Kuliah di depan Universitas Rakjat, Jember,Maret 1962
Membicarakan Sosialisme Indonesia berarti membicarakan hari depan Revolusi Indonesia. Manifesto Politik RI mengatakan dengan jelas; “hari depan Revolusi Indonesia bukanlah menuju ke kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme… hari depan Revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur, atau … Sosialisme Indonesia”. Perumusan Manipol tentang hari depan revolusi ini hanya dapat dipahami dengan tepat, bila orang memahami dengan tepat pula apa itu kapitalisme, apa itu feodalisme, dan apa itu sosialisme. Hal ini perlu saya tekankan karena sampai sekarang masih terlalu banyak orang yang menyatakan dirinya: anti kapitalisme, dan anti feodal, tetapi tidak tahu apa sesungguhnya kapitalisme itu, juga tidak tahu apa sesungguhnya feodalisme itu. Begitu punterlalu sering masih orang-orang menamakan dirinya: prososialisme; tanpa mengetahui apa sosialisme yang sebenarnya itu.
Apa akibat dari ketidakjelasan soal-soalini? Akibatnya bermacam-macam. Ada orang yang menganggap Uni Soviet misalnyaimperialis: “imperialis merah”; dan RRT juga imperialis: “imperialis kuning”;padahal Uni Soviet dan RRT adalah jelas-jelas negara-negara yang bukan sajaantiimperialis, tetapi sudah sosialis. Sebaliknya ada orang-orang yangmenganggap, misalnya, Burma itu suatu negeri sosialis; hanya karena kaumsosialis pernah memegang pemerintahan di sana, padahal Burma itu, tidak bedadengan Indonesia. India dan banyak negeri lainnya, adalah negeri yang belummerdeka penuh dan masih setengah feodal. Perkara Burma ini belum seberapa. Adamalahan orang-orang yang mengira kerajaan Inggris itu negeri sosialis, jugakarena yang memerintah di sana pernah Labour Party yang sering disebut sebagaipartai sosialis itu. Lelucon ini jadinya tidak lucu lagi! Pertama, di manalahdi dunia ada kerajaan yang sosialis! Jika kerajaan-kerajaan pada sosialis,Lenin dulu tak perlu repot-repot memimpin Revolusi 1917, sebab Rusia ketika itutoh sudah Rusia Tsar, Rusia kerajaan … lagipula agak sukar membayangkan bahwaseorang Elizabeth atau seorang Hirohito atau seorang Juliana bisa sosialis; …Nederland juga pernah diperintah oleh Partij van der Arbeid, Partai sosialis.Tetapi apakah dengan begitu Nederland jadi sosialis? Adalah pemerintah sosialisNederland itu yang di tahun 1947 melancarkan perang kolonial terhadap kita!
Seratus lima belas tahun yang lalu Karl Marx dan Friedrich Engels menerangkan kepada kita supaya berhati-hati dengan sosialisme, sebab, demikian Marx dan Engels, selain “sosialisme proletar”, juga ada “sosialisme borjuis kecil”, “sosialisme borjuis” bahkan “sosialisme feudal”. Dengan pengalaman Inggris dan Nederland di atas maka kita harus menambahkan bahwa selain “sosialisme kerajaan” itu masih ada lagi “sosialisme kolonial”! Macam lain dari kekisruhan mengenai sosialisme adalah kenyataan bahwa ada orang-orang yang sendirinya seorang kapitalis tetapi memaklumkan diri ke mana-mana sebagai orang antikapitalis. Kalau ditanya, “Lha saudara ini apa?”, cepat-cepat dia menjawab: ”Saya kapitalis nonkapitalis” atau malahan,ada yang bengal dengan mengatakan:”Saya kapitalis marhaen”, “Saya kapitalis murba”, atau “Saya kapitalis jelata”. Sungguh kapitalis jenaka!
Ada kekisruhan macam lain lagi. Bulan yang lalu pernah saya lihat di Jember sini semboyan yang mengatakan seakan-akan;”ciri khusus land reform Indonesia adalah “nonkomunis”dan “anti kapitalis”. Perkara ”non komunis” baiklah saya tidak berikomentar sekarang, karena komentar pun sebetulnya berkelebihan. Cobalah kita camkan: landreform adalah redistribusi atau pembagian kembali tanah dengan jalan memberikan milik individual kepada kaum tani. Inilah landreform yangtepat, dan landreform ini disokong selain oleh golongan-golongan lain, juga dan barangkali terutama oleh kaum komunis Indonesia. Jadi soal non-atau tidak non komunis tidak menjadi soal sama sekali. Sekarang, apakah land reform Indonesia itu benar harus anti kapitalis? Dari persoalan ini jelas bahwa masih ada orang yang tak tahu bedanya kapitalisme dari feodalisme. Sasaran land reforma adalah feodalisme, tuan-tuan tanah, dan bukan kapitalisme! Tentu bagi kita ada persoalan menghapuskan sama sekali konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah,tetapi yang dipersoalkan oleh Undang-undang Pokok Agraria adalah tanah-tanah kelebihan pada Tuan-tuan Tanah Bumi putera, Tuan-tuan Tanah Feodal. Presiden Sukarno menerangkan di dalam; “Djarek” (Djalannya Revolusi); bahwa landreform itu tujuannya; “mengakhiri pengisapan feudal secara berangsur-angsur”.
Kita lihatlah betapa kisruhnya soal-soaljadinya, jika pengertian-pengertian kapitalisme dan sosialisme tidak jelas. Ada yang setuju dengan “sosialisme ilmiah”, ada yang tidak menyetujuinya. Tetapi kita sudah sekali hidup dalam abad ilmu, abad atom dan nuklir,sputnik dan kapal ruang angkasa, dan bukan lagi dalam abad takhayul atau mistik. Kita menyuruh anak-anak kita pergi ke sekolah menuntut ilmu, tidakkah aneh jika bapak-bapaknya menghindari ilmu? Juga pengertian-pengertian harus ilmiah, termasuk pengertian-pengertian tentang kapitalisme, feodalisme dan sosialisme.
Untuk menyebarkan ilmu secara populerdan masal inilah saya kira salah satu tujuan utama UNRA (Universitas Rakyat).Benar UNRA bukan suatu institut universiter, tetapi mutu ilmiah akan tetapdijaga tinggi dalam UNRA dan tujuan mendekatkan ilmu kepada rakyat ataumendekatkan rakyat kepada ilmu, kiranya adalah suatu tujuan ilmiah yang serasidengan denyut nadi jaman. Demikian pun tujuan meniadakan jurang antara teoridan praktek, terutama teori revolusioner dan praktek revolusioner. Apakah Sosialisme Indonesia itu dan bagaimana harusnya dia kita selenggarakan?
Saya ingin memulai dengan suatu logi kayang sederhana tetapi keras: Sosialisme adalah Sosialisme. Juga ini bukannya tak ada gunanya saya tekankan, sebab ada yang mengartikan ;”Sosialisme Indonesia”; itu hanya dari sudut kekhususan-kekhususan, keistimewaan-keistimewaan, perlainan-perlainan, dan malahan pertentangan-pertentangan dengan “sosialisme-sosialisme lain”.; Pembela-pembela“sosialisme istimewa”; ini biasanya mengatakan: “Sosialisme Indonesia bukan Sosialisme Soviet, bukan Sosialisme Tiongkok, bukan Sosialisme Kuba”; Saya cumakhawatir jangan-jangan yang dimaksudkan oleh mereka adalah bahwa Sosialisme Indonesia itu bukan …Sosialisme!
Kekhususan Sosialisme Indonesia tentu saja ada, tetapi apakah ada kekhususan jika tak ada keumuman? Apakah ada yang khusus jika tak ada yang umum? Kita ambilkan misal ini: “Simin manusia khusus”;Tetapi setiap kita tahu bahwa tidak akan ada itu manusia Simin jika tak ada manusia. Lagipula, sekalipun Simin itu manusia khusus, tetapi dia toh manusia juga: kepalanya satu, tangannya dua, kakinya dua, melihat bukan dengan telinga melainkan dengan mata, berpikir bukan dengan punggung melainkan dengan otak, dsb.Sebab, sekiranya Simin itu berpikir tidak dengan otaknya, saya kira kita tidak akan berkata “Simin itu manusia khusus”, melainkan Simin itu manusia abnormal,atau bukan manusia sama sekali! Oleh sebab itu Sosialisme adalah Sosialisme, Sosialisme Indonesia adalah Sosialisme Indonesia; dia bercorak Indonesia, tetapi dia Sosialisme.
E. Utrech S.H., ketika sebagai sesama anggota Dewan Pertimbangan Agung bersama-sama saya mengadakan indoktrinasi Manipol ke Nusa Tenggara, merumuskan soalnya sebagai berikut:
”Sosialisme Indonesia adalah sosialismeyang diindonesiakan, atau Indonesia
yangdisosialiskan”;Saya kira perumusan sarjana ini bukan perumusan seorang profesor linglung,melainkan perumusan yang obyektif benar. Mari
yang terang, bahwa Sosialisme Indonesiaadalah;”sosialisme yang disesuaikandengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan alam Indonesia,dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaanrakyat Indonesia”. Kita perhatikanlah: “sosialisme yang disesuaikan…” dsb.,tetapi yang disesuaikan itu adalah tetap sosialisme, dia harus tetapsosialisme. Saya ingin mengambil contoh yang lain: apa misalnya yang kita sebut lukisan Indonesia tentang gunung Himalaya? Saya kira, ini berarti sebuahlukisan gunung Himalaya yang dikerjakan oleh seorang pelukis Indonesia, dan yang menggunakan gaya Indonesia, pengolahan Indonesia, visi Indonesia. Tetapi saya kira seindonesia-indonesianya lukisan Himalaya, dia tidak boleh menyulap bentuk Himalaya hingga menjadi seperti gunung Argopuro atau Raung!Sosialisme adalah suatu susunan social atau sistem masyarakat yang berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat produksi.Saya minta perhatian: alat-alat produksi.Jadi, bukan atas meja-kursi,buku-buku, tempat tidur, sepeda, dan sebagainya. Dalam sosialisme proses produksi berlangsung secara sosial, demikian pun hasil-hasilnya dikenyam secara sosial. Ini berarti bahwa sosialisme itu bukan kapitalisme yang produksinya berlangsung social (kalau tidak ada kaum buruh yang banyak itu tidak akan ada produksi kapitalis!) tetapi hasil-hasilnya masuk ke kantong si kapitalis saja,jadi asosial.
Sosialisme tidak boleh disederhanakan menjadi “sama rata sama rasa”, di mana orang yang bekerja berhak makan dan orang yang tidak bekerja juga berhak makan, atau di mana si rajin mendapat persis sama dengan si malas. Sebaliknya, dalam sosialisme hanya yang bekerjalah yang berhak makan, sedang yang tidak bekerja tidak berhak atas makan. Begitupun, si malas tak akan mendapat sebanyak si rajin. Kian rajin akan kian banyaklah pendapatannya.
Seperti dikatakan oleh Karl Marx: “Dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat menurut prestasi atau hasil kerjanya” Pendeknya, sosialisme adalah masyarakat tanpa exploitationde l’homme par l’homme, tanpa pengisapan oleh manusia atas manusia, seperti berulang-ulang dinyatakan oleh Bung Karno. Demikianlah sifat-sifat umum yang pokok dari sosialisme, juga dari Sosialisme Indonesia. Bung Aidit sudah pernah memperingatkan: janganlah ”Sosialisme Indonesia”; itu diartikan sosialisme;”yang begitu khususnya”, sehingga kata sifat “Indonesia”; menjadi berarti;”dengan pengisapan oleh manusia atas manusia”, sehingga “Sosialisme Indonesia”; berarti “sosialisme dengan pengisapan!”
Kalau ada “sosialisme dengan pengisapan”,pastilah dia bukan sosialisme sama sekali, pastilah dia bukan masyarakat yangadil dan makmur. Sebab, pengisapan itu bukan keadilan, dan dengan pengisapantidak mungkin ada kemakmuran. Maksud saya kemakmuran buat semua, sebab,kemakmuran buat si pengisap tentu saja bisa.
Tamu-tamu dari Eropa, yang datang keAsia dengan berkunjung dulu ke India, baru ke Indonesia, banyak yang mengatakan kepada saya:”Indonesia ini saya lihat relatif makmur”; “Makmur bagaimana?”;,Tanya saya. Jawabnya;”Dibandingkan dengan India” Memang, saya sendiri sudah tiga empat kali ke India. Orang mati menggeletak di pinggir jalan, yang di sini hanya terdapat di jaman fasisme Jepang dan yang sesudah Republik merdeka hampir-hampir tak pernah kita jumpai, di India sana masih gejala sehari-hari.Toh P.M.Jawaharlal Nehru menamakan India itu suatu “negeri sosialis”. Ketika saya tanya kepada teman India saya yang baik, Bupesh Gupta, “Sosialisme India itu sosialisme macam apa?”, teman saya itu menjawab, “sosialisme dengan kemiskinan”. Bahwa “sosialisme” itu tidak selalu sosialisme, dan bahwa ada macam “sosialisme”; yang sesungguhnya bukan sosialisme, juga bisa kita saksikan dari kejadian-kejadian beberapa waktu yang lalu di dunia Arab.
Presiden Gamal Abdel Nasser, seperti diketahui, secara pandai telah memasukkan Suriah ke dalam gabungan dengan Mesir, ke dalam “Republik Persatuan Arab”. Presiden Nasser memaklumkan bahwaRPA adalah negeri “sosialis”; yang berasaskan “sosialisme á la Arab”. Beberapa waktu kemudian, setelah rakyat Suriah, mulai buruhnya sampai burjuasinya,mengalami apa artinya berada di dalam RPA, mereka memilih kembali jalan menentukan nasib sendiri dengan merenggutkan diri dari Mesir dan mendirikan kembali Suriah merdeka. Republik Suriah ini kemudian memaklumkan “sosialisme”;juga: “sosialisme sejati”. Nah, kita lihatlah, “sosialisme”, ditentang oleh “sosialisme”; “sosialisme á la Arab”, ditentang oleh “sosialisme sejati”.
Di Indonesia ini ada yang mengira bahwasosialisme itu akan terselenggara jika kita melakukan “indonesianisasi”. Ini jugalah sebetulnya yang dilakukan oleh Mesir. Menurut Ali Sabri, menteriMesir yang tugasnya mendampingi presiden, di sana dilakukan apa yang disebutnya“arabisasi” atau bahkan “mesirisasi”. Bahwa “indonesianisasi”, saja belumberarti perbaikan, hal ini dapat diterangkan dari dua sudut. Pertama, siapa yang mengadakan“indonesianisasi” itu; Kedua,siapa orang-orang Indonesia yang ditugaskan menggantikan kedudukan-kedudukanorang-orang asing. Pasal siapa yang menugaskan, juga siapa yang ditugaskan ini,penting sekali.
Pada suatu hari diberitahukan kepada anggota-anggota parlemen kita, bahwa pada tanggal sekian jam sekian akan datang wakil-wakil dari BPM-Shell.Anggota-anggota parlemen sudah mengasah bahasa Inggrisnya, tahu-tahu yang muncul orang-orang berkulit sawo matang, bermata hitam, berambut hitam. Inilah “indonesianisasi” oleh BPM-Shell. Juga apabila yang menugaskan “indonesianisasi”; itu pihak Indonesia, termasuk pemerintah Indonesia, belumlah tentu bahwa yang ditugaskan dalam “indonesianisasi”; itu orang-orang Indonesia yang patriotik dan cakap. Bukankah Presiden Sukarno berkali-kali mencanangkan tentang masih adanya orang-orang “blandis”, orang-orang yang hollands-denken, dan bukankah kita dalam masyarakat terkadang menjumpai orang-orang yang bahkanmerasa “lebih Belanda daripada si Belanda? Ya, jika seandainya setiap “indonesianisasi”; sudah beres, tentulah Manipol tidak perlu menggariskan keharusannya retooling, dan tentulah Resopim tidak perlu menggariskan keharusannya membersihkan segala aparat dari “pencoleng-pencoleng”. Sosialismebukanlah suatu sistem ekonomi semata. Dia suatu sistem sosial yang menyeluruh.Dia ya sistem ekonomi, ya sistem politik, ya sistem kultural, ya malahan systemmiliter.
Dalam pidatonya 1 Juni 1945, yaitu“Lahirnja Pantja Sila” yang diucapkan tatkala kaum militer-fasis Jepang masihdi Indonesia sini, Bung Karno-ketika itu belum Presiden RI-antara lain berkata:“Jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyatIndonesia, marilah kita terima prinsip hal socialerechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik … tetapi pun diatas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraanbersama yang sebaik-baiknya”. Dalam pidato itu juga yang sangat saya anjurkanuntuk dipelajari sungguh-sungguh oleh setiap manipolis, Bung Karno jugamenganjurkan “cara yang tidak onverdraagzaam,yaitu dengan cara yang berkebudayaan!”
Apakah hakikat sosialisme di lapangan ekonomi, di lapangan politik kebudayaan?
Prinsip-prinsip sosialisme di lapangan ekonomi sudah saya bentangkan tadi, sekalipun secara cekak-aos. Bagaimana bisa ada “sosialisme”; yang pemilikan alat-alat produksinya tidak bersifat sosial, sedang UUD’45 pun menggariskan pada pasal 33-nya: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya”. Kalau dalam UUD’45 sudah demikian, apa pula dalam sosialisme nanti. Di lapangan politik sosialisme haruslah berarti kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam arti yang sesungguh-sungguhnya, kedaulatan rakyat yang bukan hanya semboyan,tetapi kenyataan. Mayoritas terbesar rakyat di negeri kita adalah kaum buruhdan kaum tani. Oleh sebab itu wajarlah apabila mereka, kaum buruh dan kaum taniitu, yang harus mengurusi dirinya sendiri dan mengurusi urusan-urusankenegaraan umumnya. Jika tidak ada ini, maka pastilah akan terjadi apa yangdikatakan Jean Jaures seperti yang dikutip oleh Bung Karno dalam pidato“Lahirnja Pantja Sila”,yaitu: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itudi dalam parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti raja! Tetapi di dalamdia punya tempat bekerja, di dalam pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister,besok dia dapat dilemparkan ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”. Jika seperti yang dikatakanJean Jaures dan Bung Karno ini masih terjadi, itu tandanya masyarakat masihberada dalam susunan kapitalis, betapa pun demokratisnya, dan belum beradadalam susunan sosialis! Manipol pun sudah menetapkan bahwa “Revolusi Indonesia harus mendirikankekuasaan gotong royong, kekuasaan demokratis yang dipimpin oleh hikmahkebijaksanaan, yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional,seluruh kekuatan rakyat”. Dalam mendefinisikan “seluruh kekuatan nasional”ini Manipol mengatakan: “
“Seluruh rakyat Indonesia dengan kaumburuh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya. Jadi: kekuasaan gotong-royong… yang menjamin terkonsentrasikannya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat…dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya.”
Argumentasi bagi garis Manipol inibahkan sudah diberikan Bung Karno tujuhbelas tahun yang lalu dalam pidato yangsaya tak jemu-jemu menyebutkannya, yaitu “Lahirnja Pantja Sila”, yang antaralain berbunyi: “Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi tiga, dan tigamenjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaituperkataan ‘gotong royong.’ Negara Indonesia yang kita dirikan haruslahnegara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!”. Demikianlah Bung Karno merumuskan cita-citanya. Tidaklah perlu saya berikanredenasinya, tentulah Sosialisme Indonesia di lapangan politik sedikitnya harusmenjalankan asas Sukarno tentang kenegaraan ini.
Bagaimana Sosialisme Indonesia dilapangan kebudayaan? Ketika pemuda-pemuda revolusioner yang bekerja ilegal dijaman Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia mendatangi Sutan Sjahrir dihari-hari Agustus 1945, Sjahrir mengatakan bahwa Indonesia “belum matang” buatmerdeka, bahwa “paling sedikit dibutuhkan lima tahun sampai rakyat Indonesia bisamerdeka”. Melihat keadaan yang belum baik sekarang ini, mungkin ada orangyang akan berkata, “Kalau begitu Sjahrir betul juga – sudah enambelas tahunlebih kita merdeka, kita belum bisa membereskan ekonomi dan soal-soallain”. Pikiran begini adalah pikiran berbahaya sekali! Sebelum kitabicarakan ekonomi beres atau tidak beres, pertama-tama dan di atassegala-galanya harus kita persoalkan: kalau Proklamasi 17 Agustus 1945 ditundaapakah sekarang ini akan ada Republik Indonesia! Saya tak tahu apa akan jadinyaIndonesia ini dalam hal begitu, tetapi kalau pun tidak Jepang atau Belandamenjajah kita kembali, maka imperialis-imperialis lain seperti Inggris,Amerika,Pernacis, Belgia, Portugal dan Jerman Barat, kalau tidak salah satu dari merekamenjajah kita, semuanya menjajah kita bersama-sama. Sehingga, Indonesia inimerupakan suatu polikoloni, menjadi ajang penjajahan kolektif oleh kaumimperialis, mungkin langsung, mungkin pula
dengan bendera PBB seperti halnya diKorea Selatan atau Kongo sekarang. Bung Karno, dalam pidatonya —ijinkanlah saya mengutipnya lagi “Lahirnja Pantja Sila”; berkata: “Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet Rusia Merdeka, telah mempunyai Dnieprpetrovsk, dam yang maha besar di sungai Dniepr? Apa ia telah mempunyai redio-stasion, yang menyundul angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis?
Tidak, tuan-tuan yang terhormat!
Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-stasion, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche, baru mengadakan Dnieprpetrovsk! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar didalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesaidengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka… apakahsaudara-saudara (sekarang) akan menolak serta berkata; “Mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, barukita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka.!. Dalam Indonesia Merdekakita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapikita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghiilangkan penyakit malariadengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya”. Demikianlah Bung Karno tujuh belas tahun yang lalu.
Sekarang, sudah ada plan buat memberantas butahuruf sampai tahun 1964, dan Manipol pun mengatakan bahwa “kita bergerak tidak karena ‘ideal’ saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan,ingin cukup meminum seni dan kultur - pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya”. Dansaya kira Presiden Sukarno tidak salah, bila beliau berkata kemudian dalam Manipol itu pula bahwa “perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen, bilamana masyarakat sudah tidak ada lagi kapitalisme dan imperialisme”,jadi, bilamana sudah terselenggara masyarakat sosialis.
Demikianlah “sosialisme”; yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, ”itu tidak mungkin berarti diingkarinya ciri-ciri umum sosialisme, seperti penghapusan pengisapan oleh manusia atas manusia, perbaikan nasib… 100% dsb. Mengingkari sifat-sifat khusus Sosialisme Indonesia berarti bahwa ia bukan sesuatu yang bersifat Indonesia; mengingkari sifat-sifat umum Sosialisme Indonesiaberarti, bahwa ia bukan sosialisme sama sekali. Kekhususannya harusdiintroduksikan, tetapi
keumuannya harus dipertahankan.Beginilah dan hanya beginilah kita bisa berbicara tentang Sosialisme Indonesia.
Apakah sosialisme sebagai perspektifRevolusi Indonesia itu terjamin akan tercapai? Ketua CC PKI dan Ketua Dewan Kurator UNRA, Bung Aidit, menerangkan bahwa perspektif Revolusi Indonesia tak mungkin lain daripada Sosialisme, “karena Revolusi Indonesia pada tingkat sekarang adalah ditandai oleh kebangunan sosialisme dunia dan kehancurankapitalisme dunia”. Ini dinyatakan Bung Aidit dalam bukunya Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (MIRI),yang oleh ahli sejarah dan Kepala Arsip Negara, Drs. Moh. Ali dinamakan suatubuku sejarah modern Indonesia “yang tegas”. Tentang jaminan akan tercapainya perspektif revolusi itu, Bung Aidit dalam bukunyatersebut menunjukkan, bahwa benar Revolusi Nasional-Demokratis akan menyingkirkanperintang-perintang bagi perkembangan kapitalisme, benar kapitalisme nasionalsampai batas-batas tertentu akan berkembang, tetapi ini hanya satu segi darimasalahnya, sedang segi lainnya adalah bahwa akan ada juga “perkembanganfaktor-faktor sosialis seperti pengaruh politik proletariat yang makin lamamakin diakui kaum tani, intelegensia dan elemen-elemen burjuasi kecil lainnya;perusahaan-perusahaan negara dan koperasi-koperasi kaum tani, kaum kerajinantangan, nelayan dan koperasi-koperasi rakyat pekerja lainnya.
Semua ini adalah faktor-faktor sosialisyang menjadi jaminan bahwa hari depan Revolusi Indonesia adalah Sosialisme danbukan Kapitalisme.
”Bagaimana sekarang menyelenggarakan sebaik-baiknya Sosialisme Indonesia itu?”.Dalam “Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berentjana,”, yang berartijuga “Djarek”; dan “Membangun Dunia Kembali”, oleh MPRS telah disahkan sebagaipedoman pelaksanaan Manipol, Presiden Sukarno dengan keras mengritik di satu pihak golongan “evolusionis”, karena “teori yang demikian itu adalah salah”,dan pihak lain golongan “melompat”; atau “fasensprong”; karena “teoriyang demikian itu pun tidak benar”. Saya menyokong kritik terhadap disatu pihak “evolusionisme”; dan di pihak lain “fasensprong” ini, karena yang pertama akan berarti penyelewengan ke kanan, oportunisme kanan atau reformisme,sedang yang kedua akan berarti penyelewengan ke kiri, oportunisme kiri atau radikalisme. Baik yang pertama maupun yang kedua akan membikin perjuangan mandek di jalan, sosialisme tidak tercapai dan revolusi gagal. “Evolusionisme”;berarti tidak mengganti sarana-sarana lama dengan sarana-sarana baru, berarti tidak menjebol kekuasaan lama dan mendirikan yang baru, berarti “sumonggo dawuh dan monggo kerso serta sendiko dalem alias menyerah-isme”. Perjuangan harus revolusioner, dantidak evolusioner,tidak reformis “Fasensprong”; berarti melompati apayang tidak boleh dilompati, yaitu fase revolusi nasional-demokratis, berarti memimpikan yang tidak-tidak, berarti anti realis, alias avonturisme.
Perjuangan harus obyektif dan tidaksubyektif, tidak acak-acakan atau awur-awuran. Kita sekarang berada dalam faserevolusi nasional dan demokratis, artinya, revolusi melawan imperialisme danmelawan feodalisme. Fase revolusi ini tidak boleh kita takuti, dia harus kitatempuh. Perincian “Djarek” menegaskan: “Jelaslah, ada dua tujuan dan dua tahapRevolusi Indonesia: Pertama,tahap mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme-dan yangdemokratis-bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harusdiselesaikan… Kedua, tahap mencapaiIndonesia ber-Sosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari exploitation del’homme par l’homme.Tahap ini hanya bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudahdiselesaikan seluruhnya. “Bisakah dipikirkan perumusan yang lebih gamblangdaripada ini? Baiklah saya bahas tahap pertama, yang di satu pihak tak bolehditakuti dan di pihak lain tak boleh dilompati itu. Mengapa sasaran revolusikita sekarang imperialisme dan feodalisme? Ini mudah dipahami jika orang sukamengingat bahwa 20% dari wilayah tercinta kita, yaitu Irian Barat, masihdiduduki kaum imperialis. Juga jika diingat bahwa sebagian penting dariperekonomian kita, terutama minyak, masih dikuasai oleh kapital imperialis BPM-Shell,Stanvac dan Caltex. Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagi diIndonesia, tentulah Manipol tidak mengancam “semua modal Belanda, termasuk yangberada dalam perusahaan-perusahaan campuran, akan habis tamat riwayatnya samasekali di bumi Indonesia”. Andaikata kapital imperialis sudah tidak adalagi di Indonesia, tentulah Manipol tidak mengancam modal monopoli asing yangbukan Belanda akan diperlakukan “sama dengan modal yang asalnya dari negeriBelanda”; artinya juga dibikin “habis tamat riwayatnya sama sekali di bumiIndonesia. “Antievolusionisme” berarti harus melaksanakan ketentuan Manipolini. Jika sebaliknya, jika ketentuan-ketentuan Manipol ini tidak dijalankan danjika kita tidak membikin habis tamat riwayatnya kapital imperialisme asing dibumi Indonesia, maka kita sesungguhnya-sadar ataupun tak sadar-menjalankanevolusionisme, menjalankan reformisme atau oportunisme kanan, kita sesungguhnyamenjadi takut kepada kemenangan revolusi!
Demikian yang mengenai imperialisme.Yang mengenai feodalisme pun demikian pula. Andaikata feodalisme sudah habis,tentulah tidak ada perlunya dibikin Undang-undang Bagi Hasil dan Undang-undangPokok Agraria atau Undang-undang Landreform. Ya, andaikata feodalisme sudahhabis, tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “Revolusi Indonesia tanpalandreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohontanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi“, tentulah “Djarek” tidakmenegaskan bahwa ”melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagianmutlak dari Revolusi Indonesia, dan tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa“tanah tidak boleh menjadi alat pengisap”; “Djarek” tidak hanya berhenti disini. Seakan-akan khawatir kalau politik landreformnya tidak akan dituruti olehgolongan-golongan tertentu, maka Presiden Sukarno dalam “Djarek” itu jugamenegaskan: ”Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, MasyarakatAdil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan landreform,adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau di PasarSenen”! Jelaslah, bahwa anti evolusionisme harus berarti setuju dan melaksanakan landreform. Jika tidak setuju, dan tidak menjalankan landreform, maka disadari atau tidak orang sudah menjalani evolusionisme, reformisme atau oportunisme kanan, orang sudah takut kepada kemenangan revolusi. Pendeknya kita harus awas-awas terhadap orang-orang yang “revolusi yes, landreform no”, atau“revolusi okay”, “menghabisi riwayat kapitalis imperialis tunggu dulu”. DiSumatera Utara agak sering terjadi orang-orang berangkat ke luar negeri, pulang memakai jubah dan kupiah haji, padahal dia tidak ke Mekkah, cuma ke Singapura…inilah yang di Medan disebut “lebai Singapura”-mereka lebai-lebai palsu.Begitulah tidak semua orang yang menyebut dirinya “revolusioner” adalah sesungguhnya revolusioner, ada juga revolusioner palsu, ada revolusioner gadungan!
Saya sudah menguraikan perkara“evolusionisme”; di dalam praktek. Bagaimana “fasensprong”; di dalam praktek? Fasensprong tidak mau tahu akan revolusinasional dan demokratis. Fasensprong mau langsung ke sosialisme, sekalipun syarat-syarat untuknya belum tersedia. Fasensprong mengobrak-abrik pengusaha-pengusaha nasional dan pengusaha-pengusaha kecil, tetapi membiarkan pengusaha-pengusaha imperialis seperti BPM-Shell, Stanvac, Caltex dan Unilever.Mereka lebih hebat daripada “sosialisme dengan kemiskinan”; - mereka mau“sosialisme dengan imperialisme”! Terhadap masalah tanah, fasensprong tak mau ambil perduli terhadap
perlunya pemilikan perseorangan olehkaum tani atas tanah: mereka mau langsung “pengkoperasian”pertanian, atau yang tak kalah seringnya, mereka mau “menasionalisasi tanah-tanah”. Jelaslah, bahwa fasensprong sebetulnya tak lain daripada sabotase terhadap revolusi.
Bagaimana hubungannya antara tingkat revolusi yang pertama dengan tingkat yang kedua? Bung Aidit dalam karyanya Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia menulis bahwa; ”Dua tingkat revolusi, yang demokratis dan yang sosialis (adalah) duaproses revolusioner yang berbeda dalam watak, tetapi yang satu dengan yang lainnya berhubungan. Tingkat pertama ialah persiapan yang diperlukan untuk tingkat kedua, dan tingkat kedua tidak mungkin sebelum tingkat pertama selesai”. Menyelesaikan “tingkat pertama”; bukan hanya berarti menyelesaikan tugas-tugas ekonominya yang pokok-pokok, terutama terhadap kapital imperialis dan monopoli tuan tanah atas tanah.
Menyelesaikan “tingkat pertama”; harus berarti juga dikerjakannya hal-hal yang mendesak sekali seperti mempraktekkan dan bukan hanya menyerukan semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional”. Jika penghasilan negara terutama didapat dari pajak-pajak,langsung maupun tak langsung, jika pajak-pajak yang sudah ada dinaikkan dan pajak-pajak baru diadakan, dan jika tarif-tarif transpor, telekomunikasi dsb.dinaikan, juga jika harga minyak, gula, dan lain-lainnya dinaikkan, dan jika sebaliknya perusahaan-perusahaan negara tidak memberikan sumbangan yang sepertinya kepada kas negara, apalagi jika karena belum diberantasnya yang dikatakan Presiden Sukarno dalam Manipol “syaitan korupsi”; dan “syaitan garuk kekayaan hantam kromo”, maka semua ini menandakan semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional”; baru semboyan yang diserukan dan belum semboyan yang dipraktekkan. Ketika memasuki tahun ke-2 Manipol, Presiden Sukarno berkata: “Kita harus dengan lebih tegap melangkah untuk secara konsekuen melaksanakan Manipol dan dalam tahunke-2 Manipol Usdek ini kita harus sungguh-sungguh nan pakken soal retooling inibenar-benar”. Kita sekarang sudah berada di tahun ke-3 Manipol, tahun batas bagi pelaksaan triprogram kabinet, bagi kabinet sendiri, bagi keadaan bahaya juga. Jika dalam tahun ke-2 Presiden Sukarno sudah begitu menekankan mutlaknya melaksanakan secara konsekuen Manipol dan nampakken soal retooling benar-benar,”apalagi sekarang di tahun ke-3 Manipol ini! Beberapa patah kata tentang Pancasila. Harus jelas bagi siapa pun, bahwa Pancasila itu sesuatu keutuhan integral yang tidak boleh direnggut-renggut satu-satu silanya dari sila-sila lainnya, dan bahwa Pancasila itu alat pemersatu. Jika Pancasila direnggut-renggut, maka bisa nanti atas nama “Kebangsaan”; misalnya orang menentang “Ketuhanan Yang Mahaesa”; atau “Kemerdekaan Beragama”; misalnya orang menentang “Kedaulatan Rakyat”; atau “Demokrasi Sosialisme di mana pun didunia menjamin kemerdekaan beragama”.
Sosialisme Indonesia tak terkecuali. Sdr. KDH Sudjarwo dengan tepat menganjurkan “Pancasila” secara ilmiah setaraf dengan interpretasi penciptanya,”; yaitu Bung Karno. Memang kalau kita bertolak dari “Lahirnja Pantja Sila”, pidato 1 Juni 1945 Bung Karno yang sudah banyak saya kutip itu, dalam membicarakan sila “Ketuhanan Yang Maha esa”; Bung Karno menekankan “hormat-menghormati satu sama lain”, “yang berkeadaban”, “yang berkebudayaan”; “yang tidak onver draagzaam”, dan dengan tegas beliau kemudian berkata: “Segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya”; UUD’45 dalam pasal 29 yang mengenai “Ketuhanan Yang Maha esa”; menegaskan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya”. Dalam “Djarek”, Presiden Sukarno menggasak “hantu kebencian”, membela “toleransi politik”; Dan dalam “Membangun Dunia Kembali”; atau pidato PBB-nya yang terkenal itu, Presiden Sukarno menerangkan bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha esa”; dalam Pancasila berarti: “hak untuk percaya”, bukan kewajiban untuk percaya kepada Tuhan, dan berkatalah Presiden: “Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama”. Kemudian Presiden menunjukkan bahwa “bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun; diliputi oleh “toleransi”.
Pernyataan Presiden ini tepat sekali, karena sesungguhnya “yang tidak menganut sesuatu agama”; atau “yang tidak percaya kepada Tuhan pun”; adalah bangsa In indonesia - mereka rakyat Indonesia. Dan tentulah kita semua belum lupa pada canang yang dipukul Presidendalam “Resopim”, bahwa Pancasila adalah alat pemersatu, bahwa Pancasila tidak boleh dijadikan alat pemecah-belah, dan bahwa barang siapa menjadikan Pancasila alat pemecah-belah, sesungguhnya dia itu-dalam istilah Presiden Sukarno sendiri “sinting”.
Sampailah saya sekarang pada alat yangterpenting, yang terbaik, dan yang satu-satunya untuk menyelenggarakanSosialisme Indonesia melalui penyelesaian fase pertama, fase revolusinasional-demokratis, yaitu persatuan nasional. Persatuan nasional ini denganNasakom sebagai porosnya, bukan hanya sesuatu yang sudah resmi dan maka ituharus dituruti mutlak oleh setiap warganegara dari golongan politik maupunkarya, sipil maupun militer, tetapi dia pun syarat yang tak boleh tidak jikakita mau menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi ’45 dengan perbuatan dantidak dengan lipservice ataulamis-lamis bibir saja. Presiden Sukarno mengatakan dalam “Resopim”; bahwamenolak Nasakom berarti bertentangan dengan UUD’45, dan dalam “Djarek”; beliauberpesan, “Bangsa” kita harus menggembleng dan menggempurkan persatuan darisegala kekuatan-kekuatan revolusioner, - menggembleng dan menggempurkan de samenbundeling van alle revolutionairekrachten in de natie.
Demikianlah secara pokok-pokok Sosialisme Indonesia-ilmu dan amalnya: ilmu dan amal pengakhiran pengisapan oleh manusia atas manusia. Saya anjurkan kepada para siswa UNRA dan para peminat lainnya yang mau memperdalam soalnya-supaya mempelajari buku BungAidit, Sosialisme Indonesia dan Syarat-syarat Pelaksanaannya.
Penegasan saya sebagai kesimpulan:
Tanpa Persatuan Nasional dengan kaumburuh dan tani sebagai kekuatan pokoknya dan Nasakom sebagai porosnya, takkanada pelaksanaan Manipol secara konsekuen, sedang tanpa pelaksanaan Manipol secara konsekuen, takkan ada Sosialisme Indonesia.
HASTA MITRA was the name of a publisher of books on Indonesia, founded by Hasjim Rachman, Joesoef Isak, and Pramoedya Ananta Toer,Indonesia three political prisoners who were exiled on the island of Buru.After the third released from Buru in 1979, they formed the Hasta Mitra in April 1980. Hasjim, Joesoef, and Pramoedya had previously been banned by the government to return to the old profession.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.