DHAKA - Desakan demo besar-besaran buruh akhirnya membuat pemerintah Bangladesh telah berjanji untuk mengimplementasikan serangkaian perubahan di bidang perburuhan. Pemodal/pengusaha mempertimbangkan ongkos yang harus mereka bayar untuk menjalankan bisnis di negara tersebut, menyusul insiden runtuhnya pabrik garmen yang menewaskan ratusan buruh.
Hal ini terungkap dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), termasuk merekrut 200 inspektor gedung tambahan dalam waktu enam bulan, mengkaji ulang produksi garmen yang berlaku saat ini dan berjanji untuk memperbaiki semua pabrik yang bermasalah.
Perjanjian antara organisasi PBB dan pejabat Bangladesh ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional mengenai kondisi kerja di Bangladesh.
Perjanjian ini menyerukan dilakukannya paket reformasi legislasi yang akan disampaikan pada saat parlemen Bangladesh bersidang bulan Juni mendatang. Aturan ini akan memastikan hak-hak para buruh untuk terlibat dalam perundingan bersama dan menjamin perwakilan serikat buruh.
Namun implementasinya masih terus dipertanyakan. Politik Bangladesh dikenal tak stabil, dan para analis mengatakan pekerjaan besar diperlukan untuk mengubah budaya aturan yang longgar dan hubungan erat antara pemilik pabrik dan pemerintah.
Hampir dua minggu telah berlalu sejak pabrik garmen runtuh luar ibukota Dhaka, yang memicu protes di jalan-jalan Bangladesh dan para pengecer asal Barat yang menjual barang yang diproduksi di negeri tersebut.
Total ada 657 jenazah yang dikeluarkan dari gedung yang ambruk itu. Sementara diduga korban bisa mencapai seribuan karena banyak pekerja yang masih tertimbun di bawan reruntuhan dan anggota keluarga yang hilang masih tidur di tenda yang didirikan di lokasi gedung tersebut.
Tragedi ini menyusul terjadinya kebakaran dua gedung di bulan November yang menewaskan lebih dari 100 pekerja.
Ekonomi Bangladesh hampir seluruhnya bergantung pada industri garmen, dengan sekitar 4.500 pabrik beroperasi di negeri itu.
Banyak perusahaan kapitalis yang berminat membuka pabrik di negara itu karena mereka mencari ongkos produksi yang lebih murah dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk memenuhi permintaan global akan pakaian murah. Namun memotong ongkos produksi artinya memberikan upah murah dan kondisi tempat kerja yang tidak aman.
Rata-rata buruh industri garmen di Bangladesh mendapatkan upah rendah antara 10 hingga 30 sen setiap jamnya, dan banyak pabrik yang tidak memiliki jendela ataupun pintu darurat, menurut sejumlah aktivis hak-hak buruh. Pada saat yang sama, para pendukung industri garmen, mengatakan bahwa industri ini telah memicu pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi perempuan yang tinggal di masyarakat yang konservatif.
Hal ini terungkap dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), termasuk merekrut 200 inspektor gedung tambahan dalam waktu enam bulan, mengkaji ulang produksi garmen yang berlaku saat ini dan berjanji untuk memperbaiki semua pabrik yang bermasalah.
Perjanjian antara organisasi PBB dan pejabat Bangladesh ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional mengenai kondisi kerja di Bangladesh.
Perjanjian ini menyerukan dilakukannya paket reformasi legislasi yang akan disampaikan pada saat parlemen Bangladesh bersidang bulan Juni mendatang. Aturan ini akan memastikan hak-hak para buruh untuk terlibat dalam perundingan bersama dan menjamin perwakilan serikat buruh.
Namun implementasinya masih terus dipertanyakan. Politik Bangladesh dikenal tak stabil, dan para analis mengatakan pekerjaan besar diperlukan untuk mengubah budaya aturan yang longgar dan hubungan erat antara pemilik pabrik dan pemerintah.
Hampir dua minggu telah berlalu sejak pabrik garmen runtuh luar ibukota Dhaka, yang memicu protes di jalan-jalan Bangladesh dan para pengecer asal Barat yang menjual barang yang diproduksi di negeri tersebut.
Total ada 657 jenazah yang dikeluarkan dari gedung yang ambruk itu. Sementara diduga korban bisa mencapai seribuan karena banyak pekerja yang masih tertimbun di bawan reruntuhan dan anggota keluarga yang hilang masih tidur di tenda yang didirikan di lokasi gedung tersebut.
Tragedi ini menyusul terjadinya kebakaran dua gedung di bulan November yang menewaskan lebih dari 100 pekerja.
Ekonomi Bangladesh hampir seluruhnya bergantung pada industri garmen, dengan sekitar 4.500 pabrik beroperasi di negeri itu.
Banyak perusahaan kapitalis yang berminat membuka pabrik di negara itu karena mereka mencari ongkos produksi yang lebih murah dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk memenuhi permintaan global akan pakaian murah. Namun memotong ongkos produksi artinya memberikan upah murah dan kondisi tempat kerja yang tidak aman.
Rata-rata buruh industri garmen di Bangladesh mendapatkan upah rendah antara 10 hingga 30 sen setiap jamnya, dan banyak pabrik yang tidak memiliki jendela ataupun pintu darurat, menurut sejumlah aktivis hak-hak buruh. Pada saat yang sama, para pendukung industri garmen, mengatakan bahwa industri ini telah memicu pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi perempuan yang tinggal di masyarakat yang konservatif.
Pekan lalu, Uni Eropa mengingatkan bahwa Bangladesh harus membuat pabrik-pabrik mereka menjadi lebih aman atau menanggung resiko kehilangan akses istimewa ke pasar terbesar negeri itu. Akhir pekan kemarin, Komisioner Perdagangan UE Karel De Gucht makin menambah tekanan terhadap Bangladesh, dengan menyatakan bahwa kondisi buruh di negara itu tak ubahnya seperti "perbudakan modern."
"Kami sekarang melihat bahwa praktek perburuhan ini - kami tidak bisa mengatakan di bawah standar - nyaris tidak mendapat upah, dan di atas segalanya, mereka harus bekerja dalam kondisi kesehatan dan keamanan yang benar-benar tidak bisa diterima," sahut De Gucht saat wawancara dengan sebuah media Belgia.
Saat ini Bangladesh menikmati akses bebas pajak dan kuota ke pasar EU melalui sebuah program bernama Generalized System of Preferences (GSP), yang memungkinkan 48 dari negeri termiskin mengekspor apapun tanpa batas, kecuali senjata.
"Pemerintah Bangladesh harus mengubah beberapa hal dan saya sudah sangat jelas - mereka harus menetapkan kerangka waktu yang jelas dan tepat," kata De Gucht. "Kalau tidak, saya siap untuk memulai penyelidikan."
Ini yang pertama kalinya Uni Eropa mengancam untuk mengambil tindakan melawan Bangladesh dalam konteks program perdagangan GSP. Sebagai upaya terakhir, Uni Eropa bisa menangguhkan akses istimewa Bangladesh untuk masuk ke pasar mereka, sebuah langkah yang diambil di masa lalu untuk melawan masalah hak asasi manusia di Myanmar dan Sri Lanka.
Sejumlah pengusaha tampaknya mengevaluasi ulang penggunaan buruh di pabrik mereka di Bangladesh.
Bulan Maret kemarin, The Walt Disney Company menghentikan produksi cenderamata mereka di Bangladesh demi untuk meningkatkan standar keamanan di rantai pasokan mereka.
Disney juga berencana untuk menghentikan produksi mereka di empat negara lainnya - Ekuador, Venezuela, Belarus dan Pakistan - mulai bulan April 2014.
"Apa yang terjadi di Bangladesh, bagi saya, benar-benar tidak dapat diterima dalam konteks kemanusiaan," kata De Gucht. "Jika ini mengakibatkan harga kaos dan celana jins naik sedikit, yah, itulah yang akan terjadi." (cnn/sh)
"Kami sekarang melihat bahwa praktek perburuhan ini - kami tidak bisa mengatakan di bawah standar - nyaris tidak mendapat upah, dan di atas segalanya, mereka harus bekerja dalam kondisi kesehatan dan keamanan yang benar-benar tidak bisa diterima," sahut De Gucht saat wawancara dengan sebuah media Belgia.
Saat ini Bangladesh menikmati akses bebas pajak dan kuota ke pasar EU melalui sebuah program bernama Generalized System of Preferences (GSP), yang memungkinkan 48 dari negeri termiskin mengekspor apapun tanpa batas, kecuali senjata.
"Pemerintah Bangladesh harus mengubah beberapa hal dan saya sudah sangat jelas - mereka harus menetapkan kerangka waktu yang jelas dan tepat," kata De Gucht. "Kalau tidak, saya siap untuk memulai penyelidikan."
Ini yang pertama kalinya Uni Eropa mengancam untuk mengambil tindakan melawan Bangladesh dalam konteks program perdagangan GSP. Sebagai upaya terakhir, Uni Eropa bisa menangguhkan akses istimewa Bangladesh untuk masuk ke pasar mereka, sebuah langkah yang diambil di masa lalu untuk melawan masalah hak asasi manusia di Myanmar dan Sri Lanka.
Sejumlah pengusaha tampaknya mengevaluasi ulang penggunaan buruh di pabrik mereka di Bangladesh.
Bulan Maret kemarin, The Walt Disney Company menghentikan produksi cenderamata mereka di Bangladesh demi untuk meningkatkan standar keamanan di rantai pasokan mereka.
Disney juga berencana untuk menghentikan produksi mereka di empat negara lainnya - Ekuador, Venezuela, Belarus dan Pakistan - mulai bulan April 2014.
"Apa yang terjadi di Bangladesh, bagi saya, benar-benar tidak dapat diterima dalam konteks kemanusiaan," kata De Gucht. "Jika ini mengakibatkan harga kaos dan celana jins naik sedikit, yah, itulah yang akan terjadi." (cnn/sh)
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.