Sum, Sebuah Cerita dari Rantau, adalah monolog produksi Teater Garasi yang menceritakan empat fragmen kisah buruh migran yang terhubung satu sama lain oleh ’aku’ yang diceritakan tengah melakukan studi tentang buruh migran. Keempat buruh migran perempuan tersebut bekerja di empat negara berbeda, namun semuanya memiliki cerita yang relatif sama. Perih, getir. Walaupun pada beberapa bagian, penonton diajak tertawa oleh keluguan tokoh yang diceritakan.
Adegan dibuka dengan keriangan Sum, seorang calon buruh migran dari Indramayu yang hendak berangkat ke Saudi. Keriangan yang bercampur kebingungan dan ketidakpastian mengingat tempat kerja yang akan dituju begitu jauhnya dari kampung kelahirannya.
Tokoh lain yang dihadirkan dalam monolog ini adalah seorang mantan pekerja migran di Malaysia. Tokoh ini diceritakan demikian kuat harga dirinya, tak hanya harkat diri yang coba ia pertahankan di Negri Jiran, tetapi juga harga diri bangsanya. Dalam cerita tersebut, ditampilkan betapa marah ia disebut sebagai ’Indon’ karena dalam kata tersebut terkandung perendahan terhadap martabat bangsa Indonesia.
Tak hanya penonton yang diajak merenung untuk akhirnya diajak membuka mata terhadap kondisi sosial di sekitarnya. Very sendiri, selaku pemain dan penggagas cerita merasa bahwa lakon ini sebegitu kuat mempengaruhi pikirannya. Ia yang selama 15 tahun berproses bersama Garasi mengaku, dalam lakon inilah segenap pikiran, perasaan, dan tenaganya ’habis-habisan’ ia curahkan.
Monolog sendiri sebenarnya merupakan program baru dari Teater Garasi. Berawal dari kegelisahan tenggelamnya individu dalam kelompok, pada tahun 2006 dimunculkanlah program bernama Solo Project. Dalam program ini, setiap pekerja kreatif difasilitasi sehingga, ’’Masing-masing bisa tumbuh, mandiri, tidak tertutup oleh Garasi,’’ jelas Very.
Lakon Sum yang diangkat Very, terinspirasi oleh pementasan monolog seorang aktris monolog yang menggelar pertunjukan di Jakarta. Menonton pertunjukan tersebut, membuat Very membulatkan tekad, ’’Aku harus bermain bagus.’’
Buruh migran menarik perhatiannya karena ia melihat sebegitu besar dan rumitnya persoalan mereka. Tak hanya kemiskinan, tiadanya lapangan pekerjaan, serta perbedaan budaya saja yang harus dihadapi para buruh migran ini. Lebih dari itu, hal yang demikian besar, terkait dengan kebijakan pemerintah, politik antarnegara, hingga jaringan perdagangan manusia menyatu di dalamnya.
Kurang lebih setahun lamanya, Very melakukan observasi dan pengumpulan data untuk lakon ini. Kenyataan yang ia temukan dalam setahun tersebut justru membuatnya ingin melakukan studi lebih lanjut lagi. ’’Ini lingkaran setan. Aku sempat merasa marah,’’ komentarnya terhadap fakta yang ia dapatkan. ’’Tidak fair bagi mereka.’’
Pentas monolog ini digelar pertama kali bulan November 2008, di sebuah desa di wilayah DI Yogyakarta yang sebagian warganya menjadi buruh migran. Bulan Mei 2009 ini, rencananya Very akan kembali mementaskan monolognya di di desa-desa di wilayah Jombang, Tulungagung, dan Trenggalek.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.