Keberadaannya dapat digunakan oleh politisi reaksioner maupun gerakan revolusioner, oleh karena itu posisinya dalam masyarakat tidak kuat. Lumpen proletariat adalah level terendah dari proletariat, yang biasanya menganggur, miskin, tidak memiliki kemampuan kerja, kriminal dan karakteristik mereka yang paling sering ditemui adalah ketiadaan kesadaran kelas, sebagai kelompok-kelompok yang tak akan mampu menciptakan revolusi.
Mereka tidak mempunyai pekerjaan yang jelas, keinginan untuk memperoleh pekerjaan dan hidup sebagai parasit sosial. Termasuk di dalamnya pencuri, pelacur, bandit, penjahat, penipu, gelandangan, pengangguran (dan calon pengangguran), orang yang dibuang dari industri, dan semua yang tidak masuk klas (declassed or non-class) dan taraf manapun. Kaum ini dipandang sebagai cadangan industri oleh para kapitalis. Setiap saat mereka bisa difungsikan untuk menurunkan posisi tawar buruh terhadap majikannya.
Dalam A Critique of The German Ideology, Marx menyebutkan bahwa lumpenproletariat tidak memiliki kekuasaan dan tidak terorganisasi. Termasuk di antaranya gelandangan dan pengemis. Bahkan Marx menyebutkan kedua golongan ini secara jelas dalam beberapa tulisannya. Dari definisi yang diberikan pemerintah [Lihat PP nomor 31 tahun 1980. Elizabethan Poor Law tahun 1601 yang menjadi cikal bakal undang-undang kesejahteraan sosial pun tidak memberi ruang bagi kedua golongan ini] pun kita tahu bahwa gelandangan tidak bekerja dan oleh karena itu dapat digolongkan ke dalam lumpenproletariat. Sementara pengemis dapat dimasukkan ke dalam lumpenproletariat karena mereka dianggap sebagai klas terbuang yang hanya menjadi golongan yang tersingkirkan.
Dari segi definisi dan sejarah, gelandangan sejak dahulu memiliki potensi revolusioner seperti yang diaplikasikan kaum Marxis [Seperti Mao Zedong yang memobilisir kaum petani dan gelandangan dalam revolusi di Cina. Marx sendiri tidak menyetujui turut sertanya kaum lumpenproletariat dalam revolusi]. Peneliti-peneliti masyarakat zaman tradisional mengatakan di zaman kerajaan Indonesia, rakyat memberikan dukungan mereka pada raja dengan kaki. Artinya kalau tidak senang dengan pemerintahan raja, maka salah satu cara oposisi yang paling mudah adalah dengan melarikan diri dari lingkungan kekuasaannya [Onghokham dalam Gelandangan Sepanjang Zaman, Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1984. Pada zaman dahulu, definisi gelandangan masih netral, yakni diartikan sebagaimana pengembara/pengelana]. Pengemis pun memiliki potensi revolusioner pasif karena di dalam diri mereka terkandung kecemburuan sosial terhadap kaum berpunya. Jika kecemburuan ini menuju pada kesadaran klas, maka gelandangan dan pengemis membentuk kelompok sosial baru dan dengan begitu dapat menjadi basis persediaan massa untuk mewujudkan revolusi sosialis.
Meskipun begitu, lumpenproletariat dengan ketidakberdayaannya (powerlessnes) tetaplah menjadi modal politis/properti bagi kaum borjuis. Meskipun ada di antara mereka yang mengangkat pemimpin dari golongan mereka untuk menjadi penguasa klas tersebut. Namun, hal ini tidak lantas menafikan penggolongan gelandangan dan pengemis sebagai kaum lumpenproletariat. Posisi mereka sangat dilematis: di satu sisi menginginkan kesetaraan dan perubahan nasib, di sisi lain mereka tidak memiliki pekerjaan yang membuat posisi tawar mereka semakin tinggi. Gelandangan dan pengemis tetaplah lumpen yang tersisihkan dari sistem klas sosial yang dibuat Marx.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.