafi tidak mati. Video tentang "Kematian Gaddafi” telah dimanipulasi oleh Departemen Operasi Psikologis US Army. Ya, Pieczenik adalah mantan Asisten Deputi Sekretaris Negara dalam pemerintahan Reagan dan anggota Dewan organisasi "bergengsi" Hubungan Luar Negeri.
Agaknya perlawanan maha dahsyat oleh tentara Libya membuat NATO terpontang-panting. Dan segera harus mengubah strateginya agar tujuan “merampok harta dan sumberdaya” di Libya tetap tercapai. Selanjutnya untuk tidak malu bila meninggalkan medan tempur, diciptakanlah opini kematian Gaddafi supaya dianggap publik global misi telah usai. Setelah itu dibuat pula perayaan palsu oleh para tentara bayaran yang seolah-olah rakyat merayakannya. Lagi - lagi, ini mirip bahkan identik dengan skenario “kematian Osama” yang mayatnya konon dibuang ke laut, padahal cuma alibi menutup rasa malu atas rencana mundurnya pasukan AS dan sekutu dari Afghanistan setelah 10-an tahun perang melawan Taliban, namun tak jua memetik hasil (baca: Catatan Kecil Tewasnya Osama, 05/05/2011, www.theglobal-review.com).
Akhirnya memang ada gelombang penarikan militer AS dan sekutu dari Afghanistan. Juru bicara militer Amerika di Afghanistan Brigjen Carsten Jacobson mengkonfirmasikan keluarnya 10 ribu pasukan AS dan 200 militer Perancis meninggalkan Afghanistan. Dan menurut rencana, 1500 tentara Perancis lain juga akan meninggalkan negera tersebut (Fars News, Kabul, 3/11).
Jacobson menjelaskan bahwa perang bukan solusi untuk mengatasi masalah Afghanistan. Namun harus ditempuh melalui jalan politik dan diplomasi. Ditambahkannya, mewujudkan perdamaian di Afghanistan tanpa kerjasama dengan Islamabad adalah mustahil, sebab para teroris bersembunyi di Pakistan.
Kembali pada skenario tadi, episode berikut negara-negara NATO menawarkan bantuan rekonstruksi Libya. Lalu langkah terakhir ialah mencairkan aset Libya di luar negeri. Itulah tujuannya. Dalam perundingan di Paris, para pemimpin negara anggota NATO setuju mencairkan miliaran dolar aset Libya yang telah dibekukan untuk membantu pemerintahan transisi bentukan asing, guna membangun kembali infrastruktur dan fasilitas publik di Libya yang telah porak-poranda akibat perang. Parahnya lagi, dana itu diberikan dalam bentuk hutang! (baca: Perampokan ala NATO di http://dinasulaeman.wordpress.com/). Itulah yang kini sedang terjadi.
Dari uraian di atas, penulis mencoba membuat simpulan dari coretan tidak ilmiah ini. Antara lain adalah : (1) Video kematian Gaddafi adalah propaganda, sekaligus sebagai alasan NATO untuk mundur dari kancah perang di Libya, karena selain telah melebihi target waktu yang ditetapkan (3 minggu), juga over budget sedang negara-negara NATO sendiri tengah di terpa krisis ekonomi tak kunjung usai; (2) Selain hal di atas, “Kematian Gaddafi” hanya awal skenario dimana ujungnya adalah penjarahan aset-aset Libya di luar negeri. Barangkali itulah tujuan utamanya, merampok sumberdaya sekaligus menjarah harta negara Libya, dan (3) Sesuai judul tulisan ini, sesungguhnya perang Libya merupakan cermin dari “perampokan internasional” yang dilakukan oleh NATO, dengan modus yang teramat licik yakni: utang dibayar dengan bom!
Referensi dirangkum dari berbagai sumber.
sumber
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.