Di harian nasional terkemuka tanggal 9 Agustus 2012, ada iklan anonim yang membela liberalisme, mengungkapkan: “Bung Hatta anti kapitalisme tetapi tidak anti kapital…jadi Bung Hatta tidak anti investasi asing”. Lalu apa hebatnya kutipan pandangan Bung Hatta oleh Radjagukguk yang memelintir ini untuk membela privatisasi (yang kemudian nanti pasti menjadi awal asingisasi). Semua orang terpelajar toh sudah tahu bahwa Bung Hatta (juga Bung Karno) bukanlah xenophobic, tidak anti asing.
Kita berontak terhadap penjajahan Belanda tidak terlepas dari penolakan terhadap sistem ekonomi liberal yang membentuk kapitalisme dan penindasan kolonial. Mohammad Hatta ketika diangkat menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda (1926) pidato inagurasinya berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen” (Bangunan Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan) mengutuk tajam liberalisme, kapitalisme dan imperialisme. Digambarkannya di pidato itu bakal pecahnya perang di Pasifik antara Timur dan Barat, yang ternyata benar-benar terjadi 16 tahun kemudian pada tahun 1942. Kemudian dalam pembelaan (pleidooi)-nya di Pengadilan Den Haag 9 Maret 1928 Hatta (usia 25 tahun) telah menolak liberalisme, kapitalisme dan imperialisme, bahkan mengatakan didepan Hakim “lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain”.
Antara tahun 1931 – 1934 penolakan itu dalam artikel-artikelnya: “Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia”, dalam Daulat Ra’jat, 20 November 1931 dan artikel-artikel berikutnya “Pendirian Kita” (Daulat Ra’jat, 10 September 1932). “Krisis Dunia dan Nasib Ra’jat Indonesia” (Daulat Ra’jat, 20 September 1932), “Ekonomi Ra’jat” (Daulat Ra’jat, 20 November 1933), dan yang paling monumental artikelnya yang berjudul “Ekonomi Ra’jat dalam Bahaja” (Daulat Ra’jat, 10 Juni 1934). Kesemuanya menggambarkan keganasan kapitalisme yang menghancurkan ekonomi rakyat di Hindia Belanda.
Sepulangnya dari Negeri Belanda akhir tahun 1932 tidak lama Hatta bebas bergerak, ia ditangkap dan masuk Penjara Glodok pada tahun 1933 selama hampir 1 tahun, kemudian Hatta langsung dibuang ke Boven Digoel, Tanah Merah, tempat pembuangan yang paling kejam dan mengerikan. Di dalam Penjara Glodok itu ia menulis buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (dicetak 1934), di situ ditegaskan oleh Hatta penolakannya terhadap sistem pasar-bebas sebagai lahan hidupnya liberalisme ekonomi “…teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus, yakni orang ekonomi, yang mengetahui keperluannya yang setinggi-tingginya, yang mengetahui kedudukan pasar, yang pandai berhitung secara ekonomi dan rasional… sebab itu dalam praktik laisser-faire stelsel – persaingan merdeka – tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith… Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah…”. Apa yang dikemukakan Hatta tahun 1934 ini kiranya merupakan embrio Pasal 33 UUD 1945 yang menolak pasar-bebas.
***
Liberalisme berubah lebih ganas dan predatorik menjadi neoliberalisme bersamaan dengan intensnya globalisasi rakus (memang ada pendapat lain yang menganggap, neoliberalisme adalah neo-Post-Keynesian yang tidak strukturalistik). Neoliberalisme ibarat istilah baru sebagaimana globalisasi juga istilah baru dalam kamus bahasa Inggris. Pandangan Hatta adalah strukturalisme, pemikiran ekonomi yang mengungkap, mengusut dan berupaya mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.
Kaum neoliberalis dan pembela-pembelanya makin terang-terangan mengabaikan Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33-nya. Ketika saya ikut membela Serikat Pekerja PLN sebagai Saksi di Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan permohonan judicial review menolak UU No. 30/2009 agar terhadap PLN tidak dilakukan unbundling lalu bisa dipakai “bancaan” (ramai-ramai dijarah) melalui privatisasi. Saksi pihak Pemerintah Prof. Radjagukguk membela UU No. 30/2009 mengutipkan bahwa Bung Hatta tidak berkeberatan adanya kerjasama dengan investor asing, tidak pula anti pinjaman luar negeri.
Pandangan Prof. Radjagukguk yang mencuat dari kacamata liberalnya diulang lagi dalam sebuah harian nasional tanggal 27 Juli, katanya “…Bung Hatta tidak anti asing, jadi Pasal 33 tidak anti asing…jadi UU Migas No. 22/2001 tidak bertentangan dengan UUD 1945”.
Bukan main, doktrin Demokrasi Ekonomi yang dikandung dalam Pasal 33 UUD 1945 direduksi dan dipelintir habis-habisan dari konteks Demokrasi Ekonomi. Bung Hatta mengartikan Demokrasi Ekonomi sebagai: “…Tidak seorang atau satu golongan kecil yang menguasai penghidupan orang banyak, melainkan keperluan dan kemauan orang banyak harus menjadi pedoman …”. Inilah titik-tolak doktrin ekonomi nasional Indonesia – anti individualisme, liberalisme dan kapitalisme.
Ditegaskan pula dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, bahwa arti Demokrasi Ekonomi lebih lanjut adalah “kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang, sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama (mutualism, pen.) berdasar atas asas kekeluargaan (brotherhood, pen.)…”. (Penjelasan UUD 1945 asli tetap berlaku pada pasal-pasal atau ayat-ayat yang tidak diamandemen pada UUD 2002 – demikian ditegaskan Maria Farida, Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi).
Pandangan Bung Hatta mengenai Pasal 33 UUD 1945 lebih spesifik, pada pidato di HIPKI Sumatera Barat 18 April 1979 Bung Hatta menegaskan “…keputusan-keputusan ekonomi untuk rakyat banyak sesuai cita-cita UUD 1945 tidak berdasarkan mekanisme pasar seperti pada ekonomi liberal…”. UU Migas yang dibela Radjagukguk jelas liberalistik mengacu pada mekanisme pasar.
Kemudian dalam Pidato pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia/ISEI 15 Juni 1979, Bung Hatta menegaskan pula: “…pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar seperti membangun tenaga listrik, penyediaan air minum, menggali saluran pengairan, membuat jalan perhubungan guna lancarnya jalan ekonomi, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak – apa yang disebut dalam bahasa Inggris public-utilities, diusahakan oleh pemerintah. Tetapi pimpinan perusahaan diberikan kepada tenaga yang cakap…apabila tidak terdapat atau belum terdapat di antara bangsa sendiri, disewa manajemen asing, dengan syarat bahwa selama ia memimpin perusahaan Negara, ia mendidik gantinya dari orang Indonesia sendiri… . Di mana perlu orang asing dan kapital asing diikutsertakan … di bawah penilikan pemerintah dan dalam bidang dan syarat yang ditentukan pula oleh pemerintah”.
Jelas peranan pemerintah adalah untuk menyelamatkan kepentingan rakyat dan Negara (ditegaskan dalam Penjelasan) “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara” dan yang “menguasai” hajat hidup orang banyak” harus dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat “dikuasai oleh Negara” untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Demikianlah perekonomian imperatif harus “disusun” (ayat 1 Pasal 33), tidak dibiarkan tersusun sendiri sesuai dengan selera dan kehendak pasar-bebas. Ini pun sekarang sesuai dengan kehendak zaman kontemporer yang menghendaki the end of laissez-faire, perlu berakhirnya pasar-bebas (Polanyi, Baran, Galbraith, J. Robinson, Tinbergen, Kaldor, Myrdal, Singer, Seers, Sen, Streeten, Kuttner, Giddens, Etzioni, Akerlof, JW Smith, Williams, Stiglitz, dst).
***
Mohammad Hatta memang bukan seorang yang anti asing, tidak pula anti modal asing, tetapi itu bukan berarti pandangan Hatta yang dikutibnya itu terlepas dari cita-cita nasional, yaitu bahwa investasi asing maupun pinjaman luar negeri harus mampu meningkatkan kemandirian nasional. Tentang ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” (yang memperoleh penjelasan dari Bung Hatta bahwa “menguasai” tidak harus menjadi “ondernemer”), sama sekali tidak berarti untuk mengingkari “Doktrin Demoraksi Ekonomi”. The global rule of the game yang berlaku adalah bahwa “menguasai” haruslah dengan “memiliki”. Subject matter Pasal 33 adalah “menguasai”, apabila penguasaan tidak bisa dilakukan tanpa pemilikan, maka haruslah Pemerintah “memilikinya”, minimal 51 % ke arah indonesianisasi demi menyelamatkan kepentingan dan kedaulatan Negara. Yang “vital-strategis” harus dimiliki sepenuhnya oleh Negara. Lebih tegas lagi, baik Bung Hatta atau Bung Karno, investasi asing dan investor asing tidak boleh mempredominasi (beheersen) ataupun mendominasi (overheersen) ekonomi nasional kita.
Mengenai open door policy (pelaksanaan UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967) dalam rapat Panitia Lima 11 Maret 1975 Bung Hatta mengemukakan kritiknya (1) ekonom-ekonom Bappenas didikan Amerika hanya mau mengekor saja ekonom-ekonom Amerika; (2) mengapa konsesi-konsesi antara lain hutan tanpa batas; (3) mengapa pabrik baja dan semen diserahkan kepada swasta; (4) mengapa pabrik pupuk mau dibatasi untuk menguntungkan importir; (5) mengapa DPR lumpuh kurang tanggap menjaga soal pajak dan perjanjian-perjanjian dengan swasta asing untuk bidang “vital-strategis”. Anggota Panitia Lima yang masih hidup tinggal seorang, A. P. Batubara.
Kemudian di dalam Seminar Penjabaran Pasal 33 (6-7 Oktober 1977) Bung Hatta mengakhiri pidatonya dengan kata-kata: “…Pada masa yang akhir ini Negara kita masih berdasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi politik perekonomian Negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, seringkali liberalisme dipakai jadi pedoman. Berbagai barang yang penting bagi penghidupan rakyat tidak menjadi monopoli Pemerintah, tetapi di monopoli orang-orang Cina…”.
Mengapa UU No. 1/1967 di teken Presiden Soekarno padahal Bung Karno baru bilang “go to hell with your aid” dan keluar dari keanggotaan PBB? Barangkali Presiden Soekarno mencoba realistis, toh Pasal 4, 5 dan 6 UU No. 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33) yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing, meliputi pelabuhan; produksi, transmisi dan distribusi listrik untuk umum; telekomunikasi, pelayaran; air minum; kereta api umum; tenaga atom dan media masa. Inilah penolakan tegas terhadap neoliberalisme.
***
Ada pula “the invisible hands” alias tangan-tangan yang tak nampak atau “tangan ajaib”, jauh-jauh hari telah merencanakan mengubah Pasal 33 UUD 1945, bahkan dengan kenekatan luar biasa berantisipasi dan yakin (self-fulfuling prophecy) bahwa Pasal 33 UUD 1945 pasti berhasil mereka gusur. Sejak tahap masih disusun sebagai RUU Migas telah dipersiapkan jauh-jauh hari dan sudah mereka cantumkan dalam Konsideran-nya, dan tertulis “Mengingat: ...Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; …” padahal kita tahu bahwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 telah gagal mereka rubah, tetap utuh sebagai aslinya. Ketika amandemen diputuskan dan menolak perubahan (antara lain berkat perjuangan mati-hidup saya dkk saat itu selaku anggota MPR), mereka lupa menyesuaikan kembali Konsideran yang penuh kerakusan imaginasi dan mimpi. Akibatnya UU Migas Konsideran-nya tidak valid atau sepenuhnya keliru sebagai rechtsidee. Jadi UU Migas secara otomatis batal demi hukum.
Untuk jelasnya, Pasal 33 dan Bung Hatta mendudukkan rakyat pada posisi “sentral-substansial” dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebaliknya sistem ekonomi neoliberalisme (yang menjajah akademisi kampus-kampus kita) menempatkan peran kapital mengungguli harkat manusia, mereduksi kedudukan rakyat menjadi “marginal-residual”. Itulah kapitalisme dan neoliberalisme, manusia bebas tampil dalam bentuk rakus-matrealistiknya sebagai homo-economicus, mengabaikan manusia dari sosok utuhnya sebagai homo-socius, homo-humanus dan homo-religious. Pembangunan diwajarkan menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan.
Penulis: Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
Kita berontak terhadap penjajahan Belanda tidak terlepas dari penolakan terhadap sistem ekonomi liberal yang membentuk kapitalisme dan penindasan kolonial. Mohammad Hatta ketika diangkat menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda (1926) pidato inagurasinya berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen” (Bangunan Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan) mengutuk tajam liberalisme, kapitalisme dan imperialisme. Digambarkannya di pidato itu bakal pecahnya perang di Pasifik antara Timur dan Barat, yang ternyata benar-benar terjadi 16 tahun kemudian pada tahun 1942. Kemudian dalam pembelaan (pleidooi)-nya di Pengadilan Den Haag 9 Maret 1928 Hatta (usia 25 tahun) telah menolak liberalisme, kapitalisme dan imperialisme, bahkan mengatakan didepan Hakim “lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain”.
Antara tahun 1931 – 1934 penolakan itu dalam artikel-artikelnya: “Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia”, dalam Daulat Ra’jat, 20 November 1931 dan artikel-artikel berikutnya “Pendirian Kita” (Daulat Ra’jat, 10 September 1932). “Krisis Dunia dan Nasib Ra’jat Indonesia” (Daulat Ra’jat, 20 September 1932), “Ekonomi Ra’jat” (Daulat Ra’jat, 20 November 1933), dan yang paling monumental artikelnya yang berjudul “Ekonomi Ra’jat dalam Bahaja” (Daulat Ra’jat, 10 Juni 1934). Kesemuanya menggambarkan keganasan kapitalisme yang menghancurkan ekonomi rakyat di Hindia Belanda.
Sepulangnya dari Negeri Belanda akhir tahun 1932 tidak lama Hatta bebas bergerak, ia ditangkap dan masuk Penjara Glodok pada tahun 1933 selama hampir 1 tahun, kemudian Hatta langsung dibuang ke Boven Digoel, Tanah Merah, tempat pembuangan yang paling kejam dan mengerikan. Di dalam Penjara Glodok itu ia menulis buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (dicetak 1934), di situ ditegaskan oleh Hatta penolakannya terhadap sistem pasar-bebas sebagai lahan hidupnya liberalisme ekonomi “…teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus, yakni orang ekonomi, yang mengetahui keperluannya yang setinggi-tingginya, yang mengetahui kedudukan pasar, yang pandai berhitung secara ekonomi dan rasional… sebab itu dalam praktik laisser-faire stelsel – persaingan merdeka – tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith… Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah…”. Apa yang dikemukakan Hatta tahun 1934 ini kiranya merupakan embrio Pasal 33 UUD 1945 yang menolak pasar-bebas.
***
Liberalisme berubah lebih ganas dan predatorik menjadi neoliberalisme bersamaan dengan intensnya globalisasi rakus (memang ada pendapat lain yang menganggap, neoliberalisme adalah neo-Post-Keynesian yang tidak strukturalistik). Neoliberalisme ibarat istilah baru sebagaimana globalisasi juga istilah baru dalam kamus bahasa Inggris. Pandangan Hatta adalah strukturalisme, pemikiran ekonomi yang mengungkap, mengusut dan berupaya mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.
Kaum neoliberalis dan pembela-pembelanya makin terang-terangan mengabaikan Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33-nya. Ketika saya ikut membela Serikat Pekerja PLN sebagai Saksi di Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan permohonan judicial review menolak UU No. 30/2009 agar terhadap PLN tidak dilakukan unbundling lalu bisa dipakai “bancaan” (ramai-ramai dijarah) melalui privatisasi. Saksi pihak Pemerintah Prof. Radjagukguk membela UU No. 30/2009 mengutipkan bahwa Bung Hatta tidak berkeberatan adanya kerjasama dengan investor asing, tidak pula anti pinjaman luar negeri.
Pandangan Prof. Radjagukguk yang mencuat dari kacamata liberalnya diulang lagi dalam sebuah harian nasional tanggal 27 Juli, katanya “…Bung Hatta tidak anti asing, jadi Pasal 33 tidak anti asing…jadi UU Migas No. 22/2001 tidak bertentangan dengan UUD 1945”.
Bukan main, doktrin Demokrasi Ekonomi yang dikandung dalam Pasal 33 UUD 1945 direduksi dan dipelintir habis-habisan dari konteks Demokrasi Ekonomi. Bung Hatta mengartikan Demokrasi Ekonomi sebagai: “…Tidak seorang atau satu golongan kecil yang menguasai penghidupan orang banyak, melainkan keperluan dan kemauan orang banyak harus menjadi pedoman …”. Inilah titik-tolak doktrin ekonomi nasional Indonesia – anti individualisme, liberalisme dan kapitalisme.
Ditegaskan pula dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, bahwa arti Demokrasi Ekonomi lebih lanjut adalah “kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang, sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama (mutualism, pen.) berdasar atas asas kekeluargaan (brotherhood, pen.)…”. (Penjelasan UUD 1945 asli tetap berlaku pada pasal-pasal atau ayat-ayat yang tidak diamandemen pada UUD 2002 – demikian ditegaskan Maria Farida, Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi).
Pandangan Bung Hatta mengenai Pasal 33 UUD 1945 lebih spesifik, pada pidato di HIPKI Sumatera Barat 18 April 1979 Bung Hatta menegaskan “…keputusan-keputusan ekonomi untuk rakyat banyak sesuai cita-cita UUD 1945 tidak berdasarkan mekanisme pasar seperti pada ekonomi liberal…”. UU Migas yang dibela Radjagukguk jelas liberalistik mengacu pada mekanisme pasar.
Kemudian dalam Pidato pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia/ISEI 15 Juni 1979, Bung Hatta menegaskan pula: “…pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar seperti membangun tenaga listrik, penyediaan air minum, menggali saluran pengairan, membuat jalan perhubungan guna lancarnya jalan ekonomi, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak – apa yang disebut dalam bahasa Inggris public-utilities, diusahakan oleh pemerintah. Tetapi pimpinan perusahaan diberikan kepada tenaga yang cakap…apabila tidak terdapat atau belum terdapat di antara bangsa sendiri, disewa manajemen asing, dengan syarat bahwa selama ia memimpin perusahaan Negara, ia mendidik gantinya dari orang Indonesia sendiri… . Di mana perlu orang asing dan kapital asing diikutsertakan … di bawah penilikan pemerintah dan dalam bidang dan syarat yang ditentukan pula oleh pemerintah”.
Jelas peranan pemerintah adalah untuk menyelamatkan kepentingan rakyat dan Negara (ditegaskan dalam Penjelasan) “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara” dan yang “menguasai” hajat hidup orang banyak” harus dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat “dikuasai oleh Negara” untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Demikianlah perekonomian imperatif harus “disusun” (ayat 1 Pasal 33), tidak dibiarkan tersusun sendiri sesuai dengan selera dan kehendak pasar-bebas. Ini pun sekarang sesuai dengan kehendak zaman kontemporer yang menghendaki the end of laissez-faire, perlu berakhirnya pasar-bebas (Polanyi, Baran, Galbraith, J. Robinson, Tinbergen, Kaldor, Myrdal, Singer, Seers, Sen, Streeten, Kuttner, Giddens, Etzioni, Akerlof, JW Smith, Williams, Stiglitz, dst).
***
Mohammad Hatta memang bukan seorang yang anti asing, tidak pula anti modal asing, tetapi itu bukan berarti pandangan Hatta yang dikutibnya itu terlepas dari cita-cita nasional, yaitu bahwa investasi asing maupun pinjaman luar negeri harus mampu meningkatkan kemandirian nasional. Tentang ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” (yang memperoleh penjelasan dari Bung Hatta bahwa “menguasai” tidak harus menjadi “ondernemer”), sama sekali tidak berarti untuk mengingkari “Doktrin Demoraksi Ekonomi”. The global rule of the game yang berlaku adalah bahwa “menguasai” haruslah dengan “memiliki”. Subject matter Pasal 33 adalah “menguasai”, apabila penguasaan tidak bisa dilakukan tanpa pemilikan, maka haruslah Pemerintah “memilikinya”, minimal 51 % ke arah indonesianisasi demi menyelamatkan kepentingan dan kedaulatan Negara. Yang “vital-strategis” harus dimiliki sepenuhnya oleh Negara. Lebih tegas lagi, baik Bung Hatta atau Bung Karno, investasi asing dan investor asing tidak boleh mempredominasi (beheersen) ataupun mendominasi (overheersen) ekonomi nasional kita.
Mengenai open door policy (pelaksanaan UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967) dalam rapat Panitia Lima 11 Maret 1975 Bung Hatta mengemukakan kritiknya (1) ekonom-ekonom Bappenas didikan Amerika hanya mau mengekor saja ekonom-ekonom Amerika; (2) mengapa konsesi-konsesi antara lain hutan tanpa batas; (3) mengapa pabrik baja dan semen diserahkan kepada swasta; (4) mengapa pabrik pupuk mau dibatasi untuk menguntungkan importir; (5) mengapa DPR lumpuh kurang tanggap menjaga soal pajak dan perjanjian-perjanjian dengan swasta asing untuk bidang “vital-strategis”. Anggota Panitia Lima yang masih hidup tinggal seorang, A. P. Batubara.
Kemudian di dalam Seminar Penjabaran Pasal 33 (6-7 Oktober 1977) Bung Hatta mengakhiri pidatonya dengan kata-kata: “…Pada masa yang akhir ini Negara kita masih berdasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi politik perekonomian Negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, seringkali liberalisme dipakai jadi pedoman. Berbagai barang yang penting bagi penghidupan rakyat tidak menjadi monopoli Pemerintah, tetapi di monopoli orang-orang Cina…”.
Mengapa UU No. 1/1967 di teken Presiden Soekarno padahal Bung Karno baru bilang “go to hell with your aid” dan keluar dari keanggotaan PBB? Barangkali Presiden Soekarno mencoba realistis, toh Pasal 4, 5 dan 6 UU No. 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33) yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing, meliputi pelabuhan; produksi, transmisi dan distribusi listrik untuk umum; telekomunikasi, pelayaran; air minum; kereta api umum; tenaga atom dan media masa. Inilah penolakan tegas terhadap neoliberalisme.
***
Ada pula “the invisible hands” alias tangan-tangan yang tak nampak atau “tangan ajaib”, jauh-jauh hari telah merencanakan mengubah Pasal 33 UUD 1945, bahkan dengan kenekatan luar biasa berantisipasi dan yakin (self-fulfuling prophecy) bahwa Pasal 33 UUD 1945 pasti berhasil mereka gusur. Sejak tahap masih disusun sebagai RUU Migas telah dipersiapkan jauh-jauh hari dan sudah mereka cantumkan dalam Konsideran-nya, dan tertulis “Mengingat: ...Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; …” padahal kita tahu bahwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 telah gagal mereka rubah, tetap utuh sebagai aslinya. Ketika amandemen diputuskan dan menolak perubahan (antara lain berkat perjuangan mati-hidup saya dkk saat itu selaku anggota MPR), mereka lupa menyesuaikan kembali Konsideran yang penuh kerakusan imaginasi dan mimpi. Akibatnya UU Migas Konsideran-nya tidak valid atau sepenuhnya keliru sebagai rechtsidee. Jadi UU Migas secara otomatis batal demi hukum.
Untuk jelasnya, Pasal 33 dan Bung Hatta mendudukkan rakyat pada posisi “sentral-substansial” dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebaliknya sistem ekonomi neoliberalisme (yang menjajah akademisi kampus-kampus kita) menempatkan peran kapital mengungguli harkat manusia, mereduksi kedudukan rakyat menjadi “marginal-residual”. Itulah kapitalisme dan neoliberalisme, manusia bebas tampil dalam bentuk rakus-matrealistiknya sebagai homo-economicus, mengabaikan manusia dari sosok utuhnya sebagai homo-socius, homo-humanus dan homo-religious. Pembangunan diwajarkan menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan.
Penulis: Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.