Kembali lagi ke poin ke-3, PRP juga mengusung pajak transaksi keuangan. Namun pajak transaksi keuangan adalah program borjuis kecil. Pajak transaksi keuangan ini dikenal sebagai “Tobin Tax” atau “Robin Hood Tax”, dan pada awal krisis finansial 2008 diajukan oleh sejumlah Kiri borjuis-kecil sebagai solusi. Pajak Tobin ini secara esensi adalah usaha untuk meregulasi kapitalisme, untuk mengurangi spekulasi jangka-pendek yang dilakukan oleh para pemain saham. Tidak heran kalau pajak Tobin juga didukung oleh sejumlah ekonom borjuis – termasuk Bill Gates, George Soros, Joseph Stiglitz, Paul Krugman – yang khawatir akan kerusakan yang disebabkan oleh spekulasi jangka-pendek terhadap keselamatan kapitalisme secara keseluruhan. Gagasannya adalah bahwa pajak Tobin akan mendorong spekulasi kapitalis yang lebih bersifat jangka panjang. Para ideolog PRP akan membantah, mungkin dengan argumen demikian: dengan pemerintahan yang pro-rakyat, dana yang dikumpulkan dari pajak Tobin dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat, untuk “mewujudkan perlindungan sosial transformatif”. Terlepas dari mimpi kawan-kawan kita di PRP dan para pendukung Pajak Tobin lainnya bahwa pajak Tobin bisa “menghasilkan miliaran dolar untuk pelayanan-pelayanan pulik dan mengatasi kemiskinan dan perubahan iklim” (www.robinhoodtax.org.uk), pajak Tobin adalah kampanye borjuis kecil yang tujuan utamanya adalah meyakinkan kelas pekerja kalau kapitalisme bisa berfungsi untuk kesejahteraan mereka kalau saja ia diregulasi dan diatur sedemikian rupa.
Tidak ada satu pun hal yang progresif – apalagi revolusioner – dalam program pajak Tobin yang dapat membangun kesadaran kelas buruh. Sebaliknya, ia justru menebar ilusi bahwa kapitalisme dapat berfungsi kalau saja diregulasi dengan baik. Mungkin kawan-kawan PRP tidak bermaksud demikian karena pada poin ke-5 mereka menyatakan dengan lantang bahwa “kapitalisme-neoliberalisme terbukti telah gagal ... dan hanya dengan Sosialisme lah maka rakyat akan sejahtera” dan setiap pernyataan mereka diakhiri dengan seruan sosialisme sebagai satu-satunya jalan keluar. Namun tidak sedikit kaum sosialis yang berslogan ria mengenai sosialisme tetapi melakukan kebijakan-kebijakan borjuis kecil yang justru berseberangan dengan cita-cita sosialisme yang sesungguhnya. Kita sebut orang-orang semacam ini dengan nama mereka yang sesungguhnya, yakni kaum sosialis sosial-demokrat atau kaum sosialis borjuis kecil.
Pada poin ke-4, PRP agak benar kalau kita harus “[membangun] kekuatan politik alternatif”, walaupun sebenarnya kita harus lebih jelas dengan apa yang dimaksud kekuatan politik alternatif ini, yakni partai buruh massa. Akan tetapi, bagaimana kita bisa menyerukan kepada buruh untuk membangun kekuatan politik mereka sendiri ketika pada saat yang sama kita serukan kepada mereka untuk menggantungkan harapan pada tokoh populis borjuis? Mungkin kawan-kawan PRP berpendapat bahwa mendukung Jokowi dan membangun kekuatan politik alternatif dapat dilakukan bersandingan tanpa efek negatif pada tujuan yang belakangan ini. Namun ketika salah satu tugas utama hari ini adalah membangun kesadaran kemandirian kelas di antara kelas buruh – terutama hari ini ketika mereka baru saja mulai bangkit dan menemui kepercayaan diri kelas mereka – maka mendukung Jokowi tidak membawa kita semakin dekat tugas ini.
Prasangka borjuis kecil yang melanda PRP dapat kita lihat lebih lanjut dari paparannya bahwa “sistem pemilu di Indonesia malah membuat kepentingan rakyat pekerja semakin jauh, karena tidak ada yang mewakili kepentingan rakyat pekerja di dalam negara” dan “sikap untuk tidak menggunakan hak pilih .... menyebabkan rakyat pekerja di seluruh Indonesia semakin jauh dari dasar perjuangannya selama ini, yakni merebut kekuasaan politik dari rejim neoliberalisme.” Adalah prasangka borjuis kecil kalau rakyat pekerja dapat terwakili kepentingannya di dalam negara, seakan-akan ada negara “murni” non-kelas yang bisa mewakili kepentingan berbagai kelas. Negara yang ada hari ini adalah negara kelas borjuasi, yakni organ penindas kelas borjuasi terhadap kelas proletar. Bahkan bila ada 100 perwakilan buruh di dalamnya, ini tidak mengubah karakter fundamental negara borjuasi tersebut. Perjuangan parlementer kita bukanlah untuk memperjuangkan perwakilan di dalam pemerintah borjuasi, tetapi untuk meraih telinga massa luas dengan tujuan mengekspos kebangkrutannya, menumbangkannya dan membangun negara yang baru di atas puing-puingnya.
Tendensi borjuis kecil di dalam PRP bahkan sudah mulai terlihat dalam metode organisasinya. Pada pidato politik KP PRP (Pusatkan Pandang untuk Mematangkan Kontradiksi dalam Borjuasi Kapitalis, 13 Mei 2013), PRP menyatakan bahwa partai tidak akan mendukung pemenangan salah satu partai ataupun kandidat caleg. Namun, “anggota PRP yang mendapat kartu untuk mencoblos pada saat pemilu yang ditetapkan nanti, diwajibkan pergi ke bilik suara untuk mencoblos kandidat yang disukainya sebagai pilihan pribadi.” Ini adalah metode Menshevik, metode borjuis kecil, dimana “pilihan pribadi” anggota atau kader diletakkan di atas kedisplinan ideologi partai. PRP bahkan mengharuskan anggotanya untuk memilih salah satu partai borjuasi di pemilu nanti, sesuai dengan selera pribadi masing-masing. Dokumen politik yang menyerukan agar kita “jangan bingung dengan hajat pemilu” justru membuat yang membacanya menggaruk-garuk kepala.
Kebingungan pun berlanjut.
Pidato politik tersebut lalu berbicara berputar-putar mengenai “gerakan kontrol untuk melembagakan kekuasaan rakyat pekerja”. Mungkin PRP berbicara mengenai rakyat pekerja yang merebut kekuasaan. Tetapi mengapa tidak mengatakan itu saja: bahwa kelas proletar harus melakukan perebutan kekuasaan politik dan ekonomi secara revolusioner, bahwa negara yang ada adalah negara borjuasi yang harus dirobohkan dan negara yang baru, yakni negara buruh, harus dibangun. Kebingungan ini ditambahi lagi dengan seruan “meminimalisir kepemilikan pribadi, sehingga pemerataan dan keadilan dalam tata kepemilikan menjadi niscaya bagi rakyat pekerja.” Apa yang dimaksud dengan “meminimalisir kepemilikan pribadi”? Mengapa menggunakan frase-frase yang abstrak, yang tampaknya bisa diisi dengan konten apapun tergantung dari “pilihan pribadi” pembaca? Tugas kaum proletar adalah merebut kepemilikan pribadi kaum kapitalis, pabrik-pabrik mereka, bank-bank mereka, institusi-institusi finansial mereka, tambang-tambang mereka, tanah-tanah pertanian mereka mereka, dengan metode revolusioner, dan meletakkan semua alat produksi ini dalam sistem ekonomi terencana yang demokratis.
Kami harus meminta maaf kepada para pembaca karena telah lari sedikit ke luar dari topik pembicaraan, yakni masalah pemilu dan tantangannya bagi kaum revolusioner. Tetapi kami tidak puas dengan analisa dan kritik dangkal yang hanya dipenuhi slogan-slogan “tolak pemilu borjuasi” atau kutukan emosional terhadap Kiri-kiri yang mendukung parpol borjuasi dan tokoh populis borjuis seperti Jokowi. Sesungguhnya, masalah pemilu ini terkait erat dengan pemahaman revolusioner mengenai watak fundamental negara borjuasi, tugas-tugas historis kaum proletar berkaitan dengan negara borjuasi tersebut, serta program ekonomi sosialis yang menjadi tugas historisnya pula. Semua ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kiri Kita Mengawal Jokowi
Tokoh populis seperti Jokowi lahir karena kebuntuan politik yang dirasakan oleh rakyat pekerja. Krisis kapitalisme yang tak tertanggungkan tidak bisa menunggu terbentuknya kepemimpinan revolusioner yang dapat memimpin rakyat pekerja. Rakyat tidak dapat menunggu hadirnya Partai Bolsheviknya Lenin. Ketika serikat-serikat buruh tidak bisa menjadi organisasi perjuangan rakyat luas, ketika partai-partai buruh massa dengan pemimpin reformis mereka lantas menjadi halangan terbesar bagi perjuangan rakyat pekerja, rakyat akan menggunakan saluran-saluran apa pun untuk mengekspresikan kehendak mereka. Inilah mengapa di tengah keabsenan kepemimpinan revolusioner, kita temui beragam formasi politik – dari yang kiri sampai yang kanan – yang mencuat begitu cepat dan sering kali pupus juga dengan kecepatan yang sama.
Sebut saja gerakan Occupy yang mendunia, gerakan Indignados di Spanyol, gerakan Idle No More di Kanada, dan gerakan-gerakan spontan lainnya di berbagai negeri. Sebut saja Obama di AS, lalu Beppe Grillo di Italia, Marine Le Pen di Prancis dari sisi kanan, dan bahkan munculnya Chavez adalah ekspresi dari keabsenan kepemimpinan revolusioner di Venezuela, akibat kegagalan Partai Komunis Venezuela, para pemimpin serikat buruh, dan kebangkrutan dari taktik “gerilya-isme” yang mendominasi perpolitikan revolusioner dari 1960an hingga 1980an tidak hanya di Venezuela tetapi seluruh Amerika Latin. Faktor-faktor historis inilah yang membuka jalan untuk lahirnya berbagai formasi politik. “Sejarah mengenal berbagai macam metamorfosa,” ujar Lenin. Di periode inilah kaum Marxis harus melipatgandakan usaha mereka untuk menanamkan gagasan Marxis di antara kadernya, agar mereka tidak terseret ke dalam pusaran badai politik yang akan semakin besar dengan semakin dalamnya krisis kapitalisme.
Sejumlah pendukung Jokowi menerima bahwa Jokowi mungkin saja akan mengecewakan harapan rakyat seperti Obama atau banyak tokoh populis lainnya. Coen Husain Pontoh, salah satu akademisi Marxian kita dalam tulisannya terakhir (Dukungan Kritis, 31 Maret 2014), lalu menawarkan konsep “dukungan kritis”, dimana kaum Kiri bisa memberikan dukungan kritis kepada Jokowi dengan membangun semacam “lingkaran-lingkaran pendukung Jokowi” untuk “mengalang dukungan elektoral”, sebagai “wadah pengorganisiran politik” dan “menyebarkan gagasan dan program Jokowi”. Intinya, kaum Kiri harus memobilisasi rakyat untuk mendukung Jokowi dan terus memberi tekanan kepada Jokowi agar bergerak ke kiri dan tidak mengecewakan rakyat. Kalau ini dilakukan, maka Jokowi akan bisa menjadi Hugo Chavez dan tidak menjadi Obama.
Ini adalah proposisi yang sangat menarik, dengan model siap-jadi yang sudah terbukti berhasil: Chavez sang populis dikawal oleh lingkaran-lingkaran Bolivarian, dan lalu menjadi Chavez seperti yang kita kenal hari ini. Dalam model ini, maka kekeliruan kaum Kiri di AS adalah mereka tidak cukup giat dalam mendukung Obama. Seandainya mereka membentuk “lingkaran-lingkaran Obama” dari “struktur pusat hingga struktur terendah, dari pusat kota hingga ujung desa, dari tingkat pabrik hingga bantaran sungai”, maka Obama akan menjadi lebih berani dan tidak bertekuk lutut pada tekanan borjuasi. Kita dihadapkan pada persimpangan Chavez-Jokowi-Obama, di mana semuanya tergantung pada tekad Kiri kita untuk memobilisasi rakyat dalam mendukung dan mengawal seorang populis. Berhasil maka kita akan dapatkan sosok Chavez, gagal maka Obama. Hanya sampai di sinilah analisa teoretikus Marxis kita, yang ahistoris dan idealistis. Skemanya sangat sederhana, dan oleh karenanya hanya cocok untuk anak kecil. Setiap kali ada seorang tokoh populis -- dalam takaran apapun dan dalam konteks historis apapun -- para Marxian borjuis kecil kita tergopoh-gopoh melemparkan dukungannya.
Perkembangan Chavez dari seorang perwira militer yang tak dikenal sampai ke sosoknya yang dikenal hari ini jauh lebih panjang dan dalam daripada perkembangan politik Jokowi. Tidak ada perbandingan sama sekali. Dari 1982 dia telah terlibat dalam lingkaran perwira progresif MBR 200. Peristiwa Caracazo 1989 – dimana rakyat yang bangkit melawan kebijakan pemotongan subsidi Carlos Andrez Perez diremukkan oleh tentara – adalah satu peristiwa politik yang menentukan. Ini mendorong Chavez dan para perwira progresif lainnya untuk memimpin pemberontakan bersenjata pada 1992. Dari sini dia sudah mulai menarik garis yang tegas yang memisahkannya dari kelas penguasa yang ada. The rest is history. Hubungan antara Chavez dan gerakan massa terus berkembang secara dialektis, saling menarik dan mendorong satu sama lain, di mana Chavez merespon secara positif gerakan massa yang terus terbangun. Di sini kata kuncinya adalah keterlibatan massa dalam politik, yang menemukan pengejawantahannya di dalam sosok Chavez.
Tentu Jokowi tidak ada dalam posisi untuk melakukan pemberontakan bersenjata. Namun pada Getok Monas 2012 dan lagi pada Mogok Nasional 2013, dan serangkaian aksi massa buruh militan yang terjadi dari 2012 hingga 2013, dia punya kesempatan untuk menarik garis kelas yang lebih jelas, untuk berpihak pada buruh pada momen-momen historis di mana kelas buruh Indonesia mulai menunjukkan taringnya. Ada gerakan buruh yang historis, dengan pemogokan nasional yang melibatkan jutaan buruh, yang terorganisir luas, demokratis dan berakar-rumput. Kita sudah tahu apa yang dilakukan oleh Jokowi.
Mengenai Obama, dia jelas adalah perwakilan borjuis dari sayap Demokrat. Coen mengeluh tidak ada usaha lebih lanjut dari rakyat pekerja Amerika untuk terus mengawal Obama, dan inilah mengapa Obama lalu berkhianat. Begini tulis Coen:
“Ini juga yang terjadi pada Obama, di mana dukungan rakyat yang masif berhenti persis ketika ia diumumkan sebagai pemenang pemilu. Setelah itu politik Washington kembali kepada rutinitasnya.”
Tidak ada yang bisa lebih keliru daripada ini. Secara historis, serikat-serikat buruh AS dan berbagai organisasi kiri lainnya adalah “relawan pengawal Partai Demokrat”, yang terus melakukan lobi politik, pendekatan politik, mobilisasi massa pada para politisi Demokrat dengan harapan bahwa para politisi ini bisa mewakili kepentingan rakyat pekerja. Tetapi setiap kali mereka dikecewakan. Harapan dan dukungan rakyat pekerja AS terhadap Obama terus berlanjut setelah Obama terpilih, tetapi harapan ini terus dikhianati dalam setiap langkahnya. Coen mencoba menyalahkan rakyat AS, tetapi dukungan rakyat pekerja AS terhadap Obama pupus justru karena pengkhianatan Obama, dan bukan sebaliknya. Dan ini bukan masalah kepribadian Obama, tetapi masalah basis kelas Obama dan dari mana dia datang. Kita harus memahami sistem politik borjuasi di AS, yang berakar pada sistem dua-partai: Republiken dan Demokrat, yang terus berganti tempat sebagai penguasa. Mereka adalah dua sayap kelas borjuasi: Republiken secara umum mewakili kapitalisme laissez-faire (kapitalisme dengan pasar bebas yang sebebas-bebasnya, privatisasi, dll.), dan Demokrat secara umum mewakili kapitalisme berwajah humanis. Setiap kali rakyat pekerja AS hanya diberi dua pilihan, dan dipaksa memilih terbaik dari yang terburuk. Tugas utama kaum revolusioner di AS bukanlah terus memupuk ilusi terhadap Partai Demokrat, tetapi membebaskan gerakan buruh dari rantai yang mengikat mereka pada Partai Demokrat.
Selalu ada kemungkinan teoretis kalau Jokowi mungkin akan bergerak lebih jauh ke kiri daripada yang pernah dimimpikannya sendiri. Sebagai kaum Marxis kita tidak menampik kemungkinan teoretis tersebut, namun kita tidak mendasarkan posisi politik dan tugas kita hari ini pada peruntungan atau perjudian akan kemungkinan teoretis tersebut. Kita akan mengubah posisi dan taktik politik kita sejalan dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di hari depan. Kalau Jokowi bisa pecah dari kelas kapitalis, tentu saja kaum Marxis juga bisa mengubah posisi dan taktiknya. Seorang revolusioner harus memiliki pemahaman metode dialektis yang mengambil titik awalnya bukan dari definisi-definisi, aksioma aksioma atau model-model abstrak yang sudah jadi dan siap pakai, tetapi dari kenyataan yang hidup dan bergerak, dalam semua kekonkretannya, dengan semua keberagaman dan kontradiksi-kontradiksinya.
Sebaliknya, Coen menyajikan kepada kita sebuah model siap-pakai: ada tokoh populis (yakni disukai oleh rakyat miskin), berikan dan galang dukungan sebesar-besarnya. Kalau sang tokoh populis berkhianat, ini karena dukungan rakyat kurang besar. Ulangi lagi di hari depan dengan tokoh populis lainnya hingga berhasil! Tidak ada analisa kelas yang dialektis sama sekali.
Mengenai varian-varian politik yang lahir akibat kebuntuan kapitalisme dan absennya kepemimpinan revolusioner, cukup instruktif untuk mengutip apa yang ditulis Alan Woods dalam artikelnya “Kaum Marxis dan Revolusi Venezuela”:
“Faktor yang terpenting dari situasi hari ini adalah absennya sebuah kepemimpinan Marxis yang kuat dan memiliki otoritas dalam skala dunia. Tendensi Marxisme sejati telah terlempar ke belakang selama puluhan tahun dan saat ini hanyalah mewakili minoritas. Tendensi Marxis belumlah dapat memimpin massa ke kemenangan. Tetapi masalah-masalah yang dihadapi oleh massa sangatlah akut. Mereka tidak akan menunggu sampai kita siap memimpin mereka. Mereka akan mencoba dengan berbagai cara untuk mengubah masyarakat, untuk mencoba mencari jalan keluar dari kebuntuan ini. Ini terutama benar untuk negara-negara eks-koloni di Afrika, Asia dan Amerika Latin, dimana tidak mungkin sama sekali untuk membawa maju masyarakat di atas basis kapitalis.”
“Dengan absennya tendensi Marxis massa, segala macam varian yang unik dapat terbentuk – dan pada kenyataannya mereka niscaya terbentuk. Kita harus memiliki pendekatan yang kreatif untuk memahami watak dari perkembangan semacam ini, dan membedakan di setiap tahapan apa yang progresif dan apa yang reaksioner.” (Alan Woods, Marxists and the Venezuelan Revolution, 4 Mei 2004)
Yah, sekali lagi, kemampuan membedakan di setiap tahapan apa yang progresif dan apa yang reaksioner, inilah yang dibutuhkan.
Tugas Kita
Cukup menarik untuk membaca karya Martin Suryajaya “Marxisme dan Percakapan di Tengah Hutan”, yang dengan begitu gamblang menunjukkan situasi psikologis dari para Marxian kita dan sejumlah Kiri kita hari ini: yakni frustrasi akan kekecilan mereka, tanpa kepercayaan pada dirinya sendiri dan gagasannya sendiri, dan mencari-cari jalan pintas. Baik sekali kalau Martin belakangan ini mencoba turun dari menara gading intelektualnya dan mulai mengambil posisi politik yang tendensius. Belum lama yang lalu -- dalam acara bedah buku di kantor PPR sekitar 2 tahun yang lalu -- kawan Martin menolak untuk mengambil posisi politik dan stratak yang partisan dengan alasan bahwa dia ingin menjadi nara sumber Marxisme yang objektif dan mampu memberikan masukan intelektual yang tak bertendensius. Mimpi kekanak-kanakannya mengenai objektivisme seorang akademis tampaknya sudah buyar, dan kita bisa melihat dengan jelas keterbatasan dari Marxisme Akademis ketika dihadapkan dengan kenyataan realitas yang hidup.
Tulisan Martin bisa menjadi pedoman “What is not to be done” (apa yang tidak seharusnya dilakukan) bagi kaum Marxis revolusioner di Indonesia. Mari pertama-tama kita periksa situasi Kiri kita secara umum, dan situasi Marxisme Indonesia khususnya. Kiri kita tidak pernah kekurangan aktivis yang gemar “keluar dari hutan” untuk turba mengorganisir massa. Justru kecenderungan utama dari gerakan Kiri kita adalah super-aktivisme. Bahkan di antara mereka yang memiliki organisasi kader, kita harus akui – dan mereka akan akui sendiri – bahwa tugas membangun organisasi kader tersebut sering kali terbengkalai.
Kita berangkat dari preposisi yang sudah terbukti di dalam sejarah – secara positif oleh kemenangan Bolshevik Rusia dan secara negatif oleh kegagalan atau deformasi dari banyak revolusi lainnya – bahwa krisis kemanusiaan hari ini disebabkan oleh krisis kepemimpinan proletar. Rakyat pekerja telah lagi dan lagi bergerak dengan berani, tetapi kepemimpinan mereka – kaum reformis dan Stalinis terutama, dan mereka-mereka yang menyebut diri mereka sosialis atau Marxis tapi sesungguhnya dipenuhi prasangka-prasangka borjuis kecil – tidak mampu memberikan jalan keluar revolusioner dan justru menjadi batu penghalang terbesar bagi runtuhnya kapitalisme.
Keruntuhan Uni Soviet pada 1989-1991 membuka pintu dam bagi ofensif ideologis borjuis. Gagasan Marxisme revolusioner, yakni Bolshevisme, diserang dari berbagai arah: dari kanan maupun dari kiri. Yang dari Kiri ini yang paling berbahaya, karena mereka menawarkan alternatif “revolusioner” terhadap apa yang mereka sebut kegagalan Bolshevisme. Mereka tawarkan: “Marxisme Baru” dengan berbagai varian; “sosialisme abad ke-21” yang bisa diisi apapun sesuai dengan prasangka yang termuktahir hari ini; dan tren-tren terbaru. Kekalahan-kekalahan politik yang besar – dan periode 1980an hingga 90an merupakan satu periode tersebut – selalu melahirkan kekacauan politik dan ideologi di dalam barisan kaum revolusioner. Trotsky menulis:
“Kekalahan-kekalahan politik yang besar mendorong pertimbangan ulang kembali nilai-nilai yang ada, dan biasanya ini terjadi dalam dua arah. Di satu pihak, kaum pelopor sejati, yang diperkaya oleh pengalaman kekalahan, dengan gigih mempertahankan warisan pemikiran revolusioner. Berdasarkan itu kaum pelopor berupaya mendidik kader-kader baru demi perjuangan massa yang akan datang. Di lain pihak, para rutinis, sentris, dan orang-orang yang tidak memiliki komitmen, yang tercekam oleh kekalahan, berusaha sehebat-hebatnya untuk menghancurkan otoritas tradisi revolusioner dan bergerak mundur untuk mencari sebuah “Dunia Baru.” (Leon Trotsky. “Stalinisme dan Bolshevisme”, 1937)
Tugas kita saat itu dan masih pada hari ini adalah “mempertahankan warisan pemikiran revolusioner”. Kita kadang-kadang menggunakan kata Bolshevisme untuk membedakan diri kita dari ujaran “Marxisme” yang suka dipelintir oleh berbagai pihak dan diisi dengan berbagai prasangka. Kita tidak malu untuk mengatakan bahwa kita mendasarkan diri kita pada Bolshevisme, yakni Marxisme “Lama” yang berdasarkan gagasan Marx, Engels, Lenin dan Trotsky, yang menemukan ekspresi tertingginya pada kemenangan Revolusi Oktober 1917. Beberapa tahun yang lalu, Martin mencemooh Militan yang katanya berkutat “tak lebih dari Rusia dan Rusia, seabad yang lalu” dan menjunjung tinggi Ragil (sang Tikus Merah hari ini) yang katanya berpijak pada “kenyataan” dan pada “realisme materialis”. Hari ini Martin dan Ragil sudah berpisah jalan, dimana yang belakangan mengutuk para pendukung Jokowi sebagai tak ubahnya “pelacur”. Entah siapa sekarang yang berpijak pada “realisme materialis”, Martin atau Ragil.
Pendek kata, tugas kaum Marxis revolusioner hari ini – di Indonesia dan juga seluruh dunia – masihlah dalam tahap pembangunan organisasi kader Marxis, menggali kembali gagasan Marxisme dan tradisi Bolshevisme yang sudah hilang. Ini adalah tugas yang selalu terbengkalai karena para aktivis kita sibuk beraktivis ria, melompat dari satu kampanye ke kampanye yang lain, atau keluar dari kapal yang kecil dan melompat ke kapal yang lebih besar seperti Budiman dan Dita (keluar dari hutan dalam kosakata Martin). Pembangunan ideologi dan pemikiran Marxis dilakukan ala kadarnya. Indikatornya jelas: berapa jumlah terbitan koran dari organisasi-organisasi kiri yang reguler? Berapa jumlah terbitan teoritik yang reguler? Seberapa besar jumlah penerbitan buku-buku teori Marxis oleh kiri? Tugas-tugas teoritik ini malah sering jatuh ke tangan kaum akademisi dan bukannya datang dari dalam gerakan itu sendiri.
Jadi masalahnya bukan agar Kiri-kiri kita keluar dari hutan, tetapi apa yang dilakukan di hutan sana selama ini?
Kaum Marxis memang harus keluar dan bersentuhan dengan massa, tetapi untuk tujuan apa? Kalau hanya karena “rindu hingar bingar politik” seperti yang diutarakan oleh Martin lewat alter-egonya Joko, ini namanya oportunisme – atau lebih buruk lagi, kecentilan kaum intelektual untuk turba. Adalah ABC Marxisme kalau kaum Marxis harus berorientasi ke massa buruh. Tetapi masalah terutama adalah bahwa gerakan membutuhkan sebuah kepemimpinan Marxis, dan maka dari itu tujuan utama kita hari ini ketika bersentuhan dengan massa buruh adalah untuk membangun organisasi kader Marxis dengan merekrut elemen-elemen terbaik darinya. Ini adalah perjuangan yang dimulai dengan memenangkan satu dua kader. Satu-satunya cara untuk membangun gerakan adalah dengan membangun partai Marxis, dan setiap Marxis yang serius tidak perlu malu-malu dan menutup-nutupi tujuannya ini.
Martin terburu-buru ingin keluar dari hutan, untuk melemparkan dirinya ke hingar-bingar politik, ke samudra biru yang lebih luas. Tetapi di dalam hutan ini – yakni hutan gerakan Kiri – Marxisme masihlah pemikiran minoritas. Di dalam Kiri yang kecil ini Marxisme masihlah minoritas kecil dan belum menemukan pijakannya yang kuat.
Martin merasa frustrasi kenapa Marxisme Indonesia masih kecil-kecil saja. Dia mencari-cari apa yang salah dengannya, ketika sebenarnya ia cukup bercermin saja. Apakah dia sudah memulai tugas membangun partai kader Marxis? Apakah kaum Marxis Indonesia – atau yang mengaku Marxis dalam berbagai takaran – sudah memahami metode Bolshevisme dalam membangun Partai Marxis? Tidak memahami sebab musabab yang sebenarnya mengapa Marxisme Indonesia masih dalam kondisi yang menyedihkan, Martin dan Kiri-kiri sepertinya lantas mencoba mencari jalan pintas: mungkin kalau kita menceburkan diri ke “hingar bingar politik” yang terbaru kita akan bisa “memperbesar gerakan”?
Kita harus punya sense of proportion, yakni paham akan kekuatan diri sendiri dan situasi di sekitar kita, dan apa saja yang bisa dicapai. Kaum Marxis Indonesia masihlah minoritas kecil dan belum punya kekuatan untuk memenangkan massa luas. Mimpi utopis untuk “mendesakkan agenda-agenda Kiri” ke massa hanya akan berujung pada oportunisme. Tetapi di dalam gerakan kiri yang lebih luas – dimana kaum Marxis adalah minoritas di dalamnya – kaum Marxis bisa memenangkan elemen-elemen yang lebih maju ke dalam program dan organisasinya. Luasnya gerakan kiri tidak bisa diremehkan; mungkin ada sepuluh ribu aktivis dari berbagai spektrum politik kiri; dan lalu lewat serikat-serikat buruh, tani, organ-organ massa lainnya, mungkin ada seratus ribu massa buruh, tani, dan kaum muda yang terorganisir. Ini masihlah kecil untuk bisa memenangkan revolusi di negeri yang berpenduduk 250 juta jiwa, tetapi adalah medan yang luas bagi kaum Marxis yang masih minoritas, yang jumlahnya paling-paling 100an.
Pada akhirnya, jalan menuju massa niscaya harus melewati pembentukan dan konsolidasi sebuah organisasi kader yang solid. Dengan merekrut satu dua ke barisan Marxisme, kita sedang mempersiapkan jalan untuk memenangkan ratusan dan ribuan di hari depannya.
Bagaimana bekerja di tengah “populisme”
Akan menjadi kesalahan yang sama buruknya juga kalau atas nama membangun Partai Marxis yang independen kita lantas menolak secara prinsipil semua bentuk pendukungan kepada tokoh-tokoh populis, kalau kita lantas mengutuk semua varian politik yang berkembang tidak sesuai dengan skema kita yang kaku. Misalkan figur seperti Hugo Chavez, atau Evo Morales. Militan dan IMT (International Marxist Tendency) memberikan dukungannya kepada Hugo Chavez, tetapi bukan dengan mimpi utopis untuk “mendesakkan agenda-agenda Kiri” kepada rakyat Venezuela dan “memberikan dukungan kritis pada sosok populis [Chavez] untuk melaksanakan agenda tersebut.” Kita mendukung Chavez untuk bisa meraih telinga lapisan rakyat yang termaju dan memenangkan mereka ke gagasan dan barisan Marxis.
Proses revolusi Venezuela telah menarik jutaan massa ke dalam arena politik untuk pertama kalinya. Banyak kaum buruh dan kaum muda yang terradikalisasi dan terdorong ke jalan revolusi, dan tidak hanya di Venezuela tetapi bahkan di seluruh dunia. Mereka tertarik pada proses revolusi yang terjadi di Venezuela dan sosok yang mengejawantahkan proses revolusi tersebut, Hugo Chavez. Mengutuk Chavez sebagai populis borjuis, seperti yang dilakukan banyak sekte kiri, berarti memotong akses kita ke kaum muda yang terradikalisasi ini dan membiarkan mereka jadi bulan-bulanan berbagai gagasan sosialisme setengah-matang dan bahkan terombang-ambing oleh kebingungan Chavez sendiri.
Kita bela Revolusi Venezuela sambil terus propagandakan langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukannya untuk bisa menang, bukan untuk meyakinkan Chavez atau massa luas yang mana kita masih terlalu kecil untuk melakukannya, tetapi untuk memenangkan satu dua – yah, satu dua – lapisan termaju ke gagasan dan barisan Marxisme. Mengapa? Karena kemenangan revolusi Venezuela yang sesungguhnya hanya bisa tercapai kalau ada Partai Bolshevik di Venezuela, dan pelajaran dari revolusi Venezuela telah mengkonfirmasikan ini. Kendati heroisme Chavez dan rakyat pekerja Venezuela selama 15 tahun terakhir, revolusi Venezuela terbentur tembok dan mengalami kebuntuan. Maka dari itu kita harus gunakan cara apapun untuk membangun Partai Bolshevik ini, dengan fleksibilitas dalam taktik dan keteguhan dalam prinsip karena sejarah tidak selalu bermurah hati dan memberikan jalan yang mudah dan sederhana.
Penutup
Pada masa pemilu seperti sekarang ini, ada kelatahan di antara Kiri kita untuk melakukan sesuatu. “Kita harus melakukan sesuatu sekarang juga!” ujar para aktivis kita. Tekanan untuk melakukan sesuatu yang konkret dan praktis sekarang juga adalah tekanan yang biasanya mendorong para aktivis kita untuk menjadi pragmatis. Mari kita berhenti sejenak dari melakukan sesuatu, dan berpikir dalam mengenai apa yang telah kita lakukan di masa lalu, apa yang sedang kita lakukan, dan apa yang perlu kita lakukan.
Pemilu ini justru harus dijadikan momentum untuk mengkonsolidasikan gagasan revolusioner, karena pemilu kali ini menyodorkan berbagai masalah yang masih perlu kita jawab: masalah Negara, masalah fasisme, masalah populisme, masalah pembangunan Partai Marxis, masalah penyeruan Partai Buruh, dsbnya. Kita tidak boleh puas hanya dengan posisi menolak pemilu, dengan alasan-alasan dangkal dan slogan-slogan pendek emosional. Kita harus bisa menjawab semua masalah yang disodorkan oleh pemilu ini, merespon secara kritis berbagai posisi menolak dan mendukung pemilu yang ada di antara Kiri, dan menganalisa peristiwa-peristiwa politik sebagai proses yang hidup.
Kebangkitan gerakan buruh dalam 2 tahun terakhir ini adalah faktor penting yang harus diikutsertakan dalam analisa kita mengenai pemilu ini. Gelombang aksi buruh yang melibatkan jutaan buruh dalam berbagai aksi massa – mogok nasional, mogok daerah, mogok lokal, sweeping dan grebek pabrik, aksi May Day, melawan preman, aksi menentang kenaikan BBM, vergadering raksasa – merupakan peristiwa yang lebih penting daripada euforia Jokowi dan pemilu kali ini. Di sini kita saksikan massa buruh yang terorganisir, yang aktif dan sadar kelas. Mereka bukan massa yang cair seperti massa pendukung Jokowi atau massa pendukung parpol. Di antara massa buruh inilah terletak masa depan bangsa Indonesia.
Lewat pengalaman perjuangan mereka, buruh mulai beranjak ke kesadaran bahwa mereka harus keluar dari gerbang pabrik dan berangkat ke gerbang parlemen. Namun karena tidak adanya kepemimpinan revolusioner di dalam gerakan buruh ini, semangat berpolitik ini malah disalurkan lewat parpol-parpol borjuasi yang ada dan bukannya seruan dan langkah menuju pembentukan partai massa buruh. Berangkat dari situasi objektif ini, maka tugas propaganda utama dari kaum Kiri Revolusioner adalah mempropagandakan secara sabar kepada massa buruh yang mulai terbangunkan ini mengenai perlunya pembentukan partai buruh massa. Lewat pengalaman pemilu ini, buruh akan belajar bagaimana mereka tidak akan bisa meraih kemandirian kelas mereka selama mereka terus membonceng parpol borjuasi. Kita harus dengan sabar menjelaskannya, dengan metode mild in manner, bold in content (santun dalam penyampaian, tegas dalam isi).
Kawan-kawan yang tergabung dalam Komite Politik Alternatif telah berjalan ke arah yang tepat dengan menyerukan perlunya kehadiran partai alternatif, namun kita harus lebih konkret. Partai alternatif ini adalah partai massa buruh, yang berbasiskan terutama pada serikat-serikat massa buruh dari berbagai warna dan merangkul seluruh lapisan rakyat pekerja.
Terlebih lagi, partai buruh massa hanya akan terbentuk lewat peristiwa-peristiwa politik besar. Sejarah telah membuktikan ini. Partai buruh massa tidak akan terbentuk serta-merta lewat seruan sejumlah organisasi Kiri kecil, atau bahkan lewat merger dari sejumlah organisasi Kiri yang kecil. Partai massa dengan akar yang dalam hanya bisa terbentuk ketika ada mayoritas massa yang mulai beranjak ke panggung politik, yakni periode di mana rakyat pekerja bergejolak. Partai Buruh Brazil misalnya terbentuk pada tahun 1980an, dimana pada masa itu ada gelombang pemogokan buruh dan kebangkitan massa luas dalam melawan rejim militer.
Yang dapat dan perlu dilakukan oleh organisasi-organisasi Marxis adalah menyiapkan simpul-simpul revolusioner di antara kaum proletar, yang merupakan pelopor dari seluruh lapisan rakyat tertindas. Kalau akan ada partai massa yang terbentuk, ini akan lewat kepemimpinan kaum proletar, yang lebih terorganisir dan sadar kelas. Dengan cara demikianlah kaum Marxis akan mulai membangun akar yang dalam di antara kaum pelopor proletar. Tugas kaum Marxis revolusioner selalu adalah tugas persiapan untuk menghadapi momen-momen politik yang tiba. Kita tidak bisa menciptakan revolusi atau mendorongnya secara artifisial. Revolusi akan datang, dengan atau tanpa intervensi kita, karena ia diciptakan oleh kontradiksi kapitalisme itu sendiri.
Akan tetapi kita juga harus mengingatkan diri kita bahwa partai buruh massa sendiri bukanlah obat ajaib yang akan menyelesaikan segala masalah. Karena karakter massanya, maka partai buruh juga akan mencakup elemen-elemen reformis, konservatif dan birokratis yang ada di dalam gerakan buruh, dan juga prasangka-prasangka dari rakyat pekerja luas. Di dalam partai buruh akan ada pertarungan antar berbagai sayap, dimana di dalamnya kaum Marxis revolusioner dengan partainya (atau tendensinya) akan bertarung untuk memenangkan pengaruh dan kepemimpinan buruh. Di sinilah menjadi teramat penting untuk menyiapkan partai atau tendensi Marxis yang kuat yang akan bertarung di dalam organisasi-organisasi massa buruh, dari serikat buruh hingga partai buruh.
Sumber : militanindonesia.org
Artikel sebelumnya:
Kritik, Analisa, dan Tugas Melawan Pemilu Borjuis 2014 Bagian 1
Kritik, Analisa, dan Tugas Melawan Pemilu Borjuis 2014 Bagian 2
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.