Semakin serius buruh Indonesia mempersiapkan aksi mogok nasional, semakin gencar perlawanan dilakukan. Pendapat negatif terkait mogok kerja pun terus berhamburan. Padahal, mereka belum sepenuhnya memahami substansi dari mengapa mogok kerja itu dilakukan.
Lepas dari semua itu, ada beberapa mitos yang terus bergelayut berkenaan dengan mogok kerja. Kali ini saya mencoba untuk menjawab beberapa mitos tersebut, agar semakin jelas dan terang, jika mogok nasional adalah sebuah keharusan.
Mitos 1: Dialog dan negosiasi lebih efektif ketimbang mogok kerja.
Faktanya: Perundingan selalu menjadi tidak efektif jika tanpa diikuti gerakan dari anggota serikat pekerja. Studi kasus yang mudah kita pahami adalah fenomena grebek pabrik di Bekasi. Di mana pengusaha bersedia merubah status pekerja outsourcing, justru ketika buruh-buruhnya sudah melakukan pemogokan. Padahal sebelum mogok kerja terjadi, pengurus serikat pekerja sudah terlebih dahulu melakukan perundingan dan negosiasi, akan tetapi responnya kurang memuaskan.
Mitos 2: Semua permasalahan hubungan industrial bisa diselesaikan jika kedua belah pihak bersedia duduk bersama untuk mencari jalan keluar. Apalagi dalam dunia ketenagakerjaan sudah tersedia Lembaga Kerjasama Tripatit dan Dewan Pengupahan yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Faktanya: Perundingan dalam Lembaga Kerjasama Tripartit dan Dewan Pengupahan, di semua tingkatan sekedar formalitas belaka. Bahkan tidak jarang hanya menjadi ‘stempel’ untuk melahirkan kebijakan yang merugikan pihak pekerja. Satu pertanyaan yang barangkali bisa menjawab keraguan kita semua: Apakah jika Buruh Bekasi Bergerak tidak menutup jalan tol, Menko akan memanggil perwakilan buruh untuk berdialog? Apakah jika buruh-buruh di Jakarta, Tangerang, Serang tidak menutup tol, upah tahun 2012 akan naik secara signifikan? Apakah jika KAJS tidak melakukan gerakan ekstraparlementer yang masif, seluruh rakyat Indonesia memiliki harapan untuk menikmati jaminan kesehatan pada awal tahun 2014? Apakah jika buruh (dan elemen lain) tidak turun ke jalan, apakah pemerintah tetap nekad untuk menaikkan BBM?
Mitos 3: Mogok kerja nasional hanya untuk kepentingan FSPMI.
Faktanya: Mogok kerja nasional ini diserukan oleh MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia), yang terdiri dari 3 konfederasi dan 9 serikat pekerja non federasi. Tentu saja, jika mogok kerja nasional semata-mata diserukan oleh FSPMI adalah anggapan yang salah kaprah. Belakangan, elemen serikat pekerja lain di luar MPBI juga menyerukan ajakan yang sama.
Mitos 4: Mogok kerja mengganggu iklim investasi.
Faktanya: Yang akan dilakukan adalah mogok kerja, untuk menekan pemerintah agar segera menghapus outsourcing, membuat kebijakan upah layak, dan memastikan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia berjalan per 1 Januari 2014. Sebagaimana kita tahu, mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh secara bersama-sama untuk menghentikan pekerjaan. Jadi, jika kemudian perusahaan tidak berproduksi dan layanan publik terhenti, memang itulah substansi dari mogok kerja. Dengan kata lain, tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu iklim investasi. Jika mereka tidak mengangkangi hak-hak kaum buruh, tidak akan terjadi pemogokan, dan stigma mengganggu iklim investasi tidak akan terjadi. Kami ini hanyalah korban dari kebijakan yang pro-modal, mengapa justu kami yang disalahkan?
Mitos 5: Mogok kerja nasional tidak dikenal di Indonesia. Sebab Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 hanya mengenal mogok kerja sebagai syarat gagalnya perundingan, dan itu seringkali dipersepsi perundingan di tingkat pabrik.
Fakta: Mogok kerja adalah hak dasar pekerja. Ini bukan hanya sekedar tentang gagalnya perundingan, tetapi tentang sikap Negara yang telah abai untuk memberikan kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan jaminan sosial bagi warganya. Dan karena permasalahan itu terjadi akibat kelalaian pemerintah, maka sudah sepatutnya mogok nasional menjadi jawabannya. Bukan pemogokan yang bersifat kedaerahan, apalagi di tingkat pabrik.
Mitos 6: Kita harus menghormati hukum dengan menempuh jalur litigasi.
Fakta: Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang ada di Indonesia sungguh lama, mahal, dan tidak memberikan keadilan. Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 semakin menjauh dari cita-cita awalnya. Bayangkan, untuk sebuah kasus PHK, misalnya, proses penyelesaiannya bisa menghabiskan waktu hingga 1-2 tahun. Jika bertahun-tahun mereka boleh melakukan pelanggaran―yang seringkali tanpa saksi―belakangan terbukti cara-cara non-litigasi jauh lebih efektif.
Lepas dari semua itu, ada beberapa mitos yang terus bergelayut berkenaan dengan mogok kerja. Kali ini saya mencoba untuk menjawab beberapa mitos tersebut, agar semakin jelas dan terang, jika mogok nasional adalah sebuah keharusan.
Mitos 1: Dialog dan negosiasi lebih efektif ketimbang mogok kerja.
Faktanya: Perundingan selalu menjadi tidak efektif jika tanpa diikuti gerakan dari anggota serikat pekerja. Studi kasus yang mudah kita pahami adalah fenomena grebek pabrik di Bekasi. Di mana pengusaha bersedia merubah status pekerja outsourcing, justru ketika buruh-buruhnya sudah melakukan pemogokan. Padahal sebelum mogok kerja terjadi, pengurus serikat pekerja sudah terlebih dahulu melakukan perundingan dan negosiasi, akan tetapi responnya kurang memuaskan.
Mitos 2: Semua permasalahan hubungan industrial bisa diselesaikan jika kedua belah pihak bersedia duduk bersama untuk mencari jalan keluar. Apalagi dalam dunia ketenagakerjaan sudah tersedia Lembaga Kerjasama Tripatit dan Dewan Pengupahan yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Faktanya: Perundingan dalam Lembaga Kerjasama Tripartit dan Dewan Pengupahan, di semua tingkatan sekedar formalitas belaka. Bahkan tidak jarang hanya menjadi ‘stempel’ untuk melahirkan kebijakan yang merugikan pihak pekerja. Satu pertanyaan yang barangkali bisa menjawab keraguan kita semua: Apakah jika Buruh Bekasi Bergerak tidak menutup jalan tol, Menko akan memanggil perwakilan buruh untuk berdialog? Apakah jika buruh-buruh di Jakarta, Tangerang, Serang tidak menutup tol, upah tahun 2012 akan naik secara signifikan? Apakah jika KAJS tidak melakukan gerakan ekstraparlementer yang masif, seluruh rakyat Indonesia memiliki harapan untuk menikmati jaminan kesehatan pada awal tahun 2014? Apakah jika buruh (dan elemen lain) tidak turun ke jalan, apakah pemerintah tetap nekad untuk menaikkan BBM?
Mitos 3: Mogok kerja nasional hanya untuk kepentingan FSPMI.
Faktanya: Mogok kerja nasional ini diserukan oleh MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia), yang terdiri dari 3 konfederasi dan 9 serikat pekerja non federasi. Tentu saja, jika mogok kerja nasional semata-mata diserukan oleh FSPMI adalah anggapan yang salah kaprah. Belakangan, elemen serikat pekerja lain di luar MPBI juga menyerukan ajakan yang sama.
Mitos 4: Mogok kerja mengganggu iklim investasi.
Faktanya: Yang akan dilakukan adalah mogok kerja, untuk menekan pemerintah agar segera menghapus outsourcing, membuat kebijakan upah layak, dan memastikan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia berjalan per 1 Januari 2014. Sebagaimana kita tahu, mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh secara bersama-sama untuk menghentikan pekerjaan. Jadi, jika kemudian perusahaan tidak berproduksi dan layanan publik terhenti, memang itulah substansi dari mogok kerja. Dengan kata lain, tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu iklim investasi. Jika mereka tidak mengangkangi hak-hak kaum buruh, tidak akan terjadi pemogokan, dan stigma mengganggu iklim investasi tidak akan terjadi. Kami ini hanyalah korban dari kebijakan yang pro-modal, mengapa justu kami yang disalahkan?
Mitos 5: Mogok kerja nasional tidak dikenal di Indonesia. Sebab Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 hanya mengenal mogok kerja sebagai syarat gagalnya perundingan, dan itu seringkali dipersepsi perundingan di tingkat pabrik.
Fakta: Mogok kerja adalah hak dasar pekerja. Ini bukan hanya sekedar tentang gagalnya perundingan, tetapi tentang sikap Negara yang telah abai untuk memberikan kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan jaminan sosial bagi warganya. Dan karena permasalahan itu terjadi akibat kelalaian pemerintah, maka sudah sepatutnya mogok nasional menjadi jawabannya. Bukan pemogokan yang bersifat kedaerahan, apalagi di tingkat pabrik.
Mitos 6: Kita harus menghormati hukum dengan menempuh jalur litigasi.
Fakta: Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang ada di Indonesia sungguh lama, mahal, dan tidak memberikan keadilan. Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 semakin menjauh dari cita-cita awalnya. Bayangkan, untuk sebuah kasus PHK, misalnya, proses penyelesaiannya bisa menghabiskan waktu hingga 1-2 tahun. Jika bertahun-tahun mereka boleh melakukan pelanggaran―yang seringkali tanpa saksi―belakangan terbukti cara-cara non-litigasi jauh lebih efektif.
0 komentar :
Post a Comment
PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Mohon tidak memberikan komentar bermuatan penghinaan atau spam, Kita semua menyukai muatan komentar yang positif dan baik.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.
Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.