Aku berani bertaruh, berdasarkan juga data yang pernah diungkapkan oleh kekasih-kekasihku, kawan-kawan perempuanku, termasuk juga dari hasil mengamati status-status yang ditulis oleh para gadis di media sosial, bahwa bisa jadi sembilan dari sepuluh perempuan selalu mengeluh bahwa mereka dibohongi oleh kekasihnya dan berharap bertemu lelaki yang jujur. Berkata hanya kebenaran.
Kebenaran.
Apakah kebenaran itu?
Benar itu berbeda dengan betul. Karenanya kebenaran, jelas akan berbeda arti dengan kebetulan.
Karenanya, mungkin cukup aman untuk mendefinisikan kebenaran sebagai: kejujuran, lawan kata dari kebohongan, pengungkapan tentang sesuatu dengan apa adanya, peniadaan konsep mengenai persepsi dan pengagungan obyektivitas.
Mungkin. Mungkin. Para perempuan tersebut pasti akan dengan cepat mengangguk pada apa yang kupaparkan mengenai definisi kebenaran tadi, dan apabila disodori lelaki dengan karakter demikian. Lelaki yang tak pernah berbohong, singkatnya.
Tetapi masalahnya, apakah mereka sadar bahwa kebenaran itu pada faktanya tidak hanya satu jenis? Dalam satu individu saja, setidaknya ada lima kebenaran. Satu, kebenaran yang diungkapkan pada orang-orang asing atau hanya yang dikenal sepintas; dua, kebenaran yang diungkapkan pada kawan-kawan; tiga, kebenaran yang diungkapkan hanya pada segelintir orang ataupun orang-orang terpercaya saja; empat, kebenaran yang diakui hanya oleh diri sendiri. Jenis kebenaran ini, yang seringkali disembunyikan rapat-rapat, hanya menjadi beban pikiran kala malam menjelang larut dan mata hendak terpejam. Dan yang terakhir, kebenaran yang bahkan diri kita sendiripun menolak untuk mengakuinya.
Selanjutnya, apakah mereka siap, benar-benar siap, untuk mendapatkan kebenaran? Karena dari pengalamanku, kebanyakan dari mereka bahkan tidak siap untuk menerima kebenaran. Karena, pada faktanya, kebenaran seringkali menyakitkan.
Lalu tidakkah mereka tahu juga, bahwa indera terpeka perempuan adalah telinga, maka karenanya mereka mudah terbuai, jatuh hati, hanya karena kata-kata manis atau komentar-komentar cerdas dan intelek para lelaki; sementara indera terpeka para lelaki adalah mata, maka karenanya ratusan produk make-up diproduksi dengan target pasar utamanya yaitu para perempuan? Dan di tengah dunia seperti demikian, termasuk dengan apa yang kupaparkan di atas tadi, bukankah menjadi amat tragis saat kita masih mempermasalahkan soal kebenaran?
Mengapa tidak, kita sekedar menikmati momen saat ini, dan bukan masa depan atau masa lalu? Karena pengungkapan soal masa lalu dan masa depan, akan berkaitan erat dengan persoalan kebenaran. Tak bisakah kita berkata, “aku mencintaimu saat ini, karena engkau membuatku bahagia, saat ini”? Karena toh, sejujurnya, bukankah itu yang sesungguhnya kita rasakan saat kita jatuh cinta? Kekinian. Ke-saat ini-an. Karena esok, mungkin kita akan terpikat pada orang lain, hal lain. Atau bahkan mungkin malahan esok semua telah tiada. Bukankah itu kebenarannya?
Ah, aku lupa, kita seringkali tak siap menerima kebenaran. Karena kebenaran, seringkali menyakitkan, itu karenanya mengapa kita memilih kebohongan, ilusi, selama hal tersebut membuat kita nyaman. Benar?
Kebenaran.
Apakah kebenaran itu?
Benar itu berbeda dengan betul. Karenanya kebenaran, jelas akan berbeda arti dengan kebetulan.
Karenanya, mungkin cukup aman untuk mendefinisikan kebenaran sebagai: kejujuran, lawan kata dari kebohongan, pengungkapan tentang sesuatu dengan apa adanya, peniadaan konsep mengenai persepsi dan pengagungan obyektivitas.
Mungkin. Mungkin. Para perempuan tersebut pasti akan dengan cepat mengangguk pada apa yang kupaparkan mengenai definisi kebenaran tadi, dan apabila disodori lelaki dengan karakter demikian. Lelaki yang tak pernah berbohong, singkatnya.
Tetapi masalahnya, apakah mereka sadar bahwa kebenaran itu pada faktanya tidak hanya satu jenis? Dalam satu individu saja, setidaknya ada lima kebenaran. Satu, kebenaran yang diungkapkan pada orang-orang asing atau hanya yang dikenal sepintas; dua, kebenaran yang diungkapkan pada kawan-kawan; tiga, kebenaran yang diungkapkan hanya pada segelintir orang ataupun orang-orang terpercaya saja; empat, kebenaran yang diakui hanya oleh diri sendiri. Jenis kebenaran ini, yang seringkali disembunyikan rapat-rapat, hanya menjadi beban pikiran kala malam menjelang larut dan mata hendak terpejam. Dan yang terakhir, kebenaran yang bahkan diri kita sendiripun menolak untuk mengakuinya.
Selanjutnya, apakah mereka siap, benar-benar siap, untuk mendapatkan kebenaran? Karena dari pengalamanku, kebanyakan dari mereka bahkan tidak siap untuk menerima kebenaran. Karena, pada faktanya, kebenaran seringkali menyakitkan.
Lalu tidakkah mereka tahu juga, bahwa indera terpeka perempuan adalah telinga, maka karenanya mereka mudah terbuai, jatuh hati, hanya karena kata-kata manis atau komentar-komentar cerdas dan intelek para lelaki; sementara indera terpeka para lelaki adalah mata, maka karenanya ratusan produk make-up diproduksi dengan target pasar utamanya yaitu para perempuan? Dan di tengah dunia seperti demikian, termasuk dengan apa yang kupaparkan di atas tadi, bukankah menjadi amat tragis saat kita masih mempermasalahkan soal kebenaran?
Mengapa tidak, kita sekedar menikmati momen saat ini, dan bukan masa depan atau masa lalu? Karena pengungkapan soal masa lalu dan masa depan, akan berkaitan erat dengan persoalan kebenaran. Tak bisakah kita berkata, “aku mencintaimu saat ini, karena engkau membuatku bahagia, saat ini”? Karena toh, sejujurnya, bukankah itu yang sesungguhnya kita rasakan saat kita jatuh cinta? Kekinian. Ke-saat ini-an. Karena esok, mungkin kita akan terpikat pada orang lain, hal lain. Atau bahkan mungkin malahan esok semua telah tiada. Bukankah itu kebenarannya?
Ah, aku lupa, kita seringkali tak siap menerima kebenaran. Karena kebenaran, seringkali menyakitkan, itu karenanya mengapa kita memilih kebohongan, ilusi, selama hal tersebut membuat kita nyaman. Benar?
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.