Tadi pagi seorang karyawan di pabrik tempat saya bekerja masuk ke
kantor dan menyodorkan sebuah amplop coklat besar ke saya. Dia bilang, “Pak, ini lamaran kerja dari tetangga saya. Lulusan SMP.”
Saya memang sedang mencari calon karyawan untuk tenaga kebersihan,
setelah minggu lalu saya kehilangan 1 orang karena pindah kerja ke luar
kota. Lulusan SMP juga sudah cukup.
“Ya, terima kasih,” saya menjawab sambil menerima amplop besar itu.
Jam kerja baru saja masuk. Jadi, saya belum begitu repot dengan
pekerjaan saya mengawasi mesin-mesin produksi yang sedang di-overhaul.
Langsung saya buka amplop besar itu dan mulai melihat-lihat apa
isinya. Susunan berkas tampak tidak berurutan. Fotokopi ijasah SMPnya
berada paling atas. Di bawahnya, surat lamaran ditulis tangan dengan
huruf yang agak besar. Tidak ada SKKB dari kepolisian, juga KTP.
Tiba-tiba rasa prihatin saya muncul.
Usianya masih sangat muda. 15 tahun. Kelahiran tahun 1993, dan fresh
baru lulus SMP pada bulan Juni 2008 ini. Dari umurnya, saya sudah pasti
tidak akan menerimanya bekerja. Tapi saya tetap meneruskan pencarian
saya terhadap image pelamar muda belia ini.
Di bagian belakang fotokopi ijasah SMP terdapat Daftar Nilai Ujian.
Saya mengamatinya. Saya rasa, anak ini cukup pandai di kelasnya dulu.
Nilai Ujian Nasionalnya antara 7,00 dan 8,00. Agama 8,20, Seni Budaya
8,90, dan Teknologi Informasi & Komunikasi 8,00. Sama sekali tidak
jelek. Saya abaikan isu-isu kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional yang jadi rahasia umum itu. Anggap saja anak ini jujur.
Terbayang, betapa remaja belia ini dulu begitu bangga menerima
ijasahnya dengan nilai yang cukup bagus. Orang tuanya pun pasti
demikian. Mungkin juga ditambah suka cita dan angan-angan si belia
tentang bangku SMA, ketika dia sudah dianggap lebih dewasa dan tidak
lagi berseragamkan celana pendek.
Siapa sangka, ternyata keadaan ekonomi memutuskan harapannya untuk berpendidikan lebih tinggi.
Ini saya ketahui ketika siangnya, melalui telpon, saya bertanya kepada karyawan si pembawa lamaran kerja.
“Cep, ini anaknya baru keluar SMP kemarin ya? Nggak pingin sekolah?”
“Nggak pak. Pingin kerja aja katanya.”
“Kenapa?”
“Ya… pingin anaknya sih bisa nerusin ke SMU. Tapi orang tuanya nggak ada biaya.”
“Kegiatannya sekarang apa di rumah?”
“Bantuin ibunya bikin cobek. Di rumah, ibunya memang bekerja bikin cobek yang dari batu itu pak. Nanti dijual keliling. Uangnya buat ibunya”
Hhhh… lagi-lagi uang jadi masalah. Atau, malah biaya pendidikan yang
lebih menjadi masalah? Sepertinya begitu. Perhatian pemerintah memang
kurang untuk hak pendidikan warga negaranya. Saya sendiri bukan
negarawan. Saya tidak pandai, dalam kondisi sedang sulit begini, apa
yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan
warganya. Yang saya tahu hanyalah kenyataan, bahwa pendidikan itu sangat mahal harganya. Sangat jauh dan sulit sekali direngkuh oleh sebagian besar warga negara kita.
Ironisnya, banyak petinggi negara ini yang berfoya-foya dengan hasil
korupsinya. Anda tahu lah, siapa saja mereka itu. Saya juga yakin,
jumlah mereka akan bertambah seiring dengan temuan-temuan baru KPK. Bagi
saya, itu dosa yang tidak terampunkan. Tidakkah mereka sadar, sebagian
harta milik negara itu adalah hak anak-anak negeri seperti si belia yang
ingin bekerja ini. SEMOGA NEGERI INI CEPAT DIBEBASKAN DARI KORUPTOR-KORUPTOR KEPARAT ITU !!
Dalam hati saya ada dilemma sekarang. Di antara pilihan untuk tidak
menerima belia ini bekerja karena aturan ketenagakerjaan itu, dengan
menjawab keinginan hatinya untuk berbakti kepada orangtuanya.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.