Indonesia
merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman suku bangsa terbesar
di dunia. Terdapat setidaknya 400 kelompok etnis dalam wilayah negara
ini. Sebuah pertanyaan besar adalah dari mana suku-suku ini datang atau
siapakah nenek moyang kita? Sebuah lagu memberikan gambaran ringkas:
nenek moyangku orang pelaut. Walau begitu, studi antropologi tampaknya
berbicara lain.
A. Periode Zaman Es Akhir (20.000 – 14.000 tahun yang lalu)
Leluhur Austro-Melanesia
Periode
zaman es ini dikatakan akhir karena Bumi telah melewati tak terhitung
masa zaman es dalam sejarah hidupnya. Zaman es terakhir di Bumi terjadi
pada masa 20 ribu hingga 14 ribu tahun lalu. Masa dimana para mamuth
menguasai Bumi belahan utara.
Dalam
masa ini, kutub menjadi lebih dingin dan samudera di sekitar kutub
membeku. Pembekuan ini berdampak pada lebih banyak lagi air yang
tertarik ke arahnya sehingga menghasilkan pembekuan lebih besar lagi.
Karena adanya pembekuan di wilayah kutub-kutub Bumi, volume air di
wilayah khatulistiwa berkurang. Akibatnya, dalam masa ini, laut wilayah
Indonesia jatuh hingga 135 meter dengan laju penurunan 7-9 mm per tahun.
Laju penurunan ini masih diluar persepsi manusia namun dalam jangka
waktu panjang dapat terlihat jelas. Dalam 150 tahun misalnya, bibir
pantai telah tertarik jauh karena penurunan 1 meter permukaan laut. Di
masa ini, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan menyatu menjadi satu daratan
yang terhubung langsung dengan benua Asia. Daratan ini disebut sebagai
Paparan Sunda. Hal yang sama terjadi di wilayah timur tepatnya di Nusa
Tenggara. Laut di wilayah mereka jatuh dan membuat wilayah ini menyatu
dengan Australia membentuk apa yang disebut sebagai Paparan Sahul.
Paparan
Sunda dipagari oleh pegunungan berapi yang ada di pinggiran ujung dekat
Samudera Hindia yaitu di Sumatera dan Jawa. Laut Jawa dan Selat
Karimata yang mengering berubah menjadi padang rumput terbuka, dataran
banjir, dan rawa-rawa. Hutan yang ada tidak terlalu lebat karena iklim
cenderung kering akibat penumpukan es yang besar di belahan utara dan
selatan Bumi.
Parapan
Sunda adalah sebuah daratan yang luas. Sungai-sungai begitu panjang.
Sungai Kapuas dan sungai Musi misalnya, bermuara di Laut China Selatan,
jauh di utara dekat Vietnam sana. Sementara itu, sungai-sungai dari Jawa
dan Kalimantan Tengah dan Selatan bermuara di Laut Flores. Di bagian
muara ke Laut Flores, sungai muncul berliku-liku karena platform yang
penuh rawa. Wilayah ini penuh dengan reptil seperti ular dan buaya
sehingga kemungkinan besar tidak dihuni manusia.
Manusia
menghuni wilayah Paparan Sunda yang ada dalam segitiga
Sumatera-Jawa-Kalimantan. Masyarakat ini berasal dari daratan benua
Asia, masuk lewat Thailand atau Semenanjung Malaya. Mereka menghuni
wilayah khususnya di tepian sungai besar. Di sini mereka berburu
mamalia, burung, dan ikan dengan alat-alat sederhana seperti tombak kayu
dan sebagainya yang termasuk barang-barang dari kayu atau batu yang
tidak terlalu keras. Hal ini disebabkan sumber utama batu yang umum
digunakan dalam peradaban zaman batu seperti batu untuk bahan dasar
kapak, parang, dan mata panah terdapat hanya di satu titik yaitu di
daerah Bangka Belitung.
Masyarakat
ini disebut masyarakat Austro-Melanesia dan telah hidup di wilayah ini
bahkan sebelum zaman es terjadi. Masyarakat Austro-Melanesia ini telah
tinggal setidaknya sejak 35 ribu tahun lalu. Jadi leluhur orang
Indonesia yang pertama dapat dipandang berasal dari masyarakat
Austro-Melanesia ini.
Karena
udara yang kering dan banyaknya padang rumput, kebakaran hutan kerap
terjadi. Wilayah Kalimantan merupakan wilayah yang paling sering
mendapat kebakaran hutan dan Masyarakat Austro-Melanesia yang tinggal di
Kalimantan Timur terdorong untuk mengungsi menyeberang ke Sulawesi,
tepatnya di Tonasa dan Kapposang.
B. Zaman Es Berakhir (14.000-6.000 tahun yang lalu)
Pada
akhir zaman es ini, kutub kembali mencair dan air kembali memenuhi
lautan yang kering. Air laut yang memasuki Paparan Sunda dan memisahkan
Kalimantan dengan Sumatera dan Jawa yang masih menyatu dan akhirnya
terpisah oleh Selat Sunda. Masyarakat Austro-Melanesia yang tinggal di
Paparan terpaksa menyebar ke dalam tiga arah. Ke Sumatera di Barat
mereka menjadi leluhur Batak dan Minang. Ke Jawa di Selatan mereka
menjadi leluhur orang Sunda dan Jawa. Ke Kalimantan di timur, mereka
menjadi leluhur orang Dayak. Mereka masuk ke pulau-pulau baru ini lewat
sungai-sungai besar. Mereka pada umumnya tinggal di gua-gua besar di
pegunungan seperti di wilayah Bandung, Yogyakarta, dan Kalimantan Timur.
Ketika jumlah populasi telah besar, gua tidak cukup menampung, dan
mereka menyebar ke sekeliling. Indonesia dipenuhi hutan lebat karena
masuknya nutrisi dari kutub dan berubahnya iklim menjadi lebih hangat.
Leluhur Orang Pelaut
Dalam
suatu masa di akhir zaman es ini, sekelompok masyarakat pelaut dari
Taiwan datang ke Indonesia. Di katakan masyarakat pelaut karena mereka
datang dengan melindasi perairan selat antara Taiwan, kepulauan
Philipina, dan Laut Sulawesi. Mereka datang ke Indonesia dalam tiga
aliran. Aliran pertama berpisah di Pulau Palawan Philipina mengambil
jalur ke Sabah di Kalimantan. Mereka berasimilasi dengan masyarakat
Austro Melanesia yang telah ada lebih dahulu sehingga masyarakat Dayak
yang ada sekarang dapat dipandang sebagai campuran antara
Austro-Melanesia dan orang pelaut ini.
Gelombang
kedua berpisah dengan aliran ketiga di wilayah Sangir Talaud. Dari
Mindanau mereka menyeberang ke Sangir Talaud lalu mengambil dua arah.
Arah pertama menuju ke Sulawesi Utara terus ke selatan memenuhi seluruh
Sulawesi seperti Buton dan Bugis. Masyarakat pelaut yang mencapai
wilayah Sulawesi Selatan berasimilasi dengan penduduk Austro-Melanesia
yang telah lebih dahulu hadir dari Kalimantan. Mereka dapat dipandang
sebagai leluhur Bugis. Karena konflik, kompetisi, atau letusan gunung,
mereka meneruskan perjalanan dari Sulawesi menuju Takabonerate,
menyeberangi Laut Flores, dan tiba di Nusa Tenggara, tepatnya di Flores.
Flores merupakan wilayah yang sering diterjang tsunami dan kemungkinan ini pula yang mendorong mereka untuk menyeberang lebih jauh ke selatan yaitu ke Pulau Sumba dan ke Timor.
Arah
kedua menyeberang ke Halmahera menuju ke Papua. Mereka pertama mendarat
di wilayah Papua Utara. Papua Utara dan Selatan dihalangi oleh
Pegunungan Jayawijaya yang tinggi dan tertutup salju. Seiring semakin
menghangatnya iklim, salju tertarik menuju puncak dan jalan lembah
menuju ke selatan terbuka. Mereka sebagian menyeberang ke selatan dan
memenuhi Papua Selatan. Menariknya catatan prasejarah mengenai penemuan
cara membuat api ditemukan di Danau Hogayaku, Papua dan berasal dari 14
ribu tahun yang lalu.
C. Zaman Resen (6.000 tahun yang lalu – sekarang)
Pada
zaman ini, relatif seluruh pulau besar di Indonesia telah berpenghuni.
Masyarakat pelaut dan Austro-Melanesia telah berasimilasi sehingga
membentuk berbagai kebudayaan unik di seluruh penjuru Nusantara.
Penyebaran ini didukung oleh teknologi pelayaran yang baik. Sebagian
dari masyarakat pelaut menyebar hingga ke Australia dan berasimilasi
dengan penduduk Aborigin yang telah tinggal lama di sana, mungkin juga
berasal dari Austro-Melanesia. Mereka juga menyebar ke Selandia Baru dan
mungkin menjadi leluhur orang Maori. Ke Barat, mereka menyeberang
hingga ke Afrika Timur. Di Madagaskar misalnya, ditemukan bahasa yang
memiliki kemiripan dengan bahasa daerah salah satu etnik Dayak di
Kalimantan. Diduga masyarakat Dayak telah menyebar dan mengkoloni
Madagaskar sejak abad ketiga SM.
Masyarakat
Dayak yang tinggal di pesisir Kalimantan (Barat dan Utara) pada masa
1500 tahun lalu menjadi leluhur orang Melayu di Sumatera dan Semenanjung
Malaya. Mereka menyeberang karena didorong oleh perdagangan dan
teknologi pelayaran yang cukup maju.
D. Kesimpulan
Berdasarkan paparan hasil studi arkeologi dan antropologi di atas, dapat dibuat sebuah pohon evolusi suku-suku di Indonesia. Pohon evolusi ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Referensi
Anwar, M.S. 2011. Ketika Pluralisme Diharamkan dan Kebebasan Berkeyakinan Dicederai: Sebuah Kaleidoskop, Pengalaman, dan Kesaksian untuk Mas Djohan Effendi. Dalam Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi. Elza Peldi Taher (editor). Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 424-466
Blust R. 1984/85. The Austronesian homeland: a linguistic perspective. Asian Perspect 26: 45-67
Gray RD, Jordan FM. 2000. Language trees support the express train sequence of Austronesian expansion. Nature 405: 1052-5
Hantoro,
W.S. 2006. Climate-Enviroment and Extreme Event since the Last Glacial
Maximum: Human Occupation and Dispersal Pattern in Indonesia Maritime
Island. Dalam Archaeology: Indonesian Perspective. Editor: Truman Simanjuntak, dkk. LIPI. Hal. 102-116
“Malay.” Encyclopædia Britannica. Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2010.
Rautner M, Hardiono M, Alfred RJ. 2005. Borneo: treasure island at risk. WWF Germany. Frankfurt am Main
Sumber : http://www.faktailmiah.com/
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.