Sekolah Bertaraf Intenasional? Ah, istilah ini saya sudah sering dengar tetapi modelnya seperti apa, saya belum paham sama sekali, eh, ternyata sudah dibubarkan dengan berbagai macam alasan. Misalkan beberapa media melaporkan tentang adanya keluhan soalan keadilan (equity) dalam memperoleh pendidikan yang layak, ada juga yang beralasan bahwa “Sekolah Bertaraf Internasional” hanya akan menciptakan gap dalam pendidikan antara si kaya dan si miskin, ha ha ha…. ,bahkan saya kira, RSBI dan SBI juga memperlebar gap antara si pintar dan si bodoh dalam mendapatkan akses ke sekolah. Entah siapa yang menggagas ide Sekolah Bertaraf Internasional ini, yang pasti ini dilakukan atas program pemerintah. Bagi saya labelling bukanlah hal yang subtansif untuk pendidikan di Indonesia, yang paling utama adalah memperbaiki kualitas secara internal dan external, label itu akan datang dengan sendirinya jika diakui oleh publik.
Saya kebetulan selama kurang lebih enam bulan mondar-mandir di berbagai sekolah di West Midlands, Inggris, mulai dari primary school, secondary school, sixth form collage hingga independent school, untuk keperluan observasi dan interview para pengelolah sekolah. Saya tidak menemukan adanya sekolah di sini yang berlebel “International School” padahal sekolah-sekolah yang saya kunjungi adalah berpredikat “Outstanding in all categories” oleh OFSTED. OFSTED adalah lembaga pemerintah yang membidangi standarisasi pendidikan di Inggris. Lembaga ini selalu melakukan inspeksi mendadak ke sekolah-sekolah untuk melakukan assessment terhadap pelayanan sekolah, faslilitas, kenyamaman, kurikukulum, metode mengajar, relasi antara orang tua dengan sekolah, dan ada begitu banyak aspek lagi. Nah, sekolah-sekolah yang saya kunjungi itu adalah benar-benar sekolah yang berlabel “outstanding School” in all categories alias empat bintang, bukan berlabel “international school”, ketika saya pertama kali masuk ke sekolah , saya cukup kaget, ini sekolah atau hotel? Pelayanannya super, terheran-heran, ini SMP atau universitas ya? fasilitasnya super, guru-gurunya berkualifikasi super hingga professor pun ada, seperti professor pembimbing akademik saya yang adalah mantan guru SD. Ahh… sebetulnya saya malu dengan pembimbing saya yang guru SD itu, sebab gelar akademik yang saya miliki belum apa-apa tetapi menuntut yang tinggi, minta jabatan, minta ini, minta itu, walahhh……
Well, kembali ke OFSTED tadi. Nah jika kedapatan ada sekolah yang menggunakan metode-metode tradisional dalam belajar, misalkan saja metode “teacher-centred learning” alias dengar dan catat banyak-banyak sampai buku habis dalam mengajar mata pelajaran seperti religious studies, meskipun hasil yang diperoleh tetap bagus alias lulus, sekolah tersebut tetap akan diturunkan statusnya pada kategori metode pembelajaran, mungkin turun dari empat bintang ke tiga bintang atau mungkin turun hingga ke dua bintang.
Untuk aspek international yang ada bukanlah label “ International school” tetapi dalam bentuk jaringan kerjasama dengan sekolah-sekolah di negara lain dalam hal peningkatan kulitas belajar mengajar, misalkan saja ada sebuah SD yang menjalin kerjasama dengan salah satu SD di China dalam hal metode pembelajaran Bahasa China dan metode pembelajaran matematika, demikian juga dengan siswa, siswa dari China datang ke sekolah di Inggris dan begitu sebaliknya, siswa dari Inggris dibawa ke China selama beberapa pekan. Ada juga sekolah yang bermitra dengan sebuah sekolah di Gambia, Afrika dalam metode outdoor learning dimana Gambia termasuk negara yang fasilitas belajar minim, termasuk tidak adanya gedung yang cukup untuk menampung siswa yang bagitu banyak, lalu para guru disana mengajak siswa belajar di bawah pohon, di kebun dan sebagainya. Nah, cara-cara ini kemudian sekolah manjalin kerjasama dan mengembangkan model “eco-life school,” sekolah yang menitik beratkan pada model pembelajaran di luar ruangan (outdoor learning). Jadi, sekolahnya tidak berlebel “International school,” tetapi memiliki jaringan kerjasama internasional dalam meningkatkan kualitas pencapaian belajar.
Saat ini, sudah begitu banyak pakar pendidikan di negara kita tentang standarisasi mutu pendidikan dan macam-macam, kenapa masih mau, pendidikan kita dikadali dengan label-label macam itu, lebel-lebel yang hanya untuk membangun image bahwa mendunianya atau berkelasnya pendidikan dasar di Indonesia, padahal memprihatinkan dan malah menimbulkan masalah sosial baru. Untuk apa memasang lebel seperti itu, nyatanya kualitas masih memprihatinkan. Apakah memasang lebel tersebut lalu sekolah bisa berkualitas? Apakah Sekolah Bertaraf Internasional itu sama dengan Sekolah Berkualitas? Tentunya tidak, sekolah berkualitas tidak harus dengan memasang label “international school.” Ini hal yang membingunkan. Apalagi sampai menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa instruksional di sekolah, entah ini English-isasi pendidikan dasar, atau Westerniasi pendidikan dasar, hampir mirip.
Saya punya cerita yang manarik dari teman asal Nigeria, dalam suatu kesempatan ketika saya mempresentasikan slide saya tentang sistem pendidikan di Indonesia. Dia lalu bertanya kepada saya, apa bahasa instruksional yang digunakan di sekolah? Saya lalu menjawabnya “ Bahasa Indonesia,” Dia lalu mengatakan bahwa negaranya menggunakan bahasa Inggris. Saya lalu mengatakan kepadanya , bukankah itu hebat, bahasa Inggris anak-anak menjadi hebat. Dia mengatakan Ya, tapi saya menyesal sebab kami tidak memiliki bahasa nasional lagi, bahasa kami menjadi nomor dua dan bahkan jarang digunakan, padahal itu bahasa kami. Lalu apakah kita ingin seperti itu? Saya kira untuk tingkat pendidikan dasar, bahasa inggris cukuplah sebagai bahasa asing, atau mungkin bahasa kedua dan tidak harus menjadikannya sebagai bahasa instruksional di kelas. Istilah Sekolah Bertaraf Internasional itu hanya strategi pasar, tidak dengan sendirinya memberikan pengaruh terhadapat meningkatnya kualitas pelayanan dan pencapaian belajar. Kita semua tentunya setuju bahwa kita memang harus membangun sekolah berkualitas dan tentunya mengedepankan persamaan hak dalam dalam mendapatkan akses pendidikan berkualitas tersebut.
Saya kira, kita tidak perlu merasa malu untuk meniru langkah Jokowi-Ahok yang telah menerapkan kartu pintar (smart card) di Jakarta untuk memberikan akses pendidikan dasar bagi anak-anak di Jakarta. Model ini sebetulnya sudah dipraktekan di berbagai negera di Eropa, New Zealand hingga ke Amerika Utara. Mereka menerapkan sistem yang serupa dengan istilah voucher, dan sistem ini telah mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat, sebab anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak di sekolah yang mereka inginkan. Misalkan di Chilie, Pemerintah memberikan voucher bagi anak-anak yang akan bersekolah, voucher itu bisa digunakan untuk masuk ke sekolah-sekolah milik pemerintah maupun milik swasta. Pemerintah kemudian akan membayar biaya sekolah anak tersebut melalaui voucher yang dipegang si anak. Tetapi di sisi lain, para pakar yang yang bekerja untuk World Bank terus mengklaim dengan studi-studi mereka bahwa penerapan voucher itu tidak membuahkan hasil baik dan akan mandek. Dan nampaknya, Jokowi-Ahok juga akan mengahadapi klaim yang sama, entah dari World Bank, dari Dewan Perwakilan Rakyat atau bisa jadi dari pakar-pakar pendidikan di Indoneisa sendiri atau juga dari lawan politik.
***
Jokowi-Ahok dan Quasi-Market Pendidikan
Quasi-Market pendidikan sebetulnya adalah salah satu dari bentuk privatisasi pendidikan, yaitu arah pendidikan akan ditentukan oleh logika pasar, dimana para orang tua harus diberikan pilihan (parent choice) untuk memilih sekolah bagi anak mereka. Jika ada pilihan, maka akan ada persaingan antara providers pendidikan, sehingga dengan sendirinya para provider akan berlomba-lomba untuk mendongkrak kualitas pendidikan di setiap sekolah, lalu masyarakat (para orang tua) memiliki pilihan untuk memilih sekolah yang terbaik bagi anak-anak mereka.Untuk meraih perhatian pasar (para orang tua), sekolah-sekolah ini akan menampilkan prestasi-prestasi yang pernah diraih, mempublikasikan skor-skor terbaik para lulusan, mempublikasikan alumni-alumni yang sukses, dan sebaginya untuk menarik perhatian orang tua, termasuk lebel “International school,” yang juga akan menjadi bahan kampanye sekolah untuk meraih perhatian para orang tua. Sayangnya, untuk mempertahankan ritme perfomance sekolah, agar tidak dibilang jelek, sekolah-sekolah ini kemudian mengabaikan aspek keadilan (equity) dimana sekolah-sekolah terbaik itu kemudian hanya mau menerima anak-anak yang memang memiliki prestasi, sekolah-sekolah itu hanya akan menerima anak-anak berdasarkan latar belakang status keluarga, latar belakang politik, dan sebagainya. Bagi anak-anak yang tidak memiliki prestasi, tetapi orang tua memiliki uang yang banyak, anak-anak mereka bisa diterima di sekolah-sekolah berkualitas melalui “Jalur Khusus”, sedangkan bagi anak-anak yang tidak memilki uang cukup, logika “parent choice” tidak berlaku bagi mereka sebab orang tua mereka tidak punya pilihan, mereka akan tetap berada di kelas paling bawah, yang penting bisa sekolah.
Jokowi-Ahok, kemudian mengahadirkan “choice” itu bagi mereka. Anak-anak tidak mampu di Jakarta kemudian memilki pilihan, pilihan di mana mereka hendek bersekolah, atau mungkin orang tua mereka bisa memilih sekolah bagi anak-anak mereka. Nampaknya, Jokowi-Ahok seperti sedang berenang menentang arus deras, mereka sedang menantang sebuah sistem besar yang membelenggu negara ini, sebab ada banyak juga pakar yang mau dibayar untuk menentang model “Kartu Jakarta Pintar” seperti terjadi di Chilie dan negera-negara lainnya.
Lalu apakah Jokowi-Ahok telah melakukan privatisasi pendidikan dengan Kartu Jakarta Pintar? Iya benar, mereka telah melakukan privatisasi layanan publik, (Pendidikan), tetapi yang mereka lakukan adalah model endogenous, dimana layanan publik (pemerintah) mengadopsi praktek-praktet dan model bisnis ke dalam layanan publik dan menjalankan layanan publik layakanya layanan bisnis yang cepat, efisien dan memuaskan. Saya terkesimak dengan sepenggal kalimat Jokowi “… Jika swasta bisa, pemerintah juga bisa.. !,”…. Kita harus memandang kota sebagai sebuah produk… ini adalah hal yang luar biasa bagi saya sebagai upaya merubah layana pemerintah yang kurang baik itu. Model privatisasi lainnya adalah kebalikannya, “exogenous model” yaitu, pemerintah membuka pintu bagi pihak swasta untuk masuk dalam lembaga-lembaga publik dan mengelolah layanan publik dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam hal ini, pemerintah akan mempersiapakan perangkat undang-undangnya, melakukan re-strukturisasi sistim, mengubah aturan-aturan termasuk tenaga kerja dan sebagainya. Model ini yang saya kira sedang digembar-gemborkan oleh pemerintah kita saat ini, dan sudah pasti Jokowi-Ahok akan terus ditantang dengan sistem mereka yang lebih lebih besar dan kuat. Tetapi saya agak senang sebab masyarakat dan pakar pendidikan lainnya, sudah bisa sigap dalam menyikapi model kadalisasi pendidikan ini, dan akhirnya dibubarkan.
Saya kira, kita perlu meniru langkah Jokowi-Ahok. Jika perlu semua pemerintah daerah mencoba pempraktekan model Jokowi-Ahok ini, saya cukup yakin model ini bisa memacu kualitas pendidikan kita dengan sendirinya, dan semua orang bisa memiliki hak yang sama, untuk memilih sekolah untuk belajar. So, Kita memang memerlukan sekolah berkualitas yang adil bagi semua kalangan, bukan dengan memasang lebel sekolah internasional.
oleh: Umar Wertefe
http://edukasi.kompasiana.com/2013/01/11/rsbi-dan-sbi-bubar-tirulah-strategi-jokowi-ahok-523290.html
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.