Para Kapitalis Busuk |
Asal-usul dari G-20 sangat terkait dengan krisis finansial yang melanda
Asia Timur pada 1997-1998. Ia merupakan anak dari krisis keuangan
internasional.
Ketika dibentuk, G-20 didorong oleh adanya kesadaran bahwa pencegahan (prevention) krisis keuangan dan penyelesaiannya (resolution) tidak dapat diselesaikan oleh kelompok negara-negara maju (G-7), tetapi juga harus melibatkan negara berkembang.
Isu utamanya adalah bagaimana melakukan pembaruan terhadap arsitektur keuangan internasional sehingga krisis finansial tidak lagi berulang. Ada kesadaran bahwa krisis keuangan akan mengancam pertumbuhan ekonomi global, menurunkan besar PDB sekitar 30 persen, menciptakan pengangguran, dan menambah jumlah orang miskin di negara yang terlanda krisis kebangkrutan bagi seluruh negara.
G-20, jalan moderat
Namun, upaya untuk menciptakan arsitektur keuangan itu bukan dilakukan melalui institusi IMF. Juga tidak dengan menciptakan kerangka kelembagaan baru pengganti IMF. Upaya itu dilakukan dengan menciptakan forum intergovernmental network. Pilihan ini menggambarkan sikap jalan moderat.
Penciptaan institusi baru di luar kerangka IMF dianggap terlalu radikal karena dapat menciptakan keguncangan dalam institusi-institusi keuangan di seluruh dunia. Namun, pilihan melalui IMF juga dipandang terlalu konservatif. Lembaga ini memiliki legitimasi yang rendah di kalangan negara berkembang. Bagi negara berkembang, IMF merupakan institusi yang didominasi negara maju. Pembuatan keputusan tidak didasarkan pada satu negara satu suara, tetapi berdasarkan kontribusi pendanaan dan yang terbesar adalah kelompok negara maju.
Dalam pandangan sekilas, kelompok negara berkembang dalam G-20, yang juga dikategorikan sebagai emerging market, melebihi jumlah negara maju G-7. Rasionya adalah 11 berbanding delapan dan satu lainnya diberikan kepada organisasi regional Uni Eropa. Jika ini dijadikan tolak ukurnya, pengaruh negara berkembang seakan lebih kuat dibandingkan dengan negara maju.
Namun, watak pertemuan dari G-20 adalah forum dialog yang didasarkan pada konsensus. G-20 bukanlah suatu entitas pembuatan keputusan yang didasarkan pada pemberian suara. Karena itu, keunggulan numerik kelompok negara berkembang dalam G-20 tidak memberikan pengaruh yang terlalu besar.
Bahkan jika dilihat dari sumber dayanya kelompok negara maju memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok negara berkembang. Kementerian keuangan dan bank-bank sentral yang ada di G-7 memiliki kapasitas yang lebih besar untuk merancang agenda, melaksanakan penelitian, dan mengembangkan posisi-posisi mereka dalam setiap pertemuan.
Kelompok negara maju juga memiliki hubungan yang lebih baik dengan organisasi internasional lainnya. G-7 memiliki jaringan pengaruh yang lebih luas dan kuat dengan IMF dan Bank Dunia. Menteri Keuangan kelompok G-7 mengadakan pertemuan enam kali setahun. Karena itu, kelompok G-7 dalam G-20 lebih mudah untuk mendapatkan kesamaan dalam agenda setting dibandingkan dengan kelompok negara berkembang.
Studi yang dilakukan Leonardo Martinez Diaz (2009) bahkan menunjukkan, sikap G-20 tampak lebih memihak G-7 dibandingkan dengan sikap G-24 (kumpulan negara berkembang). Dari sembilan isu yang dijadikan rujukan, G-20 hanya tampak mengakomodasikan dua isu kebijakan yang disampaikan G-24, yaitu dalam isu restrukturisasi utang negara (sovereign debt) dan dalam isu pembaruan lembaga-lembaga Breeton Woods.
Dalam isu restrukturisasi utang negara, disepakati perlunya code-of conduct yang adil bagi negara berkembang. Dalam isu pembaruan, kelembagaan juga disepakati perlu adanya perubahan dalam voting power di dalam institusi IMF dan Bank Dunia.
Namun, dalam tiga isu lainnya, posisi G-20 tidak memihak usulan negara berkembang. Sebagai misal, G-20 menolak posisi G-24 yang mengusulkan agar tidak mengaitkan aturan pengawasan (surveillance) dan persyaratan pinjaman (conditionality) IMF. Juga G-20 tidak menyatakan kecemasan negara berkembang tentang isu keterwakilan (representativeness) negara berkembang dalam forum-forum pertemuan keuangan internasional baru. G-20 juga tidak menyuarakan kecemasan G-24 terhadap implikasi isu pengurangan utang bagi negara berkembang.
G-20 juga bersikap diam atau tidak menyatakan apa pun dalam isu kondisionalitas IMF, kontrol modal dan perdagangan. Posisi negara berkembang dalam tiga isu ini, seperti yang terlihat dari pertemuan G-24, biasanya sangat kritis. Sebagai contoh dalam isu conditionality, G-24 menuntut adanya perampingan persyaratan IMF. Dalam isu kontrol modal, G-24 menuntut pengendalian khususnya pada perdagangan derivatif (derivative trading).
Namun, G-20 tidak berbicara tegas tentang isu ini. Juga G-20 tidak berbicara tentang praktik-praktik perdagangan proteksionis yang dilakukan oleh negara-negara industri maju. Bahkan, dalam satu isu khusus, Diaz menyebutkan, posisi G-20 menggambarkan posisi lebih ”maju” dibandingkan dengan G-7, yaitu dalam isu pendanaan terorisme.
KM-35
Bobot diplomasi Indonesia tentu saja meningkat setelah menjadi anggota G-20. Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang ikut dalam G-20 itu. Namun, harapan tampaknya jangan terlalu tinggi. G-20 tampaknya masih merupakan jalan panjang untuk mengakomodasikan kepentingan negara berkembang. Upaya untuk melakukan pembaruan arsitektur keuangan internasional yang dapat disepakti oleh semua negara, yaitu penciptaan rezim keuangan internasional, juga masih jauh dari harapan.
Mengaitkan G-20 dengan isu pembangunan juga baik, seperti yang kini tengah dijadikan salah satu agenda dalam pertemuan G-20 di Seoul. Akan tetapi, jangan pula terlalu tinggi menggantung harapan. G-20 tidak akan serta-merta dapat memecahkan persoalan KM-35 (kelompok miskin 35 juta) yang ada di Indonesia.
Substansi masalah pembangunan di Indonesia seharusnya dikaitkan dengan tersedianya lapangan kerja dengan pembayaran yang layak. Warga negara yang tidak bekerja tentu saja akan tidak memiliki pendapatan dan terlilit dengan kemiskinan. Demikian juga halnya, warga negara yang bekerja, tapi tidak mendapatkan upah yang wajar, yang kadang disebut dengan underemployment, juga akan sukar untuk meningkatkan hidupnya agar keluar dari garis kemiskinan. Terkait dengan ini kiranya pula ditambahkan beberapa fakta tentang angkatan kerja di Indonesia.
Data resmi yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2009 menunjukkan tingkat pengangguran (unemployment rate) di Indonesia diperkirakan sebesar 8,96 juta jiwa. Angka ini tampaknya kecil karena hanya sekitar 7,8 persen dari seluruh angkatan kerja (labor force) di Indonesia (169,93 juta jiwa). Namun harus ditambahkan beberapa catatan tentang pendefinisian.
Reformasi sosial
Definisi tentang angkatan kerja adalah orang yang berusia di atas 14 tahun. Yang tidak bekerja adalah antara nol dan 14 tahun yang jumlahnya diperkirakan sebesar 61,30 juta jiwa. Definisi tentang orang yang bekerja di Indonesia adalah jika ia bekerja lebih dari 35 jam seminggu. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 73,30 juta jiwa.
Kategori kedua adalah bekerja kurang dari 35 jam yang disebut dengan setengah penganggur (half unemployment). Jumlahnya diperkirakan 31,5 juta jiwa. Dari definisi ini kita bisa melihat bahwa definisi orang bekerja tidak terkait sama sekali dengan besaran pendapatan yang diterima. Kedua, seseorang dapat dikategorikan bekerja (walau dengan setengah pengangguran) jika dia bekerja walau hanya satu jam dalam seminggu.
Data lain lagi adalah sektor pertanian masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja terbesar, yakni 41,46 juta (39,68 persen). Sektor keuangan hanya menyerap sekitar 1,49 juta jiwa (1,42 persen). Dalam kaitan ini perlu pula dicatat bahwa dari segi pendidikan, hanya sekitar 4,71 persen yang berpendidikan sarjana. Mayoritas terbesar adalah tidak tamat SD, yaitu sebesar 57,38 juta jiwa (50,41 persen).
Data-data ini juga menyampaikan pesan bahwa sektor pertanian paling tidak terdidik, sedangkan sektor keuangan mungkin adalah sektor yang paling banyak menyerap angkatan kerja yang sarjana.
Apa yang bisa disimpulkan? Persoalan KM-35 dan struktur kualitas angkatan kerja merupakan realitas duka yang kita hadapi. Ia merupakan ”pekerjaan rumah” yang tidak bisa diselesaikan dengan strategi reformasi keuangan di tataran internasional. Ia merupakan gambaran ketimpangan distribusi kesejahteraan di tingkat nasional. Pemecahannya bersifat jangka panjang dan barangkali membutuhkan reformasi sosial (social reform) yang sangat serius dan mustahil dapat dipecahkan di meja perundingan dan dengan dokumen KTT.
Ketika dibentuk, G-20 didorong oleh adanya kesadaran bahwa pencegahan (prevention) krisis keuangan dan penyelesaiannya (resolution) tidak dapat diselesaikan oleh kelompok negara-negara maju (G-7), tetapi juga harus melibatkan negara berkembang.
Isu utamanya adalah bagaimana melakukan pembaruan terhadap arsitektur keuangan internasional sehingga krisis finansial tidak lagi berulang. Ada kesadaran bahwa krisis keuangan akan mengancam pertumbuhan ekonomi global, menurunkan besar PDB sekitar 30 persen, menciptakan pengangguran, dan menambah jumlah orang miskin di negara yang terlanda krisis kebangkrutan bagi seluruh negara.
G-20, jalan moderat
Namun, upaya untuk menciptakan arsitektur keuangan itu bukan dilakukan melalui institusi IMF. Juga tidak dengan menciptakan kerangka kelembagaan baru pengganti IMF. Upaya itu dilakukan dengan menciptakan forum intergovernmental network. Pilihan ini menggambarkan sikap jalan moderat.
Penciptaan institusi baru di luar kerangka IMF dianggap terlalu radikal karena dapat menciptakan keguncangan dalam institusi-institusi keuangan di seluruh dunia. Namun, pilihan melalui IMF juga dipandang terlalu konservatif. Lembaga ini memiliki legitimasi yang rendah di kalangan negara berkembang. Bagi negara berkembang, IMF merupakan institusi yang didominasi negara maju. Pembuatan keputusan tidak didasarkan pada satu negara satu suara, tetapi berdasarkan kontribusi pendanaan dan yang terbesar adalah kelompok negara maju.
Dalam pandangan sekilas, kelompok negara berkembang dalam G-20, yang juga dikategorikan sebagai emerging market, melebihi jumlah negara maju G-7. Rasionya adalah 11 berbanding delapan dan satu lainnya diberikan kepada organisasi regional Uni Eropa. Jika ini dijadikan tolak ukurnya, pengaruh negara berkembang seakan lebih kuat dibandingkan dengan negara maju.
Namun, watak pertemuan dari G-20 adalah forum dialog yang didasarkan pada konsensus. G-20 bukanlah suatu entitas pembuatan keputusan yang didasarkan pada pemberian suara. Karena itu, keunggulan numerik kelompok negara berkembang dalam G-20 tidak memberikan pengaruh yang terlalu besar.
Bahkan jika dilihat dari sumber dayanya kelompok negara maju memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok negara berkembang. Kementerian keuangan dan bank-bank sentral yang ada di G-7 memiliki kapasitas yang lebih besar untuk merancang agenda, melaksanakan penelitian, dan mengembangkan posisi-posisi mereka dalam setiap pertemuan.
Kelompok negara maju juga memiliki hubungan yang lebih baik dengan organisasi internasional lainnya. G-7 memiliki jaringan pengaruh yang lebih luas dan kuat dengan IMF dan Bank Dunia. Menteri Keuangan kelompok G-7 mengadakan pertemuan enam kali setahun. Karena itu, kelompok G-7 dalam G-20 lebih mudah untuk mendapatkan kesamaan dalam agenda setting dibandingkan dengan kelompok negara berkembang.
Studi yang dilakukan Leonardo Martinez Diaz (2009) bahkan menunjukkan, sikap G-20 tampak lebih memihak G-7 dibandingkan dengan sikap G-24 (kumpulan negara berkembang). Dari sembilan isu yang dijadikan rujukan, G-20 hanya tampak mengakomodasikan dua isu kebijakan yang disampaikan G-24, yaitu dalam isu restrukturisasi utang negara (sovereign debt) dan dalam isu pembaruan lembaga-lembaga Breeton Woods.
Dalam isu restrukturisasi utang negara, disepakati perlunya code-of conduct yang adil bagi negara berkembang. Dalam isu pembaruan, kelembagaan juga disepakati perlu adanya perubahan dalam voting power di dalam institusi IMF dan Bank Dunia.
Namun, dalam tiga isu lainnya, posisi G-20 tidak memihak usulan negara berkembang. Sebagai misal, G-20 menolak posisi G-24 yang mengusulkan agar tidak mengaitkan aturan pengawasan (surveillance) dan persyaratan pinjaman (conditionality) IMF. Juga G-20 tidak menyatakan kecemasan negara berkembang tentang isu keterwakilan (representativeness) negara berkembang dalam forum-forum pertemuan keuangan internasional baru. G-20 juga tidak menyuarakan kecemasan G-24 terhadap implikasi isu pengurangan utang bagi negara berkembang.
G-20 juga bersikap diam atau tidak menyatakan apa pun dalam isu kondisionalitas IMF, kontrol modal dan perdagangan. Posisi negara berkembang dalam tiga isu ini, seperti yang terlihat dari pertemuan G-24, biasanya sangat kritis. Sebagai contoh dalam isu conditionality, G-24 menuntut adanya perampingan persyaratan IMF. Dalam isu kontrol modal, G-24 menuntut pengendalian khususnya pada perdagangan derivatif (derivative trading).
Namun, G-20 tidak berbicara tegas tentang isu ini. Juga G-20 tidak berbicara tentang praktik-praktik perdagangan proteksionis yang dilakukan oleh negara-negara industri maju. Bahkan, dalam satu isu khusus, Diaz menyebutkan, posisi G-20 menggambarkan posisi lebih ”maju” dibandingkan dengan G-7, yaitu dalam isu pendanaan terorisme.
KM-35
Bobot diplomasi Indonesia tentu saja meningkat setelah menjadi anggota G-20. Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang ikut dalam G-20 itu. Namun, harapan tampaknya jangan terlalu tinggi. G-20 tampaknya masih merupakan jalan panjang untuk mengakomodasikan kepentingan negara berkembang. Upaya untuk melakukan pembaruan arsitektur keuangan internasional yang dapat disepakti oleh semua negara, yaitu penciptaan rezim keuangan internasional, juga masih jauh dari harapan.
Mengaitkan G-20 dengan isu pembangunan juga baik, seperti yang kini tengah dijadikan salah satu agenda dalam pertemuan G-20 di Seoul. Akan tetapi, jangan pula terlalu tinggi menggantung harapan. G-20 tidak akan serta-merta dapat memecahkan persoalan KM-35 (kelompok miskin 35 juta) yang ada di Indonesia.
Substansi masalah pembangunan di Indonesia seharusnya dikaitkan dengan tersedianya lapangan kerja dengan pembayaran yang layak. Warga negara yang tidak bekerja tentu saja akan tidak memiliki pendapatan dan terlilit dengan kemiskinan. Demikian juga halnya, warga negara yang bekerja, tapi tidak mendapatkan upah yang wajar, yang kadang disebut dengan underemployment, juga akan sukar untuk meningkatkan hidupnya agar keluar dari garis kemiskinan. Terkait dengan ini kiranya pula ditambahkan beberapa fakta tentang angkatan kerja di Indonesia.
Data resmi yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2009 menunjukkan tingkat pengangguran (unemployment rate) di Indonesia diperkirakan sebesar 8,96 juta jiwa. Angka ini tampaknya kecil karena hanya sekitar 7,8 persen dari seluruh angkatan kerja (labor force) di Indonesia (169,93 juta jiwa). Namun harus ditambahkan beberapa catatan tentang pendefinisian.
Reformasi sosial
Definisi tentang angkatan kerja adalah orang yang berusia di atas 14 tahun. Yang tidak bekerja adalah antara nol dan 14 tahun yang jumlahnya diperkirakan sebesar 61,30 juta jiwa. Definisi tentang orang yang bekerja di Indonesia adalah jika ia bekerja lebih dari 35 jam seminggu. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 73,30 juta jiwa.
Kategori kedua adalah bekerja kurang dari 35 jam yang disebut dengan setengah penganggur (half unemployment). Jumlahnya diperkirakan 31,5 juta jiwa. Dari definisi ini kita bisa melihat bahwa definisi orang bekerja tidak terkait sama sekali dengan besaran pendapatan yang diterima. Kedua, seseorang dapat dikategorikan bekerja (walau dengan setengah pengangguran) jika dia bekerja walau hanya satu jam dalam seminggu.
Data lain lagi adalah sektor pertanian masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja terbesar, yakni 41,46 juta (39,68 persen). Sektor keuangan hanya menyerap sekitar 1,49 juta jiwa (1,42 persen). Dalam kaitan ini perlu pula dicatat bahwa dari segi pendidikan, hanya sekitar 4,71 persen yang berpendidikan sarjana. Mayoritas terbesar adalah tidak tamat SD, yaitu sebesar 57,38 juta jiwa (50,41 persen).
Data-data ini juga menyampaikan pesan bahwa sektor pertanian paling tidak terdidik, sedangkan sektor keuangan mungkin adalah sektor yang paling banyak menyerap angkatan kerja yang sarjana.
Apa yang bisa disimpulkan? Persoalan KM-35 dan struktur kualitas angkatan kerja merupakan realitas duka yang kita hadapi. Ia merupakan ”pekerjaan rumah” yang tidak bisa diselesaikan dengan strategi reformasi keuangan di tataran internasional. Ia merupakan gambaran ketimpangan distribusi kesejahteraan di tingkat nasional. Pemecahannya bersifat jangka panjang dan barangkali membutuhkan reformasi sosial (social reform) yang sangat serius dan mustahil dapat dipecahkan di meja perundingan dan dengan dokumen KTT.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.