BREAK
Loading...

Penyebab Di Indonesia Ada Perkumpulan

Tentang Sejarah Perkumpulan di Indonesia

BAB I: PENYEBAB DI INDONESIA ADA PERKUMPULAN

Sekolah-sekolah dibuka, rakyat mem­peroleh pengetahuan dan pengertian, terus pikirannya dan pandangannya terbuka, kemudian mereka bangkit, dan sejak itu pula rakyat sering berkumpul (begandring) untuk merumuskan usaha-usaha agar kerusakan­-kerusakan di Indonesia dapat diperbaiki. Dalam usaha itu bangsa Belanda yang bijaksana ikut membantu rakyat. Jadi, sesudah rakyat bangkit dan sering berkumpul, maka untuk memperkuat diri maka didirikanlah "perserikatan" (Vereniging) atau perkumpulan. Begitulah maka pada zaman sekarang terdapat banyak perkumpulan rakyat Indonesia yang sama­-sama bermaksud memperbaiki semua kerusakan, baik tanah air maupun penduduknya. Jadi munculnya sekian banyak perkumpulan disebabkan adanya pengaruh perubahan dalam kehidupan rakyat Indonesia sebagaimana saya terangkan diatas.

Pada zaman sekarang di Indone­sia ramai dibicarakan tentang berbagai macam "Perkumpulan" atau vereniging. Apa sebabnya di tanah air kita sekarang muncul sekian banyak perkumpulan? Pertanyaan memang mudah dibuat, tetapi susah untuk dijawab hanya dengan sepatah dua patah kata. Menjawab pertanyaan ini secara jelas sama halnya dengan menceritakan hakikat tanah air Indonesia dalam berpuluh-puluh halaman buku. Saya tidak bermaksud menulis sejarah Indonesia di sini, melainkan hanya akan membuka sedikit hal-hal yang menyebabkan munculnya berbagai macam perkumpulan, saya mulai: 

Ketika di Indonesia belum ada sepur atau trem (kereta api), maka keadaan negeri ini sunyi, sepi, tentram, dan damai. Begitu juga penduduknya (rakyatnya) yang hidup, berpikir, berbudi, serta bekerja dengan sabar dan damai. Hampir semua rakyat Indonesia mempunyai sebidang tanah yang memberikan peng­hasilan dan penghidupan baginya. Sebagian menjadi tukang-tukang kayu, tukang emas, tukang tenun (membuat kain tenunan, saudagar kecil, dan sebagainya). Sebagian yang lain menjadi priyayi­-priyayi yang mengatur hubungan antara penduduk yang satu dengan penduduk lainnya, supaya tidak ada yang berbuat jahat dan merugikan kepentingan masing­-masing orang.

Golongan priyayi yang mengatur negeri itu mendapatkan imbal­an berupa makanan dan penghidupan dari rakyat. Sebagian kecil lainnya menjadi dukun-dukun, guru-guru agama, nelayan, dan sebagainya. Pada waktu itu juga sudah ada bermacam-macam pekerjaan dan mata pencaharian. Tetapi sifat mata pencaharian pada waktu itu lain sekali dengan sekarang, sebab meskipun nama pekerjaannya berbeda-beda, tetapi hampir semua orang, yang bekerja itu merdeka dalam mengatur pekerjaannya masing­-masing. Yang bertani merdeka di ladangnya, bebas menentukan usaha sendiri, waktu untuk mulai bekerja, lamanya bekerja, dan sebagainya, asal saja aturan-aturannya itu cocok dengan hari, bulan, dan tahun. Yang membuat kain-­kain tenun juga merdeka mengatur pekerjaannya sendiri.

Pendek kata hampir semua penduduk merdeka dan kuasa mencari penghasilan dan penghidupan. Merdeka mengatur sendiri pekerjaannya, "kuasa mengatur" pendapatan atau hasil dari pekerjaan mereka. Dan karena mereka mempunyai kemerdekaan atau ke­kuasaan itulah maka mereka dapat hidup damai, senang, dan sabar. Mereka (nenek moyang kita) belum pintar atau banyak memiliki pengetahuan yang beraneka macam sebagaimana orang zaman sekarang, tetapi mereka hidup senang dan selamat.

"Merdeka" dan "kuasa" adalah jalan pertama guna mendapatkan "kesenangan" dan "ketenangan" dalam semua hal.

Apakah sebabnya orang-orang kuno hidup secara merdeka dan kuasa me­ngatur sendiri pekerjaan dan penghasilan­nya?

Jawab: Karena masing-masing orang mempunyai alat atau perkakas bekerja sendiri, misalnya orang yang berladang mempunyai tanah, pacul, bajak, dan sebagainya. Yang membuat tenunan mempunyai perkakas sendiri, dan begitu seterusnya. Hampir semua orang mempunyai perkakas sendiri, untuk bekerja mencari penghasilan dan penghidupan. Pada waktu itu semua perkakas bentuknya kecil-kecil dan hanya bisa dipegang dan dipakai untuk bekerja oleh satu orang saja. Itukah sebabnya mengapa masing-masing orang juga merdeka dan kuasa mengatur pekerjaan dan penghasilannya?

Hampir semua orang menjadi tuan bagi dirinya sendiri, hampir tidak ada kaum buruh, dan kaum majikan (tuan yang memberi pekerjaan pada kaum buruh).

Dalam zaman kuno itu hampir semua penduduk dapat bekerja dan hidup menurut kehendaknya sendiri, sesuai dengan kepintarannya dan kesenangan hatinya sendiri, sehingga mereka mampu mencari makan makan sendiri, banyak atau pun sedikit. Karena hampir semua orang dalam mata pencaharian dan penghidupannya merdeka dan kuasa, menjadi tuannya bagi dirinya sendiri, maka pada zaman itu tidak perlu ada perkumpulan. Sebagian besar rakyat Indonesia pada zaman kuno itu tidak merasakan bahwa negerinya Indo­nesia diurus oleh rajanya sendiri atau oleh bangsa Belanda, mereka hanya merasa hidup merdeka dalam mencari makan! Nah, kurang apalagi? Dan karena di zaman kuno itu perkumpulan memang tidak diperlukan, maka perkumpulan sebagaimana yang sekarang muncul begitu banyak, tidak ada sama sekali.

Saudara-saudara sekalian sekarang sudah saya tunjukkan hal-hal yang ada di zaman kuno yang menyebabkan tidak adanya berbagai perkumpulan pada waktu itu.

Tetapi pada zaman sekarang ini ada berbagai macam perkumpulan. Jadi banyaknya perkumpulan di zaman kita ini pasti ada sebabnya juga sehingga memaksa pada orang banyak supaya mereka ikut berkumpul-kumpul.
Apa sebabnya?

Jawab: Sebab pada zaman sekarang sifat pekerjaan dan mata pencaharian berbeda dibandingkan zaman dulu. Dulu orang merasa tidak perlu ikut berkumpul­-kumpul, tapi sekarang sangat perlu berkumpul-kumpul untuk kehidupan dan keselamatan orang banyak. Sifat dari pekerjaan dan mata pencaharian di zaman sekarang memaksa orang untuk berkumpul-kumpul, berikhtiar bersama guna keperluan hidupnya.

Di Indonesia hawanya tidak begitu dingin dan meskipun kita telanjang, asal bisa makan maka kita tentu masih bisa hidup. Terbawa oleh hawa dingin di Eropa, penduduk di sana terpaksa berusaha lebih giat untuk kelangsungan hidupnya daripada penduduk di Indone­sia (tropis). Usaha yang lebih keras itu sudah memberikan hasil berupa tanah yang luas, hasil-hasil kepandaian atau perkakas dan kepandaian mencari penghasilan untuk menjaga dan melangsungkan hidupnya.

Jadi terpengaruh oleh hawa dingin di Eropa maka penduduk di sana lebih cepat mendapatkan kemajuan dalam kehidup­annya, sedangkan karena terpengaruh hawa panas yang sering membuai tidur dan angan-angan manusia, maka di bagian dunia sebagaimana di Indonesia ini, orang-orangnya kalah cepat dan terlambat mendapat kemajuan dalam kehidupannya dan daIam menjaga kelangsungan kehidupan itu. Penduduk di negeri yang hawanya panas justru lebih cepat menerima ilmu-ilmu gaib sebagai suatu "agama" dan keselamatan "batin". Karena mereka terpengaruh oleh hawa panas, angan-angan atau pikiran mereka seringkali memikirkan dengan diam-­diam semua masalah kebatinan itu. Itulah sebabnya mengapa negeri-negeri berhawa panas seperti Arab, Hindu (India), Tionghoa (Cina) dan sebagainya, menjadi tempat-tempat penting dalam perkembangan ilmu gaib, atau sering dikatakan oleh Tuhan Allah yang Maha Kuasa menjadi tempat turunnya para Nabi atau Begawan besar.

Perbedaan antara hawa yang dingin dan panas itu menimbulkan adanya perbedaan dalam hal cepat dan lamban­nya kemajuan lahir dan batin. Daerah dingin seperti Eropa mengalami kemajuan lahir atau kemajuan hidup di dunia secara cepat, sedangkan daerah panas mempercepat kemajuan batin, kesabaran hati, dan halusnya budi.

Begitulah, terpengaruh oleh hawa dingin tadi maka ketika orang-orang di In­donesia belum mengetahui bentuk senapan, di Eropa sudah ada bedil. Selain itu ketika di Eropa sudah ada sepur atau trem (kereta api), di Indonesia belum ada kecuali dokar, kereta (kuda) atau cikar. Dulu di Eropa sudah ada pabrik-pabrik (mesin-mesin) kain, pabrik meriam, pabrik besi, pabrik perkakas rumah, kapal api dan sebagainya, tetapi di Indonesia masih sunyi dan belum ada berbagai alat atau perkakas kerja sebagaimana di Eropa.

Karena Indonesia sebelumnya sudah kalah dalam kemajuan perkakas kerja dan alat pendukung mata pencaharian serta penjagaan atas kehidupan itu, maka ia dalam perkara lahir "takluk untuk sementara waktu". Begitulah, Indonesia sampai sekarang masih takluk pada Belanda, tetapi akhirnya akan dapat terlepas juga kalau rakyat di sini sudah cukup pintar untuk menuntut atau menyamai kepintaran dan kepandaian orang Eropa.

Kelak kemajuan lahir ini akan membawa perubahan baru dalam ke­hidupan penduduk Indonesia yang terbelakang. Kain-kain, cangkir, piring, dan sebagainya dapat didatangkan dari Eropa ke sini dengan menggunakan kapal­-kapal api, dan kopi, teh, beras, tembakau, gula, dan sebagainya bisa dibawa dari In­donesia ke Eropa. Jadi di sini terjadi "tukar menukar penghasilan" dan karena Indo­nesia kalah dalam pengadaan alat-alat penunjang kehidupan, seperti senjata meriam, bedil, dan sebagainya, maka Indonesia seringkali rugi dan kalah kuat dalam tukar menukar penghasilan itu. Akibatnya, Indonesia terpaksa dikuasai oleh Belanda untuk sementara waktu, yaitu selama ia masih kalah pintar atau kalah pandai dalam hal ilmu dan pengetahuan lahir.

Pertukaran barang antara Eropa dan Indonesia menimbulkan "perdagangan yang ramai" . Begitulah, muncul pusat­-pusat perdagangan dan kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Di kota-kota ini semua barang-barang yang akan diperdagangkan (ditukarkan) di dalam negeri dan dikumpulkan di gudang-gudang itu pasti milik banyak saudagar. Kaum saudagar ini pada zaman dulu kebanyakan adalah orang Tionghoa, yang membuka toko atau tempat pen­jualan dan pembelian (penukaran) barang­-barang. Semakin lama maka barang­-barang yang diperdagangkan dari Eropa semakin banyak dan bersamaan dengan makin bertambahnya barang-barang itu, maka nafsu saudagar-saudagar untuk mencari keuntungan pun semakin besar juga, sehingga hal ini ikut menambah kepandaian mereka dalam usaha mencari keuntungan atau kekayaan itu. Rakyat In­donesia yang sabar dan halus budi tidak ikut-ikutan bernafsu besar sebagaimana bangsa-bangsa lain dalam mencari tambahan kekayaan itu, sehingga rakyat kita sendiri sampai sementara waktu kalah berusaha, rakyat Indonesia dalam hal urusan perdagangan tidak begitu maju seperti halnya orang Tionghoa.

Kaum saudagar dari Belanda, karena kepandaiannya dapat berkuasa dan memerintah wilayah Indonesia. Dengan kekuasaannya itu perdagangan mereka dikembangkan untuk lebih maju, antara lain karena dibangunnya jalan-jalan raya, seperti jalan raya dari Serang sampai Banyuwangi. Pada zaman kuno juga dikenal adanya "paksaan" untuk menanam kopi (cultuurstelsel), yaitu suatu aturan untuk memajukan perdagangan atau pertukaran barang antara pihak Eropa dan Indonesia. Kaum saudagar pada waktu itu sudah memahami bahwa dengan semakin maju dan pesatnya perdagangan, maka mereka bisa bertambah kaya. Keinginan ini men­dorong usaha dan tindakan pengadaan sepur dan trem (kereta api) di tanah air kita ini. Dengan adanya sepur dan trem maka perdagangan di Indonesia terbuka lebar. Begitulah, sesudah ada sepur dan trem maka perdagangan atau pertukaran barang-barang dari Eropa ke Indonesia atau sebaliknya akan bisa semakin cepat, sehingga keuntungan kaum saudagar itu pun bisa bertambah besar pula.

Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya apa sebabnya nenek moyang kita (orang-orang kuno) pada waktu itu suka menukarkan barang­-barang yang dihasilkannya dengan barang-barang dari Eropa? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan penjelasan bahwa Eropa (daerah berhawa dingin) se­bagaimana sudah saya terangkan di atas, lebih memiliki kepintaran dan kepandaian dalam kehidupannya. Karenanya, orang­-orang di sana pintar membuat barang­-barang yang unik, bagus, murah, dan halus. Sudah barang tertentu nenek moyang kita yang tertarik dengan keunikan, keindahan, dan kehalusan barang-barang dari Eropa itu kemudian merasa senang berdagang dan menukarkan barang-barang produksi Indonesia. Selain itu kita juga kalah dalam hal persenjataan sehingga gampang dipaksa menukarkan barang-barang pada orang-orang Eropa.

Sekarang ada seratus orang lainnya lagi mengecap kain dengan mesin cap. Mereka dalam satu bulan bisa memproduksi kain yang sudah dicap kira-kira 1000 lembar. Jelaslah kiranya bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh 100 orang yang bekerja hanya dengan tangan kalah 10 kali lipat dibandingkan dengan 100 orang lainnya yang bekerja dengan menggunakan mesin.

Untuk menyamai jumlah produk hasil mesin, maka 100 orang yang membatik itu harus bekerja selama 10 bulan. Jika orang yang bekerja dengan menggunakan mesin cap dapat bekerja dan bertahan hidup serta mendapatkan gaji dalam satu bulan, maka orang yang bekerja dengan membatik harus hidup dan mendapatkan upah dengan menunggu selama sepuluh bulan. Jelaslah bahwa ternyata ada resiko tertentu dari pekerjaan yang hanya menggunakan tangan saja, sehingga dengan demikian harga barang yang dibuat dengan mesin bisa lebih murah daripada barang yang dibuat dengan menggunakan tangan. Semakin baik mesin dan pabriknya, semakin mampu pula mereka membuat barang-barang yang bagus, halus, unik, dan murah.

Itulah sebabnya mengapa pertukaran barang-barang antara Eropa dengan Indo­nesia bisa maju, dan perdagangan di In­donesia bisa ramai, makin lama makin ramai dengan adanya sepur, trem, kapal api, dan sebagainya. Perdagangan pun berjalan semakin pesat. Keadaan di In­donesia semakin ramai, dan keuntungan serta kekayaan yang didapatkan semakin bertambah, terutama untuk para saudagar dan para pemilik pabrik.

Tetapi di mana ada untung, di situ pasti ada rugi. Di mana ada yang kaya, di situ ada yang miskin. Karena yang menjadi kaum saudagar dan tuan pabrik kebanyakan adalah bangsa lain, sedang­kan rakyat Indonesia cenderung bersabar dan tidak begitu bernafsu mengeruk kekayaan, maka yang rugi dan menjadi miskin adalah rakyat Indonesia. Begitulah, karena faktor alam atau hawa suatu negara maka rakyat Indonesia sekarang semakin miskin dan melarat dibandingkan zaman dahulu.

Tetapi perdagangan yang ramai seperti dijelaskan di atas juga menimbulkan hal lain bagi kehidupan penduduk Indonesia, terutama kehidupan rakyat. Rakyat Indo­nesia tidak saja kehilangan kekayaannya yang dulu-dulu tetapi juga kehilangan pekerjaan klasiknya, yaitu menenun kain, menjadi tukang yang membuat hiasan rumah, dan sebagainya, karena barang­-barang sekarang dibuat dengan mesin, sehingga bisa lebih murah dan lebih bagus.

Perdagangan semakin ramai dan maju, kaum saudagar dan para pemilik pabrik di Eropa pun semakin kaya, sehingga kekayaan kemudian bisa diputar untuk modal mendirikan pabrik-pabrik baru di semua benua Eropa. Selain itu di Eropa juga sudah banyak pabrik yang memproduksi mesin-mesin baru, jumlah mesin-mesin baru makin lama makin banyak, sehingga tidak bisa dijalankan semuanya di Eropa. Surplus kekayaan modal atau uang di Eropa itu mendorong pada saudagar Eropa untuk menanam modalnya di Indonesia, yaitu dengan mengadakan perkebunan teh, kopi, tembakau, karet, dan sebagainya. Begitulah maka tanah pertanian dan ladang milik rakyat Indonesia warisan nenek moyang kita, akhirnya terdesak oleh perkebunan-perkebunan itu.

Selain surplus uang, Eropa juga sur­plus mesin atau alat-alat industri, sehingga kaum saudagar Eropa yang ada di Indo­nesia lalu dapat membuat atau mendirikan pabrik. Maka, berdirilah pabrik-pabrik gula, penggilingan padi, dan lain-lain.

Adanya pabrik-pabrik gula memaksa para pemilik pabrik untuk menyewa tanah milik petani dan menyuruh petani itu bekerja dan berkuli (buruh) di tanah-tanah sewaan itu. Oleh karena itu maka terdesaklah pekerjaan bercocok tanam secara kuno (pekerjaan "tani merdeka") oleh pekerjaan pabrik-pabrik itu.

Jadi perdagangan Eropa berbalik arah ke Indonesia, seperti tampak dari adanya sepur, trem, kapal api; berdirinya perkebunan-perkebunankopi, karet, tembakau; dan berdirinya pabrik-pabrik gula, penggilingan padi, dan sebagainya. Hal ini jelas-jelas membuat penduduk In­donesia semakin miskin dan mendesak hampir semua pekerjaan merdeka yang dulu diusahakan oleh nenek moyang kita.

Jadi nyatalah, bahwa kemajuan dan keramaian di Indonesia pada zaman sekarang ini mendesak kemerdekaan mata pencaharian kuno, sehingga kesabaran, ketentraman, kesenangan, dan kedamaian nenek moyang kita juga akhirnya terdesak dan sirna. Karena itu pula penduduk In­donesia sekarang selalu ribut dari hari ke hari dalam kehidupan yang sukar, serba susah dan khawatir ini.

Apa sebabnya sekarang kita hidup dalam suasana penuh keributan, kesukaran, dan kesusahan? Sebab kita kehilangan kemerdekaan untuk mengatur sendiri pekerjaan kita, karena hal yang menyenangkan itu sudah terdesak oleh mesin-mesin dan pabrik-pabrik baru. Suatu model baru yang muncul bersamaan dengan terdesaknya mata pencaharian kuno oleh perdagangan yang diramai­kan oleh sepur, trem, perkebunan-­perkebunan, pabrik, kapal api, dan sebagainya. Maka mulai terbuka pula bagi rakyat di Indonesia pekerjaan lainnya yaitu kerja sebagai buruh. Ramainya perdagangan memaksa orang untuk bisa menjadi juru tulis, klerk, mandor, masinis, dan sebagainya. Karena itu pula di lndo­nesia lalu didirikan sekolah-sekolah agar perdagangan yang ramai itu mampu mencukupi kebutuhannya.
Sebarkan Artikel Ini :
Sebar di FB Sebar di Tweet Sebar di GPlus

About Unknown

WEBSITE ini didedikasikan untuk ilmu pengetahuan dan HUMAN BEING, silahkan memberikan komentar, kritik dan masukan. Kami menerima artikel untuk dimuat dan dikirim ke kawanram@gmail.com. Selanjutnya silahkan menghubungi kami bila memerlukan informasi lebih lanjut. Salam PEMBEBASAN!
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Post a Comment

PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.